• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM PERTANGGUNGJAWABAN DAN GAMBARAN UMUM

D. Pengertian pertanggungjawaban dan pertanggungjawaban

Pertanggung jawaban adalah suatu sikap atau tindakan untuk menanggung segala akibat dengan perbuatan atau segala resiko ataupun kosekuensinya. Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability

merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan,

kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.

Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:

a) Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.

b) Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.

Pertanggungjawaban perusahaan angkutan terhadap korban kecelakaan di tinjau dari hukum perdata. Menurut pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:

2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian)

3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Maka model tanggungjawab hukum adalah sebagai berikut

1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata.

2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam pasal 1366 KUHPerdata.

3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam pasal 1367 KUHPerdata.

Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) sebelum tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut arti secara sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat.

Pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan antara lain sebagai berikut :

“Bahwa dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban

hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan baik, pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain,berkewajiban membayar ganti kerugian”.

Dengan meninjau perumusan luas dari onrechmatige daad, maka yang termasuk perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan :

1. Bertentangan dengan hak orang lain, atau

2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau 3. Bertentangan dengan kesusilaan baik, atau

4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.18

Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata, sebagai berikut :

“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati - hatinya”.

Dengan demikian dalam kebanyakan hal badan hukum sendiri telah melakukan perbuatan melawan hukum dan pertanggungjawabannya secara langsung adalah berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata dan bukan berdasarkan pasal 1367 KUHPerdata.

Dalam ilmu hukum, khususnya hukum pengangkutan, dikenal adanya prinsip-prinsip tanggung jawab di bidang angkutan. Prinsip-prinsip tanggung jawab ini berkaitan dengan tanggung jawab pengangkut untuk membayar ganti kerugian kepada pengguna jasa.

Beberapa prinsip tanggung jawab tersebut adalah : Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

18

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:

a. Melanggar hak orang lain

b. Bertentangan dengan kewajiban hukum yang berbuat

c. Bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat tentang diri/barang orang lain atau

d. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik.

Tafsiran ini sangat luas, sehingga dalam bidang angkutan pelanggaran peraturan lalu lintas oleh pengangkut atau oleh pegawainya juga termasuk dalam perbuatan melawan hukum, namun selama perbuatan itu tidak langsung mengenai kewajibannya terhadap pengguna jasa angkutan, merupakan tanggung jawab sendiri dari pengangkut, tetapi perbuatan tersebut harus diperhitungkan apabila karena perbuatan tersebut pihak pengguna jasa angkutan mengalami kerugian dan akan mempunyai akibat terhadap masalah tanggung jawab pengangkut terhadap pengguna jasa angkutan.

Akibat terpenting yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata adalah tanggung jawab piak yang melakukan perbuatan melawan hukum, berupa kewajibannya membayar ganti kerugian. Dapat dikemukakan bahwa tanggung jawab menurut pasal tersebut adalah tanggung

jawab berdasarkan atas kesalahan yang harus dibuktikan oleh pihak yang menuntut ganti kerugian. Selain itu menurut pasal 1366 KUHPerdata, tanggung jawab seseorang bisa juga diakibatkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.

Pada prinsip ini jelas bahwa beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, artinya pihak yang dirugikan yang harus membuktikan bahwa kerugiaannya diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1865 KUHPerdata : “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atu guna meneguhkan haknya sendiri atau membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut’’.

Dalam praktek, prinsip tanggung jawab dalam KUHPerdata ini tidak berperan dalam bidang angkutan, karena telah diatur dalam berbagai lex specialis. Sebuah catatan yang perlu dikemukakan adalah bahwa dilihat dari pihak yang terlibat, agaknya berat bagi seorang pengguna jasa angkutan, untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi pengguna jasa, apalagi pada moda angkutan dengan teknologi yang canggih seperti pesawat udara.

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat (Pengangkut) selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability” adalah penting, karena ada kemungkinan

tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian.

Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat. Prinsip ini didasarkan pada perjanjian pengangkutan, akan tetapi pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa :

1) Kerugian yang disebabkan oleh malapetaka yang selayaknya tidak dapat di cegah atau dihindarinya atau berada diluar kekuasaannya

2) Ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian

3) Kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya

4) Kerugian di timbulkan oleh kelalaian atau kesalahan dari penumpang sendiri atau karena, cacat, sifat atau mutu barng yang diangkut.19

Dasar-dasar dari prinsip praduga bahwa pengangkut selalu bertanggung jawab, mula - mula harus dikemukakan bahwa praduga pengangkut selalu bertanggung jawab tidak sama dengan praduga bahwa pengangkut bersalah, karena unsur kesalahan inilah yang tidak menentukan dalam hal ada atau tidaknya tanggung jawab pengangkut. Menurut prinsip “Praduga bahwa pengangkut selalu bertanggung jawab’’, pengangkut bertanggung jawab dengan tidak mempersoalkan, apakah pengangkut bersalah atau tidak,dengan kata lain,unsur kesalahan tidak menentukan ada atau tidaknya tanggung jawab pengangkut. Maka dasar dari prinsip ini sudah pasti bukanlah suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan pengangkut.

19

Tanggung jawab pengangkut bukan atas perbuatan melawan hukum (delictual liability),

kemungkinan yang lain hanyalah bahwa tanggung jawab pengangkut berdasarkan suatu kontrak atau perjanjian (contractual liability), yaitu tanggung jawab pengangkut yang mengadakan perjanjian dengan pengguna jaasa, bila perjanjian tersebut tidak dipenuhi, kurang dipenuhi atau terlambat dipenuhi.

Adapun alasan-alasan untuk mempergunakan prinsip praduga bahwa pengangkut selalu dianggap bertanggung jawab dan beban pembuktian diletakkan pada pengangkut didasarkan pada teori-teori :

a) Pengangkut dalam menjalankan usahanya dapat menimbulkan bahaya terhadap pihak lain

b) Pengangkut harus memikul resiko untuk usaha-usaha yang dijalankannya c) Pengangkut mendapat keuntungan dari usahanya

d) Dipergunakan alat angkut, sehingga segala kerugian yang disebabkan oleh alat angkut harus ditanggung oleh pengangkut.20

Dengan demikian dalam prinsip ini,adanya tanggung jawab, tidak tergantung pada adanya kesalahan dari pengangkut, karena apabila ada kesalahan dari pengangkut, maka prinsip “Praduga bahwa pengangkut selalu bertanggung jawab’’ tidak berlaku lagi dan unsur kesalahan ini harus dibuktikan oleh pihak yang dirugikan, dengan kata lain tanggung jawab pengangkut tidak merupakan praduga (presumed) lagi. Hal ini tentunya dapat merubah tanggung jawab pengangkut berdasarkan kontrak atau perjanjian menjadi tanggung jawab berdasarkan atas kesalahan atau perbuatan melawan hukum. Antara prinsip based on fault dengan prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu bertanggung jawab” tersebut mempunyai perbedaan yang sangat mendasar,yaitu prinsip based on fault tidak didasarkan pada adanya suatu kontrak atau perjanjian dan beban pembuktiannya ada pada pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah pihak

20

pengguna jasa angkutan, sedangkan prinsip “praduga bahwa pengangkut selalu bertanggung jawab” selalu didasarkan pada adanya suatu kontrak atau perjanjian dan beban pembuktiannya terletak pada pengangkut.

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada konsumen.

Prinsip presumption of non liability mempunyai persamaan dengan prinsip based on fault, yaitu pihak yang harus membuktikannya adalah pihak penumpang atau pihak ketiga,sebagai pihak yang dirugikan, tetapi juga mempunyai perbedaan, yaitu pada prinsip based on fault tidak didasarkan pada perjanjian,sedangkan pada presumption of non liability, didasarkan pada perjanjian.

