• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batas usia pertanggungjawaban pidana anak dalam kitab undang-undang hukum pidana menurut tinjauan hukum islam (Analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Batas usia pertanggungjawaban pidana anak dalam kitab undang-undang hukum pidana menurut tinjauan hukum islam (Analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel)"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM

(Analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

BRINNA LISTIYANI

NIM : 1112045100003

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

BRINNA LISTIYANI. NIM : 1112045100003. BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM (Analisis Putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel), Skripsi. Konsentrasi Jinayah, Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.

Pertanggungjawaban pidana dapat dilaksanakan jika telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Namun, seseorang bisa saja tidak dimintai pertanggungjawaban apabila tidak memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana misalnya anak dibawah umur. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) pertanggungjawaban pidana anak ada di Pasal 45, 46 dan 47 yang berisikan seorang anak yang belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun tidak dimintai pertangungjawabannya. Undang-undang tentang pidana anak beraneka ragam dalam menetapkan batas usia seseorang dikategorikan sebagai anak.

Dalam putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.sel seseorang yang berusia 17 (tujuh belas) tahun masuk dalam Sidang Anak dan dijatuhi pidana sesuai undang-undang pengadilan anak. Putusan hakim ini berbeda dengan aturan pidana bagi anak dalam KUHP. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis membandingkan beberapa undang-undang yang mengatur tentang pidana anak dengan KUHP

Sedangkan menurut hukum Islam, seorang anak yang telah masuk usia

balligh ulama’ sepakat berusia 15 (lima belas) tahun sudah dimintai

pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang dilakukannya dan dihukum atau di sanksi sesuai dengan hukuman yang diberikan kepada orang dewasa.

Penulis menggunakan pendekatan normatif yang dilakukan dengan studi pustaka (library research), yaitu dengan menelaah buku-buku, media cetak atau elektronik yang berkaitang dengan batas usia pertanggungjawaban pidana anak.

Kata Kunci : Batas Usia Anak, Pertanngungjawaban Pidana Anak, Pembimbing : Dr. Isnawati Rais, MA

(6)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena

atas nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Sholawat beriring salam penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW

yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman terang

benderang.

Skripsi ini berjudul “BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT TUNJAUAN HUKUM ISLAM (Analisis Putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel) disusun sebagai salah satusyarat akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih

sebesar-besarnya kepada :

1. Bpk Prof. Dede Rosyada, M.A, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Bpk Dr. Asep Saefudin Djahar,M.A,Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bpk Dr. M. Nurul Irfan, M.A, Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam dan

(7)

Islam, yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan kepada

Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Hj. Isnawati Rais, sebagai dosen pembimbing yang rela meluangkan

waktunya dan selalu memberikan masukan, arahan dan kritikan yang

konstruktif pada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah

memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku dan

literature lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.

6. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang

telah diberikan kepada Penulis selama masa pendidikan berlangsung.

7. Terimakasih Ayahanda Nono Sumedji dan Ibunda Rinawati, yang telah

mengajarkan bahasa cinta dan kasih sayang serta doa tulus beliau yang tak

henti-hentinya. Om Pahrudin Saputra dan Teh Nila Yanti yang telah

memberikan dukungan baik moral dan materi kepada Penulis. Adik

kandungku Najla Nurul Aini, yang rela membantu dan memberi motivasi

demi kelancaran Penelitian. Terimakasih kepada

8. Rahmat Syarifudin, yang telah memberikan motivasi secara moral dan materi

agar penulis tetap semangat sehingga tugas akhir skripsi ini dapat

terselesaikan.

9. Terimakasih Rahmat Syarifudin, yang telah memberikan motivasi agar

penulis segera menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

(8)

11.Terimakasih Organisasi Himpunan Ikatan Mahasiswa Tebuireng (HIKMAT)

dan Organisasi PMII Komfaksyahum, yang telah menjadi himpunan sebagai

wadah pengetahuan dan pengalaman dalam mencari jati diri.

12.Terimakasih teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi ini

bersama-sama, Arief Setiawan Onira, Imas Maesaroh, M. Faruq, M. Irfan Hilmy, Sevi

Syophia, Nidaul Hasanah, Deni Kurniawati, Afiq Zaki Lubis, Munawaroh

Halimah, Lativah Noor, Rizky Faray dan lainnya yang tidak bisa saya

sebutkan satu persatu. Terimakasih kalian telah memberikan bantuan agar

penulis menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

Semoga atas segala bantuan, dukungan, motivasi dan do’a untuk Penulis mendapat balasan yang paling layak dari-Nya, dan skripsi ini berguna bagi

wacana keislman, kepada-Nya kita memohon Rahmat dan Hidayah-Nya. Amin

YaRabbal’Alamin

Jakarta, 30 September 2015 M

28 Dzul-Hijjah 1437

(BRINNA LISTIYANI)

(9)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

SURAT PERNYATAAN ...iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latarbelakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Kajian (Review) Studi Terdahulu ... 10

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II :TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ... 15

A. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam ... 15

B. Alasan Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana ... 27

C. Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Islam ... 40

BAB III : BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK .. 50

A. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum

(10)

C. Perlindungan Hukum Bagi Anak Bermasalah Dengan Hukum.. 60

BAB IV : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ANALISIS PUTUSAN No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel TENTANG BATASAN USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK ... 64

A. Putusan Pengadilan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel ... 64

B. Tinjauan Hukum Positif terhadap putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel ... 67

C. Tinjauan Hukum Islam terhadap Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel ... 69

BAB V : PENUTUP ... 74

A. KESIMPULAN ... 74

B. SARAN ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(11)

1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai

perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan ada aturan pidananya.1 Hukum

Pidana yang berupa aturan-aturan tertulis itu disusun, dibuat dan diundangkan

untuk diberlakukan. Hukum pidana yang wujudnya terdiri dari susunan

kalimat-kalimat tertulis setelah diundangkan untuk diberlakukan di masyarakat, akan

menjadi efektif dan dirasa mencapai keadilan serta kepastian hukumnya apabila

penerapannya sesuai.2

Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik yang berisi

ketentuan-ketentuan tentang ; 3

a. Aturan hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan tertentu yang

disertai dengan ancaman berupa sanksi pidana,

b. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar untuk dapat

dijatuhkan sanksi. Berisi tentang kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana akan terjadi jika seseorang telah melakukan

tindak pidana.4 Pertanggungjawaban pidana dalam KUHP harus memenuhi dua

1

Teguh Prasetyo,Hukum Pidana Edisi Revisi,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. 3, hlm. 4

2

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2008) Cet.1, hlm.3

3

Teguh Prasetyo,Hukum Pidana Edisi Revisi,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. 3, hlm. 9

4

(12)

unsur yaitu kemampuan fisik dan moral (pasal 44 ayat 1 dan 2).5 Dengan

demikian, seseorang yang tidak memiliki kemampuan fisik dan kemampuan moral

ini tidak dimintai pertanggungjawaban pidana. Secara implisit yang dimaksud

dengan tidak adanya kemampuan fisik adalah seseorang yang kekuatan daya dan

kecerdasan akalnya terganggu atau tidak sempurna contohnya idiot, buta, tuli

sejak lahir. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak adanya kemampuan moral

adalah sakit jiwa, gila dan epilepsi6.

