• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGGUNAAN SENJATA API YANG TIDAK

A. Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan

berlaku dalam penggunaan senjata api, penggunaan senjata api tanpa prosedur juga melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu hak hidup seseorang sekalipun orang tersebut merupakan seorang pelaku kejahatan atau tersangka.

b. Seperti yang diketahui dan patut direnungkan oleh aparat bahwa mereka memiliki fungsi sebagai pelindung masyarakat. Jadi apabila penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur ini tidak segera dibenahi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia maka rakyat tidak akan pernah mempercayai kinerja aparat. Dimana tindakan aparat yang overacting terhadap

11

M.Khoidin Sadjijono, Mengenal FigurPolisi kita, Yogyakarta, LaksBang Pressindo, 2007, Hal.6

kekuasaan yang dimiliki akan membekas dihati masyarakat sehingga menimbulkan sikap apriori dan penilaian sama rata bahwa semua polisi berperilaku jelek, masyarakat menutup mata bahwa masih banyak polisi yang berprilaku baik.12

Kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian banyak terjadi di Sumatera Utara, salah satunya adalah kasus penembakan yang terjadi di Binjai.

13

1. Bagaimanakah pengaturan kepemilikan dan penggunaan senjata api bagi anggota Polisi Republik Indonesia?

Dimana, aparat kepolisian Binjai yang tengah melaksanakan tugas menangkap beberapa orang yang dicurigai/diduga sebagai pelaku perampokan, melakukan penembakan. Akibat peristiwa tersebut seorang masyarakat sipil menjadi korban karena terkena tembakan dari aparat kepolisian.

Berdasarkan hal ini maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang berkaitan dengan penggunaan senjata api tanpa prosedur.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur adalah sebagai berikut:

2. Mengapa penggunaan senjata api tanpa prosedur termasuk kepada suatu tindak pidana dan tindak pidana apa saja yang dapat ditimbulkan oleh

12

Bibit Samad Rianto, Pemikiran Menuju Polri Yang Profesional, Mandiri, Berwibawa Dan Dicintai Rakyat, Jakarta, Restu Agung, 2006, Hal. 7

13

tanggal 25 Agustus 2007

penggunaan senjata api tanpa prosedur?

3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap aparat kepolisian Republik Indonesia yang menggunakan senjata api tanpa prosedur?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kepemilikan dan penggunaan senjata api bagi anggota Polisi Republik Indonesia?

2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tindak pidana penggunaan senjata api tanpa prosedur dan tindak pidana apa saja yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan senjata api tanpa prosedur oleh aparat kepolisian?

3. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap aparat kepolisian Republik Indonesia yang menggunakan senjata api tanpa prosedur?

D. Manfaat Penulisan

1. Adapun manfaat teoritis dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.1 Dapat memberikan informasi, baik kepada kalangan akademis maupun untuk

kalangan masyarakat tentang pentingnya untuk mengetahui pada saat kapan aparat boleh mempergunakan senjata api sehingga masyarakat dapat menuntut apabila terjadi penggunaan senjata api oleh aparat tanpa prosedur.

1.2 Dapat memberikan informasi kepada kita semua, bahwa tindakan penggunaan senjata api tanpa prosedur oleh aparat merupakan suatu tindak pidana dan merupakan pelanggaran HAM berat yang harus ditindak dengan keras agar

aparat jera.

2. Adapun manfaat praktis dari penulisan skripsi ini adalah:

2.1 Untuk dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana penggunaan senjata api tanpa prosedur oleh aparat kepolisian, agar pihak Polisi Republik Indonesia (Polri) melalui Polisi Daerah (Polda) masing-masing lebih peka terhadap situasi dan perkembangan yang terjadi.

2.2 Agar Polisi Republik Indonesia melaksanakan peraturan yang berlaku dalam prosedur kepemilikan dan penggunaan senjata api oleh anggotanya.

2.3 Agar Polisi Republik Indonesia mengawasi anggotanya dalam menggunakan senjata api, menindak dengan tegas anggota Polisi Republik Indonesia yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan prosedur.

E. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur” sepengetahuan penulis belum ada penulis lain yang mengemukakannya, dan penulis telah mengkonfirmasikannya kepada Sekretariat Departemen Pidana.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Dan Unsur-unsur Tindak Pidana A. Pengertian tindak pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar Feit”. Strafbaar Feit terdiri dari 3 (tiga) kata yakni Straf, Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar

diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim digunakan dan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan.14

Tindak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen). Padahal pengertian yang sebenarnaya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif.

Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun masih diperdebatkan ketepatannya.

15

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya melakukan suau perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan

Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil sebagimana diatur dalam pasal 362 KUHP atau merusak yang diatur dalam pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak menolong sebagaimana diatur dalam pasal 531 KUHP atau perbuatan membiarkan yang diatur dalam pasal 304 KUHP.

