POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM A Persepektif Hukum Pidana Positif
C. Persamaan dan Perbedaan
Pertanggungjawaban pidana ( criminal responsibility ) dalam perspektif
hukum pidana Indonesia konsekuensi logis dan yuridis dari perbuatan pidana yang di lakukan. Sebagaimana lazimnya di tegaskan bahwa sebuah perbuatan pidana mensyaratkan pertanggungjawaban pidana. Begitu pula hanya dalam perspektif
hukum pidana islam ( al-mas’uliyah al-jinayiayah).
Perbedaan secara kentara terjadi pada pembagian kejahatan atau delik pidana yang di lakukan. Dalam persepektif hukum pidana positif, kejahatan atau
delik pidana meliputi kejahatan ( mal in se) dan pelanggaran ( mala prohabita) .
dalam dua lingkup pembagian delik pidana, kelihatan bahwa cakupan delik jauh lebih kecil di bandingkan dengan apa yang di tegaskan dalam hukum pidana islam.
Sebagaimana di maklumi, jenis kejahatan atau di sebut jarimah, di kenal tiga macam, yaitu hudud untuk kasus-kasus tertentu yang hukumanya telah di gariskan dalam syariat islam, alquran dan Hadis Nabi Muhammad saw. Jenis kejahatan kategori hudud juga terbatas, yakni perizinan, pencurian, perampokan,dan murtad. Selain out, jenis kejahatan orang lain, termasuk
pembunuhan sengaja (al –qatl al-amdu), pembunuhan serupa sengaja
( al-qatl al-‘amdi), pembunuhan karena tersalah (al-qatl, al-al khata’), pelukaan
sengaja (al-jarh al-‘amdu), dan pelukaan karena tersalah (al-jarh al-kahtha’). Dan
ta’zir, melingkupi jenis-jenis, kejahaan selain dari yang di atur dalam kedua jarimah di atas.
112
Berdasarkan hal, tersebut maka kondisi kanak-kanak sebagai alasan pengecualian hukuman di akui berlaku dalam dua persepektif hukum tersebut, baik di lingkungan hukum pidana positif, maupun di lingkungan hukum pidana islam, selain itu, kondisi kanak-kanak mendapat perlakuan tersendiri yang di perlakukan berbeda dengan komunitas orang dewasa. Hal ini tidak lain sebagai wujud perlindungan hak-hak anak. Penyamaan intensitas perbuatan antara orang dewasa dengan anak-anak jelas tidak dapat di terima sebab kematangan pola pikir mempengaruhi intentensitas sebuah perbuatan pidana.
Kedua persepektif hukum, baik hukum pidana Indonesia maupun hukum pidana islam dengan tegas memasukkan kategori anak-anak sebagai alasan pengecualian hukum, maka, pertanggungjawaban hukum atas perbuatan pidana sekalipun yang mereka lakukan di kategorikan tidak sempurna sekaligus di pandang sebagai tidak mutlak, berbeda dengan kategori usia dewasa, kedua persepektif hukum ini memandangnya sebagai termasuk pelaku pidana yang terkait langsung dengan bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana yang di lakukanya.
Adapun perbedaan-perbedaan dari kedua persepektif hukum ini dapat di lihat dari aspek-aspek sebagai berikut :
1. Kekuasaan kehakiman
Dalam lingkup hukum pidana Indonesia, khususnya setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 1997 tentang peradilan Anak, penanganan kasus anak nakal menunjukkan bahwa hakim berperan penting dalam menyelesaikan kasus anak
113
nakal , yakni anak yang dalam kategori sebagai pelaku pidana. Pembatasan umur juga menjadi hal penting yang harus di perhatikan dalam menjatuhkan hukuman kepada anak nakal. Dalam persepektif ini, batas umum adalah 8 ( delapan) sampai dengan ( delapan belas) tahun.
Sedangkan dalam hukum pidana Islam, tidak di kenal istilah anak nakal, dalam perspektif Islam, pelaku pidana yang tergolong usia ank-anak berada sepenuhya dalam kewenangan dan pertimbangan hakim. Akibatnya, batas usia tidak di tetapkan secara defenitif, melainkan di lihat dari aspek kematangan pola pikir dan mental anak. Di sinilah batas usia muncul setelah proses pematangan anak terlihat secara penuh. Bagaimanapun kekuasaan hakim berlaku sepenuhnya
pada tindak pidana qisa-diyat dan takzir.
Keleluasaan hakim dalam tindak pidana qisas dan diyat sebenarnya sangat
terkait dengan system peradilan Islam di mana hakim berperan dalam upaya penemuan dan penafsiran hukum. Temuan dan tafsiran hukum oleh hakim memeberikan pengaruh tersendiri yang melalui pertimbangan hakim akan dasar penjatuhan hukuman.
Maka, dalam konteks ini, hakim dalam peradilan islam bisa saja melihat sisi-sisi lain yang tidak formal berdasarkan batas usia semata, terutama dalam kategori balig. Sebab, ukuran balig dalam pandangan islam tidak semata-mata di capai melalui batas usia, tetapi di lihat dari intensitas perbuatan dan kencenderungan pola pikir anak.
114
Hal ini sangat berdasarkan karena tujuan pemidanaan dalam hukum pidana islam setidaknya untuk mencapai tiga hal sebagai berikut :
1. Menjamin keamanan dari kebutuhan – kebutuahn hidup yang
mendasar (dahruriyyat). di sinilah lahir lima kategori pencapian syariat
yang di kenal dengan istilah maqashid as-syariah, yakni (1) hifz ad-din
( pemeliharaan agama); (2) hifz an-nafs ( pemeliharaan jiwa) ; (3) hifz
al-maal ( pemeliharaan hara); (4) hifz an-nasl ( pemeliharaan
keturunan); dan (5) hifzh al-‘aql ( pemeliharaan akal).
2. Menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidup sekunder (
hajiyat). Ini mencakup hal-hal yang penting ketentuan itu dari berbagai fasilitas utnuk penduduk dan memudakan kerap keras dan beban tanggungjawab mereka.
3. Membuat perbaikan-perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat
menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik yang di sebut dengan tahnsiniyyat.152
2. Jenis hukuman
Sebagaimana di tegaskan dalam pasal 23 UU No. 3 ahun 1997 tentang pengadilan anak, disebutkan sebagai berikut :
1. Pidana yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok
dan pidana tambahan.
2. Pidana pokok yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal ialah :
152
Topo Santoso, Menggagas hukum pidana islam ( Bandung Asy Syaamil, 2001), hlm.130-131
115
a. Pidana penjara
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda;atau
d. Pidana pengawasan
3. Selain pidana pokok sebagaimana di maksud dalam ayat (2) terhadap
anak nakal dapat juga di jatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
4. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi di
atur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dalam persepektif hukum pidana islam, jenis hukuman yang di jatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, sebagaimana di tegaskan dalam pembahasan sebelumnya, sangat tergantung kepada kemampuanya untuk mempertanggungjawabkan perbuatanya. Adapun jenis hukuman yang di berikan adalah hukuman pokok dalam tindak pidana qisas-diayat, yakni hukuman qisas dan hukuman pengganti, yakni membayar diyat ( denda).
Penting ditegaskan bahwa hukuman qisas dan diyat sangat terkait dengan
jenis perbuatan pidana. Sebagaimana dimaklumi bahwa kategori usia anak-anak (as-shobiyyun) tidaklah sama dengan kategori dewasa (mukallafun). Kategori anak-anak dalam hukum Islam tidak termasuk kategori yang diwajibkan hukum
padanya (laysa lahu khilabun).
Maka, kalaupun mereka melakukan tindak pidana, hal itu tidak disebut sebagai perbuatan pidana sempurna. Maksudnya, terdapat pengecualian hukuman
116
bagi mereka. Hukuman bagi kategori shobiyyun adalah wujud ad-dham’an fi
malihi (kewajiban membayar ganti rugi dari hartanya). Begitupun hakim memiliki kekuasaan untuk melihat secara jernih dan proporsional tingkat intensitas perbuatan dan kematangan pola pikir anak. Hakim dapat saja berpandangan lain, manakala terdapat indikator kuat bahwa kematangan pola pikir anak tercermin
dari perbuatan pidana yang dilakukannya. Di sinilah hukuman takzir dapat
dikenakan kepada mereka.
Sedangkan untuk kategori tindak pidana takzir, hakim memiliki
kewenangan penuh untuk menjatuhkan hukuman termasuk jenis hukuman kepada anak sebagai pelaku tindak pidana. Ketentuan dalam hukum Islam hanya menyebutkan bahwa melalui pertimbangan hakim tersebut, maka batasan hukuman tidak tertentu, dari hukuman yang terendah sampai hukuman yang tertinggi.
Jika kedua sistem hukum, pidana positif dan pidana Islam, dilekatkan untuk melihat kasus persidangan Raju yang beberapa waktu lalu terjadi. Maka, setidaknya dapat dikatakan bahwa apa yang menimpa Raju seharusnya tidak boleh terjadi. Seorang anak yang masih dalam kategori bocah (istilah Indonesia untuk menyebutkan masih kanak-kanak) harus disidangkan dipengadilan.
Muhammad Azwar yang akrab disapa Raju, bocah berusia sekitar 8 tahun asal Pangkalan Brandan, Sumatera Utara akhirnya mengalami trauma psikologis. Pasalnya, bocah malang ini disidangkan dan ditahan atas perbuatannya berkelahi
117
dengan teman sebayanya, Ermansyah usia 14 tahun. Raju untuk beberapa lama harus mendekam dalam sel tahanan bersama dengan komunitas dewasa.
Madja El Muhtaj dalam artikelnya, Anak Juga Manusia mengatakan
kekerasan terhadap anak tidaklah semata-mata bermakna kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan dalam pengertian luas yang mengakibatkan terabaikannya hak-hak anak secara mendasar. Apa yang diperankan oleh Pengadilan Negeri (PN) Stabat di Pangkalan Brandan terhadap kasus Raju dapat diindikasikan sebagai bentuk nyata dari kekerasan terhadap anak. PN Stabat hanya bertengger pada normativitas hukum secara kaku, tanpa melihat sisi lain yang objektif terhadap
realitas perkembangan psikologis Raju.153
Selain persoalan batas umur Raju, yang layak dipertanyakan adalah, sejauhmana tugas profesional yang dapat diperankan aparatur hukum yang menangani kasus Raju, khususnya dalam memberikan perlindungan hukum bagi Raju sebagaimana juga telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Harus disadari bahwa tindakan yang bertentangan dengan asas tidak Pada bagian lain artikelnya, Majda El Mustaj juga menegaskan bahwa mekanisme hukum terhadap kasus Raju bertentangan secara asasi dengan nilai- nilai dan martabat seorang anak. Memang, masih menjadi perdebatan tentang usia Raju. Oleh karena itu, harus dilakukan penyelidikan secara menyeluruh tentang inti permasalahan kasus Raju.
153
Lihat El Mustaj, Majda, “Anak Juga Manusia,” dalam Harian Analisa,( Medan 1 Maret 2006)
118
akan pernah mencapai tujuan yang hakiki, actus repugnus non potest in esse
produci.154
Jika diamati dalam perspektif hukum pidana Islam, Raju masih belum dikategorikan anak pada usia balig yang serta merta bertanggungjawab secara pidana. Usia Raju dalam pandangan hukum Islam sepatutnya mendapatkan pengecualian dari hukuman. Raju hanya mendapatkan pendidikan dan pengajaran
yang dalam istilah hukum Islam disebut ta’dib. Maka, hemat penulis, seyogianya
untuk kasus Raju, pihak aparatur hukum tidak terjebak secara kaku menerapkan normativitas batas usia sebagaimana digariskan dalam UU No 3 Tahun 1997,
Kasus Raju, kalau hanya dilihat dari sudut normativitas hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 UU No 3 tahun 1997 yang menegaskan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara Anak nakal telah mencapai usia 8 (delapan) dan belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun serta belum pernah kawin, terlalu simplisitik.
Memang, penetapan usia Raju yang menurut aparatur hukum telah mencapai usia 8 (delapan) tahun masih menjadi perdebatan, sepanjang kasus tersebut muncul. Akan tetapi jika dikaji lebih dalam, batas usia 8 (delapan) tahun masih sulit dikategorisasi layak bertanggungjawab secara pidana. Sebab usia 8 (delapan) jika ditilik perkembangan psikologis Raju terbilang tidak tepat dijadikan sebagai status anak nakal yang oleh UU No 3 Tahun 1997 dikategorikan sebagai anak yang melakukan tindak pidana.
154
119
melainkan dengan kemampuan dan pertimbangannya, hakim dapat mempertimbangkan hal lain diluar batas usia tersebut.
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Adrianus Meliala, kriminolog UI, yang mengatakan jelas dibutuhkan pertimbangan yang matang dalam menjatuhkan hukuman kepada anak. Apalagi, semakin tinggi proses hukumnya, harusnya semakin banyak hal yang harus dipertimbangkan. Usia 8 (delapan) tahun sebagai batas minimal disebut anak nakal dalam UU No 3 Tahun 1997, dalam perkembangan psikologis anak, jelas sulit membedakannya dengan
anak berusia 8 (delapan) tahun yang lewat satu atau dua hari.155
155
“Hak anak belum diperhatikan,” dalam Harian Kompas,( Jakarta, edisi 7 Juli 2006) Atas dasar itulah, hemat penulis dalam konteks Islam, penyelesaian kejahatan anak meniscayakan pertimbangan psikologis dengan tanda-tanda biologis. Apabila tanda-tanda itu tidak diketemukan, maka batas usia bisa diterapkan dengan menggunakan batasan usia yang lazim diketemukan pada anak- anak. Hal ini, tidak lain adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi komunitas
120
BAB V PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka akhir dari penulisan skripsi ini dapat di tarik kesimpulan dan saran sebagi berikut
A. Kesimpulan :
1. Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang di lakukan anak-
anak dalam persepktif hukum pidana positif di kenal dengan kriminal responsibility berlaku sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja tindak pidana tersebut di golongkan kepada perilaku anak nakal, sehingga anak sebagai pelaku pidana teresebut sebagai anak nakal. UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur tentang mekanisme peradilan anak, baik dalam konteks hukum materil maupun hukum formil.
2. Pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang di lakukan anak-
anak dalam perspektif hukum pidana Islam di kenal dengan istlah al-
mas’uliyyah al-jinayyiah berlaku sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja terdapat pembatasan keberlakuanya yang di sesuaikan dengan umur anak dan kematangan pola pikir anak. Dua kategori penting yang harus di perhatikan adalah adanya unsur iradah (
keinginan/maksud) dan ikhtiyar ( kompetensi).
3. Persamaan antara hukum pidana positip dengan hukum pidana Islam
adalah bahwa kondisi masa kanak-kanak merupakan alasan pembenar untuk mengurangi dan menghapuskan hukuman. Kedua system hukum juga sama dalam memandang adanya batasan tetentang usia yang
121
termasuk kategori kanak-kanak. Akan tetapi di temukan perbedaan antara hukum pidana positif dan hukum pidana islam bahwa hukum dalam hukum pidana positip, khususnya dalam UU No, 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak telah menggariskan batas usia seoarang dalam kategori anak nakal, yakni minimal 8 ( delapan ) tahun maksimal 18 (delapan belas) tahun. perubahan positif semakin kelihatan pada RUU KUHPidana yang secara tegas mencantumkan pertimbangan psikologi anak, termasuk kematangan emosional, intelektual, dan mental. Pertimbangan-pertimbangan ini patut di berikan dalam menyelesaikan perbuatan pidana yang di lakukan oleh anak-anak. Hal yang lebih menarik adalah pencantuman batas usia pertanggungjawaban anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sampai usia 18 ( delapan belas ) tahun. Batas usia ini muncul sebagai konsekuensi pembatasan usia dengan melihat kencenderungan perkembangan psikologis anak. Dan menurut persepektif hukum pidana Islam bahwa hukum pidana Islam memandang batas usia tidak serta merta menjadi alasan penjatuhan hukuman, selain usia hal kematangan pola pikir dan mental rohani turut menjadi faktor penting dalam mengkualifikasi status sebagai anak.
122
B. Saran
1. Pertanggungjawaban pidana merupakan elemen penting dalam upaya
penegakan dan kepastian hukum. Maka dalam konteks pelaku pidana dalam kategori usia anak-anak di butuhkan sebuah kepastian hukum dalam rangka penegakan hukum yang adil dan beradab. Maka, di harapkan kepada penegak hukum agar menerapkan prinsip kemaslahatan terbesar bagi anak sekalipun dalam upaya penegakan
hukum yang bersaskan equality before the law.
2. Bagi aparatur hukum di harapkan memiliki penegtahuan psikologi
hukum yang dapat menopang ketajaman dan pertimbangan hukum sehingga kasus-kasus pidana yang di lakukan anak-anak, tidak saja memenuhi unsur formalitas yuridis, tetapi juga dapat memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum di tengah-tenagh masyarakat.
3. Dalam kerangka penguatan system hukum pidana nasional, maka
penelitian terhadap khazanah system hukum pidana islam harus terus di lakukan. Telah menjadi keyakinan dan konsensus nasional terpenting bersama dengan system hukum nasional. Maka kepada para sarjana hukum dan sarjana hukum silam agar dapat menjadikan kedua system hukum pidana ini sebagai kajian akademik unuk melahirkan kedua system hukum pidana ini sebagai kajian akademik untuk melahirkan seperangkat system hukum pidana nasional yang kuat dan tangguh.
39
BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM