• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

2.2 Hakikat Lakon/Drama

2.2.1 Pengertian Lakon/Drama

Istilah drama berasal dari kata drame (Perancis) yang digunakan

untuk menjelaskan lakon-lakon tentang kehiduoan kelas menengah. Drama adalah salah satu bentuk seni yang bercerita melalui percakapan dan action tokoh-tokohnya. Percakapan atau dialog itu sendiri bisa diartikan sebagai action.27 Pendapat mengenai pengertian drama menurut Sudjiman dalam Wahyudi Siswanto menyatakan bahwa drama adalah karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan

emosi lewat lakuan dan dialog.28

Sebagai sebuah bentuk karya sastra, penyajian drama berbeda dengan bentuk kesusastraan lainnya, misalnya cerpen dan novel. Novel dan cerpen masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan tokoh- tokoh melalui kombinasi antara dialog dan narasi dan merrupakan karya yang dicetak. Sebuah drama pada hakikatnya hanya terdiri atas dialog. Mungkin dalam drama ada pertunjuk pementasan, namun petunjuk ini sebenarnya hanya dijadikan pedoman oleh sutradara dan pemain. Oleh

26

Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 112

27

Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra Dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Aksara.

2010), h. 182

28

karena itu, dialog para tokoh dalam drama disebut sebagai teks utama dan petunjuk lakuannya disebut teks sampingan.

Jika dicermati secara seksama, drama mempunyai dua aspek esensial, yaitu aspek cerita dan aspek pementasan yang berhubungan dengan seni lakon atau teater. Apabila dirinci lebih dalam lagi, sebenarnya drama memiliki tiga dimensi, yaitu sastra, gerakan, dan ujaran. Oleh sebab itu, naskah drama tidak disusun khusus untuk dibaca seperti novel atau cerpen, tetapi lebih dari itu dalam penciptaan naskah drama sudah dipertimbangkan aspek-aspek pementasannya.

Di samping istilah drama ditemukan juga istilah teater atau

theatre (bahasa Inggris). Meskipun kedua istilah tersebut dari asal katanya berbeda, namun dalam bahasa Indonesia, kedua istilah tersebut tidak dibedakan. Drama dan teater adalah sebuah lakon yang dipentaskan baik

dengan naskah atau tanpa naskah.29

Dalam kenyataan tidak semua karya drama ternyata

berkesempatan untuk dipentaskan. Kesempatan dan di berbagai tempat. Sebaliknya, banyak pula karya drama yang berhenti sebagai semata-mata bacaan, tanpa pernah dipentaskan sama sekali. Drama cenderung lebih tepat untuk dibaca saja, meskipun secara verbal juga memperlihatkan

adanya cakapan dan petunjuk pemanggungan, lazim disebut sebagai closet

drama atau “drama baca” dalam istilah Indonesia.

Sebagai istilah “drama” dan “teater” ini datang atau kita pinjam dari khazanah kebudayaan Barat. Secara lebih khusus, asal kedua istilah ini adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani. Pada Awalnya di Yunani baik “drama” maupun “teater” muncul dari rangkaian upacara

keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap para dewa.30

Banyak pementasan drama yang tidak didasarkan pada karya drama tertentu, melainkan berdasaran novel, cerpen, puisi, atau bahkan lagu. Namun demikian, jika kembali kepada pengertian umum yang

29

Endah Tri Priyatni, op.cit., h. 185

30

bahkan kemudian juga menjadi semacam pembeda dengan genre prosa dan puisi misalnya, maka niscaya akan diperoleh jatidiri dari drama itu, bahwa drama telah diniatkan dari awal oleh penulisnya sebagai karya sastra yang sesungguhnya dimaksudkan untuk dipertunjukkan.

Drama tidak dapat diperlukan sebagai puisi ketika mencoba mendekatinya, karena puisi penekanannya sebagai suatu hasil cipta intuisi

imajnasi penyair. 31 Kekhususan drama disebabkan tujuan drama ditulis

pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan untuk kemungkinan dapat dipertontonkan dalam suatu penampilan gerak dan perilaku konkret yang dapat disaksikan. Kekhususan drama inilah yang kemudian menyebabkan pengertian drama sebagai suatu genre sastra lebih terfokus sebagai suatu karya yang lebih berorientasi kepada seni pertunjukan, dibandingkan sebagai genre sastra.

Sebagai sebuah genre sastra, drama memungkinkan ditulis dalam bahasa yang memikat dan mengesankan. Drama dapat ditulis oleh pengarangnya dengan mempergunakan bahasa seagaimana sebuah sajak. Penuh iramaa dan kaya akan bunyi yang indah, namun sekkaligus menggambarkan watak-watak manusia secara tajam, serta menampilkan

peristiwa yang penuh kesuspenan. 32

Satu hal yang tetap menjadi ciri lakon/drama adalah bahwa kemungkinan itu harus disampaikan dalam bentuk dialog-dialog dari para tokoh. Akibat dari hal inilah maka seandainya seorang pembaca yang membaca suatu teks drama tanpa menyaksikan pementasan drama tersebut mau tidak mau harus membayangkan jalur peristiwa di atas pentas. Pementasan sebagai satu dimensi lain dari drama, memberikan kekuatan sekaligus kelemahan bagipenikmat untuk menangkap makna yang terdapat pada teks. Kekuatannya terletak pada visualisasi langsung, kelemahannya

31

Hassanuddin, WS, Drama Karya Dalam Dua Dimensi, (Bandung: Angkasa. 1996), h. 1

32

tidak ada pementasan yang sama untuk suatu teks drama meskipun oleh sutradara yang sama dan sutradara itu pengarang drama itu sendiri.

Mengenai peristilahan, misalnya istilah sandiwara, drama atau juga teaterr dapat dijelaskan sebagai berikut. Istilah sandiwara merupakan istilah yang lebih dikenal pada awal perkembangan drama sampai dengan masa penjajahan Jepang. Sedangkan untuk masa-masa selanjutnya, istilah drama dan teater lebih sering dipergunakan oleh banyak pihak. Istilah drama untuk lebih memfokuskan drama sebagai genre sastra (permasalahan naskah, teks, unsur cerita), dan istilah teater untuk menunjukkan persoalan pementasan (tentang seni pertunjukkan, seni peran). Dari beberapa pengertian drama yang dimaksudkan dapatlah disebutkan bahwa drama merupakan suatu genre sastra yang ditulis dalam bentuk dialog-dialog dengan tujuan untuk dipentaskan sebagai suatu seni pertunjukkan.

Naskah lakon AAIIUU karya Arifin C. Noer ditunjukkan untuk

skenario film, maka ada beberapa istilah yang terdapat dalam penyutradaraan sebuah film. Pengertian skenario adalah media yang menyampaikan pesan berupa dialog-dialog, dari penulis skenario ke awak pembuat film dan disampaikan ke khalayak. Menurut Syd Field (The Foundations of Screenwriting, 1994) dalam jurnal Nahdliyah Rahmawati mengungkapkan “A screenplay is a story told with picture, in dialogue and placed within the context of dramatic structure. A Screenplay is a noun – it is about a person, or persons, in a place or places, doing his or her or their thing. All screenplays execute this basic premise. The person is the character, and doing his or her thing is the action (1994, 8)”33

Sedangkan menurut lewis Herman (1952) dalam jurnal Nahdliyah Rahmawati, skenario film adalah komposisi tertulis yang dirancang sebagai panduan bagi seorang sutradara film. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa skenario film adalah sebuah naskah cerita

33

Nahdliyah Rachmawati, Wacana Gay dalam Skenario Film Arisan. Commonline, Jurnal Online

yang menguraikan adegan-adegan, tempat, keadaan, dan dialog yang disusun dalam konteks struktur dinamik. Skenario merupakan naskah cerita yang harus dilakonkan oleh para pelakon dalam bentuk tertulis menjadi bentuk visual audio.

Skenario menjadi dasar dan rancangan dalam perbuatan sebuah film. Menurut Herman (1952) dalam jurnal Nahdliyah Rahmawati menjelaskan bahwa dalam sebuah skenario terdapat unsur-unsur sebuah film, seperti dramaturgi, konsep visual, montase, karakterisasi, pengadeganan, dialog,

dan tata suara.34 Skenario film merupakan salah satu karya sastra yang

memiliki kesamaan struktur dengan drama. Sebuah skenario film juga memiliki plot, latar, penokohan, dan tema. Hanya saja teknik penulisan berbeda dengan penulisan drama. Dalam sebuah skenario film tidak terlalu banyak monolog dan penokohan lebih banyak digambarkan dengan dialog- dialog antar tokoh dalam skenario tersebut.

Skenario menjadi dasar dalam pembuatan sebuah film. Jika skenario itu buruk, maka tidak mungkin menhasilkan film yang baik. Namun jika skenario itu baik, besar kemungkinan filmnya pun akan baik. Hal ini membuktikan bahwa betapa pentingnya skenario bagi kualitas sebuah film.

Seperti halnya sebuah karya literature yang dapat dipecah menjadi bab (chapter), alinea dan kalimat, film jenis apapun, panjang atau pendek juga memiliki struktur fisik. Secara fisik sebuah film dapat dipecah menjadi

unsur-unsur yakni Shot, scene (adegan), dan sekuen. Pemahaman tentang

shot, scene, sekuen nantinya banyak berguna ntuk membagi urut-urutan (segmentasi) plot sebuah film secara sistematik. Segmentasi plot akan banyak membantu kita melihat perekmbangan plot sebuah film secara menyeluruh dari awal hingga akhir.

a. Shot

Shot merupakan unsur terkecil dari film.35 Dalam novel shot bisa

diibaratkan satu kalimat. Sekumpulan beberapa shot biasanya dapat

34

Ibid., h. 147

35

dikelompokkan menjadi sebuah adegan. Shot selama produksi film memiliki arti proses perekaman gambar sejak kamera diaktifkan (on) hingga kamera dihentikan (off) atau juga sering diistilahkan satu kali take (pengambilan gambar). Sementara shot setelah film telah jadi (pasca produksi) memiliki arti satu rangkaian gambar utuh yang tidak terinterupsi oleh potongan gambar (editing).

b. Scene (Adegan)

Scene adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang,

waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif.36 Satu adegan umumnya

terdiri dari beberapa shot yang berhubungan. Biasanya film cerita terdiri dari tiga puluh sampai lima puluh buah adegan. Adegan adalah yang paling mudah kita kenali sewakttu kita menonton film. Kita biasanya lebih mengingat sebuah adegan ketimbang shot atau sekuen.

c. Sekuen (Sequence)

Sekuen adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu

rangkaian peristiwa yang utuh.37 Satu sekuen umumnya terdiri dari

beberapa adegan yang saling berhubungan. Dalam karya literatur, sekuen bisa diibaratkan seperti sebuah bab atau sekumpulan bab. Dalam pertunjukkan teater, sekuen bisa dinamakan dengan satu babak. Satu sekuen biasanya dikelompokkan berdasarkan satu periode (waktu), lokasi, atau satu rangkaian aksi panjang. Biasanya film cerita terdiri delapan sampai lima belas sekuen. Dalam beberapa kasus film, sekuen dapat dibagi berdasarkan usia karakter utama, yakni masa balita, kanak- kanak, remaja, dewasa, serta lanjut usia. Dalam film-film petualangan yang umumnya mengambil banyak tempat, sekuen biasanya dibagi berdasarkan lokasi cerita.

36

Ibid., h. 29

37

2.2.2 Unsur Intrinsik dalam Naskah Lakon AAIIUU karya Arifin C. Noer

Dokumen terkait