• Tidak ada hasil yang ditemukan

G. Metode Penelitian

1. Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Kredit

Pasal 1233 KUHPerdata menerangkan bahwa perikatan lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang. Kata perjanjian berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst. Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.59 Menurut R. Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji kepada orang lain atau kedua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.60 Sedangkan menurut R. Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua belah pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian.61

Pengertian tentang perjanjian dapat ditemui dalam Buku III Bab II Pasal 1313 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Jika diperhatikan, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUHPerdata

59

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta, 1979), hal. 49.

60

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1963), hal. 1.

61

R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet. Ketujuh, (Bandung : Sumur,

tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut. Dengan demikian, rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari suatu atau lebih badan hukum.62

Ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut menurut Abdulkadir Muhammad dianggap kurang memuaskan dan mengandung beberapa kelemahan, yaitu63

a. “Hanya Menyangkut Sepihak Saja. Hal ini diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” Kata “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan adalah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

:

b. Kata Perbuatan Menyangkut Tanpa Konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”. c. Pengertian Perjanjian Terlalu Luas. Pengertian perjanjian dalam Pasal

tersebut terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki dalam buku III

62

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend

Recht) Dalam Hukum Perdata, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 249. 63

KUHPerdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa Menyebut Tujuan. Dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidak menyebutkan tujuan menyebutkan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa”.

Berdasarkan alasan tersebut, Abdulkadir Muhammad merumuskan pengertian perjanjian menjadi : “Perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.64

a. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang;

Dari perumusan pengertian perjanjian tersebut maka dapat disimpulkan unsur-unsur dari perjanjian itu sendiri, yaitu :

b. Ada persetujuan antara pihak-pihak; c. Ada tujuan yang akan dicapai;

d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan;

e. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi dari suatu perjanjian; f. Ada bentuk tertentu, lisan atau tertulis.

Dari beberapa defenisi perjanjian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum antara satu orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya untuk melakukan suatu hal tertentu dalam lapangan harta kekayaan yang memiliki akibat hukum.

64

Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan atau kalimat-kalimat yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau dibuat dalam tulisan oleh para pihak yang membuat perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, karena perikatan paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian. Perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hak yang konkrit atau suatu peristiwa.65

Perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III KUHPerdata perihal hukum perikatan secara sistematika terbagi atas dua bagian, yaitu bagian umum dan bagian khusus. Antara bagian umum dan bagian khusus ini terdapat hubungan satu sama lain, yaitu suatu hubungan dimana asas-asas bagian umum dari perikatan berlaku juga bagi perjanjian tertentu sebagaimana yang tercantum dan diisyaratkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.

Dalam hukum perjanjian yang didasarkan pada KUHPerdata berlaku suatu asas yang dinamakan asas konsensualisme yang artinya bahwa perjanjian itu sudah sah dan mengikat apabila kedua belah pihak sudah sepakat mengenai hal yang pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas. Asas konsensualisme yang terdapat dalam buku perjanjian lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, menyebutkan bahwa :

65

a. Adanya Kesepakatan

Sepakat berarti adanya persesuaian kehendak antara para pihak atau para pihak setuju mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan. Berarti apa yang dikehendaki oleh pihak satu juga dikehendaki oleh pihak lain. Para pihak menghendaki sesuatu secara timbal balik.

Syarat kesepakatan sangat penting karena syarat ini bagi sebagian besar perjanjian menetukan saat lahirnya perjanjian atau menentukan ada atau tidak adanya perjanjian. Suatu kesepakatan kehendak terhadap suatu kontrak dimulai dari adanya unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak, diikuti oleh penerimaan (acceptance) dari pihak lainnya, sehingga akhirnya terjadilah suatu kontrak.66 Hal yang terpenting dari ijab/offer67 ini adalah bahwa bila orang yang ditawarkan (offeree) menerima penawaran itu maka cukup ia melakukan persetujuan sesuai dengan penawaran itu tanpa perlu melakukan negosiasi lagi. Dalam hal suatu pernyataan masih memerlukan persetujuan lebih lanjut dari orang yang menawarkan (offeror) maka pernyataan itu bukanlah ijab/offer melainkan merupakan negosiasi pendahuluan (preliminary negotiation) atau disebut juga sebagai invitation to treat atau offer to negotiate.68

66

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung : Citra

Aditya Bakti, 2007), hal. 36.

Ijab menimbulkan penerimaan atau penolakan. Pernyataan kabul/penerimaan (acceptance) atas suatu ijab yang tidak menyatakan tentang cara atau metode tertentu untuk kabulnya, dapat dilakukan dengan cara atau metode apa

67

Restatement, Second, Contracts menyatakan bahwa ijab/offer adalah manifestasi dari kehendak untuk mengadakan transaksi yang dilakukan agar orang lain tahu bahwa persetujuan pada

transaksi itu diharapkan dan hal itu akan menutup transaksi itu. Sumber : Hardijan Rusli, Hukum

Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal. 54. 68

saja yang masuk akal sesuai dengan keadaan pada waktu itu.69 Cara mengutarakan kehendak ini bisa bermacam-macam, dapat dilakukan secara tegas atau secara diam- diam, dengan tertulis (melalui akta otentik atau dibawah tangan) atau dengan tanda.70 Unsur kesepakatan adalah penting untuk menjadikan suatu perjanjian sah secara hukum. Suatu perjanjian tanpa adanya kesepakatan adalah perjanjian yang tidak sah secara hukum. Misalkan A ingin dilukis oleh seorang pelukis terkenal B, tetapi tanpa sepengetahuannya, B adalah bukan pelukis yang terkenal yang dimaksud oleh A walaupun namanya mirip. Dalam hal ini transaksi antara A dan B adalah sah secara hukum, hanya kesepakatan dari pihak A adalah kesepakatan yang semu, yaitu kesepakatan yang tidak murni.71

Pasal 1321 KUHPerdata yang intinya menyatakan bahwa : “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Pasal tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa sepakat harus memenuhi syarat-syarat dimana tidak boleh terdapat cacat kehendak dalam perjanjian tersebut, yang meliputi :

1) Paksaan (Dwang)

Paksaan dalam bahasa Belanda disebut dwang , yang menurut KUHPerdata adalah suatu perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dimana terhadap orang yang terancam karena paksaan tersebut timbul ketakutan baik

69

Ibid. hal. 59. 70

Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan,

(Bandung : Nuansa Aulia, 2007), hal. 92. 71

terhadap dirinya maupun terhadap kekayaannya dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.72

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa dan yang diancamkan itu adalah tindakan yang dilarang oleh Undang-Undang.

73

“Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata”.

Menurut Pasal 1324 KUHPerdata yang intinya mengatakan bahwa :

Contohnya, pengusaha gandum yang biasa menjual gandum kepada suatu pabrik terigu hendak menaikkan harga gandum kepada pabrik terigu tersebut dengan meminta biaya tambahan untuk gandum yang telah dikirimnya dengan ancaman tidak akan memberikan gandum lagi bila tidak dibayar harga kenaikan itu.

2) Kekhilafan (Dwaling)

Suatu kesepakatan kehendak juga dianggap tidak tercapai jika terjadi apa yang disebut dengan kekhilafan. Seseorang dikatakan telah membuat kesepakatan secara khilaf manakala ketika membuat kesepakatan tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang tidak benar.74

Menurut R. Subekti kekhilafan atau kekeliruan terjadi jika salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok apa yang diperjanjikan atau tentang dengan orang-orang

72

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Op.cit., hal. 36.

73

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hal. 23.

74

siapa perjanjian itu diadakan.75 Kekeliruan dapat terjadi dalam dua kemungkinan, yaitu76

a) Kekeliruan terhadap orang atau subjek hukum; :

b) Kekeliruan terhadap barang atau objek hukum.

Kekeliruan terhadap orang, misalnya perjanjian pertunjukan penyanyi terkenal yang disangka Madonna ternyata kemudian bukanlah Madonna. Sedangkan kekeliruan terhadap barang, misalnya jual beli suatu lukisan yang disangka lukisan ciptaan Affandi ternyata lukisan tersebut bukan lukisan Affandi.

3) Penipuan (Bedrog)

Pasal 1328 KUHPerdata menyatakan :

“Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.”

Menurut R. Subekti penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar disertai tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya.77

Penipuan dapat dibagi dalam dua macam

Adanya suatu penipuan harus dibuktikan, tidak dapat dipersangkakan.

78

a) Penipuan yang material;

:

75

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hal. 23. 76

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas

Hukum Perdata, Cet. IV, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2004), hal. 224-225. 77

R. Subekti, Loc.cit., hal. 24. 78

b) Penipuan yang fraudulent.

Suatu penipuan yang material terjadi apabila suatu pernyataan yang tidak benar itu menyebabkan orang berpikiran waras atau orang-orang tertentu memberikan kesepakatannya untuk suatu transaksi. Sedangkan suatu penipuan yang fraudulent terjadi bila pernyataan yang tidak benar itu disertai maksud/keinginan dari pembuat pernyataan untuk mempengaruhi pihak lawannya agar percaya.79 Contohnya dalam kasus klasik Edgington vs. Fitzmau Rice (1885) 29 Chd 459 tentang dituntutnya direksi suatu perusahaan yang menerbitkan obligasi dengan pernyataan dalam prospektusnya bahwa uang dari obligasi ini akan digunakan untuk maksud tertentu, tetapi dalam pelaksanaannya uang itu dipakai untuk maksud yang lain.

b. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan (Cakap Hukum)

Syarat kedua sahnya perjanjian ialah adanya kecakapan atau cakap hukum. Seseorang dikatakan cakap hukum apabila seseorang, laki-laki atau wanita telah berumur minimal 21 tahun, atau bagi seorang laki-laki apabila belum berumur 21 tahun telah melangsungkan pernikahan.

Sebagai lawan dari cakap hukum (syarat Kecakapan) ialah tidak cakap hukum dan hal ini di atur dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Bunyi Pasal 1330 KUHPerdata tersebut adalah sebagai berikut :

“Tidak cakap untuk membuat persetujuan adalah: a) Orang-orang yang belum dewasa;

b) Mereka yang di taruh di bawah pengampuan (curatele); 79

c) Orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh Undang- Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang- undang telah melarang membuat persetujuan tertentu”.

Dari Pasal 1330 KUHPerdata itu terdapat pengertian tidak cakap hukum dalam 3 hal, yaitu :

1). Orang dibawah umur adalah orang yang belum kawin dan belum berumur 21 tahun.

2). Orang yang di bawah pengampuan (curatele) yaitu orang yang sudah dewasa atau telah berumur di atas 21 tahun tetapi tidak mampu karena : pemabuk, gila, dan pemboros.

3). Wanita yang sedang mempunyai suami hilang kecakapannya, karena dia harus mendampingi suami (ketentuan ini telah dihapus oleh Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).80

Ketiga hal ini, bila melakukan perjanjian tanpa izin dari yang mengawasinya maka dikatakan perjanjian itu cacat. Oleh karena itu, perjanjian itu dapat dibatalkan oleh hakim, baik secara langsung maupun melalui orang yang mengawasinya.

Pengertian orang-orang yang belum dewasa menurut Pasal 1330 KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 330 KUHPerdata. Menurut Pasal 330 KUHPerdata belum dewasa apabila belum berumur 21 tahun dan sebelumnya belum melangsungkan pernikahan. Bunyi Pasal 330 KUHPerdata : belum dewasa adalah mereka yang

80

Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa : “(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum; (3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri Ibu Rumah Tangga”.

belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Walaupun KUHPerdata sebagai hukum yang bersumber dari hukum barat, suami adalah pemegang kekuasaan atas istri dan istri harus tunduk dan patuh pada suami, tetapi mungkin di dalam praktek adalah sebaliknya. Hal ini disebabkan sifat hukum keluarga bersifat mengatur dan hukum yang bersifat memaksa tidaklah merupakan hal yang sebenarnya (essensial), walaupun dalam Pasal 106 KUHPerdata dan pasal- pasal lainnya menegaskan bahwa istri harus tunduk dan patuh pada suaminya.

Kedudukan istri menurut KUHPerdata yang berasal dari Hukum Barat adalah berlainan dengan Hukum Adat, Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974).

Menurut Hukum Adat secara umum dan Hukum Agama Islam, istri berkedudukan sama dengan suami dan begitu pula dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Undang-Undang Perkawinan) menegaskan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Dengan adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Undang-Undang Perkawinan) maka kehidupan suami dan istri adalah sama dan berarti seorang istri adalah cakap hukum.

c. Suatu Hal Tertentu

Suatu perjanjian harus mempunyai pokok (objek) suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan

pada waktu dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya (Pasal 1333 KUHPerdata). Sedangkan menurut Pasal 1320 KUHPerdata agar suatu perjanjian itu antara lain harus memuat suatu hal tertentu atau dengan kata lain isinya harus tertentu. Bila dilihat dari bahasa Belanda maka terjemahan barang dalam Pasal 1333 KUHPerdata berasal dari kata Zaak yang menurut Kamus Umum Belanda- Indonesia oleh S. Wojowaswito, dapat diartikan sebagai81

1). benda (barang);

:

2). usaha (perusahaan); 3). sengketa/perkara; 4). pokok persoalan;

5). sesuatu yang diharuskan (keharusan);

Jika dihubungkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan salah satu syarat sahnya perjanjian adalah “hal” yang tertentu dan kata “hal” ini berasal dari bahasa Belanda onderwerp yang dapat juga diartikan pokok uraian atau pokok pembicaraan (atau pokok persoalan), maka Zaak lebih tepat bila diterjemahkan sebagai pokok persoalan.82

Zaak dalam Pasal 1333 KUHPerdata (juga dalam Pasal 1332 dan 1334) lebih tepat diterjemahkan sebagai pokok persoalan karena pokok atau objek dari perjanjian dapat berupa bukan barang/benda tetapi justru jasa, misalnya dalam perjanjian kerja.83

81 Ibid.

Suatu perjanjian memang seharusnya berisi pokok/objek yang tertentu agar

82 Ibid. 83

dapat dilaksanakan. Hakim kiranya akan berusaha sebisanya untuk mencari tahu apa pokok perjanjian dari suatu perjanjian agar perjanjian itu dapat dilaksanakan, tetapi bila sampai tidak dapat sama sekali ditentukan pokok/objek perjanjian itu maka perjanjian itu menjadi batal/tidak sah.84

The Restatement Second section 33 juga menyatakan bahwa pokok (terms) dari perjanjian harus jelas/tertentu. (even though a manifestation of intention to be understood as an offer it cannot be accepted so as to form a contract unless the terms of the contract are reasonably certain), (walaupun suatu pernyataan dimaksudkan untuk dianggap sebagai ijab/offer, hal ini belum dapat diterima langsung menjadi perikatan bila pokok perjanjian itu tidak tentu).85 Pengertian terms menurut Black’s Law Dictionary adalah syarat-syarat, kewajiban-kewajiban, hak, harga, dan lain-lain yang ditetapkan dalam perjanjian atau dokumen.86

d. Suatu Sebab yang Halal (Causa yang Halal)

Syarat keempat ini bukan merupakan untuk adanya perjanjian, tetapi suatu perjanjian tanpa sebab yang halal akan mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam pengertian ini, pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok perajanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat.87

84 Ibid. 85 Ibid. 86 Ibid. 87

Dalam Pasal 1335 KUHPerdata dinyatakan bahwa perjanjian tidak mempunyai kekutan jika dibuat tanpa sebab atau dibuat berdasarkan sebab yang palsu atau sebab yang terlarang. Perjanjian yang dibuat tanpa sebab, misalnya jika dibuat suatu perjanjian Novasi atau suatu perjanjian yang tidak ada sebelumnya. Perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang palsu untuk menutupi sebab yang sebenarnya, misalnya jual beli narkotika untuk sebab pengobatan ternyata untuk pemakaian secara bebas, sedang sebab yang terlarang adalah sebab yang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Syarat pertama dan kedua di dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat subjektif karena menyangkut orang atau subjek yang membut perjanjian, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian atas permohonan yang bersangkutan dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim yang berlaku sejak putusan hakim memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sedang syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian dan bila salah satu dari syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, dimana perjanjian itu dianggap tidak pernah ada sejak semula dan pembatalan ini juga harus dimintakan kepada hakim dimana syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 1320 KUHPerdata berlaku juga di dalam perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian yang diatur dalam bagian khusus harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.

Lembaga perbankan merupakan lembaga yang bertujuan mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka pemerataan, pertumbuhan

ekonomi,dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perbankan bahwa : “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak”.

Kredit merupakan istilah yang lazim digunakan sehari-hari yang diartikan sebagai pinjaman sejumlah uang. Selain itu kredit juga diartikan sebagai pembayaran secara cicilan dalam perjanjian jual beli.

Kata “kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “credere” yang berarti “kepercayaan”. Kata “kredit” dalam dunia bisnis pada umumnya diartikan sebagai kesanggupan akan meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan membayarnya kelak.88

Pasal 1 angka 11 Undang-undang Perbankan menyebutkan defenisi dari kredit yaitu : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjamuntuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Berdasarkan defenisi tersebut, setidaknya terdapat 4 (empat) unsur pokok kredit, yaitu89

88

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996),

hal. 6.

:

89

H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit Dan Bank Garansi, (Bandung : Citra Aditya Bakti,

a. Kepercayaan, setiap pelepasan kredit dilandasi dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut akan dibayar kembali oleh debitur sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan.

b. Waktu, pelepasan kredit oleh bank dan pembayaran kembali oleh debitur dipisahkan dengan tenggang waktu.

c. Resiko, pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung resiko didalamnya, yaitu resiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dan pembayaran kembali.

d. Prestasi, setiap terjadi kesepakatan antara bank dan debitur mengenai suatu pemberian kredit pada saat itu pula terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi.

Perjanjian kredit bank merupakan perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari penyerahan uang.90 Bila dilihat dari sudut pandang hukum perikatan, maka syarat dan ketentuan dari perjanjian kredit ini termasuk ke dalam perjanjian sepihak. Dikatakan perjanjian sepihak karena tidak terdapat tawar menawar antara pelaku usaha dan konsumen. Inilah yang kemudian disebut sebagai perjanjian standar atau perjanjian baku. Perjanjian baku biasanya berupa sebuah

Dokumen terkait