• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Kecanduan Pornografi

BAB II KAJIAN TEORI

B. Kecanduan Pornografi

2. Pengertian Kecanduan Pornografi

Kecanduan atau addiction dalam Kamus Lengkap Psikologi (Chaplin, 2009:145) diartikan sebagai keadaan bergantung secara fisik pada suatu obat bius. Pada umumnya kecanduan tersebut menambah toleransi terhadap suatu obat bius. Sedangkan menurut Lance Dodes (dalam Lahallo:2013:7) ada dua jenis kecanduan, yaitu physical addiction, adalah jenis kecanduan yang berhubungan dengan alkohol atau kokain, dan non physical addiction adalah jenis kecanduan yang tidak melibatkan kedua hal diatas. Kecanduan pornografi termasuk dalam non physical addiction. Pada tahun 1990, Aviel Goodman menyampaikan bahwa

kecanduan pornografi dapat ditandai dengan dua hal, yaitu kegagalan yang berulang-ulang dalam mengontrol perilaku (ketidakmampuan untuk mengontrol) dan berlanjutnya perilaku berulang-ulang tersebut walaupun menimbulkan dampak yang negatif.

Secara psikologi, Kartono (1989:252) kecanduan pornografi merupakan perilaku abnormal, dimana seseorang lebih banyak mendapatkan kepuasan seks dengan melalui literatur dan gambar pornografis. Kecanduan pornografi mendorong pecandu terbawa dalam aktifitasnya melihat materi pornorafi sehingga pecandu akan mersakan sensasi seperti kegairahan, kesenangan yang membuat mereka bergantung secara psikologis (Halgin, 2011:274).

Kecanduan terhadap materi pornografi tidak bisa terlepas dari penggunaan pada internet. Cooper (Cooper dkk,1999a) dalam (Rahmawati dkk:2002:4) mengemukakan faktor-faktor yang menjadi daya tarik seseorang pada kecenderungannya mengakses internet diantaranya adalah (affordability), dapat masuk atau keluar sesuka hati sehingga mengurangi rasa malu, (accessbility) sekaligus tanpa takut dikenali oleh orang lain (anonimity). Dapat dikatakan bahwasaanya secara tidak langsung, penggunaan internet telah menjadi cara yang kondusif sebagai pelarian dari ketegangan mental dan dapat memperkuat pola perilaku ke arah kecanduan.

Konsep mengenai kecanduan pornografi dari sudut pandang neurologi disampaikan oleh Sthruters (2009:95-117) yakni ketika seseorang jauh lebih dalam terlibat pada kebiasaan melihat materi pornografi, maka ketereksposan pornografi ini menciptakan jalur saraf di otak dan seiring berjalannya waktu, jalur

saraf akan mejadi lebih lebar ketika melihat materi pornografi berulang kali. Sehingga jalur tersebut menjadi jalur otomatis yang menetapkan pornografi pada otak. Sthruters (2009:95-117) menjelaskan dengan sangat terperinci tentang beberapa aktifitas hormon yang sangat terkait dengan hal seksual dan terkait dengan kecanduan pornografi yaitu dopamin, testoren, norepinephrin, serotonin danoksitosin. Pertama, dopamin. Dopamin merupakan neurotransmitter yang membantu membawa sinyal saraf ke sinaps. Ketika diaktifkan dopamin akan merangsang perasaan senang dan kepuasan yang kemudian akan disimpan dalam ingatan. Keadaan inilahlah yang kemudian membuat otak yang terpapar pornografi mengalami kenikmatan tertinggi sehingga menimbulkan efek kecanduan sama halnya seperti yang dirasakan pada kecanduan oleh obat-obatan. Kedua, testoren. Testoren memiliki peran yang penting dalam perkembangan seksual pada orang dewasa, hormon ini penting untuk memunculkan minat dan motivasi seksual. Pornografi (dan fantasi mental yang disebabkannya) menyebabkan otak terus menerus menghasilkan testoren dan meningkatkan keinginan seksualsehingga dengan dorongan ini, otak bersiap-siap menafsirkan sinyal terkait gambar porno apapun. Kehadiran pasangan seksual, maupun fantasi seksual dan memberikan jalan bagi kebutuhan akan pemuasan seksual. Ketiga, norepinephrin. Merupakan hormon yang berperan penting dalam merespon rangsangan seksual dan menstimulasi rangsangan pada seluruh tubuh sebagai persiapan bagi aktifitas seksual. Rangsangan inilah yang memberikan perasaan bersemangat terhadap pecandu dalam melihat materi pornografi dan pada bagian ini, hormon ini akan selalu menyimpan rangsangan emosional dalam diri pecandu,

sehingga membuat ia akan selalu mengingat materi pornografi tersebut. Keempat, serotonin. Hormon ini disebut sebagai pemberi rasa senang dan dalam kaitannya dengan kecanduan pornografi, ketika jumlah serotonin meningkat maka terjadi disfungsi seksual khususnya pada pria. Namun ketika hormon ini ditekan oleh dopamin maka hormon ini menjadi penting dalam merangsang hasrat seksual sehingga menjadikan munculnya perilaku impulsif dan agresif. Kelima, oksitosin. Cara kerja hormon oksitosin yaitu dilepaskan kedalam otak dan terdeksi pada beberapa bagian yang terlibat dalam pengalaman seksual seperti amygdaladan alinnya. Hal ini mengakibatkan kelekatan sosial pecandu dengan pasangan seksual namun ketika perilaku seksual berulang-ulang dilakukan tanpa kehadiran pasangan maka pecandu akan terikat pada gambar atau materi pornografi yang lain (Sthruters,2009:95-117).

Menurut Yee (2003) ada dua simtom untuk mengetahui seseorang kecanduan pada suatu subtansi yaitu dependence dan withdrawal. Seseorang yang mengalami dependence (ketergantungan) pada zat maka ia akan memerlukan zat tersebut untuk membuat hidupnya terus berjalan, tanpa zat maka dia tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari. Jika penggunaan zat dihilangkan maka ia akan mengalami withdrawal (penarikan diri) yakni ditandai dengan marah, cemas, mudah tersinggung dan frustasi. Cromie (1999, dalam Kem, 2005) menyebutkan bahwa ancaman paling umum yang terjadi pada seseorang yang kecanduan pornografi adalah kesulitannya dalam mengatur emosi.

Adapun menurut Cline (1986) tahap-tahap efek pornografi yang dialami konsumen pornografi (dalam Armando,2004:3) adalah sebagai berikut :

1) Tahap Addiction (Kecanduan). Sekali seseorang menyukai materi cabul, ia akan mengalami ketagihan. Kalau yang bersangkutan tidak mengkonsumsi pornografi maka ia akan mengalami „kegelisahan‟. Sedangkan jika menurut McConnel dan Keith Campbell (dalam Sidik Hasan,2008:15) aktifitas melihat konten pornografi menjadi kebiasaan yang sulit untuk dihentikan bagi pecandu karena mereka membiarkan diri terpikat olehnya.

2) Tahap Escalation (eskalasi). Setelah sekian lama mengonsumsi media porno, selanjutnya ia akan mengalami efek eskalasi. Akibatnya seseorang akan membutuhkan materi seksual yang lebih eksplisit, lebih sensasional, lebih „menyimpang‟ dari sebelumnya yang biasa dikonsumsi. Bila semula ia sudah merasa puas menyaksikan gambar wanita telanjang, selanjutnya ia ingin melihat film yang memuat adegan seks. Setelah sekian waktu ia merasa jenuh dan ingin melihat adegan yang lebih eksplisit atau lebih liar, misalnya adegan seks berkelompok (sex group). Perlahan-lahan hal itupun akan menjadi nampak biasa, dan mulai menginginkan yang lebih „berani‟ dan seterusnya. Efek kecanduan dan eskalasi menyebabkan tumbuhnya peningkatan permintaan terhadap pornografi. Akibatnya kadar „kepornoan‟ dan „keeksplisitan‟ produk meningkat. Kedua efek ini berpengaruh terhadap perilaku seks seseorang. 3) Tahap Desensitization (Desensitisasi). Pada tahap ini, materi yang tabu, imoral,

mengejutkan, pelan-pelan akan menjadi sesuatu yang biasa. Pengonsumsi pornografi bahkan menjadi cenderung tidak sensitif terhadap kekerasan seksual. Sebuah studi menunjukan bahwa para pelaku masuk dalam kategori

„hard core’ menganggap bahwa para pelaku pemerkosaan hanya perlu diberikan hukuman ringan.

4) Tahap Act-out. Pada tahap ini, seorang pecandu pornografi akan meniru atau menerapkan perilaku seks yang selama ini ditontonnya di media. Ini menyebabkan mereka yang kecanduan pornografi akan menjadi sulit menjalin hubungan seks yang sesungguhnya yang penuh kasih sayang dengan pasangannya. Ini terjadi karena film-film porno bias menyajikan adegan-adegan seks yang sebenarnya tak lazim atau sebenarnya dianggap menjijikan atau menyakitkan oleh wanita dalam keadaan normal. Ketika si pria berharap pasangnnya melakukan meniru aktifitas semacam itu, keharmonisan hubungan itupun menjadi retak. Sedangkan jika menurut McConnel dan Keith Campbell (dalam Sidik Hasan,2008:15) Pada titik ini pecandu mulai mewujudkan obsesi dan fantasinya. Mereka ingin membuatnya terealisasi di dunia nyata, misalnya dengan bentuk pencabulan dan mulai melakukan aktifitas seksual sebenarnya.

Berbeda dengan Cline menurut McConnel dan Keith Campbell (dalam Sidik Hasan,2008:15) memaparkan lima tahap kecanduan pornografi yang diawali dengan Early Exposur/melihat pertama kali. Orang yang kecanduan pornografi mengawalinya dengan melihat konten pornografi. Dan pada tahap-tahap selanjutnya adalah addiction, escalation, desensitization dan terakhir adalah action.

Aktifitas melihat pornografi bermula dari munculnya minat untuk melakukan aktiftas tersebut dan berlanjutnya intensitas mengakses pornografi. Menurut Soekadji (1983:8) dan Twiford (1988:11) dalam Atmadi (2007) aspek

minat menonton video pornografi dapat dilihat dari frekuensi, yaitu ukuran untuk mengetahui sejauh mana seseorang sering atau tidak melakukan perbuatan tersebut dalam bentuk jumlah pemakaiannya; durasi, yaitu lamanya aktivitas itu berlangsung yang diukur melalui rentang waktunya; menunjukkan waktu yang diperlukan oleh seseorang untuk melakukan setiap tindakan dan intensitas, yaitu menjelaskan seberapa jauh seseorang melakukan terjadinya suatu tindakan. Sedangkan menurut Cooper et al, (1999) intensitas mengakses situs porno merupakan ukuran dari jumlah kegiatan dalam mengunjungi atau lamanya mengakses situs porno untuk mengetahui serta mencari hiburan dalam jaringan internet yang menyediakan dan menyajikan gambar-gambar yang memuat adegan erotik baik yang pasif atau yang bergerak dan bersifat porno. Aspek mengakses situs porno menurut Cooper terdiri dari empat aspek yakni aspek-aspek aktifitas, aspek refleksi, aspek kesenangan dan aspek kegairahan.

Dokumen terkait