14

Drs. Adami Chazawi, S.H, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002, Hal. 67

15

perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.

Simon mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.16 Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.17

Menurut ahli hukum pidana Indonesia, Komariah E.Saprdjaja bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.18

Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan mendasar Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.

Seperti sebelumnya telah disinggung dalam pembahasan tentang pertanggungjawaban pidana, terdapat pemisahan antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana.

16

Chairul Huda, op.cit, Hal. 25

17

Ibid

18

dalam hukum pidana. Saner, berpendapat bahwa hal itu berkaitan dengan, onrecht, schuld, dan strafe. Sementara itu, Packer menyebut ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime, responsibility, dan punishment.

Menurut Soedarto, persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Dengan kata lain, masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Pembedaan ini, menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaimana teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak pidana. Dengan kata lain, perlu pengkajian untuk menemukan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.

Teori yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bertitik tolak dari pandangan bahwa, unsur tindak pidana hanyalah perbuatan, dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut.

Dengan adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain,

the rules which tell all of us what we can and cannot do. Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, ditinjau dari tujuan-tujuan prevensi, aturan hukum yang memuat rumusan tindak pidana juga berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat untuk sejauh mungkin menghindar dari melakukan perbuatan tersebut, mengingat ancaman pidana yang dilekatkan padanya. Aturan tersebut berisi pedoman bertingkah laku bagi masyarakat, sehingga dilihat dari segi represif tekanannya lebih banyak pada fungsi perlindungan individu dari kesewenang-wenengan penguasa.

Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi pidana. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga keseimbangan antara tingkat ketercelaan seseorang karena melakukan tindak pidana dan penentuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya.

Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut.

Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, apabila dilihat dari konsep sistem hukum sebagaimana dikemukakan Hart, juga menyebabkan kedua hal tersebut berada pada struktur aturan yang terpisah. Dikatakannya “primary laws setting standards for behavior and secondary laws specifying what officials must or may do when they are broken.19

19

Suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hokum yang berlaku. Dalam definisi-definisi tersebut, unsur kesalahan telah dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan saja. Perbuatan disini berisi kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau kelakuan dan akibatnya. Kelakuan juga terdiri dari melakukan sesuatu (komisi) dan tidak melakukan sesuatu (omisi). Dengan demikian, tindak pidana merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbuatan tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang.

Pengertian tersebut di atas, dalam pasal 11 Rancangan KUHP dirumuskan dengan “tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.20

Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya dirumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana. Tidak mengherankan apabila terdapat berbagai rumusan tindak pidana yang memuat hal-hal diluar karakteristik perbuatan dan sanksi atas perbuatan tersebut. Dalam hal ini, berbagai tindak pidana terutama Dapat ditegaskan, sepanjang berkenaan dengan perumusan definisi tindak pidana, pikiran-pikiran untuk memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana telah menjadi bagian pembaruan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi dalam Rancangan KUHP.

20

yang terdapat dalam KUHP, perumusannya tidak sejalan dengan teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan demikian, pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Dengan delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidana berisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materil, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan.

Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakikatnya undang-undang jusrtu memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, rumusan tentang tindak pidana berisi tentang kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajiban disini, menurut Wilson bukan hanya bersumber dari ketentuan undang-undang, dapat kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian ataupun kewajiban yang timbul di luar perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari hubungan-hubungan yang khusus, atau kewajiban untuk mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban-kewajiban lain yang timbul dalam hubungan sosial.21

B. Unsur-unsur tindak pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yaitu: a. Unsur tindak pidana dari sudut teoritis

21

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah22 1. Perbuatan

2.Yang dilarang (oleh aturan hukum)

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.

Tresna menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah:23 1. Perbuatan atau rangkaian perbuatan

2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 3. Diadakan tindakan penghukuman

Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan dengan demikian dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dijatuhkannya pidana.

Sedangkan menurut Vos unsur-unsur tindak pidana adalah:24 1. Kelakuan manusia

22

Adami Chazawi, Op.cit, Hal. 79

23

Ibid

24

2. Diancam dengan pidana

3. Dalam peraturan perundang-undangan

b. Unsur-unsur tindak pidana dalam undang-undang

Dari rumusan-rumusan tindak pidana dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 (delapan) unsur tindak pidana, yaitu:

1. Unsur tingkah laku

Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah laku unsur mutlak tindak pidana. Jika ada rumusan tindak pidana tanpa mencantumkan unsur tingkah laku, misalnya pasal 351 KUHP tentang penganiayaan adalah suatu pengecualian dengan alasan tertentu dan tidak berarti tindak pidana itu tidak terdapat unsur perbuatan, unsur itu telah ada dengan sendirinya didalamnya, dan wujudnya tetap harus dibuktikan di sidang pengadilan untuk menetapkan telah terjadinya penganiayaan.

