• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN MENGENAI PERJANJIAN DAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA

A. Pengertian Perjanjian

Buku III KUH Perdata mengatur tentang perikatan, di mana di dalamnya tercakup mengenai perjanjian. Untuk mendapatkan pengertian dari istilah yang dipakai yaitu perikatan dan perjanjian, maka harus ditelaah dengan seksama makna dari kata-kata di atas.

Istilah-istilah diatas berasal dari Bahasa Belanda, yaitu untuk istilah perikatan yaitu “Verbintenis”, sedangkan untuk istilah perjanjian atau persetujuan merupakan “Overeenskomst”. Kata perjanjian menunjukkan adanya makna, bahwa para pihak dalam perjanjian yang akan diadakan telah sepakat tentang apa yang mereka sepakati berupa janji-janji yang diperjanjikan. Sementara itu, kata persetujuan menunjukan makna bahwa para pihak dalam suatu perjanjian tersebut juga sama-sama setuju tentang segala sesuatu yang diperjanjikan.17 Penggunaan istilah ini menimbulkan perselisihan pendapat di antara para ahli hukum dan hal ini merupakan suatu permasalahan di dalam memberikan rumusan perjanjian dan perikatan tersebut.

Dalam Buku III KUH Perdata, Pasal 1313 menyatakan bahwa :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lebih orang lain”.

17

Tim Pengajar Diklat Kemahiran Hukum Kontrak, Buku Ajar Diklat Kemahiran Hukum Kontrak, Universitas Andalas, Padang, 2005, hlm. 8

Menurut para sarjana hukum Perdata, defenisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini tidak lengkap dan terlalu luas. Hal ini dibagi menjadi:18

1. Tidak jelas, karena perbuatan dapat disebut perjanjian 2. Tidak tampak asas konsesualisime, dan

3. Bersifat dualisme.

Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah "Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.19

Kata “perbuatan” yang terdapat dalam pasal tersebut mencakup juga tanpa konsesus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan

tugas tanpa kuasa (Zaakwarneming) dan tindakan melawan hukum (Onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Dalam pasal ini juga tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.

R. Setiawan mengusulkan untuk menambah kata-kata dalam perjanjian itu sebagai berikut :

“perbuatan itu harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan

yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Menambah perkataan atau saling mengikatkan dirinya”.20

18

Salim H.S, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jalarta, 2010, hal 163

19

Ibid, hal 164

20

Perumusan pengertian perjanjian menurut R Setiawan menjadi, perjanjian adalah

“Suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih saling mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih”.21

Berdasarkan kelemahan dari pengertian perjanjian yang diberikan Pasal 1313 KUHPerdata ini, maka para sarjana ahli hukum mencoba memberikan pengertian perjanjian tersebut dari sudut pandang mereka mesing-masing. Pengertian perjanjian menurut para sarjana tersebut antara lain :

1. R. Subekti

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.22

2. Wirjono Prodjodikoro

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.23

21

Ibid

22

R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1987, hal 1 Selanjutnya disebut R. Subekti 2

23

3. Abdul Kadir Muhammad

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.24

4. M. Yahya Harahap

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua pihak atau lebih memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi itu.25

Perjanjian dapat melahirkan suatu perikatan, hal ini dapat diketahui dari Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena undang-undang.

Jadi, dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perikatan lahir dari perjanjian yang memang dikehendaki oleh para pihak, sedangkan yang lahir karena undang-undang memang sudah ditetapkan oleh pembuat undang-undang.

Dari pengertian perjanjian yang telah diuraikan, maka sifat pokok dari hukum perjanjian itu sendiri adalah bersifat perorangan, di mana hukum itu mengatur hubungan hukum antara orang dengan orang atau satu pihak dengan pihak lain. Maka dengan demikian meskipun suatu mengenai suatu benda, akan tetapi karena hak yang dihasilkannya adalah tetap merupakan hak perseorangan (persoonlijke recht), maka ia bersifat perorangan. Dengan demikian hak bersifat perorangan tersebut juga bersifat relatif, artinya karena hal tersebut dapat

24

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 225

25

dipertahankan terhadap setiap orang tertentu, yakni orang yang turut serta dalam perjanjian tersebut. Berbeda halnya dengan hak yang bersifat kebendaan (zakelijke recht) yang bersifat absolut, yang berarti hak tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap orang.

Di samping pengertian yang telah diuraikan tersebut di atas, Pasal 1313 KUHPerdata tetap merupakan pedoman bagi para sarjana hukum dalam memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan perjanjian itu sendiri. Di antara para sarjana hukum yang berpedoman kepada Pasal 1313 KUH Perdata dalam memberikan definisi tentang perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja di dalam buku mereka Perikatan Pada Umumnya mengatakan :

“Perikatan sebagai terjemahan istilah “verbintenis”, yang merupakan pengambilalihan dari kata “obligation” dalam Code Civil Perancis. Dengan demikian berarti perikatan adalah kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut”.26

Dalam pengertiannya perikatan dapat terjadi jika sudah melalui perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan menimbulkan suatu hak dan kewajiban.

Berdasarkan istilah, perikatan didefinisikan sebagai hubungan hukum dalam lingkungan harta kekayaan antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan hak dan kewajiban atas suatu prestasi. Artinya, suatu hal menurut isi perjanjian wajib dipenuhi oleh para pihak yang satu dan merupakan bagian bagi pihak lain.

26

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 16

Tiga hal yang harus diketahui dalam mendefenisikan suatu perjanjian.27 1. Adanya suatu barang yang akan diberi

2. Adanya suatu perbuatan, dan 3. Bukan merupakan suatu perbuatan

Dalam melakukan perjanjian sah harus disyaratkan pada : 1. Bebas dalam menentukan suatu perjanjian

2. Cakap dalam melakukan suatu perjanjian 3. Isi dari perjanjian itu sendiri, dan

4. Perjanjian dibuat harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Mengenai batasan tersebut para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa defenisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata kurang lengkap bahkan dikatakan terlalu luas dan banyak mengandung kelemahan-kelemahan.

Dari sisi Pasal 1339 KUH Perdata menyatakan bahwa, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian itu diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Hal ini ternyata diikuti oleh ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1347 KUH Perdata, yang menyatakan hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan di dalamnya.

27

Dari kedua ketentuan tersebut di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa perjanjian itu ditentukan oleh : 28

1. Isi perjanjian 2. Kepatutan 3. Kebiasaan 4. Undang-undang

Isi perjanjian, adalah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak mengenai hak dan kewajiban mereka dalam perjanjian tersebut. Dalam hal ini apabila kata-kata dari perjanjian tersebut begitu jelas, sehingga tidak mungkin menimbulkan keragu-raguan, maka para pihak tidak diperkenankan untuk memberikan pengertian yang lain.

Unsur kepatutan adalah kepatutan yang terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata, yang bersama-sama dengan kebiasaan dan undang-undang harus diperhatikan kedua belah pihak di dalam melaksanakan perjanjian itu. Semua perjanjian haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Juga janji yang bersifat kebiasaan dianggap tetap berlaku dalam persetujuan itu sekalipun tidak dinyatakan secara tegas.

Sifat lain daripada hukum perjanjian yang dianut adalah sifat terbuka. Pasal-pasal dari hukum perjanjian tersebut adalah merupakan pelengkap, maksudnya pasal-pasal tersebut dapat dikesampingkan oleh para pihak yang mengadakan perjanjian, kalau para pihak tersebut menghendaki lain, maka mereka dapat mengadakan ketentuan lain asal tidak bertentangan dengan ketertiban umum

28

dan kesusilaan serta undang-undang. Jadi apabila mengenai sesuatu hal para pihak tidak mengaturnya dalam butir perjanjian mereka, maka dalam hal ini dapat diartikan bahwa mereka tunduk pada pasal-pasal yang terdapat di dalam Buku III KUHPerdata tersebut.

Dari berbagai rumusan yang telah diuraikan di atas, maka pada prinsipnya hukum perjanjian mengandung beberapa asas yang amat mendasar. Dalam setiap perjanjian secara teoritis berlaku asas antara lain:29

1. Asas kebebasan berkontrak yaitu dapat mengadakan perikatan apa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

2. Asas konsesualisme yaitu dalam perikatan didasarkan pada kesepakatan para pihak yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

3. Asas kekuatan mengikat (Pacta Suntservanda) yaitu kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

4. Asas kepribadian yaitu untuk menentukan personalia dalam perjanjian sebagai sumber perikatan.

5. Asas kepercayaan atau Vertrouwensabeginsel artinya seseorang yang mengadakan perjanjian dan menimbulkan perikatan dengan orang lain, antara para pihak ada kepercayaan bahwa akan saling memenuhi prestasi.

29

Mariam Darus Badrulzaman, kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 83-89

6. Asas iktikad baik atau Tegoeder Trouw yaitu dalam melaksanakan perikatan didasarkan pada iktikad baik.

Sehingga perwujudan dari prinsip tersebut juga merupakan sifat hukum perjanjian, yakni asas yang terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata ayat 1 yang berbunyi: “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya‟.

Pengertiannya adalah bahwa para pihak diberikan kebebasan dalam menetapkan sendiri hukum yang berlaku bagi mereka. Jadi dalam hal ini perjanjian yang dibuat para pihak tadi adalah merupakan juga undang-undang. Perbedaannya hanya terletak pada, perjanjian yang hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.