• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur (Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

Mei Rini : Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA POLRI TERHADAP PENGGUNAAN SENJATA API TANPA PROSEDUR

(Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH: MEI RINI NIM: 030200064

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA POLRI TERHADAP PENGGUNAAN SENJATA API TANPA PROSEDUR

(Studi Terhadap Putusan PN BINJAI No.239/Pid.B/2007/PN-Binjai) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH: MEI RINI NIM : 030200064

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh:

Ketua Departemen

Abul Khair SH.M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Madiasa Ablisar,SH.M.Hum M.Eka Putra,SH. M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih dan karunia-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “ Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur ( Studi Kasus terhadap Putusan PN BINJAI No. 23/Pid.B/2007/PN-Binjai).”

Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam pembuatan skripsi ini penulis tidak sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada:

1. Bapak Prof. Runtung, S.H.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof.Suhaidi, S.H.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, S.H.M.Hum, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Muhammad Husni, S.H.M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta seluruh dosen pengajar dan staf pegawai, yang mendukung penulis dalam perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

3. Pidana, yang mendukung penulis dalam pemilahan judul dan penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. 4. Bapak Madiasa Ablisar, S.H.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang

membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak M. Eka Putra, S.H.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini hingga selesai.

6. Bapak Makdin Amrin Munthe, S.H.MH, selaku dosen wali penulis yang telah membimbing penulis selama menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Kedua orang tua ku, J. Marpaung dan Mama R. Siahaan, untuk semua dukungannya baik moril dan materil dan untuk semua nasehat serta semangatnya, makasih ma, pak aku mengasihi kalian. Juga untuk adik-adik ku: Ganda ( Jacky), Sanny, Donna dan si bungsu kami Novita. Aku mengasihi kalian semua, semangat ya belajarnya.

8. Semua teman-teman kuliah dan teman pelayanan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Demikian skripsi ini penulis selesaikan, semoga bermanfaat. Sekian dan terima kasih.

Medan, Desember 2007

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... .. iii

ABSTRAKSI ... .. vi

BAB I PENDAHULUAN ... .. 1

A. Latar Belakang ... . 1

B. Perumusan Masalah ... .... 10

C. Tujuan Penulisan ... ... 11

D. Manfaat Penulisan ... 11

E. Keaslian Penulisan ...….. 12

F. Tinjauan Kepustakaan ...….. 12

1. Pengertian Dan Unsur-unsur Tindak Pidana... 12

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ...….. 27

3. Pengertian Dan Jenis-jenis Senjata Api Yang Digunakan Oleh Aparat Kepolisian ...….. 34

4. Pengertian Anggota Polisi Negara Republik Indonesia... ….. 35

G. Metode Penelitian ... ….. 36

H. Sistematika Penulisan ... ….. 38

BAB II PENGATURAN KEPEMILIKAN SENJATA API BAGI ANGGOTA POLRI ... ….. 41

(6)

B. Prosedur Penggunaan Senjata Api Bagi Anggota Polri ... ….. 44

C. Tujuan Pengaturan Penggunaan Senjata Api Bagi Anggota Polri … 60

BAB III PENGGUNAAN SENJATA API YANG TIDAK SESUAI DENGAN PROSEDUR SEBAGAI SUATU TINDAK PIDANA ... ….. 65

A. Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur Sebagai Suatu Tindak Pidana ... ….. 65

B. Tindak Pidana Yang Ditimbulkan Oleh Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur ... ….. 72

C. Unsur Melawan Hukum Dari Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur ...….. 82

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGUNAAN SENJATA API YANG TIDAK SESUAI DENGAN PROSEDUR ... ….. 86

A. Pihak Yang Berwenang Melakukan Penyidikan Terhadap Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur ..….. 86

B. Pertanggungjawaban Pidana Dan Sanksi Pidana Penggunaan Senjata Api Yang Tidak Sesuai Dengan Prosedur ...….. 94

C. Kasus Dan Tanggapan Kasus ...….. 99

BAB V PENUTUP ...….. 109

A. Kesimpulan ...….. 109

B. Saran ...….. 110 DAFTAR PUSTAKA

(7)

ABSTRAKSI

Pengadaan kepolisian Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Akan tetapi dalam melaksanakan tugasnya tersebut, aparat kepolisian sering melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh aparat kepolisian ketika melaksanakan tugasnya adalah penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur. Salah satu dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian adalah memudarnya wibawa polisi yang mengarah kepada suatu instabilitas keamanan yang akan mendorong terjadinya tindakan anarkis dari masyarakat. Kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur banyak terjadi di Sumatera Utara, salah satunya yang terjadi di daerah Binjai yang dilakukan oleh aparat kepolisian Binjai ketika sedang melaksanakan tugas menggerebek kawanan perampok. Akibat peristiwa ini seorang masyarakat sipil menjadi korban.

Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan kepolisian. Sedangkan penelitian lapangan yaitu penelitian yang dilakukan dengan mendatangi objek penelitian untuk mengadakan wawancara.

Data yang digunakan adalah data sekunder berupa dokumen-dokumenresmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, artikel-artikel dari majalah atau Koran dan data-data lainnya yang diperoleh melalui situs internet, kemudian data-data tersebut diolah secara kualitatif.

Untuk menanggulangi terjadinya penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur, Dewan Umum PBB telah menetapkan suatu Resolusi tentang penggunaan kekerasan dan senjata api yaitu Resolusi 34/168 Dewan Umum PBB tentang Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api, dan sebagai salah satu negara anggota PBB, sebagaimana negara-negara anggota lainnya, Indonesia khususnya Polri mempunyai kewajiban untuk mengadopsi saran-saran PBB mengenai pelaksanaan tugas-tugas kepolisian di dunia khususnya yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia bagi penegak hukum. Selain itu pemerintah juga telah membentuk suatu undang-undang tentang kepolisian yang mengatur tentang pelaksanaan tugas kepolisian yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002.

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengadaan kepolisian oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia menurut Ali Subur dkk, sebenarnya lebih didasari adanya kepentingan untuk mengamankan tanah jajahan yang semakin meluas, dimana aparat kepolisian bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum untuk mengamankan kerja-kerja pemerintah kolonial.1

Di bawah kekuasaan gubernur jenderal, kepolisian kolonial barangkali dapat dianggap “sudah bekerja” secara profesional dimana mereka difungsikan untuk menumpas kerusuhan, kriminalitas, dan ancaman dalam negeri dengan perintah dan otoritas penuh gubernur jenderal.

Tidak ada keterangan yang cukup jelas mengenai kinerja kepolisian kolonial di Indonesia, terutama berkaitan dengan kerja-kerja polisionilnya.

2

Pada masa penjajahan Jepang, kepolisian dimasukkan dalam salah satu Departemen yang dipimpin oleh seorang Direktur Jepang, setelah sebelumnya terjadi penangkapan besar-besaran terhadap kepolisian berkebangsaan Belanda. Dalam administrasi pemerintah Kolonial, kepolisian ditempatkan di bawah Departemen Pemerintah Dalam Negeri (Departement van Binnenlandsch Bestuur) sebagai Dinas Kepolisian Umum (Dienst der Algemene Politie).

1

Ali Subur dkk, Pergulatan Profesionalisme Dan Watak Pretorian (Catatan Kontras Terhadap Kepolisian), Kontras, 2007, Hal.4

2

(9)

Sistem kepolisian yang berlaku sepenuhnya merupakan sistem pemerintahan Militer Jepang.

Beberapa waktu setelah Proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan memutuskan untuk menempatkan kepolisian sebagai bagian dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, sebagaimana kepolisian berada di dalam Departemen Dalam Negeri Pemerintah Hindia Belanda sebelum pemerintah Jepang berkuasa.

Pembentukan lembaga kepolisian dua hari setelah proklamasi kemerdekaan ini tampaknya berangkat dari kesadaran para pendiri negara akan pentingnya lembaga kepolisian dalam suatu negara yang mengemban tugas untuk menjaga ketertiban masyarakat, mengayomi masyarakat dan menegakkan hukum dalam suatu negara yang merdeka dan berdaulat.3

Pada tanggal 1 Juli 1946 Jawatan Kepolisian Negara berdiri sendiri dan langsung bertanggung jawab kepada kepala Pemerintahan yaitu Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Perubahan ini didasari semakin meluasnya tuntutan peran dan tugas Kepolisian Negara, terutama dalam rangka penggalangan kekuatan menghadapi agresi militer Belanda sehingga tidak mungkin untuk tetap dipertahankan berada di bawah Departemen Dalam Negeri.4

Awal tahun 1960, MPRS menetapkan Kepolisian Negara diintegrasikan ke dalam wadah Angkatan Bersenjata, bersama-sama dengan TNI AD, TNI AL dan Sejak saat itu tanggal 1 Juli diperingati sebagai Hari Bhayangkara, dengan mengambil momentum penempatan Kepolisian berada di bawah Pemerintahan Sipil Perdana Menteri sebagai hari bersejarahnya.

3

Ibid, Hal.6

4

(10)

TNI AU. Keputusan ini kemudian dipertegas dengan keluarnya Undang

undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1961.Dengan demikian, upaya untuk menciptakan Kepolisian yang berwatak militeristik sebenarnya telah terjadi sejak masa awal kemerdekaan, meskipun dengan alasan darurat perang kemerdekaan menghadapi agresi militer Belanda, sebab ternyata setelah masa darurat berakhir, keberadaan kepolisian sebagai bagian dari kekuatan militer justru semakin dikukuhkan.

Pemerintahan Orde Baru di bawah jenderal Soeharto sampai dengan tumbangnya tidak melakukan perubahan yang signifikan di tubuh Polri baik pada tingkat struktural maupun instrumental. Keppres No.52 tahun 1969 tentang perubahan lembaga kepolisian justru tetap membiarkan atau mengukuhkan kedudukan kepolisian sebagai komponen dari Angkatan Bersenjata.

Konsekuensi kedudukan Polri sebagai salah satu komponen ABRI adalah sistem-sistem yang berlaku di Polri merupakan sub sistem dari sistem yang berlaku di ABRI, meliputi sistem pembinaan personil, sistem pendidikan, sistem anggaran, sistem operasional dan sistem-sistem lainnya. Lebih jauh lagi, panglima ABRI memiliki kewenangan untuk mengendalikan langsung Polri di bawah payung ABRI.

(11)

melakukan penyidikan pelanggaran hukum tersebut. Tindak kekerasan yang dilakukan ABRI sejak awal Orde Baru dengan berpegang pada doktrin Dwifungsi menunjukan bahwa ABRI telah berpolitik dengan menggunakan “tekanan” senjata. Ketika keahlian militer adalah menggunakan senjata, maka keahlian itulah yang akan digunakan saat militer berpolitik. Militer tidak membutuhkan dukungan rakyat melalui politik, tetapi senjata. Di sinilah pelanggaran HAM dan “tekanan” senjata dianggap sebagai sebuah kewajaran.

Akibat ketidakmandirian secara kelembagaan, aparat kepolisian menjadi kehilangan profesionalisme dimana tugas-tugas penegakan hukum menjadi bias kepentingan melindungi “institusi payungnya” dalam banyak kasus pada masa Orde Baru5

Kedudukan Kapolri menjadi setingkat menteri negara seperti halnya Jaksa . Dalam kasus yang melibatkan institusi kepolisian secara langsung sebagai pelaku, apakah mungkin jika kepolisian untuk dibebani tanggung jawab penyidikan terhadap diri mereka sendiri, sementara secara institusional kepolisian seringkali berkelit dengan menyatakan bahwa tindakan mereka sudah sesuai dengan prosedur. Padahal, masyarakat tengah membutuhkan kehadiran sosok polisi yang baik, profesional dan mandiri dengan kemandirian personil, doktrin, dan sistem operasional, tanpa tekanan pihak manapun.

Secara resmi, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mulai 1 Januari 2001 tidak lagi di bawah Departemen Pertahanan, tetapi langsung berada di bawah Presiden. Perubahan struktur organisasi Kepolisian yang tidak lagi di bawan organisasi militer ini, diakui atau tidak diakui, adalah merupakan hasil dari perubahan politik yang didorong oleh elemen-elemen civil society.

5

(12)

Agung. Perubahan ini juga disertai dengan perubahan struktur kepangkatan Polri, yang tidak lagi menggunakan sistem kepangkatan militer tapi sistem kepolisian yang berlaku umum di dunia, dimana hal ini melahirkan harapan bahwa Polri dalam menjalankan tugasnya tidak lagi berwatak militeristik.

Namun, sampai saat ini hal tersebut belum dapat dilaksanakan dan dipenuhi oleh kepolisian Republik Indonesia. Dimana dalam menjalankan tugas dan fungsinya aparat kepolisian masih memakai sistem militerisme. Hal ini dapat lihat dari beberapa peristiwa yang terjadi, aparat lebih sering melakukan penembakan ketika berhadapan dengan masyarakat sipil dan dalam setiap peristiwa, masyarakat sipil selalu menjadi korban.

Meski demikian, polisi berkeras menyatakan bahwa mereka telah menerapkan standar prosedur penggunaan senjata api sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Juru bicara Mabes Polri, Sisno Adiwinoto berdalih, kasus-kasus penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh anggotanya adalah murni masalah pribadi6

Kinerja Polisi Republik Indonesia (Polri) sebagai instansi negara belum berubah, sepanjang tahun 2006 Kontras mencatat 92 kasus yang melibatkan Polri,

.

Menurut pengamat polisi, Rudi Satria kasus penembakan yang dilakukan oleh polisi terjadi akibat longgarnya pengawasan senjata api di kalangan kepolisian. Hal ini juga dapat terjadi karena tidak tegasnya prosedur kepemilikan senjata api bagi aparat kepolisian atau bahkan tidak dipenuhinya prosedur kepemilikan senjata api yang berlaku dikalangan kepolisian.

6

(13)

keterlibatannya mulai dari pelaku tunggal hingga berkelompok.7

Fakta historis yang mengarah pada perumusan jati diri yang militeristik tidak secara serta merta mampu direduksi oleh Polri dengan keluarnya Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang pemisahan POLRI dan TNI serta TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang peran TNI dan POLRI, yang kemudian dikuatkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Kenyataannya perubahan yang ada belum memenuhi harapan, sampai akhir 2005, Polri masih menggunakan watak, ideologi, dan sikap yang militeristik dalam menjalankan tugasnya. Dalam operasional banyak tindakan polisi yang secara kasat mata melanggar HAM. Memang tidak dapat disangkal bahwa dunia polisi penuh dengan kekerasan. Seperti dikatakan oleh Sutherland, seorang kriminolog Amerika Serikat, bahwa polisi dalam pekerjaan sehari-harinya sering bergaul dengan dunia kekerasan.

Kasus yang paling menonjol adalah penganiayaan sebanyak 36 kasus dan kasus penembakan menempati posisi kedua yaitu sebanyak 18 kasus, dari hal ini dapat dilihat bahwa kultur militerisme belum hilang dari tubuh Polisi Republik Indonesia. Keadaan ini mencerminkan bahwa Polri belum membangun jati dirinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, bahkan masyarakat dihantui oleh tindak militerisme dari aparat kepolisian.

8

7

www.Kontras.org/ Polisi dan Senjata Api, dikunjungi tanggal 06 Juni 2007

8

M.Khoidin Sadjijono, Mengenal Figur Polisi Kita, Yogyakarta, Laksbang Pressindo, 2007, Hal.97

(14)

sepenuhnya berada di pundak Polri. Munculnya deviasi akibat beratnya tugas yang diemban polisi adalah hal wajar. Namun institusi Polri tetap tidak boleh membiarkan penyimpangan yang dilakukan oleh anggotanya, karena dapat melukai hati rakyat.

Seperti yang diketahui, akhir-akhir ini aparat seringkali melakukan penembakan di dalam menjalankan tugasnya, padahal di dalam menggunakan senjata api, terdapat aturan-aturan tertentu yang harus dipenuhi oleh aparat, dimana senjata api hanya boleh digunakan dalam keadaan yang sangat ekstrim9

David L. Carter mengungkapkan bahwa penyimpangan polisi, dengan menyalahgunakan wewenang dan kepercayaan yang diberikan kepadanya, akan mendorong terjadinya pemudaran wibawa polisi.

. Apabila masih dapat dilakukan cara-cara yang lebih manusiawi, aparat kepolisian tidak dibenarkan menggunakan kekerasan dan senjata api.

10

Penyimpangan prilaku anggota Polri bukan saja disebabkan karena keterbatasan materi dan kurangnya kesejahteraan anggota, melainkan lebih dari itu, penanaman watak dan budaya militeristik pada pendidikan dasar menjadi satu

Memudarnya wibawa polisi akan mengarah kepada suatu instabilitas keamanan, akan mendorong tindakan anarkis dari masyarakat. Memudarnya wibawa polisi ini sama artinya menyeret Polri kembali ke dalam situasi tidak menguntungkan. Dalam konteks kekinian memudarnya pencitraan dan wibawa polisi salah satunya disebabkan oleh prilaku militeristk dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terkait dengan masih bercokolnya buda ya militeristik dalam rahim pendidikan Polri.

9

Sem Karoba, Standar HAM Internasional Untuk Penegak Hukum, Yogyakarta, Galangpress, 2007, Hal. 30

10

(15)

sumber dari prilaku menyimpang anggota Polri, khususnya pada tindakan kekerasan yang melawan prinsip dasar demokrasi dan HAM. Internalisasi demokrasi dan HAM dalam pendidikan Polri mengacu pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya pada pasal 4 yang menyebutkan diantaranya bahwa dalam melaksanakan tugas, Polri harus menjunjung tinggi HAM, serta esensi dari nilai dan prinsip demokrasi. Hal yang melatarbelakangi penulis mengangkat skripsi yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur adalah:

1. Dewasa ini banyak terjadi kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan yang menjadi korban, sebagian besar adalah dari pihak masyarakat sipil. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Kontras, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang Hak Asasi Manusia, dimana di Provinsi Sumatera Utara ditemukan sebanyak 11 (sebelas) kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian.

(16)

berusaha menutupi dan berkelit dengan mencari berbagai alasan atas tindakan bawahannya yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.11

3. Dari penelitian yang penulis lakukan, penulis dapat menyimpulkan bahwa terjadinya penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian disebabkan oleh tidak adanya peraturan nasional kita yang mengatur secara khusus dan tegas tentang prosedur penggunaan senjata api bagi aparat kepolisian. Seharusnya pemerintah meratifikasi Resolusi 34/168 Dewan umum PBB ke dalam perundang-undangan nasional.

Apabila hal ini tidak segera diatasi oleh pemerintah dan oleh lembaga kepolisian khususnya, maka aparat kepolisian akan semakin sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya khususnya dalam menggunakan senjata api.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahaya dari penggunaan senjata api tanpa prosedur adalah:

a. Penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan masalah yang kompleks karena selain bertentangan dengan peraturan yang berlaku dalam penggunaan senjata api, penggunaan senjata api tanpa prosedur juga melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu hak hidup seseorang sekalipun orang tersebut merupakan seorang pelaku kejahatan atau tersangka.

b. Seperti yang diketahui dan patut direnungkan oleh aparat bahwa mereka memiliki fungsi sebagai pelindung masyarakat. Jadi apabila penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur ini tidak segera dibenahi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia maka rakyat tidak akan pernah mempercayai kinerja aparat. Dimana tindakan aparat yang overacting terhadap

11

(17)

kekuasaan yang dimiliki akan membekas dihati masyarakat sehingga menimbulkan sikap apriori dan penilaian sama rata bahwa semua polisi berperilaku jelek, masyarakat menutup mata bahwa masih banyak polisi yang berprilaku baik.12

Kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian banyak terjadi di Sumatera Utara, salah satunya adalah kasus penembakan yang terjadi di Binjai.

13

1. Bagaimanakah pengaturan kepemilikan dan penggunaan senjata api bagi anggota Polisi Republik Indonesia?

Dimana, aparat kepolisian Binjai yang tengah melaksanakan tugas menangkap beberapa orang yang dicurigai/diduga sebagai pelaku perampokan, melakukan penembakan. Akibat peristiwa tersebut seorang masyarakat sipil menjadi korban karena terkena tembakan dari aparat kepolisian.

Berdasarkan hal ini maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang berkaitan dengan penggunaan senjata api tanpa prosedur.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur adalah sebagai berikut:

2. Mengapa penggunaan senjata api tanpa prosedur termasuk kepada suatu tindak pidana dan tindak pidana apa saja yang dapat ditimbulkan oleh

12

Bibit Samad Rianto, Pemikiran Menuju Polri Yang Profesional, Mandiri, Berwibawa Dan Dicintai Rakyat, Jakarta, Restu Agung, 2006, Hal. 7

13

(18)

penggunaan senjata api tanpa prosedur?

3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap aparat kepolisian Republik Indonesia yang menggunakan senjata api tanpa prosedur?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kepemilikan dan penggunaan senjata api bagi anggota Polisi Republik Indonesia?

2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tindak pidana penggunaan senjata api tanpa prosedur dan tindak pidana apa saja yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan senjata api tanpa prosedur oleh aparat kepolisian?

3. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap aparat kepolisian Republik Indonesia yang menggunakan senjata api tanpa prosedur?

D. Manfaat Penulisan

1. Adapun manfaat teoritis dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.1 Dapat memberikan informasi, baik kepada kalangan akademis maupun untuk

kalangan masyarakat tentang pentingnya untuk mengetahui pada saat kapan aparat boleh mempergunakan senjata api sehingga masyarakat dapat menuntut apabila terjadi penggunaan senjata api oleh aparat tanpa prosedur.

(19)

aparat jera.

2. Adapun manfaat praktis dari penulisan skripsi ini adalah:

2.1 Untuk dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana penggunaan senjata api tanpa prosedur oleh aparat kepolisian, agar pihak Polisi Republik Indonesia (Polri) melalui Polisi Daerah (Polda) masing-masing lebih peka terhadap situasi dan perkembangan yang terjadi.

2.2 Agar Polisi Republik Indonesia melaksanakan peraturan yang berlaku dalam prosedur kepemilikan dan penggunaan senjata api oleh anggotanya.

2.3 Agar Polisi Republik Indonesia mengawasi anggotanya dalam menggunakan senjata api, menindak dengan tegas anggota Polisi Republik Indonesia yang menggunakan senjata api tidak sesuai dengan prosedur.

E. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Anggota Polri Terhadap Penggunaan Senjata Api Tanpa Prosedur” sepengetahuan penulis belum ada penulis lain yang mengemukakannya, dan penulis telah mengkonfirmasikannya kepada Sekretariat Departemen Pidana.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Dan Unsur-unsur Tindak Pidana A. Pengertian tindak pidana

(20)

diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim digunakan dan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan.14

Tindak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen). Padahal pengertian yang sebenarnaya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif.

Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun masih diperdebatkan ketepatannya.

15

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya melakukan suau perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan

Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil sebagimana diatur dalam pasal 362 KUHP atau merusak yang diatur dalam pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak menolong sebagaimana diatur dalam pasal 531 KUHP atau perbuatan membiarkan yang diatur dalam pasal 304 KUHP.

14

Drs. Adami Chazawi, S.H, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002, Hal. 67

15

(21)

perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.

Simon mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.16 Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.17

Menurut ahli hukum pidana Indonesia, Komariah E.Saprdjaja bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.18

Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan mendasar Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.

Seperti sebelumnya telah disinggung dalam pembahasan tentang pertanggungjawaban pidana, terdapat pemisahan antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana.

16

Chairul Huda, op.cit, Hal. 25

17

Ibid

18

(22)

dalam hukum pidana. Saner, berpendapat bahwa hal itu berkaitan dengan, onrecht, schuld, dan strafe. Sementara itu, Packer menyebut ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime, responsibility, dan punishment.

Menurut Soedarto, persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Dengan kata lain, masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Pembedaan ini, menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaimana teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak pidana. Dengan kata lain, perlu pengkajian untuk menemukan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.

Teori yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bertitik tolak dari pandangan bahwa, unsur tindak pidana hanyalah perbuatan, dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut.

(23)

the rules which tell all of us what we can and cannot do. Aturan tersebut

menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, ditinjau dari tujuan-tujuan prevensi, aturan hukum yang memuat rumusan tindak pidana juga berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat untuk sejauh mungkin menghindar dari melakukan perbuatan tersebut, mengingat ancaman pidana yang dilekatkan padanya. Aturan tersebut berisi pedoman bertingkah laku bagi masyarakat, sehingga dilihat dari segi represif tekanannya lebih banyak pada fungsi perlindungan individu dari kesewenang-wenengan penguasa.

Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi pidana. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga keseimbangan antara tingkat ketercelaan seseorang karena melakukan tindak pidana dan penentuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya.

Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut.

Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, apabila dilihat dari konsep sistem hukum sebagaimana dikemukakan Hart, juga menyebabkan kedua hal tersebut berada pada struktur aturan yang terpisah. Dikatakannya “primary laws setting standards for behavior and secondary laws specifying what officials must

or may do when they are broken.19

19

(24)

Suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hokum yang berlaku. Dalam definisi-definisi tersebut, unsur kesalahan telah dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan saja. Perbuatan disini berisi kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau kelakuan dan akibatnya. Kelakuan juga terdiri dari melakukan sesuatu (komisi) dan tidak melakukan sesuatu (omisi). Dengan demikian, tindak pidana merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbuatan tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang.

Pengertian tersebut di atas, dalam pasal 11 Rancangan KUHP dirumuskan dengan “tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.20

Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya dirumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana. Tidak mengherankan apabila terdapat berbagai rumusan tindak pidana yang memuat hal-hal diluar karakteristik perbuatan dan sanksi atas perbuatan tersebut. Dalam hal ini, berbagai tindak pidana terutama Dapat ditegaskan, sepanjang berkenaan dengan perumusan definisi tindak pidana, pikiran-pikiran untuk memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana telah menjadi bagian pembaruan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi dalam Rancangan KUHP.

20

(25)

yang terdapat dalam KUHP, perumusannya tidak sejalan dengan teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan demikian, pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Dengan delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidana berisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materil, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan.

Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakikatnya undang-undang jusrtu memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, rumusan tentang tindak pidana berisi tentang kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajiban disini, menurut Wilson bukan hanya bersumber dari ketentuan undang-undang, dapat kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian ataupun kewajiban yang timbul di luar perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari hubungan-hubungan yang khusus, atau kewajiban untuk mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban-kewajiban lain yang timbul dalam hubungan sosial.21

B. Unsur-unsur tindak pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yaitu: a. Unsur tindak pidana dari sudut teoritis

21

(26)

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah22 1. Perbuatan

2.Yang dilarang (oleh aturan hukum)

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.

Tresna menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah:23 1. Perbuatan atau rangkaian perbuatan

2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 3. Diadakan tindakan penghukuman

Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan dengan demikian dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dijatuhkannya pidana.

Sedangkan menurut Vos unsur-unsur tindak pidana adalah:24 1. Kelakuan manusia

22

Adami Chazawi, Op.cit, Hal. 79

23

Ibid

24

(27)

2. Diancam dengan pidana

3. Dalam peraturan perundang-undangan

b. Unsur-unsur tindak pidana dalam undang-undang

Dari rumusan-rumusan tindak pidana dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 (delapan) unsur tindak pidana, yaitu:

1. Unsur tingkah laku

Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah laku unsur mutlak tindak pidana. Jika ada rumusan tindak pidana tanpa mencantumkan unsur tingkah laku, misalnya pasal 351 KUHP tentang penganiayaan adalah suatu pengecualian dengan alasan tertentu dan tidak berarti tindak pidana itu tidak terdapat unsur perbuatan, unsur itu telah ada dengan sendirinya didalamnya, dan wujudnya tetap harus dibuktikan di sidang pengadilan untuk menetapkan telah terjadinya penganiayaan.

2. Unsur sifat melawan hukum

Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan, adalah dilarang baik dalam undang-undang maupun menurut masyarakat.

(28)

melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan. Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan sebagai dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan perundang-undangan (menjadi tindak pidana), tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu dicantumkan ataukah tidak dalam rumusan maka dengan demikian tindak pidana itu sudah mempunyai sifat melawan hukum, artinya melawan hukum adalah unsur mutlak dari tindak pidana.

Mencantumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana tercermin dalam keterangan risalah penjelasan Wvs Belanda, ialah adanya kekhawatiran bagi pembentuk Undang-undang, jika tidak dimuatnya unsur melawan hukum, akan dapat dipidananya pula perbuatan lain yang sama namun tidak bersifat melawan hukum. Adalah wajar dan dapat dimengerti pendirian pembentuk Undang-undang ini, mengingat hukum pidana menganut sifat melawan hukum formil dalam hal pemidanaan (dalam arti positif) sebagaimana termuat secara tegas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.

(29)

hukum), yang harus dibuktikan ialah keadaan batin ketika sebelum berbuat, ialah berupa kesadaran bahwa mengambil barang milik orang lain itu adalah terlarang atau tercela. Unsur batinlah yang menyebabkan perbuatan mengambil tersebut menjadi bersifat melawan hukum, karena selain tercela menurut masyarakat juga tercela menurut undang-undang.

3. Unsur kesalahan

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif, bergantung pada redaksi rumusan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak pidana tersebut.

Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsur tadi dengan keadaan batin pembuatnya inilah, pertanggungjawaban dapat dibebankan pada pelaku. Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi pidana. Adapun yang termasuk kesalahan dalam arti luas adalah:

a. Kesengajaan

(30)

yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”25 Kesengajaan ada 3 (tiga) bentuk, yaitu

.

26

 Kesengajaan sebagai maksud,

:

Sama artinya dengan menghendaki untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukm (tindak pidana pasif), dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materil).

 Kesengajaan sebagai kepastian,

Adalah berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu.

 Kesengajaan sebagai kemungkinan

Ialah kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan itu.

b.Kelalaian

Undang-undang juga tidak memberikan definisi apakah kelalaian itu. Hanya dalam Memori Penjelasan (MvT) menyatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan27

25

Adil Matogu, Kajian Hukum Lingkungan Terhadap Perusakan Hutan di Kawasan Hutan Lindung Tormatutung Kisaran Sumatera Utara (Skripsi), 2007

26

Ibid

27

Ibid, Hal.55

(31)

berupa kehendak, pengetahuan, perasaan dan lain sebagainya yang dapat menggambarkan perihal keadaan batin manusia. Apabila kemampuan berpikir, berperasaan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya maka disebut sebagai kelalaian.28

4.Unsur akibat konstitutif

Unsur akibat konstitutif terdapat pada:

a. Tindak pidana materil atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana.

Dalam tindak pidana materil, timbulnya akibat itu bukan untuk memberatkan pertanggungjawaban pidana, dalam arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak pidana. Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstitutif pada tindak pidana materil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi hanyalah percobaan.

b.Tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana

Unsur akibat sebagai syarat memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai.

c. Tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat Tanpa timbulnya akibat dari perbuatan yang dirumuskan dalam undang-

undang tidak pidana, baru dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul.

28

(32)

Tindak pidana materil dimana unsur akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, berbeda dengan tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai pemberat pidana atau tindak pidana yang dikualifiser oleh akibatnya. Perbedaan itu adalah dalam tindak pidana materil, jika akibat itu tidak timbul, maka tindak pidana itu tersebut tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan. Tetapi jika akibat tidak timbul pada tindak pidana dimana akibat sebagai syarat pemberat pidana, maka tidak terjadi percobaan, tetapi yang terjadi adalah tindak pidana selesai yang lain.

5. Unsur keadaan yang menyertai

Unsur keadaan yang menyertai, adalah unsur tindak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat berupa:29

a. Mengenai cara melakukan perbuatan

b. Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan c. Mengenai obyek tindak pidana

d. Mengenai subyek tindak pidana

e. Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana f. Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana

6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan,

29

(33)

ialah berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor kejaksaan negeri.

7. Syarat tambahan untuk memperberat pidana

Mengenai syarat ini telah disinggung pada saat membicarakan unsur akibat konstitutif. Unsur adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materil.

Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini.

8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana

(34)

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana.30

Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakan dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan “ merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat

Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana.

31

Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena telah melakukan tindak pidana

. Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang ojektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada siterdakwa.

32

30

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana , Jakarta, Rineka Cipta, 1993, Hal.155

31

Prof. Mr. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Aksara Baru, 1983, Hal.75

32

Ibid hal. 76

(35)

asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya sipembuat adalah asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.33 Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law sistem. Sejak abad kedua belas, dalam hukum pidana negara-negara common

law sistem, berlaku maksim latin yaitu actus non est reus, nisi mens sit rea.34

Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawaban Suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi, lain hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut.

33

Dr. Chairul Huda, S.H, M.H., Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Prenada Media, 2006, Hal.4

34

(36)

pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan doktrin mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa

kesalahan dalam civil law system.

Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis35

Dipisahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu pengkajian lebih

, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan masalah apakan orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain.

Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain, walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak diliputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu. Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan.

35

(37)

lanjut. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena itu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, pertama-tama dilakukan dengan menelusuri penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebut terdapat dalam putusan pengadilan.

Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian. Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukan pandangan yang normatif mengenai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu

berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin daripada terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batinnya itu, apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan.

Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijtbaarheid) dan dapat dihindari (vermijdbaarheid) perbuatan yang dilakukan.36

36

Prof. Mr. Roeslan Saleh, op.cit, Hal.77

(38)

menyebabkan atau mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si pembuat itu bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum oleh karena dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum. Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya, itu dapat dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat dihindari. Menurut Pompe, kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi obyek hukum.

Simons mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.37

a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu

Jadi yang harus diperhatikan adalah:

b.Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.

Dua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya terjalin erat satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang merupakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.

Mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan bertanggung jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alas an pemaaf, sehingga mampu bertanggung jawab, mempunyai kesengajaan atau kelapaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan. Tiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu

37

(39)

bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bertanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.

Selanjutnya, tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah:

a. Melakukan perbuatan pidana b.Mampu bertanggung jawab

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan d.Tidak adanya alasan pemaaf

Telah dikatakan diatas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa dalam ilmu hukum pidana merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab, apakah yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah?

Dalam hukum positif kita, yaitu dalam pasal 44 KUHP dinyatan bahwa:

(40)

Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam pasal 44 KUHP, maka tidak dapat dipidana.

Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai orang yang mampu bertanggung jawab. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat.

Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggung jawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu38

a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya :

b.Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat

c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas

38

(41)

mana diperbolehkan dan mana yang tidak.

3. Pengertian Dan Jenis-jenis Senjata Api Yang Digunakan Oleh Aparat Kepolisian

A. Pengertian senjata api

Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976, senjata api adalah salah satu alat untuk melaksanakan tugas pokok angkatan bersenjata di bidang pertahanan dan keamanan, sedangkan bagi instansi pemerintah di luar angkatan bersenjata , senjata api merupakan alat khusus yang penggunaannya diatur melalui ketentuan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1976, yang menginstruksikan agar para menteri (pimpinan lembaga pemerintah dan non pemerintah) membantu pertahanan dan keamanan agar dapat mencapai sasaran tugasnya.

Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 pasal I ayat (2) memberikan pengertian senjata api dan amunisi yaitu termasuk juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam pasal I ayat (1) dari peraturan senjata api 1936 (Stb 1937 Nomor 170), yang telah diubah dengan ordonantie tanggal 30 Mei 1939 (Stb Nomor 278), tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senjata “yang nyata” mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan.

B. Jenis-jenis senjata api yang digunakan oleh aparat kepolisian

(42)

Semen Markas) yang memiliki peranan sebagai pemberi izin dan pengawas pemakaian senjata api oleh aparat kepolisian, maka jenis-jenis senjata api yang digunakan oleh aparat kepolisian Indonesia adalah:

A. Senjata Genggam

1. S & W (Smith Wilson) kaliber volt 38 2. Detektif

3. Komando 4. C O P 5. Cobra 6. Taurus 7. Pindat 8. N S I

B. Senjata Bahu 1. P.2

2. Rogermini 3. S K S 4. Mauser 5. L E 6. Medsen

7. S S I, dipakai oleh TNI dan Brimob untuk perang.

4. Pengertian Anggota Polisi Negara Republik Indonesia

(43)

Polisi Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indoinesia. Pasal 20 ayat (I) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa pegawai negeri sipil pada kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri atas:

a. Anggota Kepolisian republik Indonesia b. Pegawai negeri sipil

Terhadap pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (I) huruf b, berlaku ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang kepegawaian. Akan tetapi yang menjadi subjek pada penulisan skripsi ini adalah anggota kepolisian republik indonesia yang bertugas sebagai aparat penegak hukum dan diberi wewenang untuk menggunakan senjata api dalam menjalankan tugasnya.

G. Metode Penelitian

Sudah merupakan ketentuan dalam hal penyusunan serta penulisan karya ilmiah atau skripsi diperlukan metode penelitian dalam pengerjaannya. Metode penelitian sebagai suatu hal yang mempunyai cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan dan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, maka harus didukung dengan fakta-fakta/dalil-dalil yang akurat yang diperoleh dari penelitian. Sehubungan dengan itu, untuk memperoleh data dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan metode: 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

(44)

literature-literatur serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi yang akan dibahas dalam skripsi ini. Data yang diperoleh dari bahan pustaka ini dinamakan dengan data sekunder.39

2. penelitian Lapangan (Field Research)

Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, hasil penelitian yang berwujud laporan majalah, artikel dan juga berita dari internet yang bertujuan untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atau asas atau doktri yang berkenaan dengan kepolisian dan pertanggungjawaban pidana. Yang kesemuanya ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang sifatnya teoritis yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian dan menganalisa permasalahan yang dihadapi.

Selain penelitian kepustakaan, penulis juga mengadakan penelitian secara langsung ke lapangan yaitu dengan mendatangi objek penelitian untuk mengadakan wawancara terhadap beberapa aparat kepolisian di lingkungan Polda Sumut, untuk mendapatkan data-data, informasi dan keterangan-keterangan yang diperlukan dalam penulisan skripsi. Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi bertatap muda (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden. Penelitian lapangan dalam penulisan skripsi ini bersifat melengkapi data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan.

Terhadap data yang diperoleh, akan dianalisa secara kualitatif. Menurut Bogan dan Biklena analisa data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan

39

(45)

jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.40

BAB II: PENGATURAN KEPEMILIKAN SENJATA API BAGI

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Secara sistematis, menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 5 (lima) bab yang diperinci sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pada bab ini menggambarkan hal-hal yang bersifat umum Sebagai langkah awal dalam penulisan skripsi ini. Pada bab ini penulis menguraikan alas an yang menjadi latar belakang. Kemudian agar tulisan ini tidak lari dari tujuannya dalam memahami tulisan ini, maka penulis menetapkan apa saja yang menjadi permasalahan dan apa saja tujuan dan manfaat dari tulisan ini.

Dalam bab ini, penulis juga menerangkan tentang keaslian penulisan, dimana tulisan ini ditulis dan dibuat sendiri oleh penulis. Akhirnya bab ini ditutup dengan sistematika penulisan yang menerangkan bagian-bagian dari keseluruhan bab secara ringkas atau sepintas.

40

(46)

ANGGOTA POLRI

Pada bagian ini, penulis akan menguraikan gambaran tentang pengaturan kepemilikan senjata api bagi anggota Polisi Republik Indonesia, yang mengulas tentang anggota Polri yang berhak memiliki senjata api menurut peraturan yang berlaku, prosedur kepemilikan senjata api bagi anggota Polri, dan prosedur penggunaan senjata api bagi anggo ta Polri.

BAB III: PENGGUNAAN SENJATA API YANG TIDAK SESUAI DENGAN PROSEDUR SEBAGAI SUATU TINDAK PIDANA Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur sebagai suatu tindak pidana dan tindak pidana yang ditimbulkan oleh penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur.

BAB IV: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGUNAAN SENJATA API YANG TIDAK SESUAI DENGAN PROSEDUR

(47)

dengan prosedur. BAB V: PENUTUP

(48)

BAB II

PENGATURAN KEPEMILIKAN SENJATA API BAGI ANGGOTA POLRI

A. Anggota Polri Yang Berhak Memiliki Senjata Api Menurut Peraturan Yang Berlaku Dan Prosedur Kepemilikan Senjata Api Bagi Anggota Polri

1. Anggota Polri Yang Berhak memiliki Senjata Api Menurut Peraturan Yang Berlaku

Melayani dan melindungi merupakan tugas pokok polisi diseluruh dunia. Dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat, anggota polisi harus bersikap profesional. Profesionalisme anggota polisi dapat dilihat dari hasil kerja dan perilaku petugas tersebut dalam melayani masyarakat.

Dalam setiap upaya untuk memperkokoh hubungan antara warga negara dan anggota polisi, etika pribadi dan sikap anggota polisi merupakan hal yang sangat penting. Di Indonesia, setiap anggota Polri harus memahami bahwa dasar pelayanan polisi adalah semangat dan kemauan untuk melayani warga negara Indonesia guna mendapatkan rasa hormat dan kepercayaan dari masyarakat.41

Profesionalisme merupakan kemahiran dan kemampuan tinggi yang didukung oleh pengetahuan, sikap, keterampilan dan kematangan emosional dalam melaksanakan tugas di bidang masing-masing selaras dengan ketentuan hukum yang berlaku sehingga memberikan hasil kerja maksimal sesuai dengan standar internasional pekerjaannya. Profesional berarti melakukan suatu keahlian sebagai pekerjaan pokok. Sekalipun demikian profesional lebih dari sekedar ahli.

41

(49)

Seseorang dapat dikatakan profesional bila ia dapat memadukan antara ketajaman intelektual (Intelligence quation), ketajaman emosional (Emotional quation) dan ketajaman spiritual (Spiritual quation). Terdapat pula empat indikator yang dapat dilihat dalam diri seorang profesional yaitu:

a. Kompeten (competen) adalah memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap emosional yang matang.

b. Keterkaitan (connection) adalah keterkaitan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan dengan pekerjaan yang dilakukan.

c. Konsisten (consistence) adalah satunya kata dengan perbuatan secara berkesinambungan.

d. Komitmen (commitment) adalah mencintai bidang tugas yang dilakukan.

Profesionalisme, tingkah laku etis dan pemeliharaan tata cara menghadapi masyarakat oleh petugas penegak hukum harus sesuai dengan prinsip-prinsip berikut:

1. menghormati dan mentaati hukum 2. menghormati martabat setiap manusia

3. menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia

Profesionalisme polisi menyangkut pengertian profesi polisi, polisi yang profesional dan institusi kepolisian yang profesional, selain itu pengertian profesional menyangkut suatu abstraksi ideal yang menyangkut keberadaan tertentu dimana dalam menjalankan tugas dan wewenangnya akan memberikan yang terbaik dengan pedoman standar minimal yang akan diberikan kepada kepentingan umum masyarakat.

