• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

2.2 Hakikat Lakon/Drama

2.2.2 Unsur Intrinsik dalam Naskah Lakon AAIIUU Karya Arifin C.

sendiri.38 Tidak hanya dalam novel dan puisi, dalam naskah lakon pun

terdapat unsur intrinsik yang turut serta membangun cerita dalam naskah lakon tersebut. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah membuat sebuah cerita berwujud. Dalam penelitian ini unsur intrinsik yang akan dibahas adalah judul, tema, tokoh dan penokohan, alur/plot, latar, dan gaya bahasa.

1. Judul

Ketika membaca sebuah karya sastra baik itu novel, cerpen, puisi, naskah drama, ataupun naskah skenario film, aspek pertama yang selalu ingin kita temukan pertama kali adalah judul. Hampir tidak pernah ditemukan karya sastra yang tanpa judul. Judul bukan sekadar pelengkap karya sastra karena dari judul inilah secara eksplisit akan mengetahui karya sastra itu berbicara tentang apa dan mengekspresikan atau menyuarakan tentang apa.

Judul yang baik adalah judul yang bisa menggambarkan keseluruhan isi. Ini berarti bahwa judul dan isi memiliki kesatuan atau

keutuhan makna.39 Biasanya judul pada karya karya sastra bersifat mana

suka, dapat diambil dari nama salah satu tempat atau tokoh dalam cerita, dengan syarat sebaiknya melambangkan isi cerita untuk menarik perhatian.

2. Tema

Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan

pengarang dalam karyanya.40 Oleh sebab itu tema merupakan hasil

konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan

38

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

2012), h. 23

39

Endah Tri Priyatni, op.cit, h. 186

40

latar. Dalam sebuah drama terdapat banyak peristiwa yang masing- masingnya mengemban permasalahan, tetapi hanya ada sebuah tema sebagai intisari dari permasalahan-permasalahan tersebut.

Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema terletak di balik pokok cerita tersebut. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa tema adalah

pokok pikiran atau pokok persoalan di balik pokok cerita.41 Sehubungan

dengan pengertian di atas maka tema cerita hanya dapat diketahui dan ditafsirkan setelah membaca cerita serta menganalisisnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengetahui alur cerita serta penokohan dan dialog- dialognya. Dapat disimpulkan bahwa tema merupakan ide gagasan utama atau sentral dalam sebuah cerita. Menentukan tema merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan dan menilai di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dalam karya sastra yang bersangkutan. 3. Setting atau Latar

Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai karya

fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan dan alur.42

Latar memperjelas suasana, tempat serta waktu peristiwa itu berlaku. Latar di dalam drma memeperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan permasalah drama.

Latar ikut membangun permasalahan drama dan menciptakan konflik. Latar memeperjelas keadaan suasana, tempat, dan waktu terjadinya peristiwa. Hakikat drama yang ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan menyebabkan latar pada drama berbeda dengan latar pada cerpen dan novel. Pada cerpen atau novel, ada banyak cara yang dimanfaatkan pengarang dalam menjelaskan waktu terjadinya peristiwa, demikian pula mengenai tempat dan ruang. Di dalam drama umumnya tidak demikian, keterbatasan karena peristiwa harus dipentaskan, menyebabkan biasanya sebuah cerita pada drama atau deretan peristiwa

41

Suroto, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1989), h. 88

42

dinyatakan dalam suatu latar tertentu. Misalnya penggarapan waktu di dalam drama biasanya bersifat kronologis

Menurut Hasanuddin dijelaskan latar merupakan identitas permasalahan drama seagai karya fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan dan alur. Jika permasalahan drama sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas suasana, tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku. Latar

dan ruang di dalam drama memperjelas pembaca untuk

mengidentifikasikan permsalahan drama.43

Fungsi utama setting atau latar adalah sebuah penunjuk ruang dan

waktu untuk memberikan informasi yang kuat dalam mendukung cerita.44

Selain berfungsi sebagai latar cerita, setting juga mampu membangun mood sesuai dengan tuntutan cerita. Diantara fungsi utama setting adalah sebagai penunjuk ruang dan wilayah, penunjuk waktu, penunjuk status sosial.

a. Penunjuk ruang dan wilayah, salah satu fungsi utama setting adalah

untuk menentukan ruang. Setting yang sempurna adalah setting yang

sesuai dengan konteks ceritanya.45 Setting yang digunakan harus

mampu meyakinkan penonton bahwa seluruh peristiwa dalam cerita benar-benar terjadi dalam lokasi cerita yang sesungguhnya. Lokasi cerita di rumah tinggal tentu berbeda dengan apartemen, kantor, hotel, restoran dan lain sebagainya.

b. Penunjuk waktu, setting mampu memberikan informasi waktu. era,

atau musim sesuai konteks naratifnya.46 Unsur waktu keseharian,

yakni pagi, siang, petang, dan malam mutlak harus dipenuhi untuk menjelaskan konteks cerita. Setting juga mampu memberi informasi tentang masa atau periode kapan cerita film berlangsung.

