• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Tinjauan Kepustakaan

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana.30

Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakan dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan “ merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat

Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana.

31

Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena telah melakukan tindak pidana

. Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang ojektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada siterdakwa.

32

30

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana , Jakarta, Rineka Cipta, 1993, Hal.155

31

Prof. Mr. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Aksara Baru, 1983, Hal.75

32

Ibid hal. 76

. Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu

asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya sipembuat adalah asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.33 Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law sistem. Sejak abad kedua belas, dalam hukum pidana negara-negara common law sistem, berlaku maksim latin yaitu actus non est reus, nisi mens sit rea.34

Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawaban Suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi, lain hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut.

33

Dr. Chairul Huda, S.H, M.H., Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Prenada Media, 2006, Hal.4

34

pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan doktrin mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law system.

Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis35

Dipisahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu pengkajian lebih

, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah apakan orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain.

Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain, walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak diliputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan.

35

lanjut. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena itu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, pertama-tama dilakukan dengan menelusuri penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebut terdapat dalam putusan pengadilan.

Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian. Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukan pandangan yang normatif mengenai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin daripada terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batinnya itu, apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan.

Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijtbaarheid) dan dapat dihindari (vermijdbaarheid) perbuatan yang dilakukan.36

36

Prof. Mr. Roeslan Saleh, op.cit, Hal.77

Pompe mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya dia adalah dapat dihindarinya kelakuan yang melawan hukum itu. Karena kehendak si pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini dapat dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan

menyebabkan atau mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si pembuat itu bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum oleh karena dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum. Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya, itu dapat dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat dihindari. Menurut Pompe, kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi obyek hukum.

Simons mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.37

a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu

Jadi yang harus diperhatikan adalah:

b.Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.

Dua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya terjalin erat satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang merupakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.

Mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan bertanggung jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alas an pemaaf, sehingga mampu bertanggung jawab, mempunyai kesengajaan atau kelapaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan. Tiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu

37

bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bertanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.

Selanjutnya, tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah:

a. Melakukan perbuatan pidana b.Mampu bertanggung jawab

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan d.Tidak adanya alasan pemaaf

Telah dikatakan diatas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa dalam ilmu hukum pidana merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab, apakah yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah?

Dalam hukum positif kita, yaitu dalam pasal 44 KUHP dinyatan bahwa:

“Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan karena pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak dipidana.”

Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam pasal 44 KUHP, maka tidak dapat dipidana.

Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai orang yang mampu bertanggung jawab. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat.

Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggung jawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu38

a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya :

b.Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat

c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas

38

mana diperbolehkan dan mana yang tidak.

3. Pengertian Dan Jenis-jenis Senjata Api Yang Digunakan Oleh Aparat

Dokumen terkait