• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA : Berisi kumpulan buku-buku referensi sebagai acuan dalam penelitian.

commit to user

10 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Puisi Jawa Tembang Macapat

Puisi merupakan bentuk kesusastraan yang menggunakan pengulangan pengulangan suara sebagai ciri khasnya (Slametmuljana, 1951:58 dalam Herman J Waluyo,1995:23). Pengulangan kata menghasilkan rima, ritma, dan musikalitas. Bahasa puisi adalah bahasa pilihan, yakni bahasa yang benar-benar diseleksi penentuannya secara ketat oleh penyair (Coleridge, 1960:50 dalam Herman J Waluyo,1995:23).

Di puisi terdapat larik, bait, makna larik, pertalian makna larik atau makna antar bait. Penyair mengkonkritkan pengertian dan konsep dengan menggunakan pengimajian, pengiasan, dan perlambangan (S. Efendi, 1982:xi dalam Herman J Waluyo,1995:23).

Puisi merupakan karya seni yang puitis. Kata puitis mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi. Kepuitisan tersebut dapat tercapai misalnya dengan menggunakan bentuk visual: tipografi, susunan bait, dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi: dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Untuk mengetahui kepuitisan puisi, terlebih dahulu harus mengetahui unsur-unsur pembentuk puisi (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:13).

Atar Semi membagi bentuk puisi menjadi dua yaitu, bentuk fisik puisi mencakup bentuk nada dan larik yang di dalamnya terdapat irama, sajak,

commit to user

intonsi, pengulangan, dan perangkat kebahasaan lainnya, sedangkan bentuk mental terdiri dari tema, urutan logi, pola asosiasi, satuan arti yang dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi. Kedua bentuk tersebut terjalin dan terkombinasi secara utuh yang membentuk dan memungkinkan sebuah puisi tersebut memantulkan makna, keindahan, dan imajinasi bagi pembacanya (1993:107).

Bentuk puisi tradisional Jawa salah satunya adalah tembang. Tembang Macapat telah ada sejak jaman jaman Demak. Puisi tersebut ditembangkan atau dinyanyikan sesuai dengan lagu-lagu tertentu. Bentuk ini memiliki aturan yang terikat yaitu metrum. Tembang Macapat atau sekar Macapat adalah lagu yang terikat oleh metrum atau aturan-aturan tertentu, yaitu. a) terikat oleh banyaknya gatra/guru gatra yaitu banyaknya bait dalam tiap bait tembang. b) terikat oleh guru wilangan, yaitu banyaknya suku kata dalam baris tembang. c) terikat oleh guru lagu atau jatuhnya suara akhir pada tiap gatra atau baris tembang. Dalam istilah lain jatuhnya dhong-dhing atau jatuhnya suara (a-i-u-e-o).

Jumlah suku kata dalam setiap larik merupakan hal pokok dalam puisi Jawa tradisional termasuk juga dalam puisi karya Ranggawarsita. Pola pembaitan dan pola pelarikan banyak yang mengikuti puisi Jawa tradisional yang berkembang pada saat itu. Pelarikan pada puisi Jawa tradisional menunjukkan adanya ketaatan yang tinggi terhadap jumlah suku kata tiap larik maupun ketaatan pada rima.

Sekar Macapat menurut Sutjipto Adi (1991: 89), tembang Macapat ada 11 jenis yang kesemuanya terikat dengan guru gatra, guru wilangan dan

commit to user Keberadaan rima dalam puisi tidak dapat dilepaskan dengan

keberadan ritma. Ritma dalam puisi merupakan gerak yang teratur yang ditimbulkan oleh bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi dari kata-kata dalam bait-bait puisi sehingga akan menimbulkan keindahan musikalis dalam puisi. Ritma dapat dikatakan sebagai aspek bunyi suprasegmental dalam puisi (Rahmat Djoko Pradopo, 1993:40). Keberadaan ritma dalam puisi disebabkan karena adanya perulangan bunyi yang berturut-turut dan bervariasi, misalnya purwakanthi swara atau asonansi, purwakanthi sastra atau aliterasi, purwakanthi lumaksita serta disebabkan oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian.

B. Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural dalam penelitian karya sastra merupakan langkah awal untuk penelitian selanjutnya.(A. Teeuw, 1983:61). Analisis

commit to user

struktural merupakan tahap awal dalam penelitian karya sastra yang tidak dapat dihindari, karena analisis semacam ini baru memungkinkan pengertian yang optimal. Dresden berpendapat bahwa setiap penelitian sastra analisis struktural karya sastra yang ingin diteliti dari mana pun juga merupakan tugas prioritas, pekerjaan pendahuluan. Sebab sastra sebagai dunia dalam kata mempunyai kebulatan instrinsik yang dapat digali dari karya sastra itu sendiri (Dresden dalam A.Teuw, 1983:61).

Analisis struktural ini merupakan prioritas pertama sebelum yang lain-lain (A.Teeuw, 1983:61) tanpa hal itu kebulatan makna instrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri, tidak akan tertangkap. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:125).

Strukturalisme pada dasarnya adalah cara berfikir tentang dunia yang berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Menurut pikiran strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) merupakan susunan hubungan daripada susunan benda-benda.

Kodrat tiap unsur dalam struktur tersebut tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungan dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu (Hawkes, 1978:17-18 dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2007:119-120). Struktur dapat disimak dalam rangkaian entitas yang membangunnya, yaitu ide kesatuan, ide transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri (Piaget via Hawkes, 1978:16 dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2007:119).

commit to user

Analisis struktural dapat diperoleh makna total, dengan tidak mengabaikan gejala-gejala yang selalu berhubungan, yang diberikan pada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinan. Sedangkan analisis struktural memandang karya sastra sebagai keseluruhan yang bulat, dan saling berhubungan itu penggambara dalam bentuk tempat kejadian, waktu, dan sebagainya sebagaimana kejadian di dalam masyarakat. Bagian-bagian itu tidak dapat memiliki makna sendiri-sendiri. Makna itu timbul dari hubungan antar unsur yang terkait dalam situasi itu. Makna penuh sebuah kesatuan hanya dapat dipahami sepenuhnya apabila seluruh unsur pembentukannya terintegrasi ke dalam sebuah strutur. Perlu diketahui bahwa pembagian struktur atas unsur-unsurnya itu berbeda-beda antara ahli sastra yang satu dengan yang lain. Dalam menganalisis struktur Serat Pancalukita ini akan berpegang dari salah satu ahli sastra yaitu Roman Ingarden. Manurut Roman Ingarden unsur-unsurnya berdasarkan strata norma, yaitu lapis bunnyi, lapis arti, lapis dunia, lapis metafisis (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:14).

1. Lapis Bunyi (sound stratum)

Lapis norma yang pertama adalah lapis bunyi (sound stratum).

Apabila orang membaca puisi, maka yang terdengar itu ialah rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Tetapi, suara itu bukan hanya suara tak berarti. Suara sesuai dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti. Dengan adanya

satuan-commit to user

satuan suara itu orang menangkap artinya (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:15).

Shahon Ahmad mengemukakan bahwa puisi terdapat unsur-unsur emosi, imjinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindra, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, perasaan yang bercampur baur. Ada tiga unsur pokok; pertama, hal yang meliputi pemikiran, ide, atau emosi;

kedua, bentuknya; dan ketiga ialah kesannya. Semuanya itu terungkap dengan media bahasa. Jadi, puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman atau interprestasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:7).

Gaya bahasa dari segi bahasanya, dapat ditinjau berdasarkan pilihan kata-katanya, berdasarkan nada bahasanya, berdasarkan struktur kalimatnya, dan berdasarkan langsung tidaknya makna yang terdiri dari gaya bahasa retotis dan gaya bahasa kiasa (Gorys Keraf, 1984:117-136).

Pembahasan gaya bahasa yang terdapat dalam Serat Pancalukita akan dibahas berdasarkan tinjauan dari segi struktural kalimat, dan langsung tidaknya makna yang terbatas pada gaya bahasa retoris dan gaya kias, terbatas pada penggunaan gaya bahasa yang terdapat di dalam Serat Pancalukita.

commit to user

2. Lapis Arti (unit of meaning)

Lapis arti (unit of meaning), berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi bait, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:15).

Lapis arti adalah satuan arti yang dibangun oleh kata, gabungan kata dan kalimat. Teks Serat Pancalukita menurut bait dengan jumlah larik tetap sesuai metrumnya. Fungsi bait membagi teks menurut bagian-bagian yang lebih pendek. Sedangkan pola maknanya merupakan makan yang khas yaitu makna tambahan. Makna tersebut terjadi karena bentuk formatnya; adanya unsur kepuitisan bahasa dan unsur bunyi.

3. Lapis Objek

Lapis objek yaitu yang dikemukakan oleh latar, pelaku dan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh pengarang. Semuanya merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, oleh latar, pelaku dan dunia pengarang (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:18).

4. Lapis Dunia

Lapis dunia, yang dipandang dari titk pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan tetapi terkandung di dalamnya (implied). Sebuah peristiwa dalam sastra dapat dikemukakan atau dinyatakan “ terdengar” atau

“terlihat” bahkan peristiwa yang sama. Misalnya suara dobrakan pintu

commit to user

dapat diperlihatkan aspek “luar” atau “dalam” watak. Misalnya pintu berbunyi halus dapat memberi sugesti wanita atau watak dalam si pembuka itu hati-hati. Keadaan sebuah kamar yang terlihat dapat memberikan sugesti watak orang yang tinggal di dalamnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:15).

Pemanfaatan bunyi baik vokal maupun konsonan dalam Serat Pancalukita disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan arti. Arti ini menjadi dasar adanya hal-hal yang dikemukakan menyeluruh. Ha-hal yang dikemukakan menunjuk pada dunia tertentu dalam pandangan pengarang Dunia yang dinyatakan adalah tentang keberadaan manusia di dunia, yang terangkum keseluruhan batinnya.

5. Lapis Metafisis

Lapis ini dapat memberikan suatu renungan bagi pembaca. Lapis metafisis berupa sifat-sifat metafisis yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan dan yang suci dan sifat ini dapat memberi renungan (kontemplasi) kepada pembaca (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:15).

C. Pengertian Semiotik

Istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani Semeion yang berarti

“tanda”(Sudjiman dan Zoest, 1992:vii). Semiotik secara terminologis yaitu ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco 1979:6 dalam Faruk 199:44).

commit to user

Semiotik berkeinginan mempertahankan karya sastra di dalam hakikatnya sebagai tindak komunikasi. Salah satu pendekatan yang menonjolkan sifat sastra adalah semiotik, yaitu ilmu sistem ketandaan yang berfungsi sebagai sarana komunikasi (Teeuw, 1984:18). Dalam hal ini unsur yang memegang peranan dalam komunikasi harus diperhatikan, misalnya unsur pengirim dan penerima pesan. Dalam hal ini pesan tersebut berupa tanda yang merupakan kesatuan antara aspek yang terpisahkan satu dengan yang lainnya, yaitu antara penanda (signifiant) dan petanda (signifie).

Sastra sebagai alat komunikasi kaya akan konvensi. Konvensi dalam karya sastra biasa dibagi dalam dua tingkat. Konvensi tingkat pertama menyaran pada sistem (tataran) arti kebahasaan (first order semiotic system).

Hal ini dikarenakan karya sastra menggunakan bahasa sebagai bahan komunikasinya. Tidak seperti warna pada seni lukis, atau kayu pada seni pahat, bahasa dalam seni sastra tidak bersifat netral sejak sebelum menjadi wujud seni (Rachmat Djoko Pradopo, 2007:121).

Karya sastra merupakan struktur tanda yang bermakna, oleh karena itu strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Struktur karya sastra tidak dapat diketahui maknanya secara optimal apabila tidak diperhatikan sistem tanda, tanda dan makananya serta konvensi karya sastra (Rachmat Djoko Pradopo, 2003: 118).

Dalam melihat karya sastra memiliki sistem sendiri, semiotik tidak terbatas pada sosok karya sastra tersebut, tetapi juga menghubungkannya dengan sistem yang berada di luarnya. Sistem yang berada di luar karya sastra adalah semua dimensi, data, fenomena yang mereaksi bagi kelahiran

commit to user

karya sastra tersebut (Rachmat Djoko Pradopo, 2003: 122i). Semiotik tidak melihat karya sastra hanya sebagai objek materi seni tetapi juga melihatnya dalam perspektif yang lebih luas, yaitu kehidupan manusia, tata nilai, lembaga kemasyarakatan, adat-istiadat. Di pihak lain tanda-tanda atau kode-kode sekecil apapun yang terdapat dalam karya sastra penting diperhatikan karena ikut membentuk sistem dan keseluruhan karya tersebut, sehingga mampu mengatasi kemacetan komunikasi dalam proses pembacaan karya sastra yang diakibatkan oleh kompleks sistem tanda/ kode yang diciptakan oleh pengarang.

Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang merupkan pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, yang menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa tersebut, akan tetapi berbagai hal yang meliputi kehidupan ini. (Burhan, 2007:5-6). Ciri-ciri terpenting tanda adalah harus dapat diamati agar adapt berfungsi sebagai tanda, tetapi sifat dapat diamati ini ada batasannya meskipun tidak jelas.

Tanda juga harus ditangkap, tetapi tidaklah esensial sifatnya. Sebuah tanda agar dapat berfungsi sebagai tanda harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat tampak, bagaimana hal itu terjadi tidak terlalu penting (Sudjiman dan Zoest, 1992:11-13).

Menurut Peirce tanda memiliki tiga sisi atau triadik yaitu representamen, ground, dan tanda itu sendiri. Model yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali. Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan atara tiga titik, yaitu representamen (R) – object (O) – interpretant (I).

commit to user

Representamen adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (object).

Kemudian interpretant adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara representamen dan object.

Gambar I Relasi Triadik

Interpretant

Representamen Object

(sumber Kris Budiman, 2004:26)

Peirce sebagai ahli berfilsafat merancang semiotik sebagai teori yang baru sama sekali, dengan konsep-konsep yang baru dan tipologi yang sangat rinci. Gagasan tersebut juga terminologinya sangat baru dan sangat sukar dipahami sehingga baru bertahun-tahun kemudian mendapat pelatihan dari para ilmuwan (Sudjiman dan Zoest, 1992:viii).

Menurut Pierce (Sudjiman dan Zoest, 1992:viii) ada tiga jenis tanda berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan, yaitu:

a. Ikon, adalah tanda yang keberadaannya sebagai kemungkinan, tanpa tergantung pada adanya sebuah denotatum, tetapi dapat dikaitkan atas dasar suatu persamaan yang secara potensial dimilikinya atau tanda yang secara Inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Misalnya, foto dengan orang yang difoto atau peta dengan wilayah geografisnya.

commit to user

b. Indeks, adalah sebuah tanda yang dalam corak tandanya tergantung dari adanya sebuah denotatum atau tanda yang mengandung hubungan kausal hal yang ditandakan bersifat arbiter, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Misal, asap menandakan adanya api, mendung menandakan turunnya hujan.

c. Simbol, adalah adanya tanda yang memiliki hubungan tanda dengan denotatumnya yang ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku secara umum atau makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Misal, putih sebagai symbol adanya kematian.

Makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu. Pada prinsipnya, ada tiga hubungan yang mungkin ada di antara tanda dan acuannya, yaitu: (1) Hubungan itu dapat kemiripan, yang disebut ikon. (2) Hubungan itu dapat timbul karena kedekatan eksistensi, tanda itu disebut indeks. (3) Hubungan itu dapat pula merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional, tanda itu adalah symbol.

Dalam teks kesastraan, ketiga jenis tanda tersebut sering hadir bersama dan sulit dipisahkan. Jika sebuah tanda itu dikatakan sebagai ikon, haruslah dipahami bahwa tanda tersebut mengandung penonjolan ikon, menunjukkan banyaknya ciri ikon dibanding dengan kedua jenis tanda yang lain. Ketiganya sulit dikatakan mana yang lebih penting.

Dari uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa suatu tanda dapat berarti jika diperantarai oleh interpretan. Penafsiran terhadap tanda yang diberikan oleh seorang interpreter harus dipahami sebagai kemungkinan

commit to user

penafsiran oleh interpreter. Dengan mengacu pada teori Peirce, Serat Pancalukita sebagai tanda memiliki arti yang harus ditafsirkan. Dengan melalui suatu tafsiran (interpretant) yang dilakukan oleh peneliti sebagai penerima tanda (interpretateur) terhadap hubungan antara tanda dan acuannya yang berupa simbol, ikon dan indeks maka apa yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam Serat Pancalukita diharapkan dapat dipahami dan dimengerti.

commit to user

23 BAB III

METODE PENELITIAN

Metodologi disebut dengan proses, prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan demikian metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian.

Metodologi dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teoritis yang kita gunakan untuk melakukan penelitian. Metode penelitian yaitu cara atau prosedur yang digunakan dalam meneliti sebuah obyek kajian penelitian.

1. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian Sastra yaitu pencarian pengetahuan pemberian makna dengan hati-hati dan kritis secara terus menerus terhadap masalah sastra. Analisis metode yang digunakan dalam penelitian sastra ini adalah metode kualitatif. Metode Kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini dinilai sesuai dengan teori yang diterapkan yakni semotika sastra. Makna karya sastra sebagai tanda adalah makna semiotiknya, yaitu makna yang bertautan dengan dunia nyata.

2. Sumber Data dan Data

Sumber data yang digunakan yaitu naskah Serat Pancalukita yang sudah pernah dikaji secara Filologis oleh Fitria Nur Hayati mahasiswa Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2000. Naskah tersebut terdapat dalam naskah bendel

commit to user

Serat Makutharaja koleksi Perpustakaan Sasanapustaka Surakarta dengan nomor katalog Nancy KS 758.8242 Ca SMP 103/3: R 164/5, dan dalam katalog lokal Perpustakaan Sasanapustaka Surakarta bernomor 242 CA K 001.

Data dalam penelitian ini yaitu struktur karya sastra, yaitu unsur-unsur yang mempunyai peran dan fungsi dalam totalitas teks Serat Pancalukita yang sudah pernah dikaji secara Filologis oleh Fitria Nur Hayati mahasiswa Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2000. Unsur-unsur struktur karya sastra tersebut berupa lapis bunyi, lapis arti, dan lapis yang berupa objek-objek, latar dan pelaku, lapis dunia dan lapis metafisis serta aspek-aspek semiotik yang meliputi aspek tanda/kode kesastraan yang ada dalam teks.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu, Content Analysis. Countent analysis atau kajian isi, yaitu menganalisis isi yang terdapat dalam karya sastra. Kajian ini merupakan metode penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Weber dalam Lexy J Moeleong, 2007:163) Cara kerja analisis ini adalah melakukan serangkaian kerja, menganalisis berbagai dokumen mantra yang telah ada. Melalui content analysis, data yang diperoleh dikaji secara cermat agar dapat mengambil kesimpulan mengeni data yang dapat digunakan dalam penelitian ini serta nilai-inilai penting yang menjadi pokok persoalan yang selanjutnya dianalisis.

