123
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Al-Qura’an dan Terjemahanya, Departemen Agama RI
Al – amidi, saifuddin Abul Hasan Ali Ibn Muhammad, al- ihkam fi Usul
al-Ahkam , juz I ( Mesir : Musthafa al-Babi ,al-Halaby, tt)
Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ al jian’iy al- islamy, muqaranan
bil-Qammil Wadhi’iy, Juz Awal,(Beirut : Muasasah Riasalah, 1996)
Abdul Qadir ‘Audah, Al-tasri di terjemahkan oleh tim salsilah, Ensiklopedi
Hukum Pidana Islam II, ( Jakarta : Penerbit, PT. Kharisma, Tahun 2007)
Abdurrahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, alih bahasa
Sulaiman Rasjid, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
Abdurrahman I Doi,Tindak Pidana dalam Syariat Islam,(Jakarta
:PT.Rineka Cipta,1992)
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), III: 289
Adami chazawi, Pelajaran Hukum pidana bagian I.(Jakarta :PT Raja
Grafindo Persada.2002)
Ahmad Hanafi.Azas-azas Hukum Pidana Islam ( Jakarta: PT.Bulan
Bintang,1967)
Andi Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy
(ed.)…Victimilogy sebuah Bunga rampai (Jakarta: Pustaka sinar Harapan,1987)
Arahman I.Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah ( syariah ), Cet.
I, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada)
Ar-Ramli , Muhammad Syihabuddin , nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al – minaj, juz V ( Mesir : Musthafa al-Babi Al-Halaby, tt)
Ali yafie, Ahmad Sukarja, Muhammad Amin Suma,dkk. Ensiklopedi
Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia, (Jakarta : Kharisma Ilmu, 2008)
Bahnassi, Ahmad Fathi, “Criminal Responsibilty in Islamic Law”, dalam
M.Cherif Bassiouni (ed)… The Islamic Criminal Justice System ( New York : Oceana Publication, 1982)
Bahnassi, Ahmad Fathi, as-siyash al-jina iyyah fi as-syariah al-islamiyyah
124
Bahnassi,Ahmad Fathi, Madkhal al-Fiqh al-jina , iy al-islamiy (Beirut ;dar
as-syuruq,1989)
Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Edisi
Kedua Edisi Revisi (Bandung :PT.Citra Aditya Bakti,2002)
Chairul Huda, Dari tiada pidana tanapa kesalahan menuju kepada tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Cet. I, Jakarta : (Prenada Media, 2006)
Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1997)
Dellyana,Shanti, Wanita dan Anak di Mata Hukum ( Yogyakarta :
Liberty,1988),
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia , Edisi
Pertama, ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta ,1987)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia
( Jakarta: Balai Pustaka,1994)
El Muhtaj,Majda, “Memahami Integritas Hak-hak Anak dan
Impelementasinya,” dalam sulaiman Zuhdi Manik (Ed.), kekerasan Terhadap Anak, dalam Wacan dan Realitas ( Medan: PKPA 1999)
E.Sumaryono, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan
Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1985),
Haliman, Hukum Pidana sjariat Islam Menurut ajaran ahlus Sunnah (
Djakarta : Bulan Bintang,1970 )
Ibn Zaid,zaid bin Abdul Karim Ibn Ali, al-Afwu, an al-Uqubah fi al-islamy
( Riyad : Dar al-Ashimah, 1408 H)
Jam Rmmelink, Hukum Pidana komentar atas pasal-pasal Terpenting dari
kitab undang Hukum Belanda dan Padananya dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, di terjemah oleh : Tristam Pascal Moeliono, Marjanne Termorshuizen-Arts dan Widati Wulandari, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama),
Lamintang ,P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia ( Bandung :
Citra Aditya Bakti,1997 )
Lilik Mulyaddi. “Pengadilan anak Indonesia teori,praktik dan
125
Mahmud Syaltut,Islam Aqidah dan syariah(Al-islamu ‘Aqidatun wa
syari’atun), di terjamhkan oleh Abdurrahman Zain,Cet. Pertama ( Jakarta: Pustaka Amani,1986)
Meliala, A. Qirom Syamsuddin dan E. Sumaryono, kejahatan Anak suatu
tinjauan dari Psikologi dan Hukum, ( Yogyakarta Liberty, 1985)
Muhammad Nur,Tindak “Balas dendam, dalam Islam,(Perspektif Dokriner
Cum Filosofis)dalam al-Hudud Jurnal Jianyah HMJ Js Fak,Syariah IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta :1999)
Muhammad Syarbani, Mughi al-Muhtaj Ila –Ma’rifat , Ma’ani Alfadz
Minhaj ‘ala Matan Minhaj an-Nawawi, juz II ( kairo : Dar al- Fikr, 1958)
Rais, Moch Lukman Fathullah, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar
( Jakarta : Pustaka Sianar Harapan , 1997)
Roeslan saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (
Jakarta: Aksara Baru,1983 )
R.Subekti. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.(Jakarta :PT Pradya
paramita, 2001)
Said Hawwa Al-Islam, di terjemahkan oleh abdul hayyie al-Kattani ,Arif
casanul Muna dan sulaiman Mpiase,cet Pertama ( Jakarta :Gema Insani, 2004)
Santoso Topo, Menggagas hukum pidana islam,;penerapan Syariat Islam
dalam konteks Modernitas,Cet . Kedua, (Bandung : Asy Syaamil Press &Grafika,2001)
Santoso, Topo Membumikan Hukum Pidan islam;Penegakan Syariat
dalam wacana dan Agenda ( Jakarta : Gema Insani Press,2003)
Simanjuntak, Osman ”Teknik Perumusan Perbuatan Pidana dan
Azas-azas umum” ( ttp:Jakarta,tt)
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta:1983), UI
Press
Soerjono Soedkanto, dan mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Suatu
tinjauan Singkat ( Jakarta:Rajawali,1985)
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat (Jakarta, CV Rajawali ,1990)
Soesilo.R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP) serta
126
Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana
( Tijauan terhadap pasal 44 KUHP),” dalam Andi Hamzah(ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana ( Jakarta :Ghalia Indonesia,1986)
Teguh Prasetyao dan Adul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana,
kajian kebijakan kriminalisasi dan deskriminalisasi, Cet. I, (Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2005
WaluyoBambang, Pidanan dan Pemidanaan(Jakarta:Sinar Grafika,2000),
B. UNDANG-UNDANG
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990 mendefinisikan anak sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun.
Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM
C. KORAN
Harian Analisa, Anak Juga Manusia”, ( Medan 1 Maret 2006)
68
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM ISLAM
A. Kemampuan Bertanggung Jawab
Pertanggungjawaban dalam syariat islam adalah pembebanan seseorang
dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang di kerjakanya dengan
kemauan sendiri, di mana orang tersebut mengetahui maksud akibat dari
perbuatanya itu.99
1. Adanya perbuatan yang di larang
Dalam syariat islam pertanggungjawaban itu di dasarkan kepada tiga hal :
2. Perbuatan itu di kerjakan dengan kemauan sendiri
3. Pelaku mengetahui akibat perbuatanya itu
Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula pertanggungjawaban.
Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban. Dalam
sebuah hadis di rawiyatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud di sebutkan :
Aritnya : Dari Aisyah ra. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw: Di hapuskan
ketentuan dari tiga hal,dari orang tidur sampai ia bangun, dari orang gila sampai ia
sembuh dari anak kecil sampai ia dewasa.100
99
A.Hanafi , Ibid, hlm. 1967
100
Jalaluddin As Sayuhuti, Al Jami’ Ash ShagirJuz II, Dar Al Fikr, Beirut, t.t, hlm. 24 Dengan demikian orang gila, anak di
bawah umur, orang yang di paksa dan terpaksa tidak di bebani
pertanggungjawaban , karena dasar pertanggungjawaban pada mereka ini tidak
69
Dalam hal pertangggungjawaban pidana, hukum islam hanya
membebankan hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf, hukum islam
juga mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya di jatuhkan bagi
orang dewasa kecuali ia ialah baliqh. Hal ini di dasarkan pada dalil alquran
yaitu : Artinya : dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa ,
maka hendaklah mereka ( juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih
dewasa meminta izin ,surat An-Nur, ayat 59.101
Dapatkah suatu badan hukum mempertanggungjawabkan diri secara
tiadanya dalam islam ? Ahmad Hanafi menjawabnya secara negative dengan
alasan tiadanya unsur pengetahuan perbuatan dan pilihan dari badan-badan hukum Hukum islam tidak juga menjatuhkan hukuman terhadap pelaku yang di
paksa dan orang yang hilang kesadarannya. Atas dasar ini seseorang hanya
mempertanggungjawabkan perbuatanya terhadap apa yang telah di lakukanya dan
tidak dapat di jatuhi hukuman atas tindakan pidana orang lain. Prinsip dasar yang
di tetapkan dalam hukum pidana islam adalah segala sesuatu yang tidak di
haramkan berarti di bolehkan , akan tetapi jika suatu perbuatan di haramkan ,
hukumanya di jatuhi sejak pengaharamanya di ketahui. Adapun perbuatan yang
terjadi sebelum pengaharaman maka ia termasuk kategori pemaafan.
101
70
itu. Namun orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum tersebut dapat di
mintai pertanggungjawaban pidana apabila terjadi perbuatan yang di larang.102
Pembebasan pertanggungjawaban itu merupakan ketetapan agama yang
telah di gariskan dalam al-Qura’n dan Hadists Nabi. Satu riwayat menyebutkan
ketika Ali bin Abi Thalib berkata kepada Umar bin Khathab : “ tahukah engkau
terhadap siapa kebaikan dan kejahatan itu di catat dan mereka tidak
bertanggungjawab terhadap apa yang di lakukanya, yaitu orang gila sampai ia
waras, anak-anak sampai dia baliqh (puber) dan orang tidur sampai dia
bangun.
Faktor yang menyebabkan terjadinya pertanggungjawaban pidana adalah
di karenakan perbuatan maksiat( pelanggaran-pelanggaran) yaitu meninggalkan
yang di suruh/di wajibkan oleh syara’ dan mengerjakan yang di larang oleh syara’.
103
Syariat islam menolak sintetik atau pengujian untuk menentukan masalah
abnormalitas dan kriminalitas. Menurut teori ini tak ada tindakan yang dapat di
sebut criminal bila pada saat tindakan itu di laksanakan pelaku mengalami
kekacauan mental atau adanya dorongan yang benar-benar tidak terkendali
sehinggga menyebabkan hilangnya keseluruhan mental ataupun emosi.
kemampuan bertanggung jawab di sini menujukkan pada mampu atau
tidak secara psikis bukan secara fisik.
104
102
Topo Santoso, Menggagas hukum pidana islam,;penerapan Syariat Islam dalam konteks Modernitas,Cet . Kedua, (Bandung : Asy Syaamil Press &Grafika,2001),hlm. 16
103
Arahman I.Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah ( syariah ), Cet. I, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), hlm 286.
104
71
Hukum islam memberikan alternative bagi seorang mukallaf dalam
melaksankan hukuman , berbeda dengan hukum positif di masa-masa revolusi
perancis, karena pertanggungjawaban pidana mempunyai pengertian sendiri.
Setiap orang bagaimanapun keadaanya bisa di bebani pertanggungjawaban
pidana. Apakah orang itu mempunyai kemauan sendiri atau tidak, dewasa atau
belum dewaa bukan hewan ataupun benda yang bisa menimbulkan kerugian
kepada pihak lain dapat di bebani pertanggungjawaban.
B. Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana
Hukum islam mensyaratkan keadaan si pelaku harus memiliki
pengetahuan dan pilihan, karenanya sangat alamiyah manakala seseorang memang
menjadi objek dari pertanggungjawaban pidana, karena pada seseorang memiliki
kedua hal tersebut. Ini adalah salah satu prinsip dasar dalam hukum islam, bahwa
pertanggungjawaban pidana itu bersifat personal artinya seseorang tidak
mempertanggungjawabkan selain apa yang di lakukanya.
Oleh karenanya ada suatu faktor yang semestinya menjadi alasan untuk
dapat di pertanggungjawabkan suatu tindak pidana. Faktor atau sebab, merupakan
seseuatu yang di jadikan oleh syari’ sebagai tanda atas musabab ( hasil/efek)
di mana keberadaan musabab di pertautkan dengan adanya sebab.105
1. Adanya unsur melawan hukum
Adapun unsur yang mengakibatkan terjadinya pertanggungjawaban pidana
antara lain :
105
72
Asas pertanggungjawaban hukum adalah adanya perbuatan melawan
hukum atau perbuatan maksiat yaitu melakukan hal-hal yang dilarang atau
meninggalkan hal-hal yang di perintahkan oleh hukum islam.
Pertanggungjawaban tindak pidana itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat
pelanggaran atau perbuatan maksiatnya.
Pelaku yang memang mempunyai niat bermaksud untuk melawan hukum
maka sanksinya ( hukumanya ) di perberat. Namun jika sebalikknya maka
hukumanya di peringan, dalam hal ini faktor yang utama di sini adalah melawan
hukum. Dimaksudkan melawan hukum adalah melakukan perbuatan syari’ setelah
di ketahui syar’i melarang atau mewajibkan perbuatan tersebut. Perbuatan
melawan hukum merupakan unsur pokok yang harus terdapat pada setiap tindak
pidana, baik tindak pidana ringan atau tindak pidana berat, yang disengaja atau
tidak di sengaja. Adapun pengertian syarat( syari’) adalah sesuatu yang
menjadikan hukum islam tergantung pada keberadaanya mengharuskan
ketidakberadaan suau hukum islam.106
Dalam kaitan pertanggungjawaban karena melawan hukum dapat di
bedakan dalam memahaminya antara melawan hukum dan maksud melawan
hukum. Melawan hukum berarti melakukan perbuatan yang di larang atau
meninggalkan keawajiban tanpa ada maskusd dari si pelaku itu sendiri namun
menimbulkan kerugian terhadap orang lain. Adapun maksud melawan hukum
adalah kecenderungan niat si pelaku untuk melakukan atau meniggalkan
106
73
perbuatan yang di ketahui bahwa hal itu di larang atau memperbuat kemaksiatan
dengan maksud melawan hukum.107
2. Adanya kesalahan
Apabila suatu perbuatan terdapat faktor pertanggungjawaban pidana yaitu
melakukan kemaksiatan (melawan hukum) dengan adanya dua unsur mengetahui
dan memiliki, maka pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan
keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana, kemudian
pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat
tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya di jatuhkan.
Pertanggungjawaban pidana karenanya harus dapat berfungsi sebagai preventif ,
sehingga terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin menyadari akan
konsekuensi tindak pidana dari perbuatan yang di lakukanya dengan penuh resiko
ancaman hukumanya.
Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah
perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang di larang oleh syara’. Di
maksudkan di sini adalah keesalahan seseorang terhadap perbuatan yang telah
ditentukan tidak boleh di lakukan .hal ini menyangkut seseorang itu telah
meninggalkan kewajiban atau perintah , sehingga kepadanya dapat di mintakan
pertanggungjawaban.
Ada suatu perbedaan dalam memahami kesalahan sebagai faktor
pertanggungjawaban perbedaan ini berkaitan dengan pengertian antara tindak
107
74
pidana dengan kesalahan itu sendiri, di mana menurut beberapa ahli hukum bahwa
pengertian tindak pidana tidak di temukan dalam undang- undang hanya saja
tindak pidana merupakan kereasi teoritis yang di kemukakan oleh para ahli
hukum. Hal ini akan membawa beberapa konsekuensi dalam memahami tindak
pidana. Karena menurut para ahli hukum kesalahan harus di pisahkan dari
pengertian tindak pidana dan kesalahan itu sendiri adalah faktor penentu dari
pertanggungjawaban. Pengertian tindak pidana hanya berisi tentang karakeristik
perbuatan yang di larang dan di ancam dengan hukuman. Pemahaman ini penting
bukan saja secara akedemis tetapi juga sebagai suatu kesadaran dalam
membangun masyarakat yang sadar akan hukum.
Sebuah adegium sebagaimana yang telah penulis yang kemudian menjadi
isyarat bahwa tidak dapat di pidana adanya kesalahan. Kesalahan yang di
maksudkan di sini adalah kesalahan yang objektif artinya tentang kesalahan dalam
keterangannya tentang schuldbegrip yang membagikan kepada tiga bagian;108
a. Kesalahan selain kesengajaan atau kealpaan ( opzeto of schuld)
b. Kesalahan juga meliputi sifat melawan hukum ( de wederrechtelijk
heid)
c. Kesalahan dengan kemampuan bertanggungjawab(de
toerekenbaaheid)
Kesalahan bukan hanya menentukan dapat di pertanggungjawabkannya si
pelaku akan tetapi dapat di pidanya si pelaku. Karena kesalahan merupakan asas
108
Teguh Prasetyao dan Adul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, kajian
75
fundamental dalam hukum pidana, kesalahan yang menentukan dapat di
pertanggungjawabkanya si pelaku adalah hal mana cara melihat bagaimana
melakukanya, sedangkan kesalahan yang menetukan dapat di pidanya si pelaku
dengan memberikan sanksi hal demikian adalah cara melihat bagaimana dapat di
pertanggungjawabkan perbuatan tersebut kepadanya.
Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan biasanya di bedakan dari
pertanggungjawaban mutlak. Bila tatanan hukum menetapkan di lakukanya suatu
tindakan atau tidak di lakukanya suatu tindakan yang dapat menimbulkan kejadian
yang tidak maka dapat di bedakan antara kasus yang kejadianya itu di sengajakan
atau dapat di antisipasi oleh individu yang perilakunya di pertimbangkan dan
kasus di mana kejadinya berlangsung tanpa di sengaja atau tanpa di antisipasi atau
dapat di sebut kecelakaan atau kesengajaan . pada kasus yang pertama adalah
pertanggungjawaban yang berdasarkan kepada kesalahan sedangkan pada kasus
yang kedua jika di masksudkan apakah maksud dari si pelaku bersifat jahat secara
subjektif dengan tujuan menimbulkan luka atau kerugian atau sebaliknya berisifat
baik.
Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan biasanya mencakup persolan
kelalaian. Kelalaian terjadi biasanya adalah karena tidak terjadi pencegah suatu
perbuatan yang menurut hukum itu di larang. Kendatipun kelalaian itu tidak di
kehendaki atau tidak di sengaja oleh orang yang melakukan perbuatan tersebut.
76
Dasar penghapusnya pidana atau yang di sebut dengan alasan-alasan
menghilangkan tindak pidana termuat dalam buku I KUHP, di samping itu ada
juga alasan penghapus tindak pidana di luar KUHP atau yang ada dalam
masyarakat, misalnya suatu perbuatan oleh suatu masyarakat tidak di anggap
tindak pidana karena mempunyai alasan-alasan tersendiri yang secara hukum
materil juga tidak di anggap terlarang. Juga karena alasan pendidikan seorang
orang tua menutut anaknya untuk mengajarkan suatu kebaikan, bisa saja orang tua
tidak punyai kesalahan sama sekali karena keliru dalam fakta .
Dalam kedaan tertentu terkadang suatu perbuatan yang di lakukan oleh
seseorang dapat berujung pada terjadinya tindak pidana, walaupun orang tersebut
tidak menghendaki terjadinya tindak pidana .dengan kata lain tindak pidana dapat
saja terjadi adakalanya seseorang tidak dapat menghindari karena sesuatu yang
berasal dari luar dirinya. Faktor luar tersebut membuat seseorang itu tidak dapat
berbuat lain sehingga mengakibatkan kesalahanya itu terhehapus, artinya pada diri
si pelaku terdapat alasan penghapus kesalahan. Sekalipun kepada pelaku dapat di
cela tapi dalam hal-hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau tidak dapat di
teruskan.109
109
Chairul Huda, Dari tiada pidana tanapa kesalahan menuju kepada tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Cet. I, Jakarta : (Prenada Media, 2006), hlm.119 Berbeda halnya apabila kesalahan di pahami dalam pengertian
psikologi si pelaku, sekalipun terdapat faktor eksternal yang di pandang telah
mengilangkan kesalahan tetapi mengingat kesalahan selalu di pandang sebagai
kondisi psikologis si pelaku ketika melakukan tindak pidana maka alasan
pengahapusan kesalahan merupakan alasan menghilangkan kesengajaan atau
77
Dalam masalah penghapusan pidana terdapat dua alasan/dasar
penghapusan pidana itu dasar pembenar ( permissibility) dan dasar pemaaf
( legal excuse).110
Pertanggungjawaban pidana dapat di nyatakan hapus karena ada kaitanya
dengan perbuatan yang terjadi atau kaitanya dengan hal-hal yang terjadi menurut
keadaan bagi si pelaku. Dalam keadaan yang pertama ini adalah perbuatan yang di
lakukan tersebut merupakan perbuatan mubah ( dalam agama tidak ada
pelarangan karena hukum asal ) , sedangkan keadaan yang kedua adalah
perbuatan yang di lakukan itu merupakan perbuatan yang terlarang namun si
pelaku tidak dapat di beri hukuman karena ada suatu keadaan pada si pelaku yang
dapat terhindar dari hukuman. Kedua keadaan ini ( perbuatan dan pelaku) dalam Suatu perbuatan pidana di dalamnya terdapat alasan pembenar
sebagai penghapus pidana maka suatu perbuatan tersebut menjadi kehilangan sifat
melawan hukum sehingga menjadi legal atau secara agama terdapat kebolehan
melakukannya sehingga pelaku tidak di kenai hukuman. Adanya alasan pembenar
berujung pada “pembenar” atas tindakan yang sepintas lalu melawan hukum,
sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada “pemaafan” pembuatanya
sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum. Yang termasuk
dalam alasan pembenar di antaranya bela paksa, keadaan darurrat , pelaksaaan
peraturan perundang-undangan dan perintah jabatan, seseorang yang karena
membela badan/jiawa , kesusilaan atau membela harta miliknya dari sifat
melawan hukum orang lain maka kepadanya tidak dapat di mintakan
pertanggungjawaban jika perbuatan melawan hukum terjadi padanya .
110
78
kaedah agama di sebut asab al ibahdah dan asbab naïf al uqubah. Asbab
al-ibahah atau sebab di bolehkanya perbuatan yang di larang pada umumnya
berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.111
1. Disebabkan perbuatan Mubah ( asbab al ibahah)
Pada dasarnya perbutan-perbuatan yang di larang oleh hukum islam itu
merupakan perlarangan secara umum bagi semua orang . Meski demikian hukum
islam melihat adanya pengecualian atas dasar pembolehan bagi sebagian orang
yang memiliki karekter –karekter khusus di sebabkan oleh keadaan tuntutan dari
masyarakat tertentu.112Contohnya adalah pembunuhan. Perbuatan ini di haramkan
dalam islam bagi setiap orang. Hukuman bagi pembunuh adalah qisas yaitu
berupa hukuman mati dan islam memberikan hak bagi si wali korban, sebagimana
di sebutkan dalam Qur’an , S.17:33
“… dan barang siapa di bunuh secara dhalim maka sesungguhnya kami
telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah wali itu melampaui
batas dalam pembunuhan..”
Contoh lain dalam hal melukai , perbuatan melukai adalah tidak di
benarkan dalam islam. Akan tetapi meluaki dengan maksud melakukan operasi
merupakan perbuatan yang di bolehkan karena suatu kebolehan yang di kehendaki
111
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,Cet. I ,(Jakarta : Sinar Grafika, 2004) , hlm.85
112
79
oleh keadaan. Juga dalam memukul , perbuatan tersebut adalah di larang dalam
islam, akan tetapi memukul dengan maksud memberikan pendidikan/pelajaran
adalah sesuau yang dapat di bolehkan sejauh pemukulan itu tidak bermaksud
melukai. Di samping itu hukum islam memperkenankan para pendidik tersebut
memukul anak didiknya dalam rangka memberi pendidikan dan mengajari mereka
sebagai bentuk perwujudan atas kewajiban yang di bebankan kepada para
pendidik. Perwujudan atas kewajiban yang di bebankan kepada paran pendidik.
Perwujudan dari kewajiban itu merupakan menjalankan kemaslahatan individu
dan masyarakat serta mewujudkan tujuan dari syari’ itu sendiri.
Jika suatu perbutan yang di larang namun di bolehkan secara logika hanya
untuk mewujudkan suatu kemaslahatan tertentu, akan tetapi suatu perbuatan yang
di larang namun di kerjakan di luar maksud dari kemaslahatan itu maka tetap di
anggap suatu tindak pidana. Melaksanakan kewajiban dan hak mempunyai
perbedaan tabiat satu sama lain mempunyai hal penting. Tidak
melaksanakan/menggunakan hak tidak berdosa dan tidak di hukum sedangkan
orang yang di bebani kewajiban akan berdosa dan dapat di hukum ketika tidak
melaksanakanya , hal ini di sepakati oleh para fukaha. Hak mempunyai
keterikatan dengan syarat keselamatan, artinya orang yang mengggunakan haknya
senantiasa mempunyai tanggungjawab terhadap keselamatan objek dari hak
tersebut karena yang menggunakan hak tersebut mempunyai pilihan antara
mengerjakan dan tidak mengerjakan. Sedangkan kewajiban tidak mempunyai
80
Ahmad Wardhi Mulich mengutib Abdul Qadir ‘Audah mengemukakan
bahwa sebab di bolehkannya perbuatan yang di larang itu ada enam macam,
yaitu:113
1. Pembelaan yang sah ( Difa’ asy-Syari’)
Dalam hukum islam di kenal pembelaan atas dua macam
a. Pembelaan khusus (Difa’ asy-Syari’ al-khass )
Pembelaan khusus di maksudkan adalah seseorang itu mempunyai
kewajiban dalam mempertahankan/ melindungi dirinya, haknya dan harta
bendanya dengan cara-cara yang di benarkan dari perampasan orang lain.114
113
Ahmad Wardi Muslich, ibid, hlm.85
114
Abdul Khadir Audah ,Al-tasri di terjemahkan oleh tim salsilah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II, ( Jakarta : Penerbit, PT. Kharisma , Tahun 2007), hlm. 138
Apabila seseorang melakukan suatu pembelaan atas suatu serangan maka harus
ada kesinambungan antara kepentingan yang melindungi dengan kepentingan
yang menyerang. Maksudnya adalah seseorang tidak di bolehkan melanjutkan
penyerangan manakala serangan lawan sudah di hentikan. Pembelaan khusus baik
yang bersifat wajib atau mempertahankan haknya di maksudkan bukan sebagai
serangan hukuman terhadap penyerang. Menurut Islam seseorang berhak
mempertahankan jiwa, harta, kehormatan dirinya dan orang lain dari serangan
orang lain dengan kekuatan yang lazim dari setiap pelanggaran dan penyerangan
yang tidak sah. Jadi jika seseorang di serang orang lain untuk di bunuh , dan tidak
ada jalan lain untuk membela diri kecuali membunuh pula maka ia tidak dapat di
pidana, Dalam hal ini ada syarat yang terjadi yaitu adanya keseimbangan dan
81
pidana karena alasan pembelaan diri dengan dasar pembenar dari
pertanggungjawaban pidana.
b. Pembelaan bersifat umum ( Difa’ asy-syari’ al-‘am)
Diistilahkan pembelaan bersifat umum dalam Islam adalah amar ma’ruf
nahi munkar , yaitu membela atas kepentingan orang banyak/kepentingan umum.
Para fukaha menyepakati bahwa membela kepentingan umum dalam rangka amar
ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang tidak boleh di tinggalkan.
Pembelaan bersifat umum ini bertujuan agar di dalama masyrakat akan tumbuh
sifat-sifat keutamaan dan dapat berdiri di atas kebijakan individu sehingga
penyelewangan dan jarimah akan berkurang. Ma’ruf adalah semua perkataan atau
perbuatan yang perlu di ucapakan atau di lakukan sesuai dengan nash, dasar
umum ( aturan pokok) dan jiwa hukum Islam, sedangkan mungkar adalah setiap
maksiat yang di haramkan oleh hukum Islam baik di kerjakan oleh orang mukallaf
( orang yang di bebani hukum ) atau non mukallaf.115
2. Pendidikan dan pengajaran
setiap mulsim wajib
melakukan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai dengan kesanggupanya meskipun
ada orang lain yang lebih mampu diri darinya untuk melakukanya.
Di maksudkan mendidik dalam hal ini adalah untuk mencegah terjadinya
maksiat pada masa yang akan datang. Pendidikan di mulai dengan cara yang
paling ringan. Dalam Islam pendidikan yang paling baik di mulai dari lingkungan
keluarga. Berdasarkan pendapat yang kuat dari kalangan mazhab syaf’i dan
115
82
hambali, menyatakan bahwa seorang suami yang memukul isterinya karena
melakukan maksiat, baik di lakukan dengan cara berulang-ulang atau tidak, baik
sudah di peringatkan atau belum maka suami tidak dapat di jatuhi hukuman
karena suami menggunakanya haknya dalam batas-batas yang di tetapkan. Juga
seorang ayah memukul anaknya untuk memberi pelajaran dengan batas-batas
tertentu.
3. Pengobatan
Pengobatan sangat terkait dengan bidang kedokteran. Kedokteran menjadi
suatu kewajiban yang umum dalam agama, artinya mempelajari ilmu kedokteran
adalah fardhu kifiyah akan berubah hukumanya menjadi fardhu ‘ain jika tidak ada
orang yang mau mempelajari ilmu kedokteran tersebut. Mempelajari ilmu
kedokteran di anggap suatu kewajiban karena kebutuhan masyarakat untuk
berobat. Jika tujuan merupakan ilmu kedokteran untuk mengobati masyarakat
yang membutuhkan pengobatan maka hukumnya wajib. Karena hukumnya wajib
maka seorang dokter tidak bisa menghindari dari kewajiban mengobati orang
yang membutuhkanya. Pengobatan di anggap fardhu kifayah jika dalam suatu
daerah atau tempat lebih banyak terdapat dokternya namun jika tidak ada
dokternya menjadi fardhu ain.
Akibat logis atas wajibnya pengobatan adalah dokter tidak
bertanggungjawab atas pekerjaaan dan lapangan pengobatan karena ada kaedah
83
menunaikan kewajiban tersebut di serahkan kepada dan ijtihad ilmiah dari dokter
itu sendiri.116
Menurut imam Abu Hanifah, pertanggungjawaban tersebut hapus karena
dua sebab , yaitu (1) kebutuhan masyarakt, pengobatan merupakan kebutuhan dan
di perlukan oleh masyarakat karenanya melaksanakan tugas kedokteran
mengharuskan adanya adanya jaminan kebebasan dalam profesinya sehingga
tidak ada kekhawatiran dalam menjalankan tugasnya dan (2) adanya
izin/persetujuan dari pasien dan pihak keluarga.117
4. Permainan olahraga
pembebasan dari
pertanggungjawaban tersebut tentu saja di dasarkan atas adanya niat yang baik
dari seorang dokter dan usaha-usaha sungguh-sungguh untuk kebaikan dan
kesembuhan seorang pasien.
Islam menjunjung tinggi dan membolehkan untuk menguatkan badan,
menyegarkan pikiran dan membangkitkan keberanian serta sifat kepahlawananya
melalui kegiatan olahraga. Hukum Islam juga mengajurkan permainan kesatriaan ,
karena dengan itu dapat menyegarkan tubuh serta pikiran. Hukum islam
membolehkan segala jenis permainan kekesatrian yang mencari keunggulan
kekuatan dan keahlian serta bermanfaat bagi masyarakat. Di kalangan fuqaha
kegiatan olahraga yang di kenal dengan istilah al’ab al furusiah. Hukum Islam
116
Ali yafie , Ahmad Sukarja , Muhammad Amin Suma , dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia, Ibid, hlm . 183
117
84
memiliki keistimewaan karena memberi pernyataan yang jelas tentang perintah
dan anjuran bermain kesatrian.118
5. Hapusnya jaminan keselamatan
Permainan olahraga atau kesatrian terkadang menimbulkan cedera atau
luka-luka , baik yang menimpa pemain maupun orang lain, jika dalam permainan
olahraga tersebut kecelakaan yang berakibat luka-luka maka hukum islam akan
berlaku umum. Kalau luka tersebut terjadi akibat menggunakan kekerasan dengan
kesengajaan, akan tetapi permainan olahraga atau kekesatrian yang sifatnya
menggunakan kekuatan badan dalam menghadapi lawan seperti gulat , tinjau dan
sejenisnya maka tidak dikenai hukuman asal tidak melampui batas-batas tertentu
yang telah di tetapkan .
Hapusnya pertanggungjawaban pidana dalam kegiatan permainan olahraga
atau kekesatrian menurut sebagian sarjana hukum karena dalam permainan yang
sah secara undang-undang .
Di maksudkan dengan hapusnya jaminan adalah boleh di ambil tindakan
terhadap jiwa atau anggota badan seseorang utuk di lukai atau di bunuh bahkan
terhadap hartanya sekalipun , dalam istilah agama hapusnya jaminan keselamatan
di sebut dengan ismah.119
Jaminan keselematan dapat di peroleh dengan dua cara , yaitu (1) karena
iman atau islamnya seseorang dan (2) karena perjanjian baik sementara atau
selamanya . seseorang yang telah beriman atau telah memeluk agama islam
118
Qura’an S;8;60 , artinya dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dari pasukan berkuda,….”
119
85
kemudian keluar dari keimananya atau murtad , maka dalam hukum islam halal
darahnya artinya seseorang itu hilang jaminan keselamayantannya, juga dengan
orang yang kafir kemudian mematuhi aturan dalam wilayah islam maka akan ada
perjanjian jaminan keselamatan selama mereka mematuhi dan menanti ketentuan
yang ada dalam wilayah islam.
Islam telah menjamin keselamatan jiwa dan hartanya orang-orang non
muslim manakala jika mereka mematuhi dan taat kepada aturan yang ada dalam
islam , sebagaimana dalil al-Qura’an s:9;6
“ dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat menedengar firman Allah,
kemudian antarkanlah dia ketempat yang aman baginya ….”
Satu-satunya sebab adanya ihdar ( kebolehan melakukan tindakan terhadap
jiwa atau anggota badan ) di karenakan hilangnya ismah ( jaminan keselamatan
dan terpilihnya jiwa dan harta ). Ismah akan hilang karena hilangnya sebab-sebab.
