• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

A. Teori Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu dengan masyarakat atau Negara yang disebut hukum publik.1 Hukum Pidana dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana juga di klasifikasikan lagi kepada siapa hukum pidana ini berlaku yang disebut hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.2 Tujuan dari hukum pidana dilaksanakan untuk mengatur kepentingan umum, karena sifatnya yang ditunjukkan untuk kepentingan masyarakat.

Hukum Pidana materil adalah hukum yang berisi tentang norma dan sanksinya dan bagaimana seseorang dapat dijatuhi pidana. Sedangkan hukum pidana formil adalah tata cara pelaksanaan pidana bagi seseorang yang melakukan tindak pidana bisa disebut dengan hukum acara pidana. 3 Hukum acara pidana ini sebagai hukum yang menegakkan hukum pidana materil.

Yang dimaksud dengan hukum pidana umum adalah hukum pidana yang diberlakukan kepada semua masyarakat tanpa terkecuali. Dan dalam pelasksanaannya menggunakan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

1

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm 24

2

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 52

3

(KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan hukum pidana khusus ini adalah dibuat dan diberlakukan kepada hal atau orang tertentu. Dalam pelaksanaannya pun juga mempunyai hukum acara khususnya sendiri dan berbeda dengan KUHAP.4

Hukum pidana mengatur secara seluruh hukum publik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam penerapannya haruslah berdasarkan asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana salah satunya adalah Asas Legalitas

(Principle of Legality). Asas Legalitas dalam Kitab Undang Undang Hukum

Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat 1 “tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,

sebelum perbuatan dilakukan”.

Dikutip oleh Mahrus Ali menurut Komariah Emong Sapardjaja dalam Asas Legalitas ini terdapat empat prinsip dalam penerapannya yaitu :5

1. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa udang-undang sebelumnya atau bisa disebut berlaku surut (mundur).

2. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa rumusan delik yang jelas.

3. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa undnag-undang yang tidak tertulis, hakim dalam menjatuhkan putusan haruslah dengan

4

Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)

Cet.VIII, hlm.3

5

undang yang tertulis bukan dengan kebiasaan yang berkembang di masyarakat.

4. Tidak diperbolehkannya menerapkan pertauran hukum pidana dengan sebuah analogi.

Asas Legalitas memiliki dua fungsi yaitu fungsi melindungi dan fungsi instrumental.6 Dengan adanya kedua fungsi ini dimakdsudkan agar pemerintah tidak menjatuhkan sanksi pidana terhadap masyarakat yang belum jelas dan tetap Undang Undangnya walaupun telah melanggar dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan menurut masyarakat.

Perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan ini belum tentu bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Menurut Moeljatno perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi yang melanggar larangan tersebut.7 Perbuatan yang tidak benar yang dilakukan seseorang dapat dikenakan sanksi jika telah ada hukum yang mengaturnya dan disebut sebagai perbuatan pidana.

Perbuatan pidana yang dapat dikenakan hukuman (sanksi) perumusan undang-undang dari perbuatan itu haruslah mengandung sifat melawan hukum.8 menurut Andi Zainal Abidin, bahwa salah satu unsur delik adalah sifat melawan hukum yang dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu asal

6

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 71

7

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 99

8

undang pidana. Karenanya janggal jika seseorang dipidana tanpa adanya unsur yang melawan hukum.9

Sifat melawan hukum dalam hukum pidana dibagi menjadi sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang yang tertulis.10 Sedangkan sifat melawan hukum materil adalah pada hakikatnya tidak berdasarkan perundang-undangan, oleh karenanya mengambil suatu putusan tanpa dasar hukum formil merupakan suatu tindakan yang didasarkan suatu alasan pembenaran yang kuat.11

Hukum Pidana merupakan salah satu sarana dalam penanggulangan kejahatan dan aturan yang menyejahterakan masyarakat. Namun demikian, pelaksanaan pemidanaan hanya dapat dijatuhkan apabila subyek hukum telah memenuhi dua syarat, yaitu kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.

Hal ini karena azas dalam hukum pidana adalah Geen straf zonder schud atau Actus non facit reum nisi mens sir rea yang berarti Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Asas Legalistas). Tetapi ketentuan ini tidak berlaku dalam hukum

9

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 144

10

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm71

11

Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)

pidana fiskal. Dalam hukum pidana fiskal, pertanggungjawaban dapat dijatuhkan tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar (leer van het materiele feit). 12

Adapun Pertanggungjawaban pidana mengatur tentang subyek hukum yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum. Hal ini disebabkan tidak semua subyek hukum masuk dalam kategori cakap hukum.13 Pertanggungjawaban pidana bisa di mintai kepada perbuatan seseorang yang cakap hukum karena tidak semua orang yang itu cakap hukum.

Pertanggungjawaban pidana menurut istilah asing biasa disebut dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility. Menurut Pompee, sebagaimana dikutip Iman, pertanggungjawaban pidana mempunyai beberapa sinonim, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.14

Konsep “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal

dengan ajaran kesalahan. Kesalahan adalah dapat dicelanya si pelanggar karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut.15

Dikutip oleh Frans Maramis, menurut D. Simons kesalahan adalah keadaan batin (psychis) pelaku dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga berdasarkan keadaan tersebut seseorang

12

Moeljatno, Asas –Asas Hukum Pidana,(Jakarta : PT Rineka Cipta, 1993) Cet.V, hlm.153

13

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,(Yogyakarta : Liberty, 2003) Cet.I, hlm. 75

14

http://imanhsy.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html ( di akses pada tanggal 17 April 2016 pukul 12.50)

15

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 155-157

dapat dicela atas perbuatannya. Istilah kesalahan dapat digunakan dalam arti psikologis dan normatif. Kesalahan psikologis adalah kesalahan dari sudut keadaan psikologis yang sesungguhnya dari seseorang. Sedangkan kesalahan normatif adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain terhadap pelaku.16

Adapun unsur-unsur kesalahan ada tiga unsur, yaitu :

1. Kemampuan bertanggungjawab dari pelaku.

2. Sikap batin tertentu dari pelaku sehubungan dengan perbuatannya yang berupa adanya kesengajaan dan kealpaan.

3. Tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan atau menghapuskan pertanggungjawaban pidana pada diri pelaku.17

Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan, dimana kondisi batin normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk sesuai dengan kehendaknya.18

Berdasarkan rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 44 (1) seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya apabila kurang sempurnanya akal dan sakit ingatan.19 Di kutip oleh Leden Marpaung Menurut

16

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) hlm. 114-115

17

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,) hlm. 116

18

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 171

19

Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)

W.F.C van Hattum yang disebut dengan kurang sempurnanya akal dan sakit ingatan adalah pertumbuhan yang tidak sempurna atau gangguan penyakit.

Pertumbuhan yang tidak sempurna tersebut haruslah diartikan sebagai suatu pertumbuhan yang lebih sempurna secara biologis, bukan secara pikiran. Seperti contohnya idiot.20 Sedangkan sakit ingatan misalanya seperti gila, epilepsy dan penyakit jiwa yang lainnya.21

Unsur yang kedua dari teori kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan. Secara Yuridis formal (dalam KUHP) tidak ada satu pasal pun yang memberikan batasan atau pengertian tentang kesengajaan.22 Dikutip oleh Mahrus Ali, menurut

Memorie van Toelichting (Perumusan Kitab Undang Hukum Pidana) kesengajaan

sama dengan “willens en wetens” (dikendaki atau diketahui).23

Yang dimaksud dengan “willens en wetens” (dikendaki atau diketahui) adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.24

Kesengajaan dalam ilmu hukum pidana memiliki dua teori yaitu, teori kehendak dan teori membayangkan. Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak

20

Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm. 53

21

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt515e437b33751/apakah-seorang-yang -gila-bisa-dipidana (diakses pada tanggal 20 April 2016, pukul 10.52)

22

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 213

23

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 174

24

Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm. 13

pidana jika memiliki kehendak yang dapat memenuhi unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.25 Sedangkan Teori membayangkan, teori ini mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat namun jika akibat tersebut timbul karena membayangkan melakukan suatu tindakan maka unsur kesengajaan ada pada si pelanggar.26

Menurut para pakar pidana kesengajaan memiliki tiga bentuk yaitu : 27

1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk).

