• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: LANDASAN TEORI

C. Pengertian Semiotik

Istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani Semeion yang berarti

“tanda”(Sudjiman dan Zoest, 1992:vii). Semiotik secara terminologis yaitu ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco 1979:6 dalam Faruk 199:44).

commit to user

Semiotik berkeinginan mempertahankan karya sastra di dalam hakikatnya sebagai tindak komunikasi. Salah satu pendekatan yang menonjolkan sifat sastra adalah semiotik, yaitu ilmu sistem ketandaan yang berfungsi sebagai sarana komunikasi (Teeuw, 1984:18). Dalam hal ini unsur yang memegang peranan dalam komunikasi harus diperhatikan, misalnya unsur pengirim dan penerima pesan. Dalam hal ini pesan tersebut berupa tanda yang merupakan kesatuan antara aspek yang terpisahkan satu dengan yang lainnya, yaitu antara penanda (signifiant) dan petanda (signifie).

Sastra sebagai alat komunikasi kaya akan konvensi. Konvensi dalam karya sastra biasa dibagi dalam dua tingkat. Konvensi tingkat pertama menyaran pada sistem (tataran) arti kebahasaan (first order semiotic system).

Hal ini dikarenakan karya sastra menggunakan bahasa sebagai bahan komunikasinya. Tidak seperti warna pada seni lukis, atau kayu pada seni pahat, bahasa dalam seni sastra tidak bersifat netral sejak sebelum menjadi wujud seni (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:121).

Karya sastra merupakan struktur tanda yang bermakna, oleh karena itu strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Struktur karya sastra tidak dapat diketahui maknanya secara optimal apabila tidak diperhatikan sistem tanda, tanda dan makananya serta konvensi karya sastra (Rachmat Djoko Pradopo, 2003: 118).

Dalam melihat karya sastra memiliki sistem sendiri, semiotik tidak terbatas pada sosok karya sastra tersebut, tetapi juga menghubungkannya dengan sistem yang berada di luarnya. Sistem yang berada di luar karya sastra adalah semua dimensi, data, fenomena yang mereaksi bagi kelahiran

commit to user

karya sastra tersebut (Rachmat Djoko Pradopo, 2003: 122i). Semiotik tidak melihat karya sastra hanya sebagai objek materi seni tetapi juga melihatnya dalam perspektif yang lebih luas, yaitu kehidupan manusia, tata nilai, lembaga kemasyarakatan, adat-istiadat. Di pihak lain tanda-tanda atau kode-kode sekecil apapun yang terdapat dalam karya sastra penting diperhatikan karena ikut membentuk sistem dan keseluruhan karya tersebut, sehingga mampu mengatasi kemacetan komunikasi dalam proses pembacaan karya sastra yang diakibatkan oleh kompleks sistem tanda/ kode yang diciptakan oleh pengarang.

Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang merupkan pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, yang menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa tersebut, akan tetapi berbagai hal yang meliputi kehidupan ini. (Burhan, 2007:5-6). Ciri-ciri terpenting tanda adalah harus dapat diamati agar adapt berfungsi sebagai tanda, tetapi sifat dapat diamati ini ada batasannya meskipun tidak jelas.

Tanda juga harus ditangkap, tetapi tidaklah esensial sifatnya. Sebuah tanda agar dapat berfungsi sebagai tanda harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat tampak, bagaimana hal itu terjadi tidak terlalu penting (Sudjiman dan Zoest, 1992:11-13).

Menurut Peirce tanda memiliki tiga sisi atau triadik yaitu representamen, ground, dan tanda itu sendiri. Model yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali. Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan atara tiga titik, yaitu representamen (R) – object (O) – interpretant (I).

commit to user

Representamen adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (object).

Kemudian interpretant adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara representamen dan object.

Gambar I Relasi Triadik

Interpretant

Representamen Object

(sumber Kris Budiman, 2004:26)

Peirce sebagai ahli berfilsafat merancang semiotik sebagai teori yang baru sama sekali, dengan konsep-konsep yang baru dan tipologi yang sangat rinci. Gagasan tersebut juga terminologinya sangat baru dan sangat sukar dipahami sehingga baru bertahun-tahun kemudian mendapat pelatihan dari para ilmuwan (Sudjiman dan Zoest, 1992:viii).

Menurut Pierce (Sudjiman dan Zoest, 1992:viii) ada tiga jenis tanda berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan, yaitu:

a. Ikon, adalah tanda yang keberadaannya sebagai kemungkinan, tanpa tergantung pada adanya sebuah denotatum, tetapi dapat dikaitkan atas dasar suatu persamaan yang secara potensial dimilikinya atau tanda yang secara Inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Misalnya, foto dengan orang yang difoto atau peta dengan wilayah geografisnya.

commit to user

b. Indeks, adalah sebuah tanda yang dalam corak tandanya tergantung dari adanya sebuah denotatum atau tanda yang mengandung hubungan kausal hal yang ditandakan bersifat arbiter, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Misal, asap menandakan adanya api, mendung menandakan turunnya hujan.

c. Simbol, adalah adanya tanda yang memiliki hubungan tanda dengan denotatumnya yang ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku secara umum atau makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Misal, putih sebagai symbol adanya kematian.

Makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu. Pada prinsipnya, ada tiga hubungan yang mungkin ada di antara tanda dan acuannya, yaitu: (1) Hubungan itu dapat kemiripan, yang disebut ikon. (2) Hubungan itu dapat timbul karena kedekatan eksistensi, tanda itu disebut indeks. (3) Hubungan itu dapat pula merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional, tanda itu adalah symbol.

Dalam teks kesastraan, ketiga jenis tanda tersebut sering hadir bersama dan sulit dipisahkan. Jika sebuah tanda itu dikatakan sebagai ikon, haruslah dipahami bahwa tanda tersebut mengandung penonjolan ikon, menunjukkan banyaknya ciri ikon dibanding dengan kedua jenis tanda yang lain. Ketiganya sulit dikatakan mana yang lebih penting.

Dari uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa suatu tanda dapat berarti jika diperantarai oleh interpretan. Penafsiran terhadap tanda yang diberikan oleh seorang interpreter harus dipahami sebagai kemungkinan

commit to user

penafsiran oleh interpreter. Dengan mengacu pada teori Peirce, Serat Pancalukita sebagai tanda memiliki arti yang harus ditafsirkan. Dengan melalui suatu tafsiran (interpretant) yang dilakukan oleh peneliti sebagai penerima tanda (interpretateur) terhadap hubungan antara tanda dan acuannya yang berupa simbol, ikon dan indeks maka apa yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam Serat Pancalukita diharapkan dapat dipahami dan dimengerti.

commit to user

23 BAB III

METODE PENELITIAN

Metodologi disebut dengan proses, prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan demikian metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian.

Metodologi dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teoritis yang kita gunakan untuk melakukan penelitian. Metode penelitian yaitu cara atau prosedur yang digunakan dalam meneliti sebuah obyek kajian penelitian.

1. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian Sastra yaitu pencarian pengetahuan pemberian makna dengan hati-hati dan kritis secara terus menerus terhadap masalah sastra. Analisis metode yang digunakan dalam penelitian sastra ini adalah metode kualitatif. Metode Kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini dinilai sesuai dengan teori yang diterapkan yakni semotika sastra. Makna karya sastra sebagai tanda adalah makna semiotiknya, yaitu makna yang bertautan dengan dunia nyata.

2. Sumber Data dan Data

Sumber data yang digunakan yaitu naskah Serat Pancalukita yang sudah pernah dikaji secara Filologis oleh Fitria Nur Hayati mahasiswa Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2000. Naskah tersebut terdapat dalam naskah bendel

commit to user

Serat Makutharaja koleksi Perpustakaan Sasanapustaka Surakarta dengan nomor katalog Nancy KS 758.8242 Ca SMP 103/3: R 164/5, dan dalam katalog lokal Perpustakaan Sasanapustaka Surakarta bernomor 242 CA K 001.

Data dalam penelitian ini yaitu struktur karya sastra, yaitu unsur-unsur yang mempunyai peran dan fungsi dalam totalitas teks Serat Pancalukita yang sudah pernah dikaji secara Filologis oleh Fitria Nur Hayati mahasiswa Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2000. Unsur-unsur struktur karya sastra tersebut berupa lapis bunyi, lapis arti, dan lapis yang berupa objek-objek, latar dan pelaku, lapis dunia dan lapis metafisis serta aspek-aspek semiotik yang meliputi aspek tanda/kode kesastraan yang ada dalam teks.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu, Content Analysis. Countent analysis atau kajian isi, yaitu menganalisis isi yang terdapat dalam karya sastra. Kajian ini merupakan metode penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Weber dalam Lexy J Moeleong, 2007:163) Cara kerja analisis ini adalah melakukan serangkaian kerja, menganalisis berbagai dokumen mantra yang telah ada. Melalui content analysis, data yang diperoleh dikaji secara cermat agar dapat mengambil kesimpulan mengeni data yang dapat digunakan dalam penelitian ini serta nilai-inilai penting yang menjadi pokok persoalan yang selanjutnya dianalisis.

commit to user

Langkah-langkah Content analysis adalah dengan cara:

a. Membaca dan memahami secara cermat data serta kalimat yang mendukung penelitian.

b. Mencari dan mengumpulkan buku-buku yang relevan dengan objek dan tujuan penelitian.

c. Melakukan analisis untuk memperoleh hasil penelitian dengan dasar teori yang diperoleh.

d. Menarik kesimpulan.

4. Teknik Analisis Data

Teknis analisis yang digunakan adalah analisis struktural dan analisis semiotik sastra. Analisis struktural merupakan teknis analisis berdasarkan unsur-unsur yang mempunyai peran dan fungsi dalam totalitas teks, sedangkan analisis semiotik adalah teknis analisis berdasarkan kompleks tanda/kode (Endraswara, 2003:63-64). Teknik penggarapannya menggunakan analisis deskriptif komparatif dengan perinciannya sebagai berikut. Pertama, dianalisis data berdasarkan metode struktural menggunakan teori sastra strata norma (lapis bunyi, lapis arti, dan lapis yang berupa objek-objek, latar dan pelaku, lapis dunia dan lapis metafisis). Kedua, hasil analisis ini diperjelas dengan analisiis semiotik mengenai tanda/kode yang terkandung pada Serat Pancalukita, tujuannya untuk mendapatkan makna maksimal, yaitu dapat menghubungkan sistem yang berada diluarnya. Sistem yang berada di luar karya sastra adalah semua anasir, data, fenomena, yang mereaksi bagi sebuah kelahiran karya sastra tersebut. Ketiga, menganalisis isi Serat Pancalukita

commit to user

guna mengetahui konsep manusia unggul yang terdapat di dalamnya.

Keempat, setelah mendapatkan data dari sumber data kemudian data yang terpakai di deskripsikan. Hasil analisis disusun sebagai hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian.

commit to user 27 BAB IV

HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Struktural

Karya sastra merupakan jalinan struktur karya sastra yang berhubungan dengan kehidupan manusia, sehingga karya sastra dapat dikomunikasikan kepada para pembaca. Dengan struktur yang melekat karya sastra tidak hanya sekedar bacaan, melainkan obyek yang menarik bagi peneliti lain yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keberadapan, etika filsafat maupun agama.

Suatu karya sastra yang baik terkandung di dalamnya sebuah gagasan-gagasan tentang kebenaran, keindahan dan kebaikan yang mempengaruhi tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, tingkah laku yang menunjukkan kesederhanaan tetapi berbudi luhur. Karya sastra merupakan hasil kreatifitas dari pengarang yang hidupnya terpolakan oleh situasi dan kondisi sosial masyarakat, karena itu sastra senantiasa dinamis, bergerak seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi suatu masyarakat, bahwa saat yang paling relevan sehubungan dengan kebudayaan adalah saat budaya itu tercipta, maka hal inipun berlaku pula terhadap Serat Pancalukita sebagai salah satu bentuk budaya.

Untuk memahami sebuah karya sastra terlebih dahulu kita harus mengetahui struktur yang membangun suatu karya sastra itu sendiri sehingga dapat berpijak dari struktural yang merupakan tahap awal dalam penelitian suatu karya sastra untuk lebih jauh dapat mengkaji makna yang terkandung di dalamnya. Penelitian suatu karya sastra adalah untuk mengetahui dan memahami makna dari suatu karya sastra yang diteliti. Pemahaman tersebut dimaksudkan untuk mencari

commit to user

wawasan yang mengilhami penciptaan karya sastra, karena karya sastra juga berisi pemikiran dan kreatifitas pengarang terhadap kehidupan (Sapardi Djoko Damono, 2007:45 ).

Serat Pancalukita dalam bentuk Tembang Macapat merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahami struktur tersebut perlu dianalisis setiap unsur-unsurnya. Analisis berdasarkan strata norma dimaksudkan untuk menemukan makna setiap gejala yang nampak dari Serat Pancalukita berupa lapis-lapis atau strata norma. Secara berurutan akan disajikan analisis Serat Pancalukita berdasarkan strata norma yang meliputi lapis bunyi, lapis arti, lapis objek yang berupa latar dan pelaku, lapis dunia dan lapis metafisis.

1. Lapis Bunyi

Tembang adalah satuan suara yang menghasilkan makna. Satuan tersebut dalam Serat Pancalukita berupa satuan suara, suara suku kata, kata dan suara kalimat. Lapis bunyi dalam Tembang tersebut yaitu semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu. Dalam lapis bunyi harus ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat istimewa atau khusus, yang berguna untuk mendapatkan efek puitis dan nilai seni (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:16).

Unsur kepuitisan bunyi dalam Serat Pancalukita dibangun dengan memanfaatkan sajak atau rima. Dalam persajakan memanfaatkan aliterasi, asonansi, efoni dan kakofan. Sarana tersebut mampu membentuk pola yang berirama yang kemudian menimbulkan suatu tanggapan tertentu dalam memberikan makna tambahan.

commit to user

Dalam Serat Pancalukita tembang yang ada di dalamnya berupa Tembang Macapat, karya ini terikat oleh konvensi tembang secara umum. Konvensi atau aturan fisik yang terdiri: a) guru gatra, banyaknya gatra dalam suatu pada “bait”, b) guru wilangan, yaitu banyaknya wanda “suku kata” pada masing-masing baris, dan c) guru lagu yaitu ketentuan bunyi vokal pada suku kata terakhir tiap baris. Selain itu terdapat konvensi atau aturan batin yaitu, tiap matra memiliki fungsi pemakaian yang berbeda. Hal ini berhubungan dengan watak masing-masing matra.

Aturan tembang macapat, terutama dalam guru lagu menunjukkan pentingnya unsur bunyi pada tembang. Lapis bunyi dalam tembang macapat termuat dalam konvensi guru lagu. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya lapis bunyi yang direalisasikan melalui sarana-sarana lain, misalnya aliterasi, dan asonansi. Secara keseluruhan Serat Pancalukita menampilkan 40 bait Tembang Macapat yang terdapat dalam 1 pupuh yang terdapat dalam metra Dhandhanggula.

Dalam Serat tersebut hanya terdapat satu pupuh tembang, yaitu Dhandhanggula. Matra Dhandhanggula mempunyai 10 bari atau gatra dalam setiap baitnya. Sedangkan guru wilangan dan guru lagunya sebagai berikut:

10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a.

a. Asonansi

Asonansi (purwakanthi guru swara) adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan vokal yang sama (H.Guntur.T, 85:182).

Asonansi berfungsi untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar

commit to user

keindahan bunyi. Asonansi digunakan dalam tembang untuk memberi penekanan atau sekedar keindahan (Gorys Keraf, 2007:130). Bunyi asonansi ini merupakan aspek penting untuk membangun struktur pengucapan dalam tembang Jawa tradisional. Hal tersebut akan membawa suatu dampak bahwa bunyi asonansi dapat mengasosiasikan nada lembut, keras, akrab, terbuka, atau tertutup. Jumlah vokal bahasa Jawa ada enam vokal, dengan perlambangan yang dipakai adalah /a/, /i/, /u/, /e/, /o/ dan /ê/.

Di bawah ini akan disajikan purwakanthi guru swara atau sajak perulangan bunyi vokal, yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, /o/ dan /ê/ dalam Serat Pancalukita.

1. Asonansi /a/

Asonansi /a/ dalam Serat Pancalukita muncul dengan bervariasi.

Pola letak asonansi /a/ yaitu 1) di awal kata atau suku kata pertama, 2) suku penultima (suku kata kedua dari belakang), 3) suku antepenultima (suku ketiga dari belakang), 4) suku ultima (suku pertama dari belakang) (Wedhawati, 2001:39). Pemanfaatan asonansi /a/ dapat dilihat dalam data sebagai berikut.

(1) ajrih tan mantra-mantra (Dh/2/7) „takut akan yang samar‟

(2) saka papat tamtu (Dh/14/6) „tiang empat pasti‟

commit to user (3) budi kang patang prakara (Dh/14/7)

„sifat yang empat hal‟

(4) guru saka papat kang pasthi (Dh/15/5) „penyangga tiang empat yang pasti‟

(5) alane bangsat kaya rasêksi (Dh/17/1) „buruknya penjahat seperti raksasa‟

(6) watak murka dadra ngangsa-angsa (Dh/17/2) „wataknya yang sering murka‟

(7) buwang nalar blasar nasar (Dh/17/8) „mengesampingkan akal‟

(8) têksirane langkah saka murwat (Dh/18/2) „penghasilan yang tidak sesuai‟

(9) kang kinarya lambanging palupi (Dh/19/1) „teladan dapat dilambangkan‟

(10) jaman buda sang nata Newata (Dh/19/2) „jaman raksasa Nata Newata‟

(11) arsa garwa Dyah Supraba (Dh/19/7) „ingin memperistri Dyah Supraba‟

Pada data (1) pada kalimat ajrih tan mantra-mantra ‘takut akan yang samar‟. Pola asonansi /a/ memperlihatkan dalam kata ajrih takut‟

dan tan „akan‟ terlihat bahwa bunyi vokal /a/ terdapat pada suku kata pertama dan pada suku kata kedua dari depan (penultima) dengan posisi tertutup; sedangkan, bunyi /a/ pada kata mantra „samar‟ terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima) dan pertama dari belakang

commit to user

(ultima), dengan posisi terbuka. Pada kata mantra „samar‟

menggunakan vokal /a/ berbunyi /O/ dalam bahasa Jawa disebut dengan a swara jejeg.

Pada data (2) pada kalimat saka papat tamtu „tiang empat pasti‟.

Pola asonansi /a/ memperlihatkan bahwa bunyi /a/ dalam kata saka

„tiang‟ terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima) dan suku kata terakhir (ultima) dengan posisi terbuka; bunyi /a/ pada kata papat

„empat‟ dan kata tamtu „pasti‟ terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima) dan suku kata kedua dari belakang (penultima) dengan posisi tertutup.

Pada data (3) pada kalimat budi kang patang prakara „sifat yang empat hal‟. Pola asonansi /a/ memperlihatkan bahwa bunyi /a/ dalam kata kang „yang‟, patang „empat‟ bunyi vokal /a/ terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima) dengan posisi tertutup; bunyi /a/ pada kata patang „empat‟ terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima) dan suku kata ketiga dari belakang (antepenultima) dengan posisi tertutup. Dan pada kata dan pada kata prakara „hal‟ bunyi vokal /a/ posisinya terbuka.

Pada data (5) pada kalimat alane bangsat kaya rasêksi „buruknya penjahat seperti raksasa‟. Pola asonansi /a/ memperlihatkan bahwa bunyi /a/ dalam kata bangsat „penjahat‟ dan pada kata rasêksi „raksasa‟

terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima) dan suku kedua dari belakang (penultima) dengan posisi tertutup; bunyi /a/ pada kata alane „buruknya‟ dan kata kaya „seperti‟ terdapat pada suku kata kedua

commit to user

dari depan (penultima) dan suku kata terakhir (ultima) dengan posisi terbuka.

Pada data (6) pada kalimat watak murka dadra ngangsa-angsa

„wataknya yang sering murka‟. Pola asonansi /a/ memperlihatkan bahwa bunyi /a/ dalam kata watak „watak‟ terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima) dan kedua dari belakang (penultima) dengan posisi tertutup. Bunyi /a/ pada kata murka „murka‟; dadra

„yang‟; ngangsa „sering‟ terdapat pada suku kata terakhir (ultima), pada suku kata kedua dari depan (penultima), kesemuanya dibaca dengan posisi terbuka.

Pada data (7) pada kalimat buwang nalar blasar nasar

„mengesampingkan akal‟. Pola asonansi /a/ pada kata buwang terdapat pada suku kata ketiga dari belakang (antepenultima), pada kata nalar terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima) dan kedua dari belakang (penultima), pada kata blasar terdapat pada suku kata kedua dari belakang (penultima), dan pada kata nasar terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima) dan kedua dari belakang (penultima), kesemua kata tersebut posisi vokal /a/ tertutup.

Pada data (8) pada kalimat têksirane langkah saka murwat

„penghasilan yang tidak sesuai‟. Pola asonansi /a/ memperlihatkan bahwa bunyi /a/ dalam kata têksirane terdapat pada suku kata ketiga dari belakang (antepenultima); bunyi /a/ langkah terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima) dan suku kata kedua dari belakang (penultima); bunyi /a/ pada kata murwat „terdapat pada suku kata

commit to user

kedua dari belakang (penultima), kesemua vokal /a/ pada ketiga kata diatas mempunyai posisi tertutup. Dan bunyi /a/ pada kata saka terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima) dan suku kata terakhir (ultima) dengan posisi vokal /a/ terbuka.

Pada data (9) pada kalimat kang kinarya lambanging palupi

„teladan dapat dilambangkan‟. Pola asonansi /a/ memperlihatkan bahwa bunyi /a/ dalam kata kang terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima); bunyi /a/ pada kata lambanging terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima); bunyi /a/ pada kata palupi terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima), bunyi vokal /a/ pada ketiga kata tersebut mempunyai posisi tertutup. Dan pola asonansi pada kata kinarya pada suku kata terakhir memanfaatkan bunyi vokal /a/ berbunyi /O/, atau sering disebut a swara jejeg, dengan posisi vokal /a/ terbuka.

Pada data (10) pada kalimat jaman buda sang nata Newata

„jaman raksasa Nata Newata‟. Pola asonansi /a/ memperlihatkan bahwa bunyi /a/ dalam kata jaman terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima) dan suku kata kedua dari belakang (penultima); bunyi /a/

pada kata sang terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima), kedua kata tersebut vokal /a/ mempunyai posisi tertutup. Pola asonansi /a/ memperlihatkan bahwa bunyi /a/ dalam kata buda terdapat pada suku kata terakhir (ultima); bunyi /a/ pada kata nata terdapat pada suku kata kedua dari depan (penultima) dan pada suku kata terakhir (ultima), bunyi asonansi /a/ pada kata Newata terdapat pada suku kata ketiga dari

commit to user

belakang (antepenultima) dan pada suku kata terakhir (ultima), ketiga kata tersebut mempunyai posisi vokal /a/ terbuka.

Pada data (11) pada kalimat arsa garwa Dyah Supraba „ingin memperistri Dyah Supraba‟. Pola asonansi /a/ memperlihatkan bahwa bunyi /a/ dalam kata arsa; garwa; Supraba vokal /a/ pada konsonan terakhir mempunyai posisi terbuka.

2. Asonansi /i/

Karakter bunyi /i/adalah mengasosiasikan sesuatu yang kecil, ringan, menunjukkan karakter lembut, halus. Bunyi /i/ sesuai untuk menggambarkan perkataan yang baik, suci, mulia dan berguna di masyarakat. Bunyi /i/ juga dapat melukiskan perasaan takut, sedih, merasa bersalah, dan rasa kecil hati.

Asonansi /i/ dalam tembang Jawa Serat Pancalukita muncul secara bervariasi. Pola asonansi /i/ secara berulang dapat muncul 1) di awal kata atau suku kata pertama, 2) suku kata kedua dari belakang (paenultima), 3) suku kata ketiga dari belakang (antepaenultima) dan 4) suku kata terakhir (ultima) (Wedhawati, 2001:39). Posisi asonansi /i/

dalam pola asonansi dapat terbuka dan tertutup. Pemanfaatan asonansi /i/ dapat dilihat dalam data sebagai berikut.

(12) nora dadi wujuding wisma (Dh/15/2) „tidak terwujud rumah‟

(13) nging winangsit goning pati urip (Dh/21/1) „tapi hidup matinya telah digariskan‟

commit to user

Dari data (12) terdapat kalimat nora dadi wujuding wisma „tidak terwujud rumah‟. Kalimat tersebut apabila diucapkan sangat merdu sebab adanya bunyi vokal /i/ yang muncul secara berturut-turut. Adanya purwakanthi guru swara akibat munculnya vokal /i/ secara berulang-ulang menyebabkan kemerduan baris dalam tembang. Purwakanthi guru swara tidak akan terwujud apabila diganti dengan tuturan, misalnya nora dadi wujude wisma „tidak terwujud rumah‟.

Dari data (12) terdapat kalimat nora dadi wujuding wisma „tidak terwujud rumah‟. Kalimat tersebut apabila diucapkan sangat merdu sebab adanya bunyi vokal /i/ yang muncul secara berturut-turut. Adanya purwakanthi guru swara akibat munculnya vokal /i/ secara berulang-ulang menyebabkan kemerduan baris dalam tembang. Purwakanthi guru swara tidak akan terwujud apabila diganti dengan tuturan, misalnya nora dadi wujude wisma „tidak terwujud rumah‟.

Dokumen terkait