Prinsip bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab pada dasarnya dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Dapat diterapkan dalam keadaan netral atau normal atau tidak terdapat hal-hal yang istimewa, sehingga dalam hal yang demikian tidak ada persoalan beban pembuktian

b. Pengangkut tidak bertanggung jawab dalam hal-hal yang sama seperti pada pengangkutan penumpang dan barang, yaitu apabila pengangkut dapat membuktikan :

1. Ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah timbulnya kerugian

2. Ia tidak mungkin mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah timbulnya kerugian

3. Adanya kesalahan penumpang sendiri atau penumpang lain.

a. Pengangkut bertanggung jawab jika penumpang dapat membuktikan adanya perbuatan sengaja atau kesalahan berat dari pengangkut

b. Pengangkut bertanggung jawab jika penumpang dapat membuktikan apabila penumpang telah mengambil semua tindakan yang perlu, tetapi ada kelalaian dari pengangkut.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas.

Ada pendapat yang menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian- pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.

5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya ditentukan, bila film yang ingin dicuci atau dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.21

Dalam ketentuan pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan Konsumen ditentukan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan. Dalam kaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris maka diperlukan tanggung jawab profesional berhubungan dengan jasa yang diberikan. Menurut Komar Kantaatmaja sebagaimana dikutip oleh Shidarta menyatakan tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggung jawab profesional ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa profesional) tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.

21

Tanggung jawab (responsibility) merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasa n lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektualnya. Tanggung jawab dalam arti hukum adalah tanggung jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan dalam arti tanggung jawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya.

Untuk memberikan pelayanannya, profesional itu bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena sekedar hobi belaka. Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggung jawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan berdosa kepada Tuhan.

BAB III

PROSES PENANGANAN PERUSAHAAN ANGKUTAN TERHADAP PENUMPANG YANG MENGALAMI KECELAKAAN MENURUT HUKUM PERLINDUNGAN

KONSUMEN

A.Hak Dan Kewajiban Penumpang Yang Mengalami Kecelakaan Menurut

Perlindungan Konsumen

Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yg dilakukan dengan tanggung jawab.22

Sebagaimana telah dikemukakan, konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksi ekonomi yang hak-haknya sering diabaikan (oleh sebagian pelaku usaha). Akibatnya, hak-hak konsumen perlu dilindungi. Dibagian ini dibahas aspek-aspek yang berkenaan dengan konsumen. Sebelum masuk kesana, perlu dikemukakan terlebih dahulu defenisi “konsumen” tersebut.

Perlindungan konsumen diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap pelaku usaha dan konsumen sekaligus. Perlindungan konsumen sebenarnya tidak hanya bermanfaat bagi kepentingan konsumen, tetapi juga bagi kepentingan pelaku usaha. Dalam hal pelaku usaha berbuat curang, maka yang dirugikan tidak hanya pihak konsumen, tetapi juga merugikan pelaku

22

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm 35

usaha yang baik. Demikian juga jika ada konsumen yang curang, hal itu tidak hanya akan merugikan pelaku usaha, tetapi juga merugikan konsumen yang baik.23

Menurut Undang-undang perlindungan konsumen pada pasal 1 angka 2, “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup dan tidak untuk diperdagangkan”.

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.24

Hak Konsumen berdasarkan UU No. 8 Tahun 2009 tentang perlindungan konsumen dalam pasal 4 disebutkan sejumlah hak konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum, yaitu :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa 2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi

serta jaminan yang dijanjikan

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa 4. Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut

6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif

23

Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013 hlm 87

24

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.25

Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. Undang Undang No 8 Tahun 2009 ini juga berguna untuk landasan bagi konsumen dan lembaga perlindungan konsumen untuk memberdayakan dan melindungi keperluan konsumen, serta membuat pelaku usaha lebih bertanggung jawab akan produk barang atau jasa yang dihasilkan. Perjalanan perlindungan konsumen di Indonesia memang masih panjang dan berliku. Namun bagaimana pun juga pemberlakukan Undang-Undang perlindungan konsumen merupakan langkah awal yang amat progressive (berpikir sangat maju ) bagi pemberdayaan konsumen Indonesia dimasa yang akan datang. Apabila pelaku usaha kita telah secara konsisten melaksanakan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tersebut maka pada gilirannya konsumen Indonesia akan secara otomatis terlindungi.

Sementara kewajiban konsumen sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :

a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan bagi konsumen

Dokumen terkait