DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM
(Analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
BRINNA LISTIYANI
NIM : 1112045100003
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
BRINNA LISTIYANI. NIM : 1112045100003. BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM (Analisis Putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel), Skripsi. Konsentrasi Jinayah, Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Pertanggungjawaban pidana dapat dilaksanakan jika telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Namun, seseorang bisa saja tidak dimintai pertanggungjawaban apabila tidak memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana misalnya anak dibawah umur. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) pertanggungjawaban pidana anak ada di Pasal 45, 46 dan 47 yang berisikan seorang anak yang belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun tidak dimintai pertangungjawabannya. Undang-undang tentang pidana anak beraneka ragam dalam menetapkan batas usia seseorang dikategorikan sebagai anak.
Dalam putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.sel seseorang yang berusia 17 (tujuh belas) tahun masuk dalam Sidang Anak dan dijatuhi pidana sesuai undang-undang pengadilan anak. Putusan hakim ini berbeda dengan aturan pidana bagi anak dalam KUHP. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis membandingkan beberapa undang-undang yang mengatur tentang pidana anak dengan KUHP
Sedangkan menurut hukum Islam, seorang anak yang telah masuk usia
balligh ulama’ sepakat berusia 15 (lima belas) tahun sudah dimintai
pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang dilakukannya dan dihukum atau di sanksi sesuai dengan hukuman yang diberikan kepada orang dewasa.
Penulis menggunakan pendekatan normatif yang dilakukan dengan studi pustaka (library research), yaitu dengan menelaah buku-buku, media cetak atau elektronik yang berkaitang dengan batas usia pertanggungjawaban pidana anak.
Kata Kunci : Batas Usia Anak, Pertanngungjawaban Pidana Anak, Pembimbing : Dr. Isnawati Rais, MA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Sholawat beriring salam penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman terang
benderang.
Skripsi ini berjudul “BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT TUNJAUAN HUKUM ISLAM (Analisis Putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel) disusun sebagai salah satusyarat akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
sebesar-besarnya kepada :
1. Bpk Prof. Dede Rosyada, M.A, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bpk Dr. Asep Saefudin Djahar,M.A,Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bpk Dr. M. Nurul Irfan, M.A, Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam dan
Islam, yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan kepada
Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Hj. Isnawati Rais, sebagai dosen pembimbing yang rela meluangkan
waktunya dan selalu memberikan masukan, arahan dan kritikan yang
konstruktif pada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku dan
literature lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.
6. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang
telah diberikan kepada Penulis selama masa pendidikan berlangsung.
7. Terimakasih Ayahanda Nono Sumedji dan Ibunda Rinawati, yang telah
mengajarkan bahasa cinta dan kasih sayang serta doa tulus beliau yang tak
henti-hentinya. Om Pahrudin Saputra dan Teh Nila Yanti yang telah
memberikan dukungan baik moral dan materi kepada Penulis. Adik
kandungku Najla Nurul Aini, yang rela membantu dan memberi motivasi
demi kelancaran Penelitian. Terimakasih kepada
8. Rahmat Syarifudin, yang telah memberikan motivasi secara moral dan materi
agar penulis tetap semangat sehingga tugas akhir skripsi ini dapat
terselesaikan.
9. Terimakasih Rahmat Syarifudin, yang telah memberikan motivasi agar
penulis segera menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
11.Terimakasih Organisasi Himpunan Ikatan Mahasiswa Tebuireng (HIKMAT)
dan Organisasi PMII Komfaksyahum, yang telah menjadi himpunan sebagai
wadah pengetahuan dan pengalaman dalam mencari jati diri.
12.Terimakasih teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi ini
bersama-sama, Arief Setiawan Onira, Imas Maesaroh, M. Faruq, M. Irfan Hilmy, Sevi
Syophia, Nidaul Hasanah, Deni Kurniawati, Afiq Zaki Lubis, Munawaroh
Halimah, Lativah Noor, Rizky Faray dan lainnya yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu. Terimakasih kalian telah memberikan bantuan agar
penulis menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
Semoga atas segala bantuan, dukungan, motivasi dan do’a untuk Penulis mendapat balasan yang paling layak dari-Nya, dan skripsi ini berguna bagi
wacana keislman, kepada-Nya kita memohon Rahmat dan Hidayah-Nya. Amin
YaRabbal’Alamin
Jakarta, 30 September 2015 M
28 Dzul-Hijjah 1437
(BRINNA LISTIYANI)
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii
SURAT PERNYATAAN ...iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latarbelakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
D. Kajian (Review) Studi Terdahulu ... 10
E. Metode Penelitian ... 11
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II :TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ... 15
A. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam ... 15
B. Alasan Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana ... 27
C. Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Islam ... 40
BAB III : BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK .. 50
A. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum
C. Perlindungan Hukum Bagi Anak Bermasalah Dengan Hukum.. 60
BAB IV : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ANALISIS PUTUSAN No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel TENTANG BATASAN USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK ... 64
A. Putusan Pengadilan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel ... 64
B. Tinjauan Hukum Positif terhadap putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel ... 67
C. Tinjauan Hukum Islam terhadap Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel ... 69
BAB V : PENUTUP ... 74
A. KESIMPULAN ... 74
B. SARAN ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 78
1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai
perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan ada aturan pidananya.1 Hukum
Pidana yang berupa aturan-aturan tertulis itu disusun, dibuat dan diundangkan
untuk diberlakukan. Hukum pidana yang wujudnya terdiri dari susunan
kalimat-kalimat tertulis setelah diundangkan untuk diberlakukan di masyarakat, akan
menjadi efektif dan dirasa mencapai keadilan serta kepastian hukumnya apabila
penerapannya sesuai.2
Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik yang berisi
ketentuan-ketentuan tentang ; 3
a. Aturan hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan tertentu yang
disertai dengan ancaman berupa sanksi pidana,
b. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar untuk dapat
dijatuhkan sanksi. Berisi tentang kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana akan terjadi jika seseorang telah melakukan
tindak pidana.4 Pertanggungjawaban pidana dalam KUHP harus memenuhi dua
1
Teguh Prasetyo,Hukum Pidana Edisi Revisi,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. 3, hlm. 4
2
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2008) Cet.1, hlm.3
3
Teguh Prasetyo,Hukum Pidana Edisi Revisi,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. 3, hlm. 9
4
unsur yaitu kemampuan fisik dan moral (pasal 44 ayat 1 dan 2).5 Dengan
demikian, seseorang yang tidak memiliki kemampuan fisik dan kemampuan moral
ini tidak dimintai pertanggungjawaban pidana. Secara implisit yang dimaksud
dengan tidak adanya kemampuan fisik adalah seseorang yang kekuatan daya dan
kecerdasan akalnya terganggu atau tidak sempurna contohnya idiot, buta, tuli
sejak lahir. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak adanya kemampuan moral
adalah sakit jiwa, gila dan epilepsi6.
Menurut Adami Chazawi norma dari perumusan perundang-undangan
pada Pasal 44 ini jelas ada 2 penyebab tidak dibebani pertanggungjawaban pidana
yaitu ;
a) karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (idiot, buta, tuli sejak lahir) dan,
b) karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit (sakit jiwa, gila dan eilepsi) .7
Kemampuan seseorang untuk membedakan perbuatan yang boleh
dilakukan dan tidak boleh untuk dilakukan ini menyebabkan ia dianggap wajib
mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang melanggar aturan dalam hukum
pidana.8 Kemampuan yang dapat membedakan baik dan benar adalah unsur
seseorang wajib mempertanggungjawakan perbuatannya. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45, 46 dan 47 seseorang yang belum
berumur enam belas tahun tidak dimintai pertanggungjawaban pidana. Dengan
5
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur,(Bandung : PT.Alumni, 2010) Cet.1, hlm 46
6
Epilepsi adalah suatu gangguan pada sistem syaraf otak manusia karena terjadinya aktivitas yang berlbihan dari sekelompok sel neuron pada otak sehingga menyebabkan berbagai reaksi pada tubuh manusia muai dari bengong sesaat, kesemutan, gangguan kesadaran, kejang-kejang dan atau kontraksi otot.
7
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2008 ) Cet.1, hlm.20
8
demikian, anak yang belum berusia enam belas tahun tidak dapat mintai
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan.
Anak sebagai calon penerus generasi bangsa yang masih dalam masa
perkembangan fisik dan mental. Anak dengan segala pengertian dan definisinya
memiliki perbedaan karakteristik dengan orang dewasa. Namun, seringkali anak
justru dihadapkan dengan proses hukum yang berujung sampai hukuman
penjara.9
Menurut seorang Psikolog Vinaya S.Psi., Msi pengertian anak dalam
perspektif psikolog adalah individu yang berusia antara 3-11 tahun. Diatas usia 11
tahun individu dianggap sudah memasuki usia remaja.10 Pada tahap konkrit
operasional yaitu berumur 7-11 tahun anak yang sudah dapat membedakan suatu
peristiwa. Oleh sebab itu pada tahap ini sangatlah rawan jika pembentukan
perilaku anak tidak diperhatikan oleh orang tua atau pendidik. Dapat
menyebabkan terbentuknya perilaku yang menyimpang dan gejala kenakalan
anak. 11
Pengertian Anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak Pasal 1 ayat 1 adalah “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang di dalam kandungan.”
Anak yang dapat disidangkan kepengadilan menurut UU No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 4 ayat 1 “ Batas umur anak nakal yang
9
Alghiffari Aqsa, dkk, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum,(Jakarta : LBH, 2012) Cet.1, hlm.3
10
Alghiffari Aqsa, dkk, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum,(Jakarta : LBH, 2012) Cet.1, hlm.12
11
dapat diajukan ke sidang anak adalah 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”
Sedangkan dalam Undang-undang yang terbaru UU No.11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat 3 “Anak yang Berkonflik
dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur
12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.”
Dengan demikian, dalam perundang-undangan ini penentuan batas usia
anak yang dapat diperkarakan ke persidangan anak itu tidak sama. Dengan adanya
perbedaan batas usia dari perundang-undangan ini di harapkan hakim
menjadikannya bahan pertimbangan penjatuhan pidananya. Penjatuhan pidana
dapat berdampak buruk bagi keadaan anak maka dari itu diharapkan penjatuhan
pidana ini sebagai upaya pembinaan dan perlindungan anak.12
Perundang-undangan yang terbaru dimaksudkan agar penjatuhan pidana terhadap anak dapat
dipertimbangkan sesuai dengan usia anak dan bukan untuk menyiksa namun
untuk membimbing anak untuk tidak melakukannya lagi.
Dalam proses persidangan pun, seorang anak yang bermasalah dengan
hukum juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi. Dalam Konvensi Hak Anak
terdapat 4 (empat) prinsip umum yag menjadi dasar dan acuan bagi para pihak
khususnya Negara saat melakukan kewajibannya memenuhi, menghormati dan
12
melindungi hak-hak anak, yaitu : 13 pertama,prinsip non-diskriminasi. Kedua,
prinsip kepentingan terbaik anak. Ketiga, prinsip atas keberlangsungan hidup dan
perkembangan. Keempat, prinsip penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam menegakkan perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan
hukum, proses peradilan anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan
penuntutan perkara harus mendahulukan perlindungan kepentingan anak.14 Oleh
karena itu proses peradilan anak bukanlah ditunjukkan pada penghukuman,
melainkan perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak yang
melakukan tindak pidana.
Islam mengampuni anak yang melakukan perbuatan maksiat (dilarang
agama) dan tidak meminta pertanggungjawabannya kecuali ia telah baligh. 15
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nur [24] : 59
Artinya : “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah
mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin….”
Menurut ayat di atas seseorang telah di mintai pertanggungjawabannya
jika telah mencapai usia baligh. Seorang anak yang belum mencapai usia baligh
walaupun melakukan tindak pidana tidaklah dimintai pertanggungjawaban. Selain
anak kecil yang tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang
13
Restaria F Hutabarat, dkk, Memudarnya Batas Kejahatan Dan Penegakan Hukum : Situasi Pelanggaran Hak Anak Dalam Peradilan Pidana, (Jakarta : LBH Jakarta, 2012) hlm. 11-12
14
Namdang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindunga Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013) Cet.1, hlm. 101
15
dilakukannya. Adapun seseorang yang sudah dewasa dan berakal tidak dimintai
mempertanggungjawabkan perbuatannya yaitu pertama,halangan alami seperti :
gila, dungu, ayan, lupa. Kedua, halangan tidak alami seperti : bodoh, mabuk dan
dipaksa. 16
Dalam Islam diatur tentang hak-hak anak serta kewajiban orang tua dalam
pendidikan anak usia dini dalam pembentukan karakter anak. Sebagaimana Allah
SWT berfirman dalam Q.S At-Tahrim [66] : 6
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Orang tua memiliki kewajiban dalam
memenuhi hak pendidikan anak dan melindungi anak dari hal-hal yang dilarang
oleh agama yang mana dapat menjerumuskan ke dalam neraka.
Seorang anak yang lahir dan menuju kedewasaan atau usia baligh
mengalami beberapa fase saat menuju usia dewasa. 17 Fase pertama, yaitu tamyiz
segala perbuatannya tidak dianggap sebagai tidakan hukum. Fase kedua, yaitu
fase murahiq dimana seorang anak berada di antara masa tamyiz dan baligh dan
jika melakukan pelanggaran maka di hukum dengan maksud mendidik. Fase yang
16
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh di Terjemahkan oleh SaefullahMa’shum
dkk.(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2013) Cet.XVII, hlm.514
17
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh di Terjemahkan oleh SaefullahMa’shum
ketiga , yaitu fase mencapai usia dewasa dan taklif (dibebani hukum). Seorang
anak yang telah baligh mulailah kewajiban melaksanakan semua hukum-hukum
yang berlaku atas orang dewasa inilah yang disebut mukallaf.18
Fase murahiq terjadi pada tujuh tahun sampai dengan usia baligh yaitu
lima belas tahun. Jika anak mencapai usia lima belas tahun, datang kepadanya
pengalaman yang lain dari yang lain.19 Salah satu tanda masuknya usia baligh
yaitu keluarnya mani bagi laki-laki (ihtilam) dan haid bagi wanita.
Sebenarnya tidak ada ketentuan usia yang sama saat seorang anak
mengalami ihtilam ataupun haid. Fuqaha berselisih pendapat tentang usia baligh.
Menurut Imam Auza‟i, Imam Ahmad, Imam Syafi‟I, Imam Abu Yusuf dan
Muhammad jika anak telah telah genap berusia 15 tahun, dia dianggap telah
baligh. Menurut para penganut Imam Malik punya tiga pendapat, pertama 17
tahun. Kedua, 18 tahun. Ketiga, 15 tahun. Menurut Imam Abu Hanifah punya dua
riwayat, pertama 17 tahun, kedua 18 tahun sedangkan anak perempuan
menurutnya 17 tahun. Sedangkan menurut Imam Abu Daud tidak ada batasan usia
bagi tercapainya baligh dan pedomannya hanyalah ihtilam.20
Dalam kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Rendi Ardiansah, yang
masih berumur 17 tahun dimana terdakwa melakukan penganiayaan tehadap
korban bernama Dewi Nurani. Rendi Ardiansah mendapatkan tuntutan dari Jaksa
karena melanggar Pasal 351 (4) KUHP . Hakim menjatuhkan pidana terhadap
18
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi,( Jakarta : Fikr, 2007) hlm. 431
19
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi,( Jakarta : Fikr, 2007) hlm. 425-426
20
terdakwa mempertimbangkan keadaan memberatkan dan keadaan meringankan
dari terdakwa, salah satu keadaan yang meringankan karena terdakwa masih
dalam kategori anak. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menetapkan terdakwa
Rendi Ardiansah dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan denda sebesar
Rp 2.000 (dua ribu rupiah).
Dalam kasus Rendi Ardiansah (17 tahun) Terdakwa mendapat keringanan
sanksi disebabkan terdakwa masih kategori anak. Padahal jika dalam hukum Islam
seseorang sudah dimintai pertanggungjawaban pidananya jika telah baligh atau
telah mencapai umur 15 tahun, jumhur berbeda pendapat.
Hukum positif dan Hukum Islam memiliki persamaan bahwa seseorang
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika telah memenuhi beberapa syarat
dan ketentuan salah satunya batas usia yang telah ditetapkan dari masing-masing
aturan baik menurut Hukum positif atau Hukum Islam.
Namun, permasalahan batas usia dalam pertanggungjawaban pidana yang
dilakukan oleh anak di bawah umur menjadi perbincangan yang menarik untuk
dibahas mengingat terjadi ketidakseragaman antara hukum Positif sendiri dan
hukum Islam mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana. Maka penulis
tertarik untuk mencoba meneliti dan menuangkan permasalahan ini dalam skripsi
dengan judul “BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK
DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT
TINJAUAN HUKUM ISLAM (ANALISIS PUTUSAN
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1. Pembatasan Masalah
Fokus penelitian yang akan penulis teliti ini adalah batas usia
pertanggungjawaban pidana anak, melakukan penelitian dengan peninjauan
menurut hukum Islam khususnya pada putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dari
penelitian ini yaitu:
a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana anak menurut Kitab Undang Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan hukum Islam?
b. Berapa batas usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif
dan hukum Islam?
c. Bagamaina hukum Islam meninjau tentang batas usia pertanggungjawaban
pidana anak terhadap analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana anak menurut hukumpositif
dan hukum Islam.
b. Untuk mengetahui batasan usia pertanggungjawaban pidana anak menurut
c. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap analisa putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel.
2. Manfaat Penelitian
a. Menambah pengetahuan bagi penulis dan masyarakat tentang
pertanggungjawaban pidana anak baik menurut Islam dan hukum yang berlaku
di Indonesia.
b. Memberikan informasi serta menambah refrensi untuk penulis dan masyarakat
mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana anak baik menurut Islam dan
hukum yang berlaku di Indonesia.
c. Memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. KAJIAN (REVIEW) STUDI TERDAHULU
Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis pada kajian terdahulu
sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian ini. Adapun
kajian terdahulu yang menjadi acuan antara lain :
1. Batas Minimal Usia Cakap Hukum Dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam,
Skripsi karya Ibnu Abbas Jurusan Perbandingan Mazhab UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Penelitian ini membahas tentang batas
minimal usia yang cakap hukum dalam UU No 3 tahun 1997 tentang
pengadilan anak ditinjau menurut hukum Islam.
Anak, Skripsi karya Maman Abdul Rahman Jurusan Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015. Penelitian ini membahas tentang
Bagaimana pertanggungjawaban pidana anak menurut Hukum Islam dan UU
No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam kajian terdahulu diatas, para penulis tidak memfokuskan kajian
pada batas usia anak dalam pertanggungjawaban pidana, sebagaimana yang
penulis lakukan. Oleh karena itulah, perlu dilakukan kajian khusus yang
membahas tentang permasalahan tersebut.
E. METODE PENELITIAN
Adapun Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat
diuraikan penulis sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum
normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang
dipergunakan di dalam penelitian bahan pustaka yang ada.21 Objek
penelitiannya antara lain norma-norma, kaidah-kaidah, asas-asas dan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam suatu perundang-undangan, lanasan filosofi,
sosiologis dan yuridis.22
2. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan
dan pedekatan historis.
21
https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/ (di akses pada tanggal 20 November 2015 pukul 17.00)
22
3. Sumber Data
Sumber data pada umumnya adalah data sekunder, yang terdiri atas bahan
hukum dan bahan non-hukum.Bahan hukum mencakup bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.23
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang
membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–undangan,
dan putusan hakim.24Perundang-undangan yang yang berlaku dan
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, yang akan penulis bahas
yakni adalah UU No 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, UU No 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No 23 Tahun 202
Tentang Perlindungan Anak, KUHP dan KUHAP, serta dalil-dalil yang
ada dalam Al-qur‟an dan Hadist.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum menjelaskan
mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat
atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu
secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti akan
mengarah.Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan diperoleh dari
penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang terkait dengan penelitian
ini.Seperti buku, skripsi, tesis, jurnal hukum dan lain-lain.
23
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Atma Jaya, 2007) hlm.28
24
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara
library research (studi pustaka) dilakukan dengan cara menelaah buku-buku
yang berkaitan dengan penelitian judul skripsi ini. Baik berupa peraturan
perundang-undangan ataupun berupa buku-buku.
6. Teknik Analisis Data
Metode analisis data yang biasanya digunakan adalah metode kulitatif.Data
skripsi ini menggunakan analisis kualitatif yakni menarik kesimpulan secara
deskriptif dan deduktif dan seluruh data yang didapatkan akan diklasifikasikan
dari bentuk yang bersifat umum sehingga mendapatkan gambaran kesimpulan
yang spesifik.
7. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penulis memakai acuan dari “pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penelitian hukum terdapat sistematika penelitian yang berguna
untuk memudahkan peneliti menelaah dan mengkaji penelitian ini yang berjudul :
“Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Kitab Undang
Pada BAB I, PENDAHULUAN yang berisi tentang uraian latar belakang,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
(review) studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Pada BAB II, Teori Pertanggungjawaban dalam Hukum Positif dan Hukum Islam
yang berisi tentang definisi pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif dan
Islam, Alasan hapusnya pertanggungjawaban pidana, Pertanggungjawaban pidana
anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum Islam.
Pada BAB III, Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak berisi tentang Batas
usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif, Batas usia
pertanggungjawaban pidana anak menurut Hukum Islam Serta Perlindungan
Hukum Bagi Anak Bermasalah Dengan Hukum
Pada BAB IV, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel Tentang Batas Usia Pertanggungjawaban
Pidana Anak berisi tentang Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel (Deksrisi
Kasus, Dakwaan, Amar Putusan), Tinjauan Hukum Positif terhadap putusan
No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel dan Tinjaun Hukum Islam Terhadap Putusan
No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel
Pada BAB V, KESIMPULAN yang berisi tentang kesimpulan dari hasil
15
TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
A. Teori Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu Negara, hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu dengan
masyarakat atau Negara yang disebut hukum publik.1 Hukum Pidana dibagi
menjadi dua bagian yaitu hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum
pidana juga di klasifikasikan lagi kepada siapa hukum pidana ini berlaku yang
disebut hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.2 Tujuan dari hukum
pidana dilaksanakan untuk mengatur kepentingan umum, karena sifatnya yang
ditunjukkan untuk kepentingan masyarakat.
Hukum Pidana materil adalah hukum yang berisi tentang norma dan
sanksinya dan bagaimana seseorang dapat dijatuhi pidana. Sedangkan hukum
pidana formil adalah tata cara pelaksanaan pidana bagi seseorang yang melakukan
tindak pidana bisa disebut dengan hukum acara pidana. 3 Hukum acara pidana ini
sebagai hukum yang menegakkan hukum pidana materil.
Yang dimaksud dengan hukum pidana umum adalah hukum pidana yang
diberlakukan kepada semua masyarakat tanpa terkecuali. Dan dalam
pelasksanaannya menggunakan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
1
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm 24
2
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 52
3
(KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan hukum pidana khusus ini adalah
dibuat dan diberlakukan kepada hal atau orang tertentu. Dalam pelaksanaannya
pun juga mempunyai hukum acara khususnya sendiri dan berbeda dengan
KUHAP.4
Hukum pidana mengatur secara seluruh hukum publik untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam penerapannya haruslah berdasarkan
asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana salah satunya adalah Asas Legalitas
(Principle of Legality). Asas Legalitas dalam Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat 1 “tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali
atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan”.
Dikutip oleh Mahrus Ali menurut Komariah Emong Sapardjaja dalam
Asas Legalitas ini terdapat empat prinsip dalam penerapannya yaitu :5
1. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa udang-undang
sebelumnya atau bisa disebut berlaku surut (mundur).
2. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa rumusan delik yang
jelas.
3. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa undnag-undang yang
tidak tertulis, hakim dalam menjatuhkan putusan haruslah dengan
4
Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)
Cet.VIII, hlm.3
5
undang yang tertulis bukan dengan kebiasaan yang berkembang di
masyarakat.
4. Tidak diperbolehkannya menerapkan pertauran hukum pidana dengan sebuah
analogi.
Asas Legalitas memiliki dua fungsi yaitu fungsi melindungi dan fungsi
instrumental.6 Dengan adanya kedua fungsi ini dimakdsudkan agar pemerintah
tidak menjatuhkan sanksi pidana terhadap masyarakat yang belum jelas dan tetap
Undang Undangnya walaupun telah melanggar dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan menurut masyarakat.
Perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan ini belum tentu bisa
dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Menurut Moeljatno perbuatan pidana
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi yang melanggar larangan tersebut.7 Perbuatan
yang tidak benar yang dilakukan seseorang dapat dikenakan sanksi jika telah ada
hukum yang mengaturnya dan disebut sebagai perbuatan pidana.
Perbuatan pidana yang dapat dikenakan hukuman (sanksi) perumusan
undang-undang dari perbuatan itu haruslah mengandung sifat melawan hukum.8
menurut Andi Zainal Abidin, bahwa salah satu unsur delik adalah sifat melawan
hukum yang dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu asal
6
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 71
7
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 99
8
undang pidana. Karenanya janggal jika seseorang dipidana tanpa adanya unsur
yang melawan hukum.9
Sifat melawan hukum dalam hukum pidana dibagi menjadi sifat melawan
hukum formil dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil
adalah suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur
dalam undang-undang yang tertulis.10 Sedangkan sifat melawan hukum materil
adalah pada hakikatnya tidak berdasarkan perundang-undangan, oleh karenanya
mengambil suatu putusan tanpa dasar hukum formil merupakan suatu tindakan
yang didasarkan suatu alasan pembenaran yang kuat.11
Hukum Pidana merupakan salah satu sarana dalam penanggulangan
kejahatan dan aturan yang menyejahterakan masyarakat. Namun demikian,
pelaksanaan pemidanaan hanya dapat dijatuhkan apabila subyek hukum telah
memenuhi dua syarat, yaitu kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
Hal ini karena azas dalam hukum pidana adalah Geen straf zonder schud
atau Actus non facit reum nisi mens sir rea yang berarti Tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan (Asas Legalistas). Tetapi ketentuan ini tidak berlaku dalam hukum
9
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 144
10
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm71
11
Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)
pidana fiskal. Dalam hukum pidana fiskal, pertanggungjawaban dapat dijatuhkan
tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar (leer van het materiele feit). 12
Adapun Pertanggungjawaban pidana mengatur tentang subyek hukum
yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum. Hal ini disebabkan tidak
semua subyek hukum masuk dalam kategori cakap hukum.13 Pertanggungjawaban
pidana bisa di mintai kepada perbuatan seseorang yang cakap hukum karena tidak
semua orang yang itu cakap hukum.
Pertanggungjawaban pidana menurut istilah asing biasa disebut
dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility. Menurut Pompee,
sebagaimana dikutip Iman, pertanggungjawaban pidana mempunyai beberapa
sinonim, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.14
Konsep “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal
dengan ajaran kesalahan. Kesalahan adalah dapat dicelanya si pelanggar karena
dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin
melakukan perbuatan tersebut.15
Dikutip oleh Frans Maramis, menurut D. Simons kesalahan adalah
keadaan batin (psychis) pelaku dan hubungannya dengan perbuatan yang
dilakukan sedemikian rupa, sehingga berdasarkan keadaan tersebut seseorang
12
Moeljatno, Asas –Asas Hukum Pidana,(Jakarta : PT Rineka Cipta, 1993) Cet.V, hlm.153
13
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,(Yogyakarta : Liberty, 2003) Cet.I, hlm. 75
14
http://imanhsy.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html ( di akses pada tanggal 17 April 2016 pukul 12.50)
15
dapat dicela atas perbuatannya. Istilah kesalahan dapat digunakan dalam arti
psikologis dan normatif. Kesalahan psikologis adalah kesalahan dari sudut
keadaan psikologis yang sesungguhnya dari seseorang. Sedangkan kesalahan
normatif adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain terhadap pelaku.16
Adapun unsur-unsur kesalahan ada tiga unsur, yaitu :
1. Kemampuan bertanggungjawab dari pelaku.
2. Sikap batin tertentu dari pelaku sehubungan dengan perbuatannya yang berupa
adanya kesengajaan dan kealpaan.
3. Tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan atau menghapuskan
pertanggungjawaban pidana pada diri pelaku.17
Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan,
dimana kondisi batin normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam
membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk sesuai dengan
kehendaknya.18
Berdasarkan rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 44 (1)
seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya apabila kurang
sempurnanya akal dan sakit ingatan.19 Di kutip oleh Leden Marpaung Menurut
16
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) hlm. 114-115
17
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,) hlm. 116
18
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 171
19
Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)
W.F.C van Hattum yang disebut dengan kurang sempurnanya akal dan sakit
ingatan adalah pertumbuhan yang tidak sempurna atau gangguan penyakit.
Pertumbuhan yang tidak sempurna tersebut haruslah diartikan sebagai
suatu pertumbuhan yang lebih sempurna secara biologis, bukan secara pikiran.
Seperti contohnya idiot.20 Sedangkan sakit ingatan misalanya seperti gila, epilepsy
dan penyakit jiwa yang lainnya.21
Unsur yang kedua dari teori kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan.
Secara Yuridis formal (dalam KUHP) tidak ada satu pasal pun yang memberikan
batasan atau pengertian tentang kesengajaan.22 Dikutip oleh Mahrus Ali, menurut
Memorie van Toelichting (Perumusan Kitab Undang Hukum Pidana) kesengajaan
sama dengan “willens en wetens” (dikendaki atau diketahui).23
Yang dimaksud dengan “willens en wetens” (dikendaki atau diketahui)
adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus
menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten)
akan akibat dari perbuatan itu.24
Kesengajaan dalam ilmu hukum pidana memiliki dua teori yaitu, teori
kehendak dan teori membayangkan. Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak
20
Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm. 53
21
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt515e437b33751/apakah-seorang-yang -gila-bisa-dipidana (diakses pada tanggal 20 April 2016, pukul 10.52)
22
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 213
23
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 174
24
pidana jika memiliki kehendak yang dapat memenuhi unsur-unsur delik dalam
rumusan undang-undang.25 Sedangkan Teori membayangkan, teori ini
mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat
namun jika akibat tersebut timbul karena membayangkan melakukan suatu
tindakan maka unsur kesengajaan ada pada si pelanggar.26
Menurut para pakar pidana kesengajaan memiliki tiga bentuk yaitu : 27
1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk).
2. Sengaja dengan kesadaran tentang keharusan (opzet bij
noodzakelijkheids-bewustzijn).
3. Sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan (opzet bij
mogelijkheids-bewustzjin).
Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willes en wetens dimana
pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya tersebut.
Kesengajaan sebagai keharusan dimana pelaku memandang akibat dari apa yang
akan dilakukannya tidak sebagai hal yang akan terjadi, namun hanya sebagai
suatu kemungkinan yang pasti.28
Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak diberikan penjelasan
mengenai teori kealpaan (culpa), sama seperti teori kesengaajan. Karena tidak
25
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 214
26
Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm. 14
27
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,)
hlm. 121
28
adanya penjelasan tentang teori kealpaan, maka penjelasan teori kelapaan banyak
diberikan dari doktrin.29 Menurut Mahrus Ali dalam buku karangannya yang
berjudul Dasar Dasar Hukum Pidana, kelapaan adalah pelaku sama sekali tidak
memiliki niat kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan yang
dilarang oleh hukum.30
Menurut H.B. Vos, unsur yang tidak dapat dilepaskan dari terbentuknya kealpaan,
yaitu :
1. Pembuat dapat menduga.
2. Tidak adanya kehati-hatian.31
Maksud dari unsur pembuat dapat menduga adalah seorang pelaku harus
dapat dibuktikan bahwa ia dapat menduga akibat dari perbuatannya sebelum ia
benar-benar melakukannya.32 Sedangkan unsur tidak ada kehati-hatian yaitu
pelaku tidak berhati-hati melakukan sesuatu yang dapat ia duga akibatnya.
Walaupun sudah berhati-hati tetap saja dapat terjadi kealpaan dari perbuatannya.33
Unsur ketiga dan terakhir bagi terlaksananya pertanggungjawaban yaitu
tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang tetap dimintai
pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang dapat
29
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 248
30
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 175
31
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,)
hlm. 125
32
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 251
33
menghapus kesalahannya.34 Menurut Tongat, dalam bukunya disebutkan empat
alasan yang dapat menghapus kesalahan, yaitu :
1. Tidak mampu bertanggungjawab ( diatur dalam Pasal 44 KUHP)
2. Daya paksa ( diatur dalam Pasal 48 KUHP)
3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (diatur dalam Pasal 49 (2) KUHP)
4. Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (diatur
dalam Pasal 51 (2) KUHP).
Dalam Hukum Islam, hukum pidana merupakan terjemahan dari kata Fiqh
Jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana
atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf (orang yang dapat
dibebani kewajiban)35 Adapun dua syarat sah seorang mukallaf dapat dibebani
kewajiban, yaitu :
1. Mukallaf dapat memahami dalil taklifi, maksudnya adalah dia dapat
memahami nash-nash undang-undang yang dibebankan dari al-Qur‟an dan as
-sunnah dengan langsung atau dengan perantara.
2. Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya.36
Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam
Islam, diperlukan unsur normatif dan moral. Unsur normatif adalah aspek yang
34
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 267
35
Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)Cet.I, hlm.1
36
mempunyai unsur materil dimana sikap yang dapat dinilai sebagai suatu
pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt. Sedangkan
unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima seseuatu yang secara
nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Seseorang ini yang
disebut Mukallaf.37
Dalam melaksanakan unsur materil tindak pidana (jarimah), pelaku bisa
saja menyelesaikan ataupun tidak menyelesaikan aksinya. Hal ini bisa disebut
sebagai percobaan tindak pidana (al-jarimah gair at-tammah) dan tindak pidana
yang sempurna (al-jarimah at-tammah).
Pelaku percobaan tindak pidana (al-jarimah gair at-tammah) diberikan
hukuman ta’zir. Seseorang yang melakukan percobaan tindak pidana tidak
dihukum dengan qishash dan hudud karena dua hal ini mempunyai unsur dan
syarat yang tidak bisa diubah oleh hakim. Sedangkan ta’zir ketentuan hukumnya
bisa dipertimbangkan oleh hakim diperberat atau diperingan.38
Pelaku tindak pidana sempurna (al-jarimah at-tammah) diberikan
hukuman sesuai dengan perbuatannya. Apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi
maka perbuatannya sudah sempurna.39 Misalnya pelaku penganiayaan, jika
seseorang melakukan penganiayaan dan telah memenuhi unsur-unsur tindak
pidana penganiayaan maka ia wajib dihukum sesuai dengan hukuman yang
berlaku bagi penganiaya.
37
Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)Cet.I, hlm.22
38
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 20
39
Menurut Abdul Qadir Audah, Hukuman adalah sanksi hukum yang telah
ditetukan untuk kemaslahatan masyarakat karena melanggar perintah Syari’
(Allah SWT dan Rasul-Nya).40 Hukuman diterapkan demi mencapai kemslahatan
baik bagi masyarakat ataupun pelaku sendiri. Adapun tujuan dari pelaksanaan
hukuman yaitu :
1. Harus mampu menghindarkan seseorang dari berbuat maksiat. Baik mencegah
perbuatanya ataupun menjerakannya pelaku untuk tidak berbuat seperti itu
lagi.
2. Memberikan hukuman kepada pelaku bukan bermaksud untuk membalas
dendam, tetapi untuk kemaslahatan dirinya sendiri. Allah SWT mensyariatkan
hukuman sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk memberikan ihsan
kepada hamba-Nya. Jadi, seseorang yang bertanggungjawab melaksanakan
hukuman harus mempunyai pengetahuan bahwa pelaksanaan hukuman bukan
bermaksud membalaskan dendam korban. Tetapi memberikan ihsan dan
rahmat kepada.41
Seseorang yang melakukan jarimah haruslah memertanggungjawabkan
perbuatannya. Dalam pertanggungjawaban pidana seorang mukallaf harus
bertanggungjawab atas akibat dari perbuatan yang dilakukannya . Menurut Islam
ada tiga dasar mukallaf wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya, yaitu:
1. Perbuatan haram yang dilakukan pelaku.
40
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian III, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 19
41
2. Si pelaku memiliki pilihan (tidak dipaksa).
3. Si pelaku memiliki pengetahuan (idrak).42
Apabila ketiga dasar ini ada, maka pertanggungjawaban pidana haruslah
ada. Tetapi, jika salah satunya tidak ada maka seseorang tidak dapat
mempertanggungajawabkan perbuatanya. Faktor (sabab) dijadikan oleh oleh
Syar’I sebagai tanda atas hasil/ efek (musabab) dari terjadinya suatu pelanggaran
(melawan hukum). Jika ada sabab namun tidak ada musabab, dan juga sebaliknya
jika tidak ada sabab namun ada musabab maka tidak dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya.43
Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah
perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang atau
meninggalakan perbuatan yang diperintahkan oleh syara‟. Jadi sebab
pertanggungjawaban pidana adalah melakukan kejahatan. Untuk adanya
pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua syarat, yaitu adanya idrak dan
ikhtiar.44
Menurut Abdul Qadir Audah teori pertanggungjawaban memiliki
tingkatan-tingkatan pertanggungjawaban pidana ada empat, yaitu :
1. Disengaja (Al-„Amdu), yang dimaksud dengan sengaja adalah si pelaku berniat
melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Misalnya, seseorang berniat
42
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 66
43
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 74
44
mencuri jika ia melakukannya maka ia melakukan pencurian itu dengan
sengaja.45
2. Menyerupai Disengaja (Syibhul „Amdi), Pengertian syibhul „ambdi adalah
dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan hukum, tetapi akibat
perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam tindak pidana pembunuhan, ukuran
syibhul „amdi ini dikaitkan dengan alat yang digunakan. Kalau yang
digunakan itu bukan alat yang biasa (ghalib) untuk membunuh maka
perbuatan tersebut termasuk kepada perbuatan menyerupai sengaja.46
3. Kesalahan, maksudnya adalah si pelaku melakukan perbuatan tanpa maksud
membuat kejahatan. Misalnya, seseorang hendak menembak seekor burung
namun meleset mengenai manusia.
4. Yang dianggap tersalah, ada dua keadaan yang dapat dianggap tersalah.
Pertama, pelaku tidak bermaksud melakukan suatu perbuatan tetapi perbuatan
itu terjadi akibat kelalaiannya. Kedua, pelaku menjadi penyebab tidak
langsung terjadinya perbuatan yang dilarang dan ia tidak bermaksud
melakukannya.47
B. ALASAN HAPUSNYA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
45
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 77
46
http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2012/03/petanggungjawaban-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 11 Mei 2016 pukul 19.15)
47
Dalam sub bab sebelumnya sudah diuraikan bahwa terlaksananya
pertanggungjawaban yaitu tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang
tetap dimintai pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang
dapat menghapus kesalahannya.
Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar
denganalasan penghapusan kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf.
Dibedakannya alasan pembenar dan alasan pemaaf karena keduanya mempunyai
fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada „pembenaran‟ atas
tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan
pemaaf berdampak pada „pemaafan‟ pembuatannya sekalipun telah melakukan
tindak pidana yang melawan hukum.48
Dalam hukum positif pertanggungjawaban pidana diatur dalam Buku
Kesatu Bab III Kitab Undang Undang Hukum Pidana mulai Pasal 44 sampai
dengan Pasal 51. Dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, pertanggungjawaban
pidana tidak dapat dijatuhkan kepada:
1. Adanya ketidakmampuan bertanggungjawab.
2. Anak-anak yang belum berusia 16 tahun.
3. Daya Paksa
4. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
5. Menjalankan perintah Undang undang.
48
6. Melaksanakan perintah jabatan.
Kategori yang tidak dapat dijatuhi pidana yang pertama adalah seseorang
yang tidak mampu bertanggungjawab. Dikutip oleh Adam Chazawi menurut M.v.t
( Perumusan Kitab Undnag Undang Hukum Pidana ) seseorang tidak mampu
bertanggungjawab harus memenuhi dua unsur yaitu:
1. Apabila si pelanggar tidak memiliki kebebasan antara memilih berbuat atau
tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan dalam
Undang-undang.
2. Apabila si pelanggar berada dalam satu keadaan yang mana ia tidak dapat
menyadari bahwa perbuatnnya dilarang menurut Undnag Undang.49
Seorang Anak yang masih belum mencapai usia 16 tahun adalah termasuk
seseorang yang tidak dapat dijatuhi pidana kategori kedua, dalam Kitab Undang
Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45, 46 dan 47. Dalam penuntutan di muka
pengadilan, seorang hakim bisa mengadilinya dengan memerintahkan bahwa si
anak bersalah dan dikembalikan kepada orang tua atau wali tanpa menjatuhkan
hukuman kepadanya dan tidak dimintai pertanggungjawabannya dikarenakan usia
yang belum mencapai 16 tahun.50
Kategori seseorang yang tidak dapat dijatuhi pidana yang ketiga adalah
daya paksa. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) daya paksa
diatur dalam Pasal 48 yang menyatakan bahwa “niet straafbaar is hijdie een feit
49
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm. 20
50
begat waartoe hij door overmacht is gedrogen” yang artinya barang siapa yang
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. 51 Dikutip oleh
Mahrus ali, menurut Leden Marpaung daya paksa secara teoritis dibagi menjadi
dua macam yaitu:
a. Daya Paksa Mutlak (Vis Absoluta)
b. Daya Paksa Relatif (Vis Compulsiva)
Yang dimaksud dengan daya paksa mutlak adalah suatu keadaan yang
dimana paksaan dan tekanan yang sedemikian kuatnya pada diri seseorang,
sehingga ia tidak dapat lagi berbuat sesuatu selain apa yang dipaksakan
kepadanya. Sedangkan daya paksa relatif adalah daya paksa yang dimaksudkan
dalam Pasal 48 KUHP. Daya paksa relatif ini suatu paksaan dan tekanan yang
sedemikian rupa menekan seseorang sehingga ia berada dalam keadaan yang
serba salah, yaitu suatu keadaan yang memaksanya untuk melakukan hal yang
sudah pasti melanggar hukum.52
Kategori yang keempat adalah Pembelaan terpaksa yang melampaui batas
(noodweer ekses) adalah perbuatan pidana yang dilakukan sebagai pembelaan
pada saat seseorang mengalami suatu serangan atau ancaman serangan dapat
membebaskan pelakunya dari ancaman hukuman jika sifat pembelaan terseut
sebanding dengan bobot serangan atau ancaman serangan itu sendiri.53
51
Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2011) hlm. 181
52
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm.30-31
53
Kategori yang kelima adalah melaksanakan perintah Undang-undang pada
Pasal 50 KUHP disebutkan “ barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan pidana
untuk melaksanakan peraturan undang-undang tidak dipidana.” Sebetulnya pasal
ini ditunjukan untuk mengantisipasi bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan
berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang Undang. Karena perbuatan
yang yang menjadi wewenang berdasarkan Undang undang tidaklah mungkin
diancam pidana menurut Undang-undang yang lain. 54
Kategori yang keenam dan yang terakhir adalah ketentuan mengenai
perintah jabatan yang tidak sah diatur dalam Pasal 51 (2) KUHP yang berbunyi
"Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali
jika yang diperintahkan dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan
wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaan.” 55
Suatu perintah jabatan yag tidak sah,dengan demikian menghapuskan
dapat dipidananya seseorang. Perbuatan yang dilakukannya, tetap bersifat
melawan hukum hanya saja si pelaku tidak dipidana. Dan si pelaku harus
memenuhi dua syarat yaitu Pertama, ia menduga bahwa perintah tersebut adalah
sah yang diberikan oleh pejabat yang kompeten. Kedua, perintah masih dalam
ruang lingkup pekerjaan (wewenang si pelaku). 56
Dalam Islam, seseorang wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya
jika telah memenuhi tiga dasar yang telah dijelaskan di sub bab sebelumnya yaitu
54
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm.56
55
KUHP
56
perbuatan haram yang dilakukan pelaku, pelaku memiliki pilihan (ikhtiar) dan
pelaku memiliki pengetahuan (idrak). Jika tidak memiliki tiga dasar ini, maka
seseorang yang melakukan suatu kejahatan tidak diwajibkan
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Adapun Sebab-sebab yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak wajib
dipertanggungjawabkan yaitu Sebab Pembenaran (asbab al-ibahah) atau sebab
dibolehkannya perbuatan yang dilarang. Dan Sebab Pemaafan (asbab raf’i al
-uqubah) atau sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku tersebut.57
Dasar dari penghapusan pidana yang pertama adalah sebab pembenaran.
Dengan adanya sebab pembenaran maka suatu perbuatan kehilangan sifat
melawan hukumnya, sehingga mejadi legal atau boleh dan pembuatnya tidak
dapat disebut pelaku tindak pidana.58Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa
sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu :
1. Pembelaan Yang Sah (Ad dafi‟ As Syar‟iyyu)
2. Pendidikan dan pengajaran (At ta‟dibu)
3. Pengobatan (At Tathbiibu)
4. Permainan olah raga (Al „aab Al Furusiyah)
5. Hapusnya jaminan keselamatan jiwa dan anggota badan (Ihdar) seseorang
6. Hak-hak dan kewajiban penguasa
57
http://vannbie.blogspot.co.id/2012/06/pertanggung-jawaban-hukum-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 07.05)
58
Pembelaan yang sah dibagi menjadi dua macam yaitu pembelaan khusus
dan pembelaan umum. Pembelaan khusus (Difa’ Asy-Syar’I al-Khass) dalam
hukum Islam maksudnya adalah kewajiban manusia menjaga dirinya atau orang
lain dan untuk mempertahankan hartanya atau harta orang lain. Pembelaan khusus
bersifat wajib bertujuan untuk menolak serangan.59 Allah SWT berfirman dalam
Q.S Al-Baqarah [2] : 194
Artinya : “Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang
dengan serangannya terhadapmu.”
Para fuqaha sepakat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah
untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap
jiwa, kehormatan, dan harta benda.60
Sedangkan yang dimaksud dengan pembelaan umum (Difa’ Asy-Syar’I Al
-„Am). Pembelaan untuk kepentingan umum atau dalam istilah Amar ma’ruf nahi
munkar. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar hanya
diwajibkan bagi orang yang mmpu melaksanakannya sedangkan yang lainnya
tidak wajib.61 Seperti Firman Allah SWT Q.S Ali Imran [3] : 104
59
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 138
60
http://artikelkuislami.blogspot.co.id/2012/01/hukum-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 17 Mei 2016 pukul 11.03)
61
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar.”
Sebab pembenaran yang kedua adalah pendidikan, seorang ayah memiliki
hak untuk memberikan pendidikan terhadap anaknya yang maih kecil dan baligh.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berbeda dengan mazhab Hanafi.
Mereka berpendapat bahwa pendidikan kepada anak kecil secara umum adalah
hak bukan kewajiban. Adapun mazhab Hanafi memandang pendidikan terhadap
anak kecil secara umum adalah wajib atau paling tidak, wajib apabila bertujuan
untuk mengajarinya.62Tujuan menjatuhkan hukuman dalam mendidik anak
hanyalah untuk memberikan bimbingan dan perbaikan, bukan untuk pembalasan
atau kepuasan hati. Karena itu, watak dan kondisi anak harus diperhatikan terlebih
dahulu sebelum menjatuhkan hukuman.
Sebab pembenaran yang ketiga adalah pengobatan, kerugian yang
disebabkan oleh dokter yang mempuni dan kredibel yang dilakukan tana adanya
kecerobohan tidak ditanggung sama sekali oleh dokter.63 para fuqaha sepakat
bahwa dokter tidak bertanggungjawab apabila pekerjaannya mengakibatkan hasil
yang membahayakan si pasien.
62
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 181
63
Namun, jika ada orang yang berlaku selayaknya dokter tanpa memiiki
keilmuan untuk menyembuhkan suatu penyakit yang di derita oleh pasien maka ia
wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi sesuatu terhadap
pasien. Rasulullah Saw bersabda.
ا ث ح
اِ ِ
نْب
راَ ع
ِشا ر
نب
ِْيِع س
ْيِ َرلا
اا ق
:
ا ث
يِل لْا
نْبا
ِ ْس
.
ا ث
نْبا
جْي ر ج
ْن ع
ِرْ ع
ِنْب
ِبْيي ع ش
ْن ع
ِيِب أ
ْن ع
ِِ ج
لا ق
:
لا ق
ل س ر
له
.
"
ْن
بَ ط ت
ل
ْ ع ي
ِ