(50)

yang professional karena kepemilikan senjata api memiliki tanggung jawab yang besar, sebab tujuan dari kepemilikan senjata api bagi anggota polri adalah untuk mendukung tugas mereka, sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Profesionalisme sangat diperlukan oleh seorang anggota Polri yang akan memiliki dan menggunakan senjata api, karena profesionalisme erat kaitannya dengan kinerja anggota Polri dalam menggunakan senjata api yang dipercayakan kepada mereka.

Untuk menilai apakah seorang anggota kepolisian sudah memiliki profesionalisme sehingga layak untuk memperoleh izin kepemilikan senjata api, dapat dilihat dari test yang wajib diadakan bagi setiap anggota Polri yang akan memiliki dan menggunakan senjata api.

Peraturan yang mengatur kepemilikan senjata api baik bagi anggota polisi Republik Indonesia maupun bagi masyarakat sipil adalah Undang-undang Nomor. 12/Drt/1951 tentang senjata. Dalam pasal I ayat (1) disebutkan, barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun.

(51)

Polri yang telah mempunyai/memperoleh izin kepemilikan senjata api.

Disamping peraturan tersebut diatas, terdapat beberapa peraturan lain dalam bidang senjata api yang mengatur kepemilikan senjata api, antara lain yaitu:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1996 tentang Senjata Api Dinas Direktorat Jendral Bea dan Cukai.

2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan yang Diberikan Menurut Undang-undang Senjata Api.

3. Ordonantie Senjata Api 1937 (Stb Tahun 1937 Nomor 170) sebagaimana telah diubah dengan Ordonantie Tanggal 30 Mei 1939 (Stb Tahun 1939 Nomor 278).

4. Resolusi 34/168 Dewan Umum PBB tentang Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api Bagi Petugas Penegak Hukum.

2. Prosedur Kepemilikan Senjata Api Bagi Anggota Polri

Berdasarkan hasil interview/wawancara penulis dengan Kasat I Bagian Pidum Polda Sumut, Kumbul KS. Sik, bahwa untuk memperoleh izin kepemilikan senjata api, terdapat prosedur atau syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh anggota polisi yaitu:

a. Harus melalui izin Kasatker (Kepala Satuan Kerja) tempat personil bertugas. Dimana pimpinan tempat anggota kepolisian bertugas memberikan penilaian yang baik terhadap kinerja anggota tersebut atau keterangan bekerja baik. b. Anggot a kepolisian tersebut minimal berpangkat Bripda,

c. Mengikut i test psikologi.

(52)

Menurut Dr. Marwan,SH.MH, pengamat hukum dan kepolisian, setiap anggota kepolisian yang akan mendapatkan senjata api perlu mengikuti test psikologi.42

d. Lulus ujian tembak

Namun menurutnya test psikologi bukanlah jaminan bagi seorang aparat kepolisian untuk layak memiliki ataupun menggunakan senjata api, bisa saja dalam proses psikotest dia dikatakan layak menggunakan namun kondisi dapat berubah saat di lapangan, jadi yang harus diperhatikan adalah jangan mudah memberikan senjata api kepada anggota yang baru lulus atau belum terlatih, karena menurutnya yang sering melakukan insiden penembakan yang tidak sesuai dengan prosedur adalah oknum polisi yang berpangkat Bintara.

Menurut Dr. Marwan, SH.MH, setiap anggota kepolisian yang akan memegang atau memiliki senjata api harus dibekali dengan kemampuan menembak. Kemampuan menembak harus dipelajari saat berada dalam pendidikan, setelah pendidikan dasar polisi kembali dibekali dengan pendidikan kejuruan. Dari pendidikan itulah perlu diseleksi dengan baik, anggota mana yang perlu memiliki senjata api dan mana yang tidak yang layak untuk memiliki senjata api.

e. Test kesehatan

Test kesehatan ini sangat penting dilaksanakan dalam test kepemilikan senjata api bagi anggota Polri, karena melalui test ini dapat diketahui bagaimana sebenarnya kondisi kesehatan dari anggota kepolisian yang akan memiliki senjata api, baik test kesehatan fisik maupun test psikis. Karena kondisi kesehatan dari aparat sangat mempengaruhi nantinya dalam penggunaan

42

(53)

senjata api yang dipercayakan kepada mereka.

f. Anggota Polri tersebut bertugas di lapangan (penyidik lapangan), staf tidak layak diberikan izin kepemilikan senjata api, karena tujuan diberikannya senjata api kepada anggota kepolisian adalah untuk mendukung tugas mereka di lapangan sebagai pemelihara dan penjaga keamanan di tengah-tengan masyarakat.

g. Izin rekomendasi dari Propam (Profesi dan Pengamanan)

Izin rekomendasi ini berupa pernyataan bahwa anggota polisi tersebut berhak memiliki senjata api karena tidak pernah melakukan tindak pidana dan kesalahan lainnya dan hal ini berlaku surut. Propam merupakan penyaring terakhir dalam izin kepemilikan senjata api ini.

h. Izin dari Denma (Denta Semen Markas), dimana Kadenma akan menandatangi

Referensi

Dokumen terkait

This course will cover the basic concepts of semiotics including the nature of signs, models of signs, the signification process, typology of signs, value

Peran Baitul Maal Wattamwil (BMT) pondok pesantren Sidogiri merupakan bentuk kegiatan lembaga keuangan ekonomi mikro yang layak untuk di jadikan alternatif model untuk

Analisis SWOT kekuatan untuk elemen segmen pelanggan, proposisi nilai, saluran pemasaran memiliki kualitas hubungan yang kuat dengan segmen pelanggan maupun produk;

b. Per ilaku menghar gai dalam per gaulan di lingkungan masyar akat adalah .... Cont oh per ilaku hidup r ukun di r umah adalah .... ber musyawar ah dalam

Dalam kenyataannya yang terjadi dilapangan bahwa Notaris pada saat pembuatan akta tidak lagi memeriksa identitas diri /Kartu Tanda Penduduk penghadap sebagai

Hasil analisis pada Tabel 1 menunjukkan bahwa atribut sayuran indijenes katuk yang dianggap paling penting adalah daya simpan dengan skor 4,33, rasa dengan skor

Seperangkat instrument kromatografi Gas Shimadzu 2010.

Dampak yang terjadi akibat konsumsi minuman beralkohol.. yaitu sering membuat keributan sehingga