• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Tata Guna Lahan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Pengertian Tata Guna Lahan

Dari segi fisik geografi, lahan merupakan wadah bagi sebuah hunian yang mempunyai kualitas fisik yang penting dalam penggunaannya. Sedangkan ditinjau dari segi ekonomi lahan adalah sumber daya alam yang mempunyai peranan penting dalam suatu produksi (Lichfield dan Drabkin, 1980). Menurut Lindgen (1985), penggunaan lahan (land use) mempunyai arti sama dengan lahan yaitu merupakan tempat tinggal, lahan usaha, lapangan olah raga, rumah sakit dan areal pemakaman. Sedangkan penutup lahan (land cover) cenderung mengarah ke vegetasional dan buatan manusia atas lahan untuk mencukupi kebutuhan manusia.

Penggunaan lahan adalah suatu aktivitas manusia pada lahan yang langsung berhubungan dengan lokasi dan kondisi lahan (Soegino, 1987). Penggunaan lahan adalah suatu proses yang berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan bagi maksud pembangunan secara optimal dan efisien (Sugandhy, 1989). Jayadinata mengatakan bahwa penggunaan lahan adalah wujud atau bentuk usaha kegiatan pemanfaatan suatu bidang tanah pada satu waktu.

Guna lahan menurut Edy Darmawan (2003) adalah pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan terbaik dalam bentuk pengalokasian fungsi tertentu, sehingga dapat memberikan gambaran secara keseluruhan bagaimana daerah pada suatu kawasan tersebut seharusnya berfungsi. Pemanfaatan lahan di kota selalu dihubungkan dengan penilaian yang bertumpu pada ekonomis atau tidaknya jika sebidang tanah dimanfaatkan baik untuk rumah tinggal maupun melakukan usaha di atas tanah tersebut.

2.3.1 Klasifikasi penggunaan lahan

Klasifikasi penggunaan lahan di kabupaten dan kota di Indonesia dikembangkan berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan PP No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Atas dasar itu, penggunaan lahan di kabupaten dan kota dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Adapun rincian klasifikasi penggunaan lahan lebih detailnya dapat dilihat pada tabel 2.1.

2.3.2 Klasifikasi pemanfaatan ruang

Pemanfaatan ruang dalam zoning regulation ini mengacu pada sistem kegiatan yang berkembang dalam sebuah penggunaan lahan. Pemanfaatan ruang adalah semua aktivitas dan atau fungsi yang mungkin terjadi pada hirarki terakhir dari sebuah penggunaan lahan. Pemanfaatan ini didapatkan dari survei lapangan terhadap semua penggunaan yang ada di kabupaten dan kota. Untuk mempermudah klasifikasi, pemanfaatan ruang di kabupaten dan kota dibagi menjadi beberapa kategori dan sejumlah sub kategori. Adapun rincian pemanfaatan ruang selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.1 Detail Klassifikasi Penggunaan Lahan

Sumber: Keppres Nomor 32 Tahun 1990.

Hierarki 1 Hierarki 2 Hierarki 3 Hirarki 4 Hirarki 5

Simb ol Nama Zona Simb ol

Nama Zona Simb

ol

Nama Zona Simbol Nama Zona Simb ol

Nama Zona

L Kawasan

Lindung

LB Kawasan yang memberikan

perlindungan kawasan Bawahannya

LB-1 kawasan hutan lindung

LS Kawasan perlindungan setempat LS-5 Taman kota

LR Kawasan rawan bencana alam LR-4 Kawasan rawan

gelombang pasang/tsunami dan banjir (buffer zone II)

LL Kawasan lindung lainnya LL-4 Kawasan pantai

berhutan bakau

(buffer zone I)

B Budidaya BH kawasan hutan produksi

BT kawasan pertanian BT-3 kawasan tanaman

tahunan/perkebunan

BI Kawasan peruntukan industri BIP Industri pergudangan BIP-2 Industri depo atau

pergudangan terbuka (Oil

Bunker)

BP kawasan permukiman BPK Permukiman perkotaan BPK-1 Perumahan perkotaan BPK-

1-1 Perumahan Kepadatan Tinggi BPK- 1-2 Perumahan Kepadatan Sedang BPK- 1-3 Perumahan Kepadatan Rendah

BPK-2 Pusat Pelayanan (Kota) BPK-3 Pusat Pelayanan

Terbatas

BPD Permukiman Perdesaaan

Tabel 2.2 Kategori Pemanfaatan Ruang

KATEGORI SUB KATEGORI

Hunian Rumah Tunggal

Rumah Kopel, Rumah Deret Apartemen, Kondominium Rumah Susun

Rumah Dinas

Wisma Tamu (Guest House), sebagai aksesori Kost

Rumah Usaha sebagai aksesori Rumah Jompo

Panti Perawatan/Rehabilitasi Panti Asuhan/Penampungan

Komersial Pasokan Bahan Bangunan dan Alat Pertukangan

Alat-alat Rumah Tangga, Perabot, dan Perkakas Toko Makanan dan Minuman

Barang Kelontong dan Kebutuhan Sehari-hari Pakaian dan Perlengkapannya

Pasokan Pertanian Apotik dan toko obat

Jasa Komersial Jasa Bangunan

Jasa Pelayanan Bisnis

Jasa Usaha Makanan dan Minuman Jasa Perawatan