Menurut Adami Chazawi norma dari perumusan perundang-undangan

pada Pasal 44 ini jelas ada 2 penyebab tidak dibebani pertanggungjawaban pidana

yaitu ;

a) karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (idiot, buta, tuli sejak lahir) dan,

b) karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit (sakit jiwa, gila dan eilepsi) .7

Kemampuan seseorang untuk membedakan perbuatan yang boleh

dilakukan dan tidak boleh untuk dilakukan ini menyebabkan ia dianggap wajib

mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang melanggar aturan dalam hukum

pidana.8 Kemampuan yang dapat membedakan baik dan benar adalah unsur

seseorang wajib mempertanggungjawakan perbuatannya. Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45, 46 dan 47 seseorang yang belum

berumur enam belas tahun tidak dimintai pertanggungjawaban pidana. Dengan

5

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur,(Bandung : PT.Alumni, 2010) Cet.1, hlm 46

6

Epilepsi adalah suatu gangguan pada sistem syaraf otak manusia karena terjadinya aktivitas yang berlbihan dari sekelompok sel neuron pada otak sehingga menyebabkan berbagai reaksi pada tubuh manusia muai dari bengong sesaat, kesemutan, gangguan kesadaran, kejang-kejang dan atau kontraksi otot.

7

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2008 ) Cet.1, hlm.20

8

(13)

demikian, anak yang belum berusia enam belas tahun tidak dapat mintai

pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan.

Anak sebagai calon penerus generasi bangsa yang masih dalam masa

perkembangan fisik dan mental. Anak dengan segala pengertian dan definisinya

memiliki perbedaan karakteristik dengan orang dewasa. Namun, seringkali anak

justru dihadapkan dengan proses hukum yang berujung sampai hukuman

penjara.9

Menurut seorang Psikolog Vinaya S.Psi., Msi pengertian anak dalam

perspektif psikolog adalah individu yang berusia antara 3-11 tahun. Diatas usia 11

tahun individu dianggap sudah memasuki usia remaja.10 Pada tahap konkrit

operasional yaitu berumur 7-11 tahun anak yang sudah dapat membedakan suatu

peristiwa. Oleh sebab itu pada tahap ini sangatlah rawan jika pembentukan

perilaku anak tidak diperhatikan oleh orang tua atau pendidik. Dapat

menyebabkan terbentuknya perilaku yang menyimpang dan gejala kenakalan

anak. 11

Pengertian Anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak Pasal 1 ayat 1 adalah “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang di dalam kandungan.”

Anak yang dapat disidangkan kepengadilan menurut UU No. 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 4 ayat 1 “ Batas umur anak nakal yang

9

Alghiffari Aqsa, dkk, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum,(Jakarta : LBH, 2012) Cet.1, hlm.3

10

Alghiffari Aqsa, dkk, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum,(Jakarta : LBH, 2012) Cet.1, hlm.12

11

(14)

dapat diajukan ke sidang anak adalah 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai

umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”

Sedangkan dalam Undang-undang yang terbaru UU No.11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat 3 “Anak yang Berkonflik

dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur

12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana.”

Dengan demikian, dalam perundang-undangan ini penentuan batas usia

anak yang dapat diperkarakan ke persidangan anak itu tidak sama. Dengan adanya

perbedaan batas usia dari perundang-undangan ini di harapkan hakim

menjadikannya bahan pertimbangan penjatuhan pidananya. Penjatuhan pidana

dapat berdampak buruk bagi keadaan anak maka dari itu diharapkan penjatuhan

pidana ini sebagai upaya pembinaan dan perlindungan anak.12

Perundang-undangan yang terbaru dimaksudkan agar penjatuhan pidana terhadap anak dapat

dipertimbangkan sesuai dengan usia anak dan bukan untuk menyiksa namun

untuk membimbing anak untuk tidak melakukannya lagi.

Dalam proses persidangan pun, seorang anak yang bermasalah dengan

hukum juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi. Dalam Konvensi Hak Anak

terdapat 4 (empat) prinsip umum yag menjadi dasar dan acuan bagi para pihak

khususnya Negara saat melakukan kewajibannya memenuhi, menghormati dan

12

(15)

melindungi hak-hak anak, yaitu : 13 pertama,prinsip non-diskriminasi. Kedua,

prinsip kepentingan terbaik anak. Ketiga, prinsip atas keberlangsungan hidup dan

perkembangan. Keempat, prinsip penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam menegakkan perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan

hukum, proses peradilan anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan

penuntutan perkara harus mendahulukan perlindungan kepentingan anak.14 Oleh

karena itu proses peradilan anak bukanlah ditunjukkan pada penghukuman,

melainkan perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak yang

melakukan tindak pidana.

Islam mengampuni anak yang melakukan perbuatan maksiat (dilarang

agama) dan tidak meminta pertanggungjawabannya kecuali ia telah baligh. 15

Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nur [24] : 59







Artinya : “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah

mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin….”

Menurut ayat di atas seseorang telah di mintai pertanggungjawabannya

jika telah mencapai usia baligh. Seorang anak yang belum mencapai usia baligh

walaupun melakukan tindak pidana tidaklah dimintai pertanggungjawaban. Selain

anak kecil yang tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang

13

Restaria F Hutabarat, dkk, Memudarnya Batas Kejahatan Dan Penegakan Hukum : Situasi Pelanggaran Hak Anak Dalam Peradilan Pidana, (Jakarta : LBH Jakarta, 2012) hlm. 11-12

14

Namdang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindunga Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013) Cet.1, hlm. 101

15

(16)

dilakukannya. Adapun seseorang yang sudah dewasa dan berakal tidak dimintai

mempertanggungjawabkan perbuatannya yaitu pertama,halangan alami seperti :

gila, dungu, ayan, lupa. Kedua, halangan tidak alami seperti : bodoh, mabuk dan

dipaksa. 16

Dalam Islam diatur tentang hak-hak anak serta kewajiban orang tua dalam

pendidikan anak usia dini dalam pembentukan karakter anak. Sebagaimana Allah

SWT berfirman dalam Q.S At-Tahrim [66] : 6





















Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu

dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya

malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa

yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang

diperintahkan.”

Ayat ini menjelaskan bahwa Orang tua memiliki kewajiban dalam

memenuhi hak pendidikan anak dan melindungi anak dari hal-hal yang dilarang

oleh agama yang mana dapat menjerumuskan ke dalam neraka.

Seorang anak yang lahir dan menuju kedewasaan atau usia baligh

mengalami beberapa fase saat menuju usia dewasa. 17 Fase pertama, yaitu tamyiz

segala perbuatannya tidak dianggap sebagai tidakan hukum. Fase kedua, yaitu

fase murahiq dimana seorang anak berada di antara masa tamyiz dan baligh dan

jika melakukan pelanggaran maka di hukum dengan maksud mendidik. Fase yang

16

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh di Terjemahkan oleh SaefullahMa’shum

dkk.(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2013) Cet.XVII, hlm.514

17

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh di Terjemahkan oleh SaefullahMa’shum

(17)

ketiga , yaitu fase mencapai usia dewasa dan taklif (dibebani hukum). Seorang

anak yang telah baligh mulailah kewajiban melaksanakan semua hukum-hukum

yang berlaku atas orang dewasa inilah yang disebut mukallaf.18

Fase murahiq terjadi pada tujuh tahun sampai dengan usia baligh yaitu

lima belas tahun. Jika anak mencapai usia lima belas tahun, datang kepadanya

pengalaman yang lain dari yang lain.19 Salah satu tanda masuknya usia baligh

yaitu keluarnya mani bagi laki-laki (ihtilam) dan haid bagi wanita.

Sebenarnya tidak ada ketentuan usia yang sama saat seorang anak

mengalami ihtilam ataupun haid. Fuqaha berselisih pendapat tentang usia baligh.

Menurut Imam Auza‟i, Imam Ahmad, Imam Syafi‟I, Imam Abu Yusuf dan

Muhammad jika anak telah telah genap berusia 15 tahun, dia dianggap telah

baligh. Menurut para penganut Imam Malik punya tiga pendapat, pertama 17

tahun. Kedua, 18 tahun. Ketiga, 15 tahun. Menurut Imam Abu Hanifah punya dua

riwayat, pertama 17 tahun, kedua 18 tahun sedangkan anak perempuan

menurutnya 17 tahun. Sedangkan menurut Imam Abu Daud tidak ada batasan usia

bagi tercapainya baligh dan pedomannya hanyalah ihtilam.20

Dalam kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Rendi Ardiansah, yang

masih berumur 17 tahun dimana terdakwa melakukan penganiayaan tehadap

korban bernama Dewi Nurani. Rendi Ardiansah mendapatkan tuntutan dari Jaksa

karena melanggar Pasal 351 (4) KUHP . Hakim menjatuhkan pidana terhadap

18

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi,( Jakarta : Fikr, 2007) hlm. 431

19

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi,( Jakarta : Fikr, 2007) hlm. 425-426

20

(18)

terdakwa mempertimbangkan keadaan memberatkan dan keadaan meringankan

dari terdakwa, salah satu keadaan yang meringankan karena terdakwa masih

dalam kategori anak. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menetapkan terdakwa

Rendi Ardiansah dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan denda sebesar

Rp 2.000 (dua ribu rupiah).

Dalam kasus Rendi Ardiansah (17 tahun) Terdakwa mendapat keringanan

sanksi disebabkan terdakwa masih kategori anak. Padahal jika dalam hukum Islam

seseorang sudah dimintai pertanggungjawaban pidananya jika telah baligh atau

telah mencapai umur 15 tahun, jumhur berbeda pendapat.

Hukum positif dan Hukum Islam memiliki persamaan bahwa seseorang

dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika telah memenuhi beberapa syarat

dan ketentuan salah satunya batas usia yang telah ditetapkan dari masing-masing

aturan baik menurut Hukum positif atau Hukum Islam.

Namun, permasalahan batas usia dalam pertanggungjawaban pidana yang

dilakukan oleh anak di bawah umur menjadi perbincangan yang menarik untuk

dibahas mengingat terjadi ketidakseragaman antara hukum Positif sendiri dan

hukum Islam mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana. Maka penulis

tertarik untuk mencoba meneliti dan menuangkan permasalahan ini dalam skripsi

dengan judul “BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK

DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT

TINJAUAN HUKUM ISLAM (ANALISIS PUTUSAN

(19)

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1. Pembatasan Masalah

Fokus penelitian yang akan penulis teliti ini adalah batas usia

pertanggungjawaban pidana anak, melakukan penelitian dengan peninjauan

menurut hukum Islam khususnya pada putusan

No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dari

penelitian ini yaitu:

a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana anak menurut Kitab Undang Undang

Hukum Pidana (KUHP) dan hukum Islam?

b. Berapa batas usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif

dan hukum Islam?

c. Bagamaina hukum Islam meninjau tentang batas usia pertanggungjawaban

pidana anak terhadap analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana anak menurut hukumpositif

dan hukum Islam.

b. Untuk mengetahui batasan usia pertanggungjawaban pidana anak menurut

(20)

c. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap analisa putusan

No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel.

2. Manfaat Penelitian

a. Menambah pengetahuan bagi penulis dan masyarakat tentang

pertanggungjawaban pidana anak baik menurut Islam dan hukum yang berlaku

di Indonesia.

b. Memberikan informasi serta menambah refrensi untuk penulis dan masyarakat

mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana anak baik menurut Islam dan

hukum yang berlaku di Indonesia.

c. Memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. KAJIAN (REVIEW) STUDI TERDAHULU

Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis pada kajian terdahulu

sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian ini. Adapun

kajian terdahulu yang menjadi acuan antara lain :

1. Batas Minimal Usia Cakap Hukum Dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam,

Skripsi karya Ibnu Abbas Jurusan Perbandingan Mazhab UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Penelitian ini membahas tentang batas

minimal usia yang cakap hukum dalam UU No 3 tahun 1997 tentang

pengadilan anak ditinjau menurut hukum Islam.

(21)

Anak, Skripsi karya Maman Abdul Rahman Jurusan Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015. Penelitian ini membahas tentang

Bagaimana pertanggungjawaban pidana anak menurut Hukum Islam dan UU

No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam kajian terdahulu diatas, para penulis tidak memfokuskan kajian

pada batas usia anak dalam pertanggungjawaban pidana, sebagaimana yang

penulis lakukan. Oleh karena itulah, perlu dilakukan kajian khusus yang

membahas tentang permasalahan tersebut.

E. METODE PENELITIAN

Adapun Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat

diuraikan penulis sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum

normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang

dipergunakan di dalam penelitian bahan pustaka yang ada.21 Objek

penelitiannya antara lain norma-norma, kaidah-kaidah, asas-asas dan

prinsip-prinsip yang terkandung dalam suatu perundang-undangan, lanasan filosofi,

sosiologis dan yuridis.22

2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan

dan pedekatan historis.

21

https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/ (di akses pada tanggal 20 November 2015 pukul 17.00)

22

(22)

3. Sumber Data

Sumber data pada umumnya adalah data sekunder, yang terdiri atas bahan

hukum dan bahan non-hukum.Bahan hukum mencakup bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.23

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang

membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–undangan,

dan putusan hakim.24Perundang-undangan yang yang berlaku dan

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, yang akan penulis bahas

yakni adalah UU No 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, UU No 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No 23 Tahun 202

Tentang Perlindungan Anak, KUHP dan KUHAP, serta dalil-dalil yang

ada dalam Al-qur‟an dan Hadist.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum menjelaskan

mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat

atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu

secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti akan

mengarah.Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan diperoleh dari

penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang terkait dengan penelitian

ini.Seperti buku, skripsi, tesis, jurnal hukum dan lain-lain.

23

Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Atma Jaya, 2007) hlm.28

24

(23)

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara

library research (studi pustaka) dilakukan dengan cara menelaah buku-buku

yang berkaitan dengan penelitian judul skripsi ini. Baik berupa peraturan

perundang-undangan ataupun berupa buku-buku.

6. Teknik Analisis Data

Metode analisis data yang biasanya digunakan adalah metode kulitatif.Data

skripsi ini menggunakan analisis kualitatif yakni menarik kesimpulan secara

deskriptif dan deduktif dan seluruh data yang didapatkan akan diklasifikasikan

dari bentuk yang bersifat umum sehingga mendapatkan gambaran kesimpulan

yang spesifik.

7. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah

penulis memakai acuan dari “pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam penelitian hukum terdapat sistematika penelitian yang berguna

untuk memudahkan peneliti menelaah dan mengkaji penelitian ini yang berjudul :

“Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Kitab Undang

(24)

Pada BAB I, PENDAHULUAN yang berisi tentang uraian latar belakang,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

(review) studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Pada BAB II, Teori Pertanggungjawaban dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

yang berisi tentang definisi pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif dan

Islam, Alasan hapusnya pertanggungjawaban pidana, Pertanggungjawaban pidana

anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum Islam.

Pada BAB III, Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak berisi tentang Batas

usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif, Batas usia

pertanggungjawaban pidana anak menurut Hukum Islam Serta Perlindungan

Hukum Bagi Anak Bermasalah Dengan Hukum

Pada BAB IV, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan

No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel Tentang Batas Usia Pertanggungjawaban

Pidana Anak berisi tentang Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel (Deksrisi

Kasus, Dakwaan, Amar Putusan), Tinjauan Hukum Positif terhadap putusan

No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel dan Tinjaun Hukum Islam Terhadap Putusan

No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel

Pada BAB V, KESIMPULAN yang berisi tentang kesimpulan dari hasil

(25)

15

TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

A. Teori Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di

suatu Negara, hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu dengan

masyarakat atau Negara yang disebut hukum publik.1 Hukum Pidana dibagi

menjadi dua bagian yaitu hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum

pidana juga di klasifikasikan lagi kepada siapa hukum pidana ini berlaku yang

disebut hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.2 Tujuan dari hukum

pidana dilaksanakan untuk mengatur kepentingan umum, karena sifatnya yang

ditunjukkan untuk kepentingan masyarakat.

Hukum Pidana materil adalah hukum yang berisi tentang norma dan

sanksinya dan bagaimana seseorang dapat dijatuhi pidana. Sedangkan hukum

pidana formil adalah tata cara pelaksanaan pidana bagi seseorang yang melakukan

tindak pidana bisa disebut dengan hukum acara pidana. 3 Hukum acara pidana ini

sebagai hukum yang menegakkan hukum pidana materil.

Yang dimaksud dengan hukum pidana umum adalah hukum pidana yang

diberlakukan kepada semua masyarakat tanpa terkecuali. Dan dalam

pelasksanaannya menggunakan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

1

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm 24

2

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 52

3

(26)

(KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan hukum pidana khusus ini adalah

dibuat dan diberlakukan kepada hal atau orang tertentu. Dalam pelaksanaannya

pun juga mempunyai hukum acara khususnya sendiri dan berbeda dengan

KUHAP.4

Hukum pidana mengatur secara seluruh hukum publik untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam penerapannya haruslah berdasarkan

asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana salah satunya adalah Asas Legalitas

(Principle of Legality). Asas Legalitas dalam Kitab Undang Undang Hukum

Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat 1 “tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali

atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,

sebelum perbuatan dilakukan”.

Dikutip oleh Mahrus Ali menurut Komariah Emong Sapardjaja dalam

Asas Legalitas ini terdapat empat prinsip dalam penerapannya yaitu :5

1. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa udang-undang

sebelumnya atau bisa disebut berlaku surut (mundur).

2. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa rumusan delik yang

jelas.

3. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa undnag-undang yang

tidak tertulis, hakim dalam menjatuhkan putusan haruslah dengan

4

Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)

Cet.VIII, hlm.3

5

(27)

undang yang tertulis bukan dengan kebiasaan yang berkembang di

masyarakat.

4. Tidak diperbolehkannya menerapkan pertauran hukum pidana dengan sebuah

analogi.

Asas Legalitas memiliki dua fungsi yaitu fungsi melindungi dan fungsi

instrumental.6 Dengan adanya kedua fungsi ini dimakdsudkan agar pemerintah

tidak menjatuhkan sanksi pidana terhadap masyarakat yang belum jelas dan tetap

Undang Undangnya walaupun telah melanggar dan melakukan

perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan menurut masyarakat.

Perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan ini belum tentu bisa

dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Menurut Moeljatno perbuatan pidana

adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu, bagi yang melanggar larangan tersebut.7 Perbuatan

yang tidak benar yang dilakukan seseorang dapat dikenakan sanksi jika telah ada

hukum yang mengaturnya dan disebut sebagai perbuatan pidana.