commit to user

Langkah-langkah Content analysis adalah dengan cara:

a. Membaca dan memahami secara cermat data serta kalimat yang mendukung penelitian.

b. Mencari dan mengumpulkan buku-buku yang relevan dengan objek dan tujuan penelitian.

c. Melakukan analisis untuk memperoleh hasil penelitian dengan dasar teori yang diperoleh.

d. Menarik kesimpulan.

4. Teknik Analisis Data

Teknis analisis yang digunakan adalah analisis struktural dan analisis semiotik sastra. Analisis struktural merupakan teknis analisis berdasarkan unsur-unsur yang mempunyai peran dan fungsi dalam totalitas teks, sedangkan analisis semiotik adalah teknis analisis berdasarkan kompleks tanda/kode (Endraswara, 2003:63-64). Teknik penggarapannya menggunakan analisis deskriptif komparatif dengan perinciannya sebagai berikut. Pertama, dianalisis data berdasarkan metode struktural menggunakan teori sastra strata norma (lapis bunyi, lapis arti, dan lapis yang berupa objek-objek, latar dan pelaku, lapis dunia dan lapis metafisis). Kedua, hasil analisis ini diperjelas dengan analisiis semiotik mengenai tanda/kode yang terkandung pada Serat Pancalukita, tujuannya untuk mendapatkan makna maksimal, yaitu dapat menghubungkan sistem yang berada diluarnya. Sistem yang berada di luar karya sastra adalah semua anasir, data, fenomena, yang mereaksi bagi sebuah kelahiran karya sastra tersebut. Ketiga, menganalisis isi Serat Pancalukita

commit to user

guna mengetahui konsep manusia unggul yang terdapat di dalamnya.

Keempat, setelah mendapatkan data dari sumber data kemudian data yang terpakai di deskripsikan. Hasil analisis disusun sebagai hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian.

commit to user 27 BAB IV

HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Struktural

Karya sastra merupakan jalinan struktur karya sastra yang berhubungan dengan kehidupan manusia, sehingga karya sastra dapat dikomunikasikan kepada para pembaca. Dengan struktur yang melekat karya sastra tidak hanya sekedar bacaan, melainkan obyek yang menarik bagi peneliti lain yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keberadapan, etika filsafat maupun agama.

Suatu karya sastra yang baik terkandung di dalamnya sebuah gagasan-gagasan tentang kebenaran, keindahan dan kebaikan yang mempengaruhi tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, tingkah laku yang menunjukkan kesederhanaan tetapi berbudi luhur. Karya sastra merupakan hasil kreatifitas dari pengarang yang hidupnya terpolakan oleh situasi dan kondisi sosial masyarakat, karena itu sastra senantiasa dinamis, bergerak seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi suatu masyarakat, bahwa saat yang paling relevan sehubungan dengan kebudayaan adalah saat budaya itu tercipta, maka hal inipun berlaku pula terhadap Serat Pancalukita sebagai salah satu bentuk budaya.

Untuk memahami sebuah karya sastra terlebih dahulu kita harus mengetahui struktur yang membangun suatu karya sastra itu sendiri sehingga dapat berpijak dari struktural yang merupakan tahap awal dalam penelitian suatu karya sastra untuk lebih jauh dapat mengkaji makna yang terkandung di dalamnya. Penelitian

Untuk memahami sebuah karya sastra terlebih dahulu kita harus mengetahui struktur yang membangun suatu karya sastra itu sendiri sehingga dapat berpijak dari struktural yang merupakan tahap awal dalam penelitian suatu karya sastra untuk lebih jauh dapat mengkaji makna yang terkandung di dalamnya. Penelitian

Dokumen terkait