Suatu kaedah umum yang ada dalam hukum islam , bahwa daerah dan harta itu
terpelihara , dasaranya adalah iman ( islam ) dan jaminan keamanan . Ismah akan
hilang pada diri seseorang yang melakukan tindak pidana ihdar ( pidana yang
menghalalkan darah pelakunya ). Sebagaimana ismah akan hilang karena murtad ,
habisnya jaminan keamanan, melanggar perjanjian sebagainya. Tindak pidana
86
mempunyai hukuman yang tertentu ukuran hukuman tersebut dapat merusak jiwa
dan anggota badan. Ketika kedua syarat tersebut tidak dapat terpenuhi dalam
suatu tindak pidana maka tidak di anggap tindak pidana, contohnya seorang ayah
mencuri harta anaknya , peristiwa ini hanya di hukum diyat.
6. Menggunakan wewenang dan kewajiban bagi pihak yang berwajib.
Dalam hukum islam ada suatu kewajiban yang harus di pikul dan di
laksanakan oleh penguasa atau pemimpin untuk mewujudkan suatu kemaslahatan
bagi masyarakat pada umumnya . orang-orang yang melaksanakan kewajiban
tersebut merupakan orang-orang yang memang bertugas sebagai pelayan
publik/masyarakat pada umumnya. Islam meletakkan dasar terhadap
tanggungjawab bagi pemimpin atau penguasa. Kaedah hukum islam menetapkan
bahwa petugas pemerintah tidak dapat di kenai pertanggungjawaban pidana
apabila menunaikan tugasnya/kewajibannya sesuai denagan batas-batas
kewenanganya. Apabila terjadi pelanggaran dalam menunaikan kewajibanya
tersebut maka bertanggungjawab secara pidana jika dia tahu bahwa itu adalah
bukan hanya atau itu adalah pelanggaran.
Salah satu penerapan kaedah ini adalah dalam melaksanakan hukuman
hudud. Semua ulama sepakat bahwa melaksanakan hukuman hudud adalah wajib,
jika terjadi kerusakan dalam melaksanakan hukuman hudud adalah wajib, jika
terjadi kerusakan dalam melaksanakan hukuman tersebut pelaksanaanya tidak
dapat di mintai pertanggungjawaban pidana.
87
Sebab hapusnya hukuman tidak mengakibatkan perbuatan yang di lakukan
itu di bolehkan , melainkan tetap pada asalnya yaitu di larang. Hanya saja oleh
karena keadaan si pelaku tidak mungkin di laksanaknya hukuman maka ia di
bebaskan dari hukuman di dalam islam ada 4 macam sebab yang dapat
menghapuskan hukuman.120
a. Karena paksaan
Paksaan adalah istilah hukum di sebut dengan overmacht yang selama
berabad-abad telah menarik perhatian para yuris maupun filosuf. Salah seorang
filosof jerman, Immanuel kant, menyatakan bahwa ada alasan seseorang tidak
dapat di pidana karena mempunyai daya paksa terhadap perbuatan yang terjadi,
dia menekanya bahwa tiadanya efek pidana sebagai dasar peniadaan pidana.
Dalam pandangan hukum alam perbuatan yang di lakukan dalam keadaan
overmacht di anggap keadaan daruart tidak mengenal larangan ( necessitas non
habet legem) , di katakan fichte bahwa perbuatan overmacht di kecualikan dari
tertib hukum.121
sejarah perundang-undangan menyatakan bahwa overmacht merupakan
alasan atau sebab eksternal yang tidak dapat di mintai pertanggungjawaban
pidana dan menggambarkanya bahwa setiap daya, dorongan, paksaan yang
membuat seseorang paksaaan merupakan sebuah perbuatan yang di perbuat
120
Ali Yafie , Ahmad Sukarja ,Muhammad Amin Sua, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Edisi Indonesia ,Ibid, hlm. 220 , lihat juga Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas HUkum Pidana Islam Fikih Jinayah,hlm. 116.
121
88
karena pengaruh orang lain untuk melakukanya suatu perbutan yang di perbuat
karena pengaruh orang lain untuk melakukannya suatu perbuatan karena
hilangnya kerelaan dan merusak pilahanya. Para fukaha berpendapat bahwa
dalam paksaan harus ada perbuatan materil yang di timpakan kepada orang yang
di paksa yang membuatnya melakukan perbuatan yang dapat di paksa kepadanya.
Karenanya paksaan itu harus bersifat materil dan di dahului oleh perbuatan
penyiksaan yang di timpakan kepada orang yang di paksa.
b. mabuk
mabuk dalam islam sangat di larang baik mabuk karena minuman atau
karena makanan yang sifat pekerjaan nya di sengaja. Mabuk termasuk dalam
salah satu kelompok jarimah, yaitu meminum minuman keras. Secara umum
yang di maksudkan dengan mabuk adalah hilangnya akal sehat sebagai akibat
minum minuman keras , khamar atau yang sejenis dengan itu. Semua para fukaha
sependapat bahwa mabuk bisa mneghilangkan akal sehatnya dan akan selalu
mengigau dalam setiap pembicaraanya.
Menurut pendapat yang kuat (rajah) dari ulam mazhab yang empat , bahwa
tidak ada pertanggungjawaban pidana bagi orang yang mabuk manakala
mabuknya itu di paksakan oleh orang lain, mabuk karena tidak mengetahui
terhadap minuman yang di minum atau makanan yang di makan, maka ketika
melakukan perbuatan atau tindak dalam keadaan mabuk di hukum sama dengan
orang gila.
89
Pertanggungjawaban pidana di bebankan pada seseorang yang mukallaf,
yaitu yang memiliki kemampuan berpikir dan pilihan dalam berbuat. Jika kedua
faktor tersebut tidak di miliki oleh seorang maka tidak dapat di mintai
pertanggungjawaban .kemampuan berpikir seseorang itu bisa atau dapat hilang
karena suatu bawan sejak lahir atau karena suatu sebab adanya gangguan dari luar.
Manusia ketika mencapai kedewasaan sudah dapat dengan matang menggunakan
kekuatan berpikirnya , akan tetapi karena adanya suatu gangguan atau karena
serangan penyakit baik itu sebagian atau seluruh alam berpikirnya hilang bisa
kapan dan di mana saja tanpa ada waktu tertentu. Hilangnya kemampuan berpikir
( akal sehat) dalam kehidupan sehari-hari dapat dinamakan dengan gila.abdul
Qadir ‘Audah memberikan suatu definisi , sebagai berikut;122
Secara pidana perbuatan orang gila tidak dapat dalam masalah tindak
pidana orang gila. Secara pidana perbuatan pidana tidak dapat di hukum namun “artinya : gila adalah hilangnya akal, rusak atau lemah”
Hilangnya kekuatan berpikir secara sempurna terkadang terus menerus
maka itu di namakan dengan gila terus menerus, artinya hilangnya kekuatan
berpikir hanya beberapa saat ( gila kambuhan/berselang). Dari segi hukum jika
terjadi tindak pidana, keadaan si pelaku dalam keadaan gila maka tidak ada
hukuman baginya ( di bebaskan dari hukuman). Gila bukan berarti member
kebolehan tetapi dengan keadaan gila menghapuskan hukumanya dari si pelaku.
Baik hukum nasional ( hukum Positif) maupun hukum islam tidak ada perbedaan
dalam masalah tindak pidana orang gila.
122
90
secara perdata perbuatan orang gila di pertanggungjawabkan oleh keluarga selama
hak-hak tersebut berada di bawah perwalian keluarga, maka akan ada
pertangggungjawaban perdata dalam bentuk ganti rugi.
d. Di bawah umur
Konsep pertanggungjawaban anak kecil ( anak di bawah umur) merupakan
konsep yang paling baik dan tepat dalam hukum islam. Di samping itu hukum
romawi yang merupakan hukum positip pertama di dunia membuat pemisahan
pertanggungjawaban anak-anak di bawah umur dengan orang dewasa dalam
batasan usia tujuh tahun. Hukum ini menjadikan anak berusia di atas tujuh tahun
memiliki tanggungjawab pidana, dalam keadaan seperti si anak yang belum
mencapi umur dewasa menurut hukum islam telah mendapatkan tanggungjawab
pidana atas perbuatan yang di lakukanya.
Hukum islam di pandang sebagai hukum pertama di dunia yang
membedakan secara sempurna antara anak kecil dengan orang dewasa dari segi
tanggungjawab pidana. Dalam hukum islam tanggungjawab pidana terdiri dari
dua unsur yaitu mempunyai berpikir dan mempunyai pilihan. Menurut para
fukaha, dasar dalam menentukan usia dewasa adalah sabda rasullah SAW, yang
artinya ;
“di angkat pembebanan hukum dari tiga jenis orang;anak-anak sampai
ia baliq, orang tidur sampai ia bangun dan orang gila sampai ia
sembuh/sadar.”
Dari makna hadits di atas “ di angkat pembebanan “ menunjukkan bahwa
91
menunjukkan bahwa syarat/sebab yang harus ada adalah bermimpi basah. Ini
merupakan hukum asal yang telah di tetapkan dalam hukum islam. Apabila
seseorang anak belum juga mengalami mimpi basah pada usia mencapai baliq,
hal mana di anggap telah terjadi suatu kerusakan/kelainan pada orang tersebut,
karena itu wajib di anggap orang tersebut telah baliq yang mewajibkan padanya
pembebanan hukum. Alasan pandangan ini memberikan batasan usia delapan
belas atau Sembilan belas tahun.
Didalam hukum pidana Indonesia (KUHP) ketentuan mengenai
tanggungjawab pidana anak di bawah umur di sebutkan pada pasal 45,
menyebutkan bahwa jika seorang anak masih berusia kurang dari enam belas
tahun melakukan perbuatan tindak pidana, maka hakim dapat menentukan
pilihan putusanya yaitu ;
a. Anak tersebut dikembalikan pada orang tua atau walinya tanpa
penjatuhan hukuman.
b. Anak tersebut di serahkan/di titipkan kepada pemerintah untuk
mendapatkan pendidikan, juga tanpa ada hukuman baginya
c. Anak tersebut di jatuhi hukuman, hukuman tersebut merupakan
92
BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA YANG DI LAKUKAN OLEH ANAK-ANAK DALAM PERPSEKTIF HUKUM PIDANA
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM.
A. Persepektif Hukum Pidana Positif
Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana adalah dua hal yang
bersifat korelatif. Sebuah perbuatan pidana menuntut pertanggungjawaban pidana
sebagai konsekuensi atas perbuatan yang di lakukan. maka, benar yang di
katakana oleh fathi Bahassi, responsibility ulitaritalty means the assumption of the
consequences for one’s act.123
1. Barangsiapa mengerakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna tidak dapat
di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya
atau karena sakit akal tidak boleh di hukum.
( pada akhirnya pertanggungjawaban berarti
penerimaan akibat atas tindakan yang di lakukan seseorang)
Dalam ketentuan hukum pidana positif di Indonesia, prinsip umum
mengenal bahwa perbuatan pidana yang di lakukan oleh siapapun mutlak di
pertanggungjawabkan, sebab perbuatan pidana dengan nyata telah merugikan
pihak lain, maka konsekuensinya menuntut pembalasan berupa sanksi hukuman
dan sebagainya. prinsip-prinsip khusus juga di kenal dalam hukum pidana postif
Indonesia yakni, berupa pengeculaian, pengurangan dan penambahan hukuman.
Ketentuan Bab III Pasal 44 menyatakan sebagai berikut :
123
93
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungkan kepadanya
karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka
hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila
selama-lamnya satu tahun di periksa
3. Yang di tentukan dalam ayat yang di atas ini hanya berlaku bagi
mahkamah Agung, pengadilan Tinggi dang Pengadilan Negeri
Pasal 4 di atas menjelaskan tentang seseorang yang tidak dapat di hukum di
karenakan perbutanya tidak dapat di Pertanggungjawabkan kepadanya karena :124
(1) Kurang sempurna akalnya. Yang di maksud dengan perkataan akal di
sini belandanya mengatkan “verstadelijk vermogens” Teks KUHP
negeri Belanda memakai kata “geest vermogens” yang berarti kekuatan
atau daya jiwa. Siapakah yang di anggap sebgai kurang sempurna
akalnya itu misalnya idiot, buta-tuli dan bisu sejak lahir. Orang-orang
semacam itu sebenarnya tidak sakit, akan tetapi karena cacat-cacatnya
mulai lahir, sehingga pikiranya tetap sebagai kanak-kanak.
(2) Sakit berubah akalnya,“ziekelijke storing der verstandelijke
vermogens” yang masuk dalam kategori ini adalah, sakit gila, histeri,
epilepsy dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.
Penting juga di tegaskan bahwa mereka yang terganggu pikiranya karena
mabuk minuman keras pada umumnya tidak di pandang masuk kategori di atas,
124
94
kecuali dapat di buktikan, bahwa mabuknya itu sedemikian rupa sehingga
ingatanya hilang sama sekali.
Mengenai pertanggungjawaban perbuatan pidana atas tindak pidana yang
di lakukan oleh kanak-kanak, semula di tegaskan dalam pasal 45 KUHP yang
menyatakan sebagai berikut :
Jika seseorang yang belum dewasa di tuntut karena perbutan yang di
kerjakanya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan,
supaya si tersalah di kembalikan kepada orang tuanya ; walinya atau
pemeliharanya, dengan tidak di kenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan
itu masuk bagian dalam pasal 489, 490, 496, 503-505, 519, 526, 531, 532, 536
dan 540 dan perbuatan itu di lakuknya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan
dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelangaran ini atau sesuatu
kejahatan ; atau menghukum anak yang bersalah itu.125
Kelahiran UU ini di rasakan penting sebab untuk melaksanakan
pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, di perlukan dukungan,
baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap Dalam konteks ini kelihatan bahwa yang di maksud dengan batas usia
kanak-kanak adalah belum mencapai 16 ( enam belas) tahun. Diakui bahwa
Indonesia belum memiliki sebuah peraturan perundang-undangan seputar
pengadilan anak sampai dengan keluarnya UU No.3 Tahun 1997 tentang
pengadilan anak.
125
95
dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan
anak perlu di lakukan secara khusus.
Bab I ketentuan umum pasal 1 UU No.3 Tahun 1997 menegaskan bahwa
anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (
delapan ) tahun tetapi belum mencapai umur 18 ( delapan belas) tahun dan belum
pernah kawain. Selanjutnya yang di maksud dengan anak nakal (a) anak yang
melakukan tindak pidana ; (b) anak yang melakukan perbuatan yang di nyatakan
terlarang bagi anak, menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan ini, maka anak yang melakukan perbuatan pidana
di kategorikan sebagai anak nakal. Penamaan ini berbeda dengan kelaziman bagi
siap saja ( baca : orang dewasa) yang melakukan perbuatan pidana. Pembedaan
sekaligus pengkhususan ini menujukkan bahwa teradapat karakteristik pelaku
pidana dalam kategori pelakunya kanak-kanak.126
Pembedaan perlakuan dan ancaman yang di atur dalam UU No.3 Tahun
1997 di maksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar
dapat meyonsong untuk lebih melindungi yang masih panjang. Selain itu,
pembedaan tersebut di maksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak
melalui pembinaan akan di peroleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang
126
96
mandiri, bertanggungjawab, dan berguna bagi diri, masyarkat, bangsa, dan
Negara.127
UU No. 3 Tahun 1997 juga menyebutkan bahwa terhadap kasus-kasus
Anak Nakal di sidangkan dalam sidang Anak, yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak yang kemudian di sebut
dengan pengadilan anak, yakni pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di
lingkungan perdilan Umum.128
1. Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke sidang Anak adalah
sekurang-kurangnya 8 ( delapan ) tahun tetapi belum mencapai umur
18 ( delapan belas) tahun dan belum pernah kawin ;
Terkait dengan batas umur pertanggungjawaban pidana yang di lakukan
kanak-kanak, pasal 4 UU No. 3 Tahun 1997 menyatakan sebagai berikut :
2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur
sebagaimana anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut,
tetapi belum mencapai umur 21 ( dua puluh satu ) tahun, tetap di
ajukan ke sidang anak.
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa sesuai dengan asas praduga
tak bersalah, maka seorang Anak Nakal yang sedang dalam Proses peradilan tetap
di anggap sebagai tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap. batas umur 8 ( delapan ) tahun bagi Anak
Nakal untuk dapat di ajukan sidang Anak di dasarkan pada pertimbangan
127
Lihat ketentuan Umum UU No. 3 Tahun 1997 128
97
sosiologis, psikologis dan pedagogis, bahwa anak yang belum mencapai umur 8
(delapan) tahun di anggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya.
Begitupun ketentuan pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 menyatakan,
kalau pelaku pidana masih tergolong di bawah umur 8 ( delapan ) tahun, terhadap
anak tersebut dapat di lakukan pemeriksaan oleh penyidik, pemeriksaan ini
bertujuan unuk mengetahui apakah anak melakukan tindak pidana seorang diri
atau ada unsur pengikutsertaan ( delnemig) dengan anak yang berumur di atas 8
( delapan) tahun atau dengan orang dewasa.129
Perbuatan anak nakal, menurut pasal 23 UU No. 3 Tahun 1997 dapat di
pidana dengan pidana pokok pidana tambahan . pidana pokok dapat di jatuhkan
kepada anak nakal (1) pidana penjara; (2) pidana kurungan; (3)pidana denda; (4) Tetapi bilamana dalam pemeriksaan penyidik ternyata ada keganjilan,
maka di tempuh cara dua cara, sebagaimana di tegaskan dalam pasal 5 ayat (2)
dan ayat (3 ) UU No. 3 Tahun 197 sebagai berikut ; apabila menurut hasil
pemeriksaan , penyidik oleh orang tua, wali,atau orang tua asuhnya, penyidik
menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali orang tua asuhnya.
Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana di maksud dalam ayat (1) tidak dapat di bina lagi oleh orang tua,
wali, atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada
departemen sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing
Kemasyarakatan.
129
98
pidana pengawasan. Selain pidana pokok, anak juga dapat di jatuhkan dengan
pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang dan atau pembayaran ganti
rugi.
Pembayaran ganti rugi sebagaimana di tegaskan pada penjelasan pasal 23
ayat (3) adalah pembayaran ganti rugi yang di jatuhkan sebagai pidana tambahan
merupakan tanggungjawab dari orang tua atau dari orang lain yang menjalankan
kekuasaan orang tua. Selanjutnya Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 1997
menegaskan bahwa ada beberapa tindakan yang dapat di jatuhkan kepada anak
nakal meliputi (1) mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; (2)
menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja;atau (3) menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi sosial
kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan
kerja.
Penjelasan pasal menyatakan bahwa meskipun anak di kembalikan kepada
orang tua, wali atau orang tua asuh, anak tersebut tetap di bawah pengawasan dan
pembimbing kemasyarakatan, antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan dan
lain-lain. Apabila hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua asuh
tidak memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka Hakim dapat
menetapkan anak tersebut di tetapkan di Lembaga Kemasyarakatan Anak untuk
mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Latihan kerja dimaksudkan untuk memberikan bekal keterampilan kepada
99
pertanian, perbengkelan, tata rias, dan sebagainya sehingga setelah selesai
menjalani tindakan dapat hidup mandiri.
Selain itu pada prinsipnya pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja di
selenggarakan oleh pemerintah di Lembaga Pemasyarakatn Anak atau
Departemen Sosial, tetapi dalam hal kepentingan anak menghendaki Hakim dapat
menetapkan anak yang bersangkutan di serahkan kepada organisasi sosial
kemasyarakatan, seperti pesanteren, panti sosial, dan lembaga sosial lainya
dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan.
Khusus bagi megenai pidana penjara bagi kasus anak nakal di tegaskan
secara rinci pada pasal 26 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 yang menyatakan,
pidana penjara yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal paling lama ½ dari
maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Adapun bagi perbuatan
anak nakal yang di ancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
pasal 26 ayat (2) menyatakan bahwa pidana penjara yang dapat di jatuhkan
kepada anak tersebut paling lama sepuluh tahun.
Untuk anak nakal yang belum usia 12 tahun yang melakukan tindak pidana
yang di ancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pasal
26 ayat (3) menyatakan, anak tersebut hanya dapat di jatuhkan pidana dengan cara
menyerahkan kepada Negara unutk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan
kerja. Adapaun anak nakal yang belum mencapi usia 12 tahun yang melakukan
tindak pidana yang tidak di ancam dengan pidana mati atau tidak di ancam pidana
100
kembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh atau di serahkan kepada
Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan pelatihan kerja atau di serahkan
kepada Departemen Sosial, atau Organisasi kemasyarakatan yang bergerak di
bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Sebagaimana di yakini bahwa UU No.3 Thuan 1997 merupakan bentuk
nyata dari upaya perlindungan anak Indonesia, sekalipun dalam konteks sebagai
pelaku pidana, maka sebenarnya kesemua itu kembali kepada kesadaran yang
tinggi atas hak-hak anak. anak nakal, seperti di tegaskan dalam UU No. 3 Tahun
1997, baik dalam ancama hukuman maupun dalam proses peradilanya, di bedakan
dengan kaum dewasa, pada hakikatnya mengacu kepada keterjaminan hak asasi
anak.
Pasal 1 angka (12) UU No. 23 Tahun 2992 tentang Perlindungan anak
menyatakan, hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib di jamin,
di lindungi, dan di penuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
Negara. pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002 juga mengaskan bahwa setiap anak yang
mejadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan
bantuan lainya. Yang di maksud dengan bantuan lainya adalah bantuan medik,
sosial, rehabilitasi, dan pendidikan.
Berdasarkan penjelasan ini dapat di pahami bahwa ketentuan
perundang-undangan menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidana
yang di lakukan anak-anak mendapatkan perhatian yang serius. Melalui
101
belum pernah kawin merupakan standarisasi seorang anak pelaku tindak pidana
memeprtanggungjwabkan perbuatanya.
Sekalipun UU memberikan “kelonggaran” bagi komunitas anak dalam
upaya mempertanggungjawabkan perbuatan pidanya, namun tetap saja terdapat
pengecualian tersendiri sebagai bukti jaminan dan perlindungan terhadap
kepentingan kaum anak pengeculaian di maksudkan sebagai wujud pengakuan
atas realitas kehidupan komunitas anak yang selain perlindungan tentang nasib
kehidupan mereka.
Harus di pahami bahwa hak asasi anak ( HAN) adalah juga sebagai bagian
dari hak asasi manusia ( HAM ). Pernyataan memberikan konsekuensi penting
bahwa komunitas anak wajib di lindungi upaya untuk mewujudkan hak-hak
mereka merupakan sikap proporsional dalam memposisikan HAM secara luas.
Maka, perlindungan anak adalah bagian yang tak terpisahkan dengan
perlindungan dan penegakan HAM.
Pasal 66 UU. No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia menyatakan
dengan tegas sebagai berikut :
1. Setiap anak berhak untuk tidak di jadikan sasaran penganiyaan,
penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat di jatuhkan
untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
3. Setiap anak berhak untuk tidak di rampas kebebasanya secara melawan
102
4. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh di
lakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat di
laksanakan sebagai upaya akhir.
5. Setiap anak yang di rampas kebebasanya berhak mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan
pengembangan pribadi sesuai dengan memperhatikan kebutuhan
pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus di pisahkan
dari orang dewasa , kecuali demi kepentinganya.
6. Setaipa anak yang di rampas kebebasanya berhak memperoleh bantuan
hukum atau bantuan lainya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku.
7. Setiap anak yang di rampas kebebasannya berhak untuk membela diri
dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan anak yang objektif dan
tidak memihak sidang yang tertutup untuk umum.
Khusus mengenai saksi terhadap anak dalam UU No. 3 Tahun 1997 di
tentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur
8 ( delapan ) samapai 12 (dua belas) tahun hanya di kenakan tindakan, seperti di
kembalikan kepada orang tuanya, di tempatkan pada oragnisasi sosial, atau di
serahkan kepada Negara. Anak yang telah berumur 12 ( dua belas) tahun sampai
18( delapan belas) tahun di jatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut di
dasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan pisik, mental, dan sosial anak.
Bagaimanapun, mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi
103
pengadilan anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Dengan demikian
proses peradilan perkara anak nakal sejak di tangkap, di tahan, di adili, dan di bina
selanjutnya, wajib di lakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami
masalah anak.130
Secara psikologis masalah kejahatan anak bukan saja jadi masalah
hakim, orang tuam masyarkat , ataupun pemerintah , tetapi ruang lingkup Dengan demikian dapat di pahami bahwa pertanggungjawaban pidana atas
tindak pidana yang di lakukan anak-anak tidaklah semat-,mata sebagai persoalan
yuridis, tetapai juga persoalan psikologis, sosiologis dan pedagogis. Kaum anak
dalam batasan umur yang di sebutkan di atas, wajib mendapatkan perindungan
hukum, sekalipun mereka harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang di
lakukan.
Dengan kata lain, pertanggungjwaban pidana kanak-kanak berada secara
diameteral dengan pertanggungjawaban pidana yang di lakukan kaum dewasa.
Dari mulai proses penyidikaan, tuntutan, bahkan penghukuman, tetap mengacu
kepada upaya-upaya perlindungan terhadap nasib dan masa depan kaum anak.
Syamsudin meliala menegaskan bahwa kompleksitas kejahatan yang di
lakukan anak-anak harus di pahami sebagai kesatuan kontruk berpikir bahwa
komunitas anak sebagai pelaku kejahatn tidaklah muncul begitu aja. Faktor
psikologi, misalnya, memberikan pengaruh yang signifikan bagi lahirnya
perbuatan pidana selengkapnya ia mengatakan sebagi berikut :
130
104
lebih luas lagi, yaitu menyeluruh, karena menyangkut kelanjutan masa
depan Negara…hasil perbauatan dan tindakan-tindakan anak boleh di
samakan dengan perbuatan orang-orang dewasa, namun cara atau pola
perbuatanya itu sendiri tetap tidak di samakan, karena apa, karena
pandangan ankan terhadap sesuatu itu berlainan dengan pnadangan
orang dewasa. Tingkah laku orang dewasa adalah tingkah laku yang
sempurna, sedangkan perangai si anak apabila di selidiki merupakan
suatu masalah krisis nilai saja , karena dalam pertumbuhan kemasa
remaja sedang dalam proses mencarai identitas diri.131
B. Persepektif Hukum Pidana Islam
Dalam perspektif hukum pidana islam ( Fiqih al-jinayah al-islamya),
pertanggungjawaban pidana disebut dengan istilah al-mas’ulyyah al-jinaiyah.
Menurut A.Hanafi, pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah
pembebanan seseorang akibat perbuatanya ( atau tidak berbuat dalam delik omisi)
yang di kerjakanya dengan kemauan sendiri di mana ia mengetahui
maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatnya itu.132
Berdasarkan pengertian ini, maka sebuah pertangungjawaban pidana
dalam syaria’at Islam di tegakkan atas tiga hal, yaitu : (1) adanya perbutan yang di
larang; (2) di kerjakan dengan kemauan sendiri; dan (3) perbuatanya mengetahui
akibat perbuatanya tersebut. Kalau ketiga hal itu ada, maka berlakulah
131
Meliala, A. Qirom Syamsuddin dan E. Sumaryono, kejahatan Anak suatu tinjauan dari Psikologi dan Hukum, ( Yogyakarta Liberty, 1985), hlm. 22-23
132
105
pertanggungjawaban pidanan. sebaliknya jika tidak ada, maka tidak ada
pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian ketiga hal tersebut merupakan
unsur –unsur dari pertanggungjawaban pidana.133
1. Hukuman memiliki daya kerja yang cukup, sehingga bisa menahan
untuk tidak mengulangi perbuatanya.
Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggungjwaban pidana
di maksudkan untuk memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat, atau
dengan kata lain sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat. Oleh karena
itu, besarnya hukuman, harus di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, yakni
tidak boleh melebihi apa yang di perlukan untuk melindungi kepentingan
masyarakat atau kurang dari yang di perlukan untuk menjatuhkan akibat-akibat
buruk dari perbuatan jarimah.
Sesuatu hukuman dapat dia anggap mewujudkan kepentingan masyarakat,
manakala memenuhi syarat-sayarat berikut ini :
2. Hukuman memilik daya kerja bagi orang lain, sehingga ia memikirkan
akan melakukan jarimah maka terpikir pula olehnya bahwa hukuman
yang akan menimpanya lebih besar dari pada keuntungan yang akan di
perolehnya.
3. Ada persesuaian antara hukuman dengan jarimah yang di perbuat.
133
106
4. ketentuan hukuman berisifat umum, artinya berlaku untuk setiap orang
yang melakukan jarimah tanpa memandang jabatan, keturunan, atau
pertimbangan-pertimbangan lain.134
Hubungan hukuman dengan pertanggungjawaban pidana di tentukan oleh
sifat “ keseorangan hukuman” yang merupakan salah satu dalam syariat islam, di
mana seseorang tidak bertanggungjawab kecuali terhadap jarimah yang telah di
perbuatnya sendiri, dan bagaimanapun juga tidak bertanggungjawab atas jarimah
orang lain sedekat apapun tali kekurangan atau tali persahabantanya anatara
keduanya.
Prinsip tersebut berkali-kali di tandaskan dalam Alquran surat an-nisa
ayat 123,135 al-Anam ayat 164,136Fathir ayat 18,137an-Najm ayata 39,138
134 Ibid
135
Artinya, “( pahala dari allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut angan-anagn ahli kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan di beri pembalasan dengan kejahatan itu adan ia tidak mendapat pelindung dan tidak ( pula) penolong baginya selain dari allah.”
136
Artinya, “ katankanlah : Apakah aku akan mencari tuhan selain Allah, padahal di adalah tuhan bagi segal sesuatu. Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudaratnnya kembali akan dirinya sendiri ; dan seorang yang berdosa tidka kembali, dan akn di beritakanya kepadamu apa yang kamu persilishkan.”
137
Artinya , dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil ( orang lain ) untuk memikul dosanya itu tiadaalah akan di pikikulkan untuknnya sedikitpun meskipun ( yang di panggilnya itu ) kaum kerabtanya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri perindagatan hanya orang-orang yang takut kepada azab tuhanya ( sekalipun )mereka tidak melihatnya dan mereka mendirikan shalat. Dan barang siapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri, dan kepada Allalah kembali mu.”
138
Artinya,” dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah di usahakan.”
107
fuslihat ayat 46,139dan juga hadis Nabi SAW yang berbunya : seseorang tidak di
hukum karena perbuatan ayahnya atau perbuatan saudaranya.140
Khusus dalam konteks pertanggungjawaban pidana, hukum islam
mensyaratkan kebalighan (dewasa).141 Maka, anak-anak tidak di kenakan
kewajiban mempertanggungjawabkan perbuatan pidana. Menurut syariat islam,
pertanggungjawaban pidana di dasarakn atas dua perkara, yakni pertama kekuatan
berpikir dan kedua pilihan ( iradah dan ikhtiar). ketentuan ini berdasarkan pada
hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi ; diangkat dalam tiga hal ; orang
yang di atur sampai terbangun, anak-anak sampai dewasa, dan orang gila sampai
ia terkala atau sembuh.142
Mengenai kedewasaan (baligh) sebagai pembebanan kewajiban agama
(takif) ada beberapa pendapat ulama. Ada yang mengatakan, apabila telah
berumur dua belas tahun, dan menurut pendapat Hadawiyah yang di kutip oleh
kahlani, seorang perempuan di anggap telah cukup apabila telah mencapai usia
lima belas tahun, dan telah menampakkan pertumbuhan biologis
kedewasaanya.143
139
Artinya , “”barangsiapa yang emnegrjakan amala yang saleh maka ( pahalanya) untuk dirinya sendir dan barang siapa yang berbuat jahat maka dosanya atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah tuhan mu menganiaya hamba-hambanya.”
140
Ibid
141
Kata baligh terambil dari akar kata balgha yang atrinya menerima, tiba (sampai), mencapai pubertas dan tahap usia dewasa. Usia baligh adalah usia yang di pandang tepat sebagi batas di mulainya kewajiban-kewajiban agama. Liha wehr, hans, A dictionary of modern Written Arabic ( otto Harrassowitz: Wiesbaden , 1979), hlm . 73
142
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, hadis ini di rawayatkan oleh imam yang empat kecuali Tirmizi, hadis ini di rawayakan oleh imam yang empat kecuali Tirmizi, dan di sahkan oleh Hakim, dan di keluarkan oleh Ibn Hibban. Lihat asqalani, ibn Hajar, bulugh Marram min Adillat al-Ahkam (singapura:Silaiman Mar’I,tt), hlm.136
143
Al-kahlani,Muhammad Ibn Ismail , subul as-Salam; Syarh Bulugh al-Maram, juz III
(Mesir :Mustafa al-Babi al-Halabi, 1960), hal 180-181
108
kalangan ulama mujtahid), menurut yang di utarakan oleh kahlani, adalah apabila
dia telah bermimpi ( bercampur dengan perempuan telah mengeluarkan
sperma).144
Sebagaimana di tegaskan di atas bahwa menurut syariat islam,
pertangungjawaban pidana di dasarkan atas dua perkara, yaitu ketentuan berpikir
dan pilihan ( iradah dan ikhtiyar), oleh karena itu kedudukan anak kecil
berbeda-beda menurut perberbeda-bedaan masa hidupnya. Setidaknya fukaha memberikan batasan
masa kanak-kanak sebagai berikut :
Sebelum batas kedewasaan tersebut di capai seseorang, maka belum dapat
di katakan mukllaf ( orang yang mendapatkan kewajiban agama), dan karenanya,
berdasarkan ketentuan hadis di atas, maka kepada orang itu tidak dapat di
pertanggungjawabkan tindak pidana yang di perbuatanya, dan karenanya ia tidak
dapat di hukum atas perbuatan tersebut.
145
1. masa tidak adanya kemampuan berpikir
masa ini di mulai sejak di lahirkan dan berakhir pada usia tujuh tahun.
Pada masa tersebut seorang anak di anggap tidak mempunyai kemampuan
berpikir, atau biasa disebut dengan anak belum mumayiz. Sebenarnya kemampuan
berpikir ( bisa membedakan, tamyiz) tidak terbatas pada usia tertentu, sebab
kemampuan berpikir kadang-kadang bisa timbul sebelum usia tujuh tahun
dianggap paling lazim dan memadai bagi seorang anak bisa membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk.
144
Ibid
145
109
jika pada usia tersebut mereka melakukan perbuatan pidana, maka ti