• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM PIDANA POSITIF

E. Tinjaun Kepustakaan

1. Pengertian Pertanggungjwaban Pidana

a. Dalam Hukum Pidana positif

di dalam konsep hukum pidana Indonesia di dasarkan kepada perbuatan dan pembuatanya, dua hal ini harus menjadi sokoguru dari hukum pidana yang kemudian menjadi azas pokok yaitu azas legalitas dan azas kesalahan yang di tetapkan dalam pasal tersendiri yaitu pasal 1 ayat (1) dan pasal 28, maka tentang tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana di beri keterangan yang lebih jelas

21

masing-masing dalam pasal 12 dan pasal 27.20Pada pasal 27 konsep KUHP

1982/1983 menyatakan pertanggungjwaban pidana adalah di teruskanya celaan

yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena perbuatanya.21

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, terutama di batasi

pada perbuatan yang di lakukan dengan sengaja (dolus), dapat di pidananya delik

culpa yang bersifat pengecualian (eksepsional ) apabila secara tegas oleh undang-

undang mengaturnya. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh undang-undang di perberat ancaman pidanya hanya di kenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya telah dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat itu atau apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan.

Dasar adanya tindak pidana merupakan azas legalitas sebagaimana di sebutkan dalam pasal 1 ayat (1). Orang tidak mungkin di pertanggungjawabakan dan di jatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana.

22

Responsibility ultimately means the assumption of the consequences for one act.For a person to be criminally responsible, he must be of the age of Menurut Ahmad Bahnassi Pertanggungjawaban adalah akibat yang harus diterima dari sebuah perbuatan, selengkapnya ia mengatakan sebagai berikut:

20

Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta ,1987), hlm. 67

21

Ibid, hlm. 75 22

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Kedua Edisi Revisi (Bandung :PT.Citra Aditya Bakti,2002), hlm. 86

22

discretion and be able exercise choice in what he does. In addition, he must be at fault.Fault is the basis of criminal responsibility. If no fault is found, a person cannot be held responsible for what has happened. Fault may be determined from deliberate inent, which is called criminal intent, or it may arise unintentionally as through a mistake.23

Menurut Prodjohamidjojo, seseorang melakukan kesalahan jika pada waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut di cela.

( Pada akhirnya pertanggungjawaban berarti penerimaan akibat atas tindakan yang di lakukan seseorang. Bagi seseorang bertanggungjawab secara pidana, ia harus mencapai usia dewasa dan mampu memilih dan memilah apa yang di lakukanya. Lagi pula, ia harus bersalah. Kesalahan merupakan dasar dari pertanggungjawaban pidana. Jika kita temukan kesalahan, seseorang tak bisa di tahan untuk mempertanggungjwabkan perbuatanya. Kesalahan bisa saja di tentukan dari kesengajaan, yang bisa di kenal dengan tindakan pidana dengan sengaja atau bisa juga dengan tidak sengaja sebagai sebuah kesalahan).

24

23

Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Kebikan Hukum PidanaOp.cit. hlm. 8 24

Prodjohamidjojo. Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (Jakarta : PT. Pradya paramita,1997) hlm. 31

Dengan demikian, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal yaitu (1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur hukum. Jadi, harus ada unsur Objektif, dan (2) terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabakan kepadanya, jadi ada unsur subjektif.

23

Roeslan Saleh juga memberikan pengertian pertanggungjawaban pidana yaitu perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana, menurut Roeslan Saleh hanya menunjuk kepada dilarangnya

perbutan.25Tegasnya, Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan

perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di

pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pidanya si pembuat.26

Jika dilihat dari penjelasan para pakar sarjana Hukum yang telah di uraikan maka Pertanggungjawaban pidana setidaknya harus memikirkan tiga hal

penting yakni pertama, kemampuan bertanggungjawab

( loerekeningsvaatbaarheid) dari pelaku atau keadaan psikis pelaku. Kedua adanya hubungan sikap batin pelaku dengan perbuatanya, yaitu adanya faktor kesengajaan dan kealpaan, dan ketiga ada tidaknya alasan-alasan yang

menghapuskan pertanggungjwaban pidana dari pelaku.27

Mengenai anak kecil yang umurnya masih relative muda, menurut Roeslan Saleh, dalam keadaan-keadaan yang tertentu untuk di anggap tidak mampu bertanggungjawab haruslah di dasarkan pada pasal 44 KUHP, jadi sama dengan

Dengan demikian antara keadaan psikis dengan perbutan yang di lakukan merupakan hubungan yang erat, maka untuk lebih jelasnya perlu di adakan pemisahan, guna dapat di tinjau lebih mendalam.