Perbuatan pidana yang dapat dikenakan hukuman (sanksi) perumusan

undang-undang dari perbuatan itu haruslah mengandung sifat melawan hukum.8

menurut Andi Zainal Abidin, bahwa salah satu unsur delik adalah sifat melawan

hukum yang dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu asal

6

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 71

7

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 99

8

(28)

undang pidana. Karenanya janggal jika seseorang dipidana tanpa adanya unsur

yang melawan hukum.9

Sifat melawan hukum dalam hukum pidana dibagi menjadi sifat melawan

hukum formil dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil

adalah suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur

dalam undang-undang yang tertulis.10 Sedangkan sifat melawan hukum materil

adalah pada hakikatnya tidak berdasarkan perundang-undangan, oleh karenanya

mengambil suatu putusan tanpa dasar hukum formil merupakan suatu tindakan

yang didasarkan suatu alasan pembenaran yang kuat.11

Hukum Pidana merupakan salah satu sarana dalam penanggulangan

kejahatan dan aturan yang menyejahterakan masyarakat. Namun demikian,

pelaksanaan pemidanaan hanya dapat dijatuhkan apabila subyek hukum telah

memenuhi dua syarat, yaitu kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.

Hal ini karena azas dalam hukum pidana adalah Geen straf zonder schud

atau Actus non facit reum nisi mens sir rea yang berarti Tidak dipidana jika tidak

ada kesalahan (Asas Legalistas). Tetapi ketentuan ini tidak berlaku dalam hukum

9

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 144

10

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm71

11

Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)

(29)

pidana fiskal. Dalam hukum pidana fiskal, pertanggungjawaban dapat dijatuhkan

tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar (leer van het materiele feit). 12

Adapun Pertanggungjawaban pidana mengatur tentang subyek hukum

yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum. Hal ini disebabkan tidak

semua subyek hukum masuk dalam kategori cakap hukum.13 Pertanggungjawaban

pidana bisa di mintai kepada perbuatan seseorang yang cakap hukum karena tidak

semua orang yang itu cakap hukum.

Pertanggungjawaban pidana menurut istilah asing biasa disebut

dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility. Menurut Pompee,

sebagaimana dikutip Iman, pertanggungjawaban pidana mempunyai beberapa

sinonim, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.14

Konsep “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal

dengan ajaran kesalahan. Kesalahan adalah dapat dicelanya si pelanggar karena

dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin

melakukan perbuatan tersebut.15

Dikutip oleh Frans Maramis, menurut D. Simons kesalahan adalah

keadaan batin (psychis) pelaku dan hubungannya dengan perbuatan yang

dilakukan sedemikian rupa, sehingga berdasarkan keadaan tersebut seseorang

12

Moeljatno, Asas –Asas Hukum Pidana,(Jakarta : PT Rineka Cipta, 1993) Cet.V, hlm.153

13

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,(Yogyakarta : Liberty, 2003) Cet.I, hlm. 75

14

http://imanhsy.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html ( di akses pada tanggal 17 April 2016 pukul 12.50)

15

(30)

dapat dicela atas perbuatannya. Istilah kesalahan dapat digunakan dalam arti

psikologis dan normatif. Kesalahan psikologis adalah kesalahan dari sudut

keadaan psikologis yang sesungguhnya dari seseorang. Sedangkan kesalahan

normatif adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain terhadap pelaku.16

Adapun unsur-unsur kesalahan ada tiga unsur, yaitu :

1. Kemampuan bertanggungjawab dari pelaku.

2. Sikap batin tertentu dari pelaku sehubungan dengan perbuatannya yang berupa

adanya kesengajaan dan kealpaan.

3. Tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan atau menghapuskan

pertanggungjawaban pidana pada diri pelaku.17

Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan,

dimana kondisi batin normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam

membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk sesuai dengan

kehendaknya.18

Berdasarkan rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 44 (1)

seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya apabila kurang

sempurnanya akal dan sakit ingatan.19 Di kutip oleh Leden Marpaung Menurut

16

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) hlm. 114-115

17

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,) hlm. 116

18

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 171

19

Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)

(31)

W.F.C van Hattum yang disebut dengan kurang sempurnanya akal dan sakit

ingatan adalah pertumbuhan yang tidak sempurna atau gangguan penyakit.

Pertumbuhan yang tidak sempurna tersebut haruslah diartikan sebagai

suatu pertumbuhan yang lebih sempurna secara biologis, bukan secara pikiran.

Seperti contohnya idiot.20 Sedangkan sakit ingatan misalanya seperti gila, epilepsy

dan penyakit jiwa yang lainnya.21

Unsur yang kedua dari teori kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan.

Secara Yuridis formal (dalam KUHP) tidak ada satu pasal pun yang memberikan

batasan atau pengertian tentang kesengajaan.22 Dikutip oleh Mahrus Ali, menurut

Memorie van Toelichting (Perumusan Kitab Undang Hukum Pidana) kesengajaan

sama dengan “willens en wetens” (dikendaki atau diketahui).23

Yang dimaksud dengan “willens en wetens” (dikendaki atau diketahui)

adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus

menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten)

akan akibat dari perbuatan itu.24

Kesengajaan dalam ilmu hukum pidana memiliki dua teori yaitu, teori

kehendak dan teori membayangkan. Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak

20

Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm. 53

21

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt515e437b33751/apakah-seorang-yang -gila-bisa-dipidana (diakses pada tanggal 20 April 2016, pukul 10.52)

22

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 213

23

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 174

24

(32)

pidana jika memiliki kehendak yang dapat memenuhi unsur-unsur delik dalam

rumusan undang-undang.25 Sedangkan Teori membayangkan, teori ini

mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat

namun jika akibat tersebut timbul karena membayangkan melakukan suatu

tindakan maka unsur kesengajaan ada pada si pelanggar.26

Menurut para pakar pidana kesengajaan memiliki tiga bentuk yaitu : 27

1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk).

2. Sengaja dengan kesadaran tentang keharusan (opzet bij

noodzakelijkheids-bewustzijn).

3. Sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan (opzet bij

mogelijkheids-bewustzjin).

Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willes en wetens dimana

pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya tersebut.

Kesengajaan sebagai keharusan dimana pelaku memandang akibat dari apa yang

akan dilakukannya tidak sebagai hal yang akan terjadi, namun hanya sebagai

suatu kemungkinan yang pasti.28

Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak diberikan penjelasan

mengenai teori kealpaan (culpa), sama seperti teori kesengaajan. Karena tidak

25

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 214

26

Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm. 14

27

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,)

hlm. 121

28

(33)

adanya penjelasan tentang teori kealpaan, maka penjelasan teori kelapaan banyak

diberikan dari doktrin.29 Menurut Mahrus Ali dalam buku karangannya yang

berjudul Dasar Dasar Hukum Pidana, kelapaan adalah pelaku sama sekali tidak

memiliki niat kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan yang

dilarang oleh hukum.30

Menurut H.B. Vos, unsur yang tidak dapat dilepaskan dari terbentuknya kealpaan,

yaitu :

1. Pembuat dapat menduga.

2. Tidak adanya kehati-hatian.31

Maksud dari unsur pembuat dapat menduga adalah seorang pelaku harus

dapat dibuktikan bahwa ia dapat menduga akibat dari perbuatannya sebelum ia

benar-benar melakukannya.32 Sedangkan unsur tidak ada kehati-hatian yaitu

pelaku tidak berhati-hati melakukan sesuatu yang dapat ia duga akibatnya.

Walaupun sudah berhati-hati tetap saja dapat terjadi kealpaan dari perbuatannya.33

Unsur ketiga dan terakhir bagi terlaksananya pertanggungjawaban yaitu

tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang tetap dimintai

pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang dapat

29

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 248

30

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 175

31

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,)

hlm. 125

32

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 251

33

(34)

menghapus kesalahannya.34 Menurut Tongat, dalam bukunya disebutkan empat

alasan yang dapat menghapus kesalahan, yaitu :

1. Tidak mampu bertanggungjawab ( diatur dalam Pasal 44 KUHP)

2. Daya paksa ( diatur dalam Pasal 48 KUHP)

3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (diatur dalam Pasal 49 (2) KUHP)

4. Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (diatur

dalam Pasal 51 (2) KUHP).

Dalam Hukum Islam, hukum pidana merupakan terjemahan dari kata Fiqh

Jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana

atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf (orang yang dapat

dibebani kewajiban)35 Adapun dua syarat sah seorang mukallaf dapat dibebani

kewajiban, yaitu :

1. Mukallaf dapat memahami dalil taklifi, maksudnya adalah dia dapat

memahami nash-nash undang-undang yang dibebankan dari al-Qur‟an dan as

-sunnah dengan langsung atau dengan perantara.

2. Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan

kepadanya.36

Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam

Islam, diperlukan unsur normatif dan moral. Unsur normatif adalah aspek yang

34

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 267

35

Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)Cet.I, hlm.1

36

(35)

mempunyai unsur materil dimana sikap yang dapat dinilai sebagai suatu

pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt. Sedangkan

unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima seseuatu yang secara

nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Seseorang ini yang

disebut Mukallaf.37

Dalam melaksanakan unsur materil tindak pidana (jarimah), pelaku bisa

saja menyelesaikan ataupun tidak menyelesaikan aksinya. Hal ini bisa disebut

sebagai percobaan tindak pidana (al-jarimah gair at-tammah) dan tindak pidana

yang sempurna (al-jarimah at-tammah).

Pelaku percobaan tindak pidana (al-jarimah gair at-tammah) diberikan

hukuman ta’zir. Seseorang yang melakukan percobaan tindak pidana tidak

dihukum dengan qishash dan hudud karena dua hal ini mempunyai unsur dan

syarat yang tidak bisa diubah oleh hakim. Sedangkan ta’zir ketentuan hukumnya

bisa dipertimbangkan oleh hakim diperberat atau diperingan.38

Pelaku tindak pidana sempurna (al-jarimah at-tammah) diberikan

hukuman sesuai dengan perbuatannya. Apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi

maka perbuatannya sudah sempurna.39 Misalnya pelaku penganiayaan, jika

seseorang melakukan penganiayaan dan telah memenuhi unsur-unsur tindak

pidana penganiayaan maka ia wajib dihukum sesuai dengan hukuman yang

berlaku bagi penganiaya.

37

Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)Cet.I, hlm.22

38

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 20

39

(36)

Menurut Abdul Qadir Audah, Hukuman adalah sanksi hukum yang telah

ditetukan untuk kemaslahatan masyarakat karena melanggar perintah Syari’

(Allah SWT dan Rasul-Nya).40 Hukuman diterapkan demi mencapai kemslahatan

baik bagi masyarakat ataupun pelaku sendiri. Adapun tujuan dari pelaksanaan

hukuman yaitu :

1. Harus mampu menghindarkan seseorang dari berbuat maksiat. Baik mencegah

perbuatanya ataupun menjerakannya pelaku untuk tidak berbuat seperti itu

lagi.

2. Memberikan hukuman kepada pelaku bukan bermaksud untuk membalas

dendam, tetapi untuk kemaslahatan dirinya sendiri. Allah SWT mensyariatkan

hukuman sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk memberikan ihsan

kepada hamba-Nya. Jadi, seseorang yang bertanggungjawab melaksanakan

hukuman harus mempunyai pengetahuan bahwa pelaksanaan hukuman bukan

bermaksud membalaskan dendam korban. Tetapi memberikan ihsan dan

rahmat kepada.41

Seseorang yang melakukan jarimah haruslah memertanggungjawabkan

perbuatannya. Dalam pertanggungjawaban pidana seorang mukallaf harus

bertanggungjawab atas akibat dari perbuatan yang dilakukannya . Menurut Islam

ada tiga dasar mukallaf wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya, yaitu:

1. Perbuatan haram yang dilakukan pelaku.

40

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian III, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 19

41

(37)

2. Si pelaku memiliki pilihan (tidak dipaksa).

3. Si pelaku memiliki pengetahuan (idrak).42

Apabila ketiga dasar ini ada, maka pertanggungjawaban pidana haruslah

ada. Tetapi, jika salah satunya tidak ada maka seseorang tidak dapat

mempertanggungajawabkan perbuatanya. Faktor (sabab) dijadikan oleh oleh

Syar’I sebagai tanda atas hasil/ efek (musabab) dari terjadinya suatu pelanggaran

(melawan hukum). Jika ada sabab namun tidak ada musabab, dan juga sebaliknya

jika tidak ada sabab namun ada musabab maka tidak dapat

dipertanggungjawabkan perbuatannya.43

Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah

perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang atau

meninggalakan perbuatan yang diperintahkan oleh syara‟. Jadi sebab

pertanggungjawaban pidana adalah melakukan kejahatan. Untuk adanya

pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua syarat, yaitu adanya idrak dan

ikhtiar.44

Menurut Abdul Qadir Audah teori pertanggungjawaban memiliki

tingkatan-tingkatan pertanggungjawaban pidana ada empat, yaitu :

1. Disengaja (Al-„Amdu), yang dimaksud dengan sengaja adalah si pelaku berniat

melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Misalnya, seseorang berniat

42

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 66

43

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 74

44

(38)

mencuri jika ia melakukannya maka ia melakukan pencurian itu dengan

sengaja.45

2. Menyerupai Disengaja (Syibhul „Amdi), Pengertian syibhul „ambdi adalah

dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan hukum, tetapi akibat

perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam tindak pidana pembunuhan, ukuran

syibhul „amdi ini dikaitkan dengan alat yang digunakan. Kalau yang

digunakan itu bukan alat yang biasa (ghalib) untuk membunuh maka

perbuatan tersebut termasuk kepada perbuatan menyerupai sengaja.46

3. Kesalahan, maksudnya adalah si pelaku melakukan perbuatan tanpa maksud

membuat kejahatan. Misalnya, seseorang hendak menembak seekor burung

namun meleset mengenai manusia.

4. Yang dianggap tersalah, ada dua keadaan yang dapat dianggap tersalah.

Pertama, pelaku tidak bermaksud melakukan suatu perbuatan tetapi perbuatan

itu terjadi akibat kelalaiannya. Kedua, pelaku menjadi penyebab tidak

langsung terjadinya perbuatan yang dilarang dan ia tidak bermaksud

melakukannya.47

B. ALASAN HAPUSNYA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

45

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 77

46

http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2012/03/petanggungjawaban-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 11 Mei 2016 pukul 19.15)

47

(39)

Dalam sub bab sebelumnya sudah diuraikan bahwa terlaksananya

pertanggungjawaban yaitu tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang

tetap dimintai pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang

dapat menghapus kesalahannya.

Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus

sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar

denganalasan penghapusan kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf.

Dibedakannya alasan pembenar dan alasan pemaaf karena keduanya mempunyai

fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada „pembenaran‟ atas

tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan

pemaaf berdampak pada „pemaafan‟ pembuatannya sekalipun telah melakukan

tindak pidana yang melawan hukum.48

Dalam hukum positif pertanggungjawaban pidana diatur dalam Buku

Kesatu Bab III Kitab Undang Undang Hukum Pidana mulai Pasal 44 sampai

dengan Pasal 51. Dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, pertanggungjawaban

pidana tidak dapat dijatuhkan kepada:

1. Adanya ketidakmampuan bertanggungjawab.

2. Anak-anak yang belum berusia 16 tahun.

3. Daya Paksa

4. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas.

5. Menjalankan perintah Undang undang.

48

(40)

6. Melaksanakan perintah jabatan.

Kategori yang tidak dapat dijatuhi pidana yang pertama adalah seseorang

yang tidak mampu bertanggungjawab. Dikutip oleh Adam Chazawi menurut M.v.t

( Perumusan Kitab Undnag Undang Hukum Pidana ) seseorang tidak mampu

bertanggungjawab harus memenuhi dua unsur yaitu:

1. Apabila si pelanggar tidak memiliki kebebasan antara memilih berbuat atau

tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan dalam

Undang-undang.

2. Apabila si pelanggar berada dalam satu keadaan yang mana ia tidak dapat

menyadari bahwa perbuatnnya dilarang menurut Undnag Undang.49

Seorang Anak yang masih belum mencapai usia 16 tahun adalah termasuk

seseorang yang tidak dapat dijatuhi pidana kategori kedua, dalam Kitab Undang

Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45, 46 dan 47. Dalam penuntutan di muka

pengadilan, seorang hakim bisa mengadilinya dengan memerintahkan bahwa si

anak bersalah dan dikembalikan kepada orang tua atau wali tanpa menjatuhkan

hukuman kepadanya dan tidak dimintai pertanggungjawabannya dikarenakan usia

yang belum mencapai 16 tahun.50

Kategori seseorang yang tidak dapat dijatuhi pidana yang ketiga adalah

daya paksa. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) daya paksa

diatur dalam Pasal 48 yang menyatakan bahwa “niet straafbaar is hijdie een feit

49

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm. 20

50

(41)

begat waartoe hij door overmacht is gedrogen” yang artinya barang siapa yang

melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. 51 Dikutip oleh

Mahrus ali, menurut Leden Marpaung daya paksa secara teoritis dibagi menjadi

dua macam yaitu:

a. Daya Paksa Mutlak (Vis Absoluta)

b. Daya Paksa Relatif (Vis Compulsiva)

Yang dimaksud dengan daya paksa mutlak adalah suatu keadaan yang

dimana paksaan dan tekanan yang sedemikian kuatnya pada diri seseorang,

sehingga ia tidak dapat lagi berbuat sesuatu selain apa yang dipaksakan

kepadanya. Sedangkan daya paksa relatif adalah daya paksa yang dimaksudkan

dalam Pasal 48 KUHP. Daya paksa relatif ini suatu paksaan dan tekanan yang

sedemikian rupa menekan seseorang sehingga ia berada dalam keadaan yang

serba salah, yaitu suatu keadaan yang memaksanya untuk melakukan hal yang

sudah pasti melanggar hukum.52

Kategori yang keempat adalah Pembelaan terpaksa yang melampaui batas

(noodweer ekses) adalah perbuatan pidana yang dilakukan sebagai pembelaan

pada saat seseorang mengalami suatu serangan atau ancaman serangan dapat

membebaskan pelakunya dari ancaman hukuman jika sifat pembelaan terseut

sebanding dengan bobot serangan atau ancaman serangan itu sendiri.53

51

Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2011) hlm. 181

52

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm.30-31

53

(42)

Kategori yang kelima adalah melaksanakan perintah Undang-undang pada

Pasal 50 KUHP disebutkan “ barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan pidana

untuk melaksanakan peraturan undang-undang tidak dipidana.” Sebetulnya pasal

ini ditunjukan untuk mengantisipasi bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan

berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang Undang. Karena perbuatan

yang yang menjadi wewenang berdasarkan Undang undang tidaklah mungkin

diancam pidana menurut Undang-undang yang lain. 54

Kategori yang keenam dan yang terakhir adalah ketentuan mengenai

perintah jabatan yang tidak sah diatur dalam Pasal 51 (2) KUHP yang berbunyi

"Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali

jika yang diperintahkan dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan

wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaan.” 55

Suatu perintah jabatan yag tidak sah,dengan demikian menghapuskan

dapat dipidananya seseorang. Perbuatan yang dilakukannya, tetap bersifat

melawan hukum hanya saja si pelaku tidak dipidana. Dan si pelaku harus

memenuhi dua syarat yaitu Pertama, ia menduga bahwa perintah tersebut adalah

sah yang diberikan oleh pejabat yang kompeten. Kedua, perintah masih dalam

ruang lingkup pekerjaan (wewenang si pelaku). 56

Dalam Islam, seseorang wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya

jika telah memenuhi tiga dasar yang telah dijelaskan di sub bab sebelumnya yaitu

54

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm.56

55

KUHP

56

(43)

perbuatan haram yang dilakukan pelaku, pelaku memiliki pilihan (ikhtiar) dan

pelaku memiliki pengetahuan (idrak). Jika tidak memiliki tiga dasar ini, maka

seseorang yang melakukan suatu kejahatan tidak diwajibkan

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Adapun Sebab-sebab yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak wajib

dipertanggungjawabkan yaitu Sebab Pembenaran (asbab al-ibahah) atau sebab

dibolehkannya perbuatan yang dilarang. Dan Sebab Pemaafan (asbab raf’i al

-uqubah) atau sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku tersebut.57

Dasar dari penghapusan pidana yang pertama adalah sebab pembenaran.

Dengan adanya sebab pembenaran maka suatu perbuatan kehilangan sifat

melawan hukumnya, sehingga mejadi legal atau boleh dan pembuatnya tidak

dapat disebut pelaku tindak pidana.58Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa

sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu :

1. Pembelaan Yang Sah (Ad dafi‟ As Syar‟iyyu)

2. Pendidikan dan pengajaran (At ta‟dibu)

3. Pengobatan (At Tathbiibu)

4. Permainan olah raga (Al „aab Al Furusiyah)

5. Hapusnya jaminan keselamatan jiwa dan anggota badan (Ihdar) seseorang

6. Hak-hak dan kewajiban penguasa

57

http://vannbie.blogspot.co.id/2012/06/pertanggung-jawaban-hukum-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 07.05)

58

(44)

Pembelaan yang sah dibagi menjadi dua macam yaitu pembelaan khusus

dan pembelaan umum. Pembelaan khusus (Difa’ Asy-Syar’I al-Khass) dalam

hukum Islam maksudnya adalah kewajiban manusia menjaga dirinya atau orang

lain dan untuk mempertahankan hartanya atau harta orang lain. Pembelaan khusus

bersifat wajib bertujuan untuk menolak serangan.59 Allah SWT berfirman dalam

Q.S Al-Baqarah [2] : 194

























Artinya : “Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang

dengan serangannya terhadapmu.”

Para fuqaha sepakat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah

untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap

jiwa, kehormatan, dan harta benda.60

Sedangkan yang dimaksud dengan pembelaan umum (Difa’ Asy-Syar’I Al

-„Am). Pembelaan untuk kepentingan umum atau dalam istilah Amar ma’ruf nahi

munkar. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar hanya

diwajibkan bagi orang yang mmpu melaksanakannya sedangkan yang lainnya

tidak wajib.61 Seperti Firman Allah SWT Q.S Ali Imran [3] : 104

59

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 138

60

http://artikelkuislami.blogspot.co.id/2012/01/hukum-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 17 Mei 2016 pukul 11.03)

61

(45)







































Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang

munkar.”

Sebab pembenaran yang kedua adalah pendidikan, seorang ayah memiliki

hak untuk memberikan pendidikan terhadap anaknya yang maih kecil dan baligh.

Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berbeda dengan mazhab Hanafi.

Mereka berpendapat bahwa pendidikan kepada anak kecil secara umum adalah

hak bukan kewajiban. Adapun mazhab Hanafi memandang pendidikan terhadap

anak kecil secara umum adalah wajib atau paling tidak, wajib apabila bertujuan

untuk mengajarinya.62Tujuan menjatuhkan hukuman dalam mendidik anak

hanyalah untuk memberikan bimbingan dan perbaikan, bukan untuk pembalasan

atau kepuasan hati. Karena itu, watak dan kondisi anak harus diperhatikan terlebih

dahulu sebelum menjatuhkan hukuman.

Sebab pembenaran yang ketiga adalah pengobatan, kerugian yang

disebabkan oleh dokter yang mempuni dan kredibel yang dilakukan tana adanya

kecerobohan tidak ditanggung sama sekali oleh dokter.63 para fuqaha sepakat

bahwa dokter tidak bertanggungjawab apabila pekerjaannya mengakibatkan hasil

yang membahayakan si pasien.

62

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 181

63

(46)

Namun, jika ada orang yang berlaku selayaknya dokter tanpa memiiki

keilmuan untuk menyembuhkan suatu penyakit yang di derita oleh pasien maka ia

wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi sesuatu terhadap

pasien. Rasulullah Saw bersabda.

ا ث ح

اِ ِ

نْب

راَ ع

ِشا ر

نب

ِْيِع س

ْيِ َرلا

اا ق

:

ا ث

يِل لْا

نْبا

ِ ْس

.

ا ث

نْبا

جْي ر ج

ْن ع

ِرْ ع

ِنْب

ِبْيي ع ش

ْن ع

ِيِب أ

ْن ع

ِِ ج

لا ق

:

لا ق

ل س ر

له

.

"

ْن

بَ ط ت

ل

ْ ع ي

ِ

Gambar

Grafika. 2008

Referensi

Dokumen terkait

Untuk membantu proses pengeringan gabah yang lebih merata perlu dilakukan proses pembalikan atau pengadukan gabah, pada mesin pengering padi tersebut terdapat pengaduk yang

Upaya pembangunan sumber daya pun masalah ini bukan masalah baru, tetapi alam (SDA) danlingkungan hidup tersebut benturan kepentingan antara pemanfaatan hendaknya

Data primer dan data sekunder diperlukan guna mendukung penelitian ini seperti mengumpulkan dan mengolah data, menentukan jenis tanah, menentukan jenis dinding

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukan bahwa jenis dan komposisi nutrisi media tanam jamur tiram putih memberikan pengaruh yang nyata pada persentase

“Jazzahummullahukhaira…” pada Nabiku Muhammad SAW dan semua sahabatnya… kalianlah yang selalu memperjuangkan hidayah Allah dan menuntunku kejalan

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai suatu bentuk konstribusi dalam pengembangan ilmu Matematika terapan, khususnya aplikasi metode beda hingga eksplisit

Berdasarkan data pada tabel 8 tingkat kepuasan pengunjung objek wisata Puncak Temboan mengenai dimensi jaminan berada pada rata-rata 77.71% atau pada kriteria

Menurut Adler dalam Alwisol (2009) setiap orang menciptakan sebuah tujuan final yang semu dalam membimbing tingkah laku, dengan memakai bahan yang diperoleh dari