• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Pengertian Suara atau Bunyi

Suara atau bunyi didefinisikan sebagai getaran yang ditransmisikan melalui suatu medium elastis (misalnya udara) yang kemudian diterima dan dipersepsi oleh telinga manusia. Suara atau bunyi juga merupakan bentuk gelombang getaran suara yang merambat sebagai gelombang longitudinal dalam medium padat, cair dan gas (Achmadi 1994). Bunyi mempunyai dua aspek yang menimbulkan ketulian pada pendengaran manusia, yaitu frekuensi dan intensitas. Adapun yang dimaksud frekuensi adalah banyaknya getaran perdetik (cps = cycle per second atau hertz). Pendengaran manusia berada pada kisaran bunyi antara 20-20.000 Hz, sedangkan kisaran frekuensi pembicaraan adalah 275-2.500 Hz (Peterson 1997 dalam Santosa 1992). Bunyi yang berada di bawah 20 Hz disebut infrasound, sedangkan bunyi yang berada diatas 20.000 Hz disebut ultrasound. Intensitas adalah variasi tekanan dari suatu bunyi dengan satuan yang dinyatakan dalam desibel (dB). Makin besar intensitas bunyi, makin keras pula bunyi itu terdengar.

Terdapat 4 kondisi fisis yang dibutuhkan agar suara dapat terdengar oleh manusia (Pearce 2002) antara lain:

1) Ada tidaknya medium elastis yang memiliki inersia sehingga memungkinkan energi suara dapat merambat atau berpropagasi, dan medium tersebut mungkin berbentuk gas (udara), cairan atau padat.

2) Getaran ini berlanjut dari satu titik ke titik yang lain di dalam ruang (virtual) di sekitar sumber suara atau dapat disebutkan bahwa getaran akan mengalami propagasi dengan kecepatan tertentu.

3) Getaran yang dirambatkan melalui medium elastis tersebut kemudian tiba dan ditangkap oleh daun telinga (pina). Rambatan energi getaran ini di dalam telinga manusia mengalami proses yang cukup rumit sampai manusia disebut mendengar suara.

a. Rambatan pada telinga bagian luar: energi gangguan dalam medium udara yang ditangkap oleh pina dirambatkan melalui liang telinga menuju genderang telinga.

10

b. Rambatan pada telinga bagian tengah: pada bagian ini energi getaran menyebabkan genderang telinga bergetar yang selanjutnya menggetarkan tulang-tulang telinga.

c. Rambatan pada telinga bagian dalam: tulang pelana yang melekat pada oval window di cochlea merambatkan energi getaran ke cairan yang berada di dalam cochlea tersebut. Di dalam cochlea terdapat pula basilar membrane yang berfungsi sebagai penganalisa amplitudo dan frekuensi dari energi getaran. Di bagian telinga dalam ini pula energi getaran yang telah mengalami proses analisa amplitudo dan getaran tersebut dirubah menjadi pulsa-pulsa listrik yang mengandung semua informasi akustik dari sumber getar yang diambil oleh syaraf pendengaran yang menghubungkan bagian cochlea dengan otak. Tanggapan yang dilakukan oleh otak merupakan proses mendengar yang dilakukan oleh manusia.

Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa semua bagian-bagian telinga yang merambatkan energi getaran tersebut mempunyai kesesuaian impedansi sedemikian sehingga energi getaran dari telinga bagian luar sampai ke telinga bagian dalam tidak mengalami penyusutan energi.

Menurut Sumitra (1997), suara merupakan energi mekanika yang fluktuasinya dalam bentuk suara yang masuk ke dalam alat pendengaran dari mulai auditory canals, masuk ke dalam telinga tengah lewat assicles, kemudian masuk melalui oval window membrane dan melewati cairan di telinga dalam (cochlea), yang selanjutnya diterima oleh reseptor organon corti, kemudian dengan system yang sangat komplek dari sel-sel rambut pada membrana basilaris ditransfer dalam bentuk impuls-impuls saraf diteruskan ke otak. Telah dijelaskan sebalumnya bahwa manusia memiliki toleransi terhadap suara yang diterima.

Dinamika lingkungan hidup adalah salah satu faktor yang berpengaruh pada tingkah laku manusia yang sering tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, dinamika lingkungan, secara khusus yang menghasilkan suara, berpotensi menimbulkan kebisingan. Satu diantara sumber kebisingan adalah mesin-mesin modern yang digunakan berbagai industri yang menghasilkan suara atau bunyi pada saat beroperasi. Penggunaan mesin-mesin modern tersebut untuk meningkatkan produktivitas, dan memenuhi kebutuhan pasar. Disamping penggunaan mesin-mesin modern, kinerja para karyawan perlu diperhatikan.

2.1.2. Pengertian Kebisingan

Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak diinginkan, mengganggu, mempunyai sumber dan menjalar melalui media perantara (Hadjar 1971; Lipscomb 1978). Lebih lanjut Canter seperti dikutip Mukono (1985) menyatakan bising sebagai bunyi yang tidak diinginkan, sedangkan menurut Chanlet bising adalah bunyi yang terjadi pada saat dan tempat atau keadaan yang tidak sesuai.

Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-15/MEN/1999, kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Lebih lanjut dikemukakan bahwa bising merupakan kumpulan nada dengan bermacam-macam intensitas dan suara tersebut tidak dikehendaki sehingga terasa mengganggu ketentraman. Bising dengan intensitas di atas 85 dB dapat menimbulkan ketulian. Hal ini telah dibuktikan dari beberapa penelitian.

Pada upaya pencegahan dampak negatif kebisingan terkait dengan kesehatan lingkungan, pendekatan epidemiologi dapat digunakan untuk meminimalkan dampak negatif kebisingan. Epidemiologi kebisingan dilakukan untuk menyajikan data tentang kebisingan menurut lokasi pada suatu daerah, menurut perjalanan waktu, tingkat dan jenis kebisingan, daerah yang terkena kebisingan, jenis sumber bising, keluhan masyarakat tentang kebisingan, dan jumlah masyarakat yang menderita gangguan terkait dengan kebisingan. Pendekatan serupa juga dapat dilakukan di perusahaan-perusahaan dan/atau pabrik-pabrik yang potensial menimbulkan kebisingan. Guna lebih memahami mekanisme pemajanan bising pada manusia, maka beberapa fakktor yang berpengaruh pada suara yang tidak dikehendaki tersebut perlu diketahui. Faktor- faktor tersebut diantaranya sumber bising, tingkat bising, dan kemungkinan keluhan yang muncul pada masyarakat dan/atau karyawan.

Sumber bising adalah lokasi dan/atau benda yang merupakan asal suara yang tidak dikehendaki. Guna memaksimalkan pemantauan terhadap efektivitas pengendalian kebisingan, maka sumber bising pada suatu daerah administrasi tertentu hendaknya dicatat dan dilaporkan jumlahnya berdasarkan jenis sumber bising tersebut. Kondisi tersebut menggambarkan jumlah sumber bising total di wilayah tersebut dan jumlah dari masing-masing jenis sumber tersebut. Hal yang sama juga perlu dilakukan pada berbagai perusahaan yang ada pada suatu wilayah administratif (Departemen Kesehatan RI 1995). Sumber bising yang

12

dijadikan target pemantauan dapat dibagi menjadi sumber bising menurut lokasi dan waktu. Mekanisme tersebut apabila diterapkan pada upaya pemantauan kebisingan suatu perusahaan, maka lokasi bising difokuskan pada ruangan- ruangan yang di dalamnya terdapat mesin-mesin dan/atau peralatan lain yang potensial menimbulkan kebisingan, sedangkan sumber bising berdasarkan waktu adalah jam kerja yang digunakan untuk mengoperasikan peralatan yang potensial menimbulkan kebisingan.

Disamping sumber bising, pemantauan kebisingan juga dilakukan pada tingkat kebisingan, baik pada sumber bising dalam bentuk lokasi maupun pada sumber bising dalam bentuk waktu. Pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan pendekatan titik sampel pengamatan apabila luasan areal yang akan dipantau relatif luas. Pendekatan titik pengamatan pada pengukuran tingkat kebisingan relatif jarang digunakan bila dilakukan pada areal pabrik. Sama halnya dengan sumber bising, pengukuran tingkat kebisingan juga dapat dilakukan berdasarkan lokasi dan waktu. Pengukuran tingkat kebisingan pada suatu perusahaan, khususnya pada areal operasional akan memberikan gambaran upaya penangelolaan kebisingan terkait dengan program K3. pemantauan efektifitas penanggelolaan kebisingan pada perusahaan tidak saja pada sumber dan tingkat kebisingan tetapi juga terhadap kemungkinan keluhan yang dialami oleh para karyawan selama bekerja pada perusahaan tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui besarnya komitmen perusahaan untuk memberikan penghargaan sebagai hak yang harus diberikan pada para karyawan.

Faktor yang berpengaruh pada tingkat kebisingan, selanjutnya akan berpengaruh pada jenis kebisingan yang dihasilkan. Menurut Rahman (1990), jenis-jenis kebisingan yang sering dijumpai menurut sifat suaranya antara lain: 1) Kebisingan kontinyu yaitu kebisingan dimana fluktuasi dari intensitasnya tidak

lebih dari 6 dB dan tidak terputus-putus. Kebisingan ini dibedakan menjadi dua yaitu:

a) Wide spectrum adalah kebisingan dengan spektrum frekuensi yang luas, seperti suara kipas angin, suara mesin tenun.

b) Narrow spectrum adalah kebisingan dengan spektrum sempit seperti suara sirine, generator, gergaji sirkuler.

2) Kebisingan yang terputus-putus (intermittent) adalah kebisingan yang berlangsung secara tidak terus menerus, misalnya: lalu lintas kendaraan bermotor, kereta api, kapal terbang.

3) Kebisingan impulsif sesaat (impulsive noise) adalah kebisingan dengan intensitas yang agak cepat berubah, misalnya: pukulan palu, tembakan meriam, ledakan bom.

4) Kebisingan impulsif yang berulang, sebagai contoh adalah kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin tempa pada pemancangan tiang beton.

2.2. Anatomi dan Fisiologi Indra Pendengaran Manusia

Dokumen terkait