25

Saleh ,Roeslan. Op.cit ,hlm. 75 26

Ibid.

27

Simanjuntak , Osman ”Teknik Perumusan Perbuatan Pidana dan Azas-azas umum” ( ttp:Jakarta,tt) hlm.170-174

24

orang dewasa. Tidak mampu bertanggungjawab karena masih muda saja, menurut Roeslan Saleh, hal itu tidak di benarkan.

Dengan demikian, maka anak yang melakukan perbuatan pidana, menurut Roesalan Saleh, tidak mempunyai Kesalahan karena dia sesungguhnya belum mengerti atau belum menginsyafi makna perbuatan yang di lakukan. Anak memiliki ciri dan karekteristik kejiwaan yang khusus, yakni belum memiliki fungsi batin yang sempurna. Maka, dia tidak di pidana karena tidak mempunyai kesengajaan atau kealpaan. Sebab, menurut Roeslan Saleh, satu unsur kesalahan tidak ada padanya, karenanya dia di pandang tidak bersalah sesuai dengan asas tidak di pidana jika tidak ada kesalahan, maka anak yang belum cukup umur ini

tidak di pidana.28

Hukum Islam mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari aturan yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan tuhanya maupun aturan main sesama manusia itu sendiri. Salah satu ruang lingkup itu adalah hukum pidana Islam yang dalam tradisi fiqih di sebut dengan istilah jarimah dan jinayah, yang secara terminologis bermakna tindak pidana atau delik yang di larang oleh syariat dan di ancam dengan hukuman bagi pelanggarnya.

b. Dalam Hukum Pidana Islam

29

28

Topo Santoso, “Membumikan Hukum Pidana Islam,Op.cit, hlm. 166

29

Muhammad Nur, TindakBalas dendam, dalam Islam, ( Perspektif Dokriner Cum Filosofis )dalam al-Hudud Jurnal Jianyah HMJ Js Fak, Syariah IAIN Sunan Kalijaga ( Yogyakarta :1999), hlm. 32

Salah satu Prinsip dalam Syariat Islam adalah seseorang tidak bertanggungjawab kecuali terhadap jarimah yang telah di perbuatnya sendiri dan bagaimanapun juga tidak bertanggungjwaban atas perbuatan jarimah orang lain.

25

Arti pertanggungjawaban pidana (al-mas’uliyyah al-‘jinayyah) sendiri

dalam syariat Islam ialah pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan yang di kerjakanya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud-

maksud dan akibat-akibat dari perbuatanya itu.30

Di dalam Hukum modern seperti KUHP di Indonesia, dalam penerapanya di kenal dengan beberapa asas, sementara hukum pidana Islam juga telah di kenal asas yang sama sebagaimana di kenal dalam hukum modern. Seperti asas

Legalitas yaitu Nullum delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poeanali ( tiada

delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu), Hukum Pidana Islam

juga mengenal hal seperti itu sebagaimana di sebutkan dalam Al-Quran31

Terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat tentang baik atau tidak baik, cocok atau tidak cocok penerapan hukum pidana Islam di Indonesia, manakala muncul persoalan tentang sanksi hukumanya yang di anggap sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Pada hal apabila di teliti dari sudut pandang Islam itu sendiri, maka akan terlihat jauh lebih baik dan bahkan hukum pidana Islam juga telah memenuhi prinsip-prinsip hukum pidana moderen bahkan telah mendahuluinya.

dan sebagainya.

32

Pertanggungjawaban pidana di dalam hukum Islam merupakan pembebanan kepada seorang sebagai akibat perbuatanya ( atau tidak berbuat

30

Ahmad Hanafi, ibid, hlm. 173 31

Q.S. Al Israa, : 15,artinya ,” …dan kami tidak akan mengazab sebelum kami menguts seorang Rasul.”

32

26

dalam delik omisi)33yang di kerjakanya dengan kemauan sendiri, dimana ia

mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbutanya

itu.34Pertanggungjawaban Pidana tersebut di tegakkan atas tiga hal,35

1. Adanya perbuatan yang di larang

yaitu :

2. Di kerjakan dengan kemauan sendiri

3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.

Kalau ketiga aspek tersebut dimiliki oleh seorang dalam suatu perbuatan, maka akan terdapat pertanggungjawaban pidana namun apabila aspek tersebut tidak terpenuhi maka kepada seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Dengan adanya syarat tersebut terlihat bahwa yang dapat di bebani pertanggungjawaban hanyalah orang dewasa, yang mempunyai akal pikiran yang sehat serta mempunyai kemauan sendiri. Apabila tidak maka tidak ada pertanggungjawaban padanya, sehingga dia punya akal pikiran yang bisa memahami dan mengetahui serta mempunyai pilihan terhadap apa yang akan di lakukanya.

33

Kata “omisi atau omission berarti tidak melakukan perbuatan yang menjadi lawan dari kata komisi atau komission yang berarti melakukan perbuatan yang berakibat kepada adanya hukuman atau ancaman hukuman.” Lihat juga Utrecht dalam hukum pidana I yang menyebutkan bahwa “delik omissiaon adalah pelanggaran seseuatu yang di perintah dengan kata lain delicta omission adalah tidak membuat sesuatu yang oleh undang-undang pidana di perintahkan delic commissionis adalah pelanggaran sesuatu yang di larang.”dengan kata lain delicta commisionis adalah membuat seseuatu yang oleh undang-undang pidana dilarang.

34

Hanafi dalam Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam : Penegak syariat dalam wacana dan agenda. Cet II. ( Jakarta : asy Syaamil Press dan Grafika, 2001), hlm. 166

35

Topo Santoso ibid, hal 166,lihat juga Ahmad Hanafi.Azas-azas Hukum Pidana Islam ( Jakarta : PT.Bulan Bintang,1967) hlm.154, Drs.H.Ahmad Wardi Muslich : Pengatar dan Asas Hukum Pidana Islam hal 74, Drs.H.Rahmat Hakim : Hukum Pidana Islam ( Fiqih Jinayah) hlm. 175

27

Dan pertanggungjawaban pidana di bebankan kepada seseorang selain anak-anak sampai ia mencapai usia puber, orang yang sakit syaraf ( gila), dalam

keadaan tidur atau di paksa.36Dan berdasarkan hal ini, syariat Islam tidak

mengenal tempat tanggungjawab pidana kecuali manusia hidup, mukallaf yang menikmati kebebasan memilih pada saat berbuat. Nash-nash syariat menegaskan

makna ini dengan jelas melalui sabda Rasulullah SAW, yang menyatakan37

“Tidak dituntuntut dari umatku kesalahan, kelupaan dan apa yang di paksakan kepada mereka”dan allah berfirman”

“Pena diangkat dari tiga hal: dari anak-anak sampai dia mimpi, dari orang tidur sampai terjaga dan dari orang gila sampai ia waras”

38

Karena itu konsep pertanggungjawaban pidana dalam al Qur’an adalah bahwa seseorang mukallaf telah melakukan perbuatan yang haram atau yang dilarang oleh agama. Syariat Islam berpendapat bahwa pertanggungjawaban atas suatu tindakan kejahatan oleh si penjahat itu sendiri. dengan demikian di batalkan system pertangungjawaban yang berlaku di jaman Jahilyyah dalam masalah

“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa ( memakanya)sedang ia tidak mengingikanya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”

36

Abdurrahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta :PT.Rineka Cipta,1992), hlm. 16-17

37

Said Hawwa, Al-Islam, ibid. hlm. 694 38

28

kejahatan pembunuhan, dimana suatu suku harus memikul tanggungjawab atas

perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang anggota suku tersebut.39

Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “anak” di mata hukum positif

Indonesia lazim di artikan sebagai orang yang belum dewasa ( 2. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak.

Anak memiliki karakteristik tersendiri, baik secara psikologi, sosial budaya dan hukum. Dalam aspek yang terakhir ini, perlakuan terhadap anak, baik sebagai pelaku kejahatan maupun sebagai korban kejahatan membutuhkan keseriusan. Tidak jarang komunitas anak, apalagi dalam konteks kehidupan modern, terjerat dalam maraknya tindakan kejahatan di masyarakat. Maka perlu pemahaman yang baik seputar pengertian dari anak.

Jadi dalam perkembangan kejiwaannya sangat perlu di perhatikan, karena anak adalah anak, anak tidak sama dengan orang dewasa. Anak memiliki system penilaian kanak-kanak yang menampilkan martabat anak sendiri dan kriteria norma sendiri, sebab sejak lahir anak sudah menampakkan ciri-ciri dan tingkah laku karakteristik yang mandiri, memiliki kepribadian yang khas dan unik. Hal ini di sebabkan oleh karena taraf perkembangan anak itu memang selalu berlainan dengan sifat-sifat dan ciri-cirinya, di mulai dari usia bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut, akan berlainan psikis maupun jasmaninya.

39

Mahmud Syaltut, Islam Aqidah dan syariah (Al-islamu ‘Aqidatun wa syari’atun), di terjamahkan oleh Abdurrahman Zain,Cet. Pertama ( Jakarta: Pustaka Amani,1986), hlm. 620

29

minderjaring/person under age). orang yang di bawah umur/keadaan di bawah

umur ( minderjarigheid/inferiority).40

Menurut ketentuan pasal 45 KUHP maka yang disebut anak adalah orang yang berumur di bawah 16 (enam belas) tahun. Terhadap hal ini baik secara teoritik dan praktek maka apabila anak melakukan tindak pidana, hakim dapat menentukan anak tersebut dapat dikembalikan kepada orang tuanya,wali atau pemeliharanya tanpa penjatuhan pidana, diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana sebagai anak Negara atau juga dapat dijatuhi pidana. akan tetapi ketentuan pasal45, 46, dan 47 berdasarkan ketentuan pasal 47 UU No.3 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan apabila ditinjau batasan anak dalam KUHP sebagai korban kejahatan sebagaimana Bab XIV ketentuan Pasal 287, 290, 292, 294, dan 295 KUHP adalah berumur kurang dari 15 (lima belas)

tahun.41

Berdasarkan ketentuan pasal 330 kitab undang –undang hukum perdata maka yang di sebut anak adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21

( dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.42

UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,43

40

Lilik Mulyaddi. “Pengadilan anak Indonesia teori,praktik dan

permasalahanya.”(Bandung : CV.Mandar Maju.2005) hlm. 3 41

R.Soesilo “Kitab Undang-undangKUHP Pidana, hlm. 61-62 42

R. Subekti. Kitab Undang-undag Hukum Perdata.(Jakarta :PT Pradya paramita, 2001), hlm. 90

43

UU ini terdiri dari 4 bab dan 6 Pasal.Disahkan di Jakarta tanggal 23 Juli 1979.Lembaran Negara RI tahun 1979 Nomor 4.

dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan

30

of the child) yang di setujui oleh majelis umum PBB tanggal20 November 1989 dan di sahkan oleh keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990 mendefinisikan anak sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun.

Menurut pasal 1 ayat ( 1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan

anak44

Menariknya, pada pasal 1 ayat (2) undang-undang ini memberikan batasan anak nakal, yakni (1) anak yang melakukan tindak pidana; (2) anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

yang di maksud dengan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 ( delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas ) tahun dan belum pernah kawin.

45

Sedangkan menurut Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak,

Lahirnya UU No. 3 Tahun 1997 I dasarkan pada kepentingan bahwa di butuhkan upaya yang serius dalam menghadapi dan menanggulangi berbagi perbuatan dan tingkah laku anak nakal.

46

44

UU No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak 45

Ibid, Lihat Pasal 1 ayat (3) 46

Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak

menegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 ( delapan belas) tahun, termasuk di dalam pengertian tersebut di dalam pengertian tersebut anak-anak yang masih dalam kandungan.

31

Menurut Wagiati Soetodjo dalam bukunya Hukum Pidana

Anak,47

Ada berbagai istilah untuk tindak pidana ( mencakup kejahatan dan pelanggaran), antara lain delik, perbuatan pidanan, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh di hukum, pelanggaran hukum, kriminal act, dan sebagainya.

perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah di mulai pada akhir abad- 19, di mana anak dijadikan sebagai “objek” yang di pelajari secara

ilmiah.Pelopornya adalah Wilhelm Preyer dalam bukunya Die Seele des kindes

(jiwa anak) pada tahun 1882, kemudian disusul oleh berbagai ahli yang meneliti

anak dan menulis psikologi anak, antara lain William Sterm menulis buku

Pyschologie der fruehen kindehen ( psikologi anak pada usia sangat muda), Karl Buhler menulis buku Die Geistige Entwicklung des kindes ( perkembangan jiwa anak).

Dokumen terkait