2. Sengaja dengan kesadaran tentang keharusan (opzet bij noodzakelijkheids-bewustzijn).

3. Sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzjin).

Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willes en wetens dimana pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya tersebut. Kesengajaan sebagai keharusan dimana pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang akan terjadi, namun hanya sebagai suatu kemungkinan yang pasti.28

Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak diberikan penjelasan mengenai teori kealpaan (culpa), sama seperti teori kesengaajan. Karena tidak

25

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 214

26

Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm. 14

27

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,)

hlm. 121

28

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 175

adanya penjelasan tentang teori kealpaan, maka penjelasan teori kelapaan banyak diberikan dari doktrin.29 Menurut Mahrus Ali dalam buku karangannya yang berjudul Dasar Dasar Hukum Pidana, kelapaan adalah pelaku sama sekali tidak memiliki niat kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum.30

Menurut H.B. Vos, unsur yang tidak dapat dilepaskan dari terbentuknya kealpaan, yaitu :

1. Pembuat dapat menduga. 2. Tidak adanya kehati-hatian.31

Maksud dari unsur pembuat dapat menduga adalah seorang pelaku harus dapat dibuktikan bahwa ia dapat menduga akibat dari perbuatannya sebelum ia benar-benar melakukannya.32 Sedangkan unsur tidak ada kehati-hatian yaitu pelaku tidak berhati-hati melakukan sesuatu yang dapat ia duga akibatnya. Walaupun sudah berhati-hati tetap saja dapat terjadi kealpaan dari perbuatannya.33

Unsur ketiga dan terakhir bagi terlaksananya pertanggungjawaban yaitu tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang tetap dimintai pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang dapat

29

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 248

30

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 175

31

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,)

hlm. 125

32

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 251

33

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 176

menghapus kesalahannya.34 Menurut Tongat, dalam bukunya disebutkan empat alasan yang dapat menghapus kesalahan, yaitu :

1. Tidak mampu bertanggungjawab ( diatur dalam Pasal 44 KUHP) 2. Daya paksa ( diatur dalam Pasal 48 KUHP)

3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (diatur dalam Pasal 49 (2) KUHP) 4. Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (diatur

dalam Pasal 51 (2) KUHP).

Dalam Hukum Islam, hukum pidana merupakan terjemahan dari kata Fiqh

Jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana

atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban)35 Adapun dua syarat sah seorang mukallaf dapat dibebani kewajiban, yaitu :

1. Mukallaf dapat memahami dalil taklifi, maksudnya adalah dia dapat memahami nash-nash undang-undang yang dibebankan dari al-Qur‟an dan as -sunnah dengan langsung atau dengan perantara.

2. Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.36

Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam Islam, diperlukan unsur normatif dan moral. Unsur normatif adalah aspek yang

34

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 267

35

Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)Cet.I, hlm.1

36

Abdul wahbah Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul fiqh), (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) h, 207-210

mempunyai unsur materil dimana sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt. Sedangkan unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima seseuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Seseorang ini yang disebut Mukallaf.37

Dalam melaksanakan unsur materil tindak pidana (jarimah), pelaku bisa saja menyelesaikan ataupun tidak menyelesaikan aksinya. Hal ini bisa disebut sebagai percobaan tindak pidana (al-jarimah gair at-tammah) dan tindak pidana yang sempurna (al-jarimah at-tammah).

Pelaku percobaan tindak pidana (al-jarimah gair at-tammah) diberikan hukuman ta’zir. Seseorang yang melakukan percobaan tindak pidana tidak dihukum dengan qishash dan hudud karena dua hal ini mempunyai unsur dan syarat yang tidak bisa diubah oleh hakim. Sedangkan ta’zir ketentuan hukumnya bisa dipertimbangkan oleh hakim diperberat atau diperingan.38

Pelaku tindak pidana sempurna (al-jarimah at-tammah) diberikan hukuman sesuai dengan perbuatannya. Apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi maka perbuatannya sudah sempurna.39 Misalnya pelaku penganiayaan, jika seseorang melakukan penganiayaan dan telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana penganiayaan maka ia wajib dihukum sesuai dengan hukuman yang berlaku bagi penganiaya.

37

Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)Cet.I, hlm.22

38

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 20

39

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 23

Menurut Abdul Qadir Audah, Hukuman adalah sanksi hukum yang telah ditetukan untuk kemaslahatan masyarakat karena melanggar perintah Syari’

(Allah SWT dan Rasul-Nya).40 Hukuman diterapkan demi mencapai kemslahatan baik bagi masyarakat ataupun pelaku sendiri. Adapun tujuan dari pelaksanaan hukuman yaitu :

1. Harus mampu menghindarkan seseorang dari berbuat maksiat. Baik mencegah perbuatanya ataupun menjerakannya pelaku untuk tidak berbuat seperti itu lagi.

2. Memberikan hukuman kepada pelaku bukan bermaksud untuk membalas dendam, tetapi untuk kemaslahatan dirinya sendiri. Allah SWT mensyariatkan hukuman sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk memberikan ihsan kepada hamba-Nya. Jadi, seseorang yang bertanggungjawab melaksanakan hukuman harus mempunyai pengetahuan bahwa pelaksanaan hukuman bukan bermaksud membalaskan dendam korban. Tetapi memberikan ihsan dan rahmat kepada.41

Seseorang yang melakukan jarimah haruslah memertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam pertanggungjawaban pidana seorang mukallaf harus bertanggungjawab atas akibat dari perbuatan yang dilakukannya . Menurut Islam ada tiga dasar mukallaf wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya, yaitu:

1. Perbuatan haram yang dilakukan pelaku.

40

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian III, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 19

41

2. Si pelaku memiliki pilihan (tidak dipaksa). 3. Si pelaku memiliki pengetahuan (idrak).42

Apabila ketiga dasar ini ada, maka pertanggungjawaban pidana haruslah ada. Tetapi, jika salah satunya tidak ada maka seseorang tidak dapat mempertanggungajawabkan perbuatanya. Faktor (sabab) dijadikan oleh oleh

Syar’I sebagai tanda atas hasil/ efek (musabab) dari terjadinya suatu pelanggaran (melawan hukum). Jika ada sabab namun tidak ada musabab, dan juga sebaliknya jika tidak ada sabab namun ada musabab maka tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya.43

Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalakan perbuatan yang diperintahkan oleh syara‟. Jadi sebab

pertanggungjawaban pidana adalah melakukan kejahatan. Untuk adanya pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua syarat, yaitu adanya idrak dan ikhtiar.44

Menurut Abdul Qadir Audah teori pertanggungjawaban memiliki tingkatan-tingkatan pertanggungjawaban pidana ada empat, yaitu :

1. Disengaja (Al-„Amdu), yang dimaksud dengan sengaja adalah si pelaku berniat melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Misalnya, seseorang berniat

42

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 66

43

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 74

44

http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2012/03/petanggungjawaban-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 11 Mei 2016 pukul 19.00)

mencuri jika ia melakukannya maka ia melakukan pencurian itu dengan sengaja.45

2. Menyerupai Disengaja (Syibhul „Amdi), Pengertian syibhul „ambdi adalah

dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan hukum, tetapi akibat perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam tindak pidana pembunuhan, ukuran

syibhul „amdi ini dikaitkan dengan alat yang digunakan. Kalau yang

digunakan itu bukan alat yang biasa (ghalib) untuk membunuh maka perbuatan tersebut termasuk kepada perbuatan menyerupai sengaja.46

3. Kesalahan, maksudnya adalah si pelaku melakukan perbuatan tanpa maksud membuat kejahatan. Misalnya, seseorang hendak menembak seekor burung namun meleset mengenai manusia.

4. Yang dianggap tersalah, ada dua keadaan yang dapat dianggap tersalah.

Pertama, pelaku tidak bermaksud melakukan suatu perbuatan tetapi perbuatan

itu terjadi akibat kelalaiannya. Kedua, pelaku menjadi penyebab tidak langsung terjadinya perbuatan yang dilarang dan ia tidak bermaksud melakukannya.47

B. ALASAN HAPUSNYA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA