• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : URAIAN TEORITIS

D. Pengertian Keterlibatan Kerja

Keterlibatan kerja dapat didefenisikan sebagai suatu proses partisipasi yang menggunakan seluruh kapasitas karyawan yang dirancang untuk meningkatkan komitmen bagi kesuksesan organisasi (Robbins, 2002: 78). Logika yang mendasarinya adalah bahwa keterlibatan para karyawan dalam pengambilan keputusan yang akan berpengaruh pada mereka dan meningkatkan otonomi dan kendali mereka atas kehidupan kerjanya akan membuat karyawan lebih termotivasi, lebih setia pada organisasi, lebih produktif dan lebih puas dengan pekerjaan mereka.

Davis dan Newstrom (2002: 211), menyatakan bahwa “job involvement: is

a degree which employees immerse themselves in their jobs, invest time and energy in them, and view work as a central part of their overall lives”.

(keterlibatan kerja adalah tingkat dimana karyawan mengikutsertakan diri dalam pekerjaan mereka, menginvestasikan waktu dan energi di dalamnya, dan bekerja sebagai bagian utama dari kehidupan mereka secara keseluruhan).

Karyawan dalam keterlibatan yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu (Robbins, 2002: 91), misalnya karyawan menyumbangkan ide untuk kemajuan pekerjaan, dengan senang hati memenuhi peraturan-peraturan perusahaan dan mendukung kebijakan perusahaan, dan lain-lain. Sebaliknya karyawan yang kurang senang terlibat dengan pekerjaannya adalah karyawan yang kurang memihak kepada perusahaan dan karyawan yang demikian cenderung hanya bekerja secara rutinitas.

Teori yang mendasari adalah bahwa dengan mengetahui keterlibatan kerja karyawannya dengan demikian maka para karyawan akan menjadi lebih produktif, da

1. Hakikat Keterlibatan Kerja a. Keterlibatan mental dan emosioanal.

Pertama, keterlibatan bukan hanya sekedar kegiatan fisik namun juga mental dan emosional. Bukan hanya keterampilannya tapi juga diri mereka ikut terlibat. Keterlibatan ini lebih bersifat psikologis daripada fisik. Keterlibatan bukan hanya partisipasi dalam pekerjaan tapi juga pertemuan, meminta pendapat, dan lainnya (Davis dan Newstrom, 2002: 179).

kedua, keterlibatan adalah bahwa ia memotivasi orang-orang untuk memberikan distribusi. Mereka diberi kesempatan untuk menyalurkan sumber inisiatif dan kreativitasnya guna mencapai tujuan organisasi.

c. Tanggung Jawab.

Ketiga, bahwa keterlibatan mendorong orang-orang untuk menerima tanggung jawab dalam aktivitas kelompok. Ini juga merupakan proses sosial yang melaluinya orang-orang menjadi terlibat sendiri dalam organisasi dan mau mewujudkan keberhasilannya.

2. Faktor – faktor yang mempengaruhi ketelibatan kerja. a. Partisipasi Kerja

Davis dalam Mangkunegara (2001: 113), mengemukakan bahwa “Paticipation is mental and emotional of persons in group situations that

encourage them to contribute to group goals and share responsibility for them”.

(Partisipasi adalah keterlibatan emosi dan mental karyawan dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi pada tujuan kelompok serta bertanggung jawab terhadap hal tersebut).

Berdasarkan defenisi di atas, ada tiga aspek yang sangat penting dalam partisipasi kerja, yaitu :

1. Mental and Emotional Involvement .

Adalah keterlibatan yang bersifat mental dan emosional, yang dilakukan oleh karyawan operasional dalam menyelesaikan masalah tertentu yang diukur melalui :

b) Menciptakan kebersamaan diantara sesama karyawan.

c) Keterlibatan untuk membuat sesama karyawan bekerja lebih baik 2. Motivation to Contribute.

Keterlibatan karyawan dalam menyumbangkan ide-ide kreatif dan membangun merupakan aspek yang sangat penting dan dapat diukur melalui:

a) Adanya kesadaran karyawan untuk bersama menjaga nama baik perusahaan.

b) Keseriusan karyawan dalam memberikan kualitas bagi perusahaan. c) Memberikan feed-back yang positif untuk kemajuan perusahaan di

masa mendatang. 3. Acceptance of Responsibility

Kesadaran karyawan operasional untuk menjalan tanggung jawab sebagaimana mestinya, yang dapat diukur melalui :

a) Kesadaran karyawan untuk dapat mematuhi seluruh aturan yang ditetapkan badan usaha.

b) Tingkat kesungguhan dalam bekerja. c) Konsistensi berperilaku dalam bekerja.

b. Tanggung Jawab

Tanggung jawab mengarah pada kinerja tindakan dari tugas, mencakup tindakan para staf dalam memberikan pelayanan kepada perusahaan dan masyarakat (Dessler, 2004: 54).

Pedoman daripada tanggung jawab itu (Dessler, 2004: 54), antara lain: 1. Berikanlah jabatan awal yang menantang.

Pekerjaan awal yang menantang memberikan satu sarana yang paling berpengaruh tapi tidak komplit yang akan membantu pengembangan karir daripada karyawan baru. Tantangan pekerjaan itulah yang akan memberikan karyawan itu sebuah tanggung jawab yang besar.

2. Jangan tanpa tuntutan.

Semakin kita mengharapkan dan semakin anda percaya dan suportif terhadap karyawan kita, semakin bekerja lebih baik. Jangan menugaskan karyawan anda tanpa tuntutan pekerjaan, sehingga mereka dapat bekerja lebih aktif, terlatih secara khusus dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. 3. Lakukan penilaian kerja yang berorientasi karir.

Para manajer juga harus aktif dalam melakukan penilaian karir untuk kepentingan jangka panjang. Semakin karyawan dinilai, maka akan semakin kuat pula giatnya untuk bekerja keras. Otomatis karyawan menjadi bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakannya untuk perusahaan.

c. Displin Kerja

Displin kerja adalah suatu alat yang digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku (Rivai dan Sagala, 2009: 825).

Displin karyawan memerlukan alat komunikasi, terutama pada peringatan yang bersifat spesifik terhadap karyawan yang tidak mau berubah sifat dan perilakunya. Melemahny displin kerja akan mempengaruhi moral karyawan

maupun pelayanan terhadap konsumen secara langsung, oleh karena itu tindakan koreksi dan pencegahan terhadap melemahnya peraturan harus segera diatasi oleh semua komponen yang terlibat dalam organisasi.

Ada dua pendekatan displin (Mathis dan Jackson, 2006: 512), yaitu : 1. Pendekatan Displin yang positif.

Pendekatan ini bergantung pada filosofi bahwa pelanggaran adalah tindakan yang biasanya dapat dikoreksi secara konstruktif tanpa hukuman. Dalam pendekatan ini, para manajer berfokus pada pencarian fakta dan bimbingan untuk mendorong perilaku yang diinginkan, daripada menggunakan hukuman untuk mencegah perilaku yang tidak dinginkan. Berikut adalah empat langkah menuju displin yang positif :

a. Konseling. Bertujuan untuk meningkatkan kesadaran karyawan akan

kebijakan dan peraturan organisasional.

b. Dokumentasi tertulis. Apabila karyawan gagal mengoreksi perilakunya,

maka konferensi kedua menjadi perlu. Jika tingkat pertama mengambil bentuk sebuah percakapan, di tingkat ini didokumentasikan dalam bentuk tertulis. Dalam tahap ini, para manajer mengembangkan solusi-solusi tertulis untuk mencegah timbulnya masalah yang lebih lanjut.

c. Peringatan terakhir. Ketika karyawan tidak mengikuti solusi-solusi yang

dikemukakan dalam tahap kedua, diadakan konferensi peringatan terakhir, dimana manajer menekankan pentingnya pengkoreksian tindakan yang tidak pantas kepada karyawan.

d. Pemberhentian. Apabila karyawan tersebut gagal untuk mengikuti rencana

tindakan yang dikembangkan dan tetap ada masalah yang lebih lanjut, maka manajer memberhentikan karyawan tersebut.

2. Pendekatan Displin Progresif

Pendekatan displin ini hampir sama dengan pendekatan displin positif yang menggabungkan serangkaian langkah, dimana setiap langkah menjadi lebih keras secara progresif dan dirancang untuk mengubah perilaku karyawan yang tidak pantas.

Dokumen terkait