2. Unsur sifat melawan hukum

Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan, adalah dilarang baik dalam undang-undang maupun menurut masyarakat.

melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan. Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan sebagai dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan perundang-undangan (menjadi tindak pidana), tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu dicantumkan ataukah tidak dalam rumusan maka dengan demikian tindak pidana itu sudah mempunyai sifat melawan hukum, artinya melawan hukum adalah unsur mutlak dari tindak pidana.

Mencantumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana tercermin dalam keterangan risalah penjelasan Wvs Belanda, ialah adanya kekhawatiran bagi pembentuk Undang-undang, jika tidak dimuatnya unsur melawan hukum, akan dapat dipidananya pula perbuatan lain yang sama namun tidak bersifat melawan hukum. Adalah wajar dan dapat dimengerti pendirian pembentuk Undang-undang ini, mengingat hukum pidana menganut sifat melawan hukum formil dalam hal pemidanaan (dalam arti positif) sebagaimana termuat secara tegas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.

Sifat terlarang yang bagaimana yang harus dibuktikan tidak sama bagi setiap tindak pidana, dan bergantung pada redaksi rumusan dan paham yang dianut, contohnya sifat terlarang dalam perbuatan mengambil pada pencurian, bagi paham sifat melawan hukum obyektif adalah terletak pada tidak ada izin dari sipemilik benda, dan inilah yang harus dibuktikan. Tetapi bagi paham melawan hukum subyektif, melihat dari rumusan (maksud untuk memiliki dengan melawan

hukum), yang harus dibuktikan ialah keadaan batin ketika sebelum berbuat, ialah berupa kesadaran bahwa mengambil barang milik orang lain itu adalah terlarang atau tercela. Unsur batinlah yang menyebabkan perbuatan mengambil tersebut menjadi bersifat melawan hukum, karena selain tercela menurut masyarakat juga tercela menurut undang-undang.

3. Unsur kesalahan

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif, bergantung pada redaksi rumusan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak pidana tersebut.

Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsur tadi dengan keadaan batin pembuatnya inilah, pertanggungjawaban dapat dibebankan pada pelaku. Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi pidana. Adapun yang termasuk kesalahan dalam arti luas adalah:

a. Kesengajaan

Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan. Didalam Memori van Toelichting (MvT) WvS Belanda ada sedikit keterangan mengenai kesengajaan, yang menurut Moeljatno menyatakan “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan

yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”25 Kesengajaan ada 3 (tiga) bentuk, yaitu

.

26

 Kesengajaan sebagai maksud,

:

Sama artinya dengan menghendaki untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukm (tindak pidana pasif), dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materil).

 Kesengajaan sebagai kepastian,

Adalah berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu.

 Kesengajaan sebagai kemungkinan

Ialah kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan itu.

b.Kelalaian

Undang-undang juga tidak memberikan definisi apakah kelalaian itu. Hanya dalam Memori Penjelasan (MvT) menyatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan27

25

Adil Matogu, Kajian Hukum Lingkungan Terhadap Perusakan Hutan di Kawasan Hutan Lindung Tormatutung Kisaran Sumatera Utara (Skripsi), 2007

26

Ibid

27

Ibid, Hal.55

. Meskipun demikian, kelalaian itu dipandang lebih ringan dibandingkan dengan sengaja. Kelalaian ini merupakan unsur batin, bisa

berupa kehendak, pengetahuan, perasaan dan lain sebagainya yang dapat menggambarkan perihal keadaan batin manusia. Apabila kemampuan berpikir, berperasaan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya maka disebut sebagai kelalaian.28

4.Unsur akibat konstitutif

Unsur akibat konstitutif terdapat pada:

a. Tindak pidana materil atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana.

Dalam tindak pidana materil, timbulnya akibat itu bukan untuk memberatkan pertanggungjawaban pidana, dalam arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak pidana. Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstitutif pada tindak pidana materil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi hanyalah percobaan.

b.Tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana

Unsur akibat sebagai syarat memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai.

c. Tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat Tanpa timbulnya akibat dari perbuatan yang dirumuskan dalam undang-

undang tidak pidana, baru dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul.

28

Tindak pidana materil dimana unsur akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, berbeda dengan tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai pemberat pidana atau tindak pidana yang dikualifiser oleh akibatnya. Perbedaan itu adalah dalam tindak pidana materil, jika akibat itu tidak timbul, maka tindak pidana itu tersebut tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan. Tetapi jika akibat tidak timbul pada tindak pidana dimana akibat sebagai syarat pemberat pidana, maka tidak terjadi percobaan, tetapi yang terjadi adalah tindak pidana selesai yang lain.

Dokumen terkait