43 Hasanuddin, WS, op.cit. h. 94 44 Himawan, op.cit, h. 66 45 Ibid., h. 66 46 Ibid., h. 67

c. Penunjuk status sosial, dekor setting dapat menentukan status sosial

para pelaku ceritanya.47 Setting untuk kalangan atas (bangsawan)

pasti sangat kontras dengan setting kalangan bawah. Setting kalangan atas lazimnnya memiliki wujud megah, luas, terang, mewah, properti (perabot) yang lengkap, serta ornamen-ornamen yang sangat detil (untuk setting masa lalu). Sedangkan setting untuk kalangan bawah umumnya kecil, sempit, gelap dengan properti yang minim dan sederhana.

4. Alur/Plot

Alur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat. Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa peristiwa

adalah unsur utama alur.48 Sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa

yang saling berhubungan akan menunjukkan kaitan sebab-akibat. Jika hubungan peristiwa terputus dengan peristiwa yang lain maka dapat dikatakan bahwa alur tersebut kurang baik. Alur yang baik adalah alur yang memiliki hubungan sebab-akibat sesama peristiwa yang ada di dalam sebuah teks drama.

Berdasarkan urutan waktu menunjuk pada pola berjalannya waktu cerita. Urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi yang bersangkutan. Atau lebih tepatnya, urutan penceritaan peristiwa- peristiwa yang ditampilkan. Urutan waku, dalam hal ini berkaitan dengan logika cerita. Dengan demikian urutan waktu kejadian ini ada kaitannya dengan tahap-tahap pemplotan di atas. Oleh karena pengarang memiliki kebebasan kreativitas, dapat memanipulasi urutan waktu kejadian sekreatif mungkin, tidak harus bersifat linear kronologis.

Dari sinilah secara teoretis kita dapat membedakan plot ke dalam dua kategori: kronologis dan tak kronologis. Yang pertama

47

Ibid., h. 68

48

disebut sebagai plot lurus, maju atau juga dinamakanprogresif, sedang yang kedua adalah sorot-balik, mundur, flash-back, atau

dapat juga disebut sebagai regresif.49 Plot lurus, progresif. Plot

sebuah dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis. Plot sorot-balik, flash-back. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis. Pola struktur naratif dalam naskah lakon secara umum dibagi menjadi tiga tahapan yakni permulaan, pertengahan, serta penutupan.

1. Tahap Permulaan

Tahap permulaan atau pendahuluan adalah titik paling kritis dalam sebuah cerita film karena dari sinilah segalanya bermula. Pada titik inilah ditentukan aturan permainan cerita film. Pada tahap ini biasanya telah ditetapkan pelaku utama dan pendukung, pihak protagonis dan antagonis, masalah dan tujuan,

serta aspek ruang dan waktu cerita (eksposisi).50 Jika seorang

pelaku cerita baik protagonis maupun antagonis membutuhkan apapun, pada tahap inilah tuntutan tersebut biasanya dipenuhi.

Kadang pada tahap ini terdapat sekuen pendahuluan atau prolog yang merupakan latar belakang cerita film. Prolog bukan merupakan bagian dari alur cerita utama namun adalah peristiwa yang terjadi sebelum cerita sebenarnya terjadi. Prolog sering ali digunakan untuk memperkuat figur sosok protagonis atau bisa pula antagonis.

2. Tahap Pertengahan

Tahap pertengahan sebagian besar berisi usaha dari tokoh utama atau protagonis untuk menyelesaikan solusi dari masalah yang telah ditentukan pada tahap permulaan. Pada tahap inilah alur cerita mulai berubah arah dan biasanya disebabkan oleh aksi

49

Burhan Nurgiyantoro, op.cit, h. 153

50

di luar perkiraan yang dilakukan oleh karakter utama atau

pendukung.51 Tindakan inilah yang nantinya memicu munculnya

konflik.

Konflik sering kali berisi konfrontasi (fisik) antara pihak protagonis dengan antagonis. Pada tahap ini juga umumnya karakter utama tidak mampu begitu saja menyelesaikan masalahnya karena terdapat elemen-elemen kejutan yang membuat masalah menjadi lebih sulit atau kompleks dari sebelumnya. Pada tahap inilah tempo cerita semakin meningkat hingga klimaks cerita. Pada tahap ini hinggga menjelang klimaks, tokoh utama sering kali mengalami titik terendah (putus asa) baik dari segi fisik maupun mental.

3. Tahap Penutupan

Tahap penutupan adalah klimaks cerita, yakni puncak dari konflik atau konfrontasi akhir. Pada titik inilah cerita film mencapai titik ketegangan tertinggi. Setelah konflik berakhir maka tercapailah penyelesaian masalah, kesimpulan cerita, atau resolusi. Tokoh utama berhasil mencapai tujuannya dan bisa pula tidak. Mulai titik inilah tempo cerita makin menurun hingga cerita berakhir.

5. Tokoh dan Penokohan

Dalam hal penokohan, di dalamnya termasuk hal-hal yang

berkaitan dengan penamaan, pemeranan, keadaan fisik tokoh (aspek

psikologis_, keadaan sosial tokoh (aspek sosialogi), serta karakter

tokoh.52 Hal-hal yang termasuk di dalam permasalahan penokohan

ini saling berhubungan dalam upaya membangun permasalahan- permasalahan atau konflik-konflik kemanusiaan yang merupakan persyaratan utama drama.

51

Ibid., h. 45

52

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis (tak

berkembang) dan tokoh berkembang. 53 Tokoh-tokoh di dalam

drama telah dipersiapkan sebelumnya, maka hal-hal yang melekat pada seorang tokoh dapat dijadikan sumber data atau sinyal informasi guna membuka selubung makna drama secara keseluruhan. Aspek-aspek penokohan ini akan saling berhubungan dan berkaitan dalam upaya membentuk dan membangun permasalahan dan konflik di dalam drama.

Dalam penggambaran watak tokoh, seorang pengarang dapat melakukannya dengan dua cara; cara eksposisi dan cara dramatik. Cara penggambaran dikatakan eksposisi apabila pengarang menerangkam secara langsung sifat-sifat watak itu baik yang bersifat batiniah maupun lahiriah. Pengarang menggambarkan secara langsung kondisi badannya, umurnya, kesukaannya, kesopanannya, dan sebagainya. Cara penggambaran dikatakan dramatik apabila pengarang tidak secara langsung menjelaskan secara langsung sifat- sifat watak tokoh, tetapi hanya memberikan gambaran tindakan-

tindakan atau gerak-gerak setiap tokoh.54 Dengan penggambaran

gerak dapat disimpulkan bagaimana sifat watak tokoh, karena cara ini merupakan gambaran watak secara tidak langsung. Maka cara inilah yang paling sukar dikerjakan oleh pengarang.

6. Gaya Bahasa

Bahasa adalah bahan mentah sastrawan.55 Pembicaraan

tentang gaya bahasa menyangkut kemahiran pengarang

mempergunakan bahasa sebagai medium drama. Bahasa dapat menimbulkan suasana yang tepat guna adegan yang seram, adegan

53

Burhan Nurgiyantoro, op.cit. h. 188

54

A. Hayati dan Winarno Adiwardoyo, Latihan Apresiasi Sastra, (Malang: Yayasan Asih Asah

Asuh, 1990), h. 12

55

Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993),

cinta, ataupun peperangan, keputusan maupun harapan. Bahasa dapat pula digunakan pengarang adalah untuk menandai karakter seseorang tokoh. Karakter jahat dan bijak dapat digambarkan dengan jelas melalui kata-kata yang digunakannya. Demikian pula dengan tokoh anak-anak dan dewasa, dapat pula dicerminkan dari kosakata ataupun struktur kalimat yang digunakan oleh tokoh-tokoh yang

bersangkutan.56

Gaya bahasa sebenarnya bagian dari pilihan kata atau diksi yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata. Menurut Gorys Keraf 1981 dalam buku Soediro Satoto mensyaratkan bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur dasar:

kejujuran, sopan-santun, dan menarik.57 Gaya bahasa cenderung

dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu penegasan, pertentangan,

perbandingan, dan sindiran. Sebagaimana di dalam karya sastra lainnya, di dalam drama para pengarang pun memanfaatkan hal ini.

Masing-masing jenis itu dapat pula diperinci lebih lanjut, misalnya metafora, personifikasi, asosiasi, paralel, dan lain-lain untuk jenis bahasa perbandingan, ironis, sarkas, dan sinis, untuk jenis gaya bahasa sindiran;pleonasme, repetisi, klimaks, retoris, dan lain-lain untuk jenis gaya penegasan dan paradoks, antitesis, dan lain-lain, untuk jenis gaya bahasa pertentangan. Penggunaan jenis gaya bahasa ini akan membantu pembaca mengidentifikasi perwatakan tokoh.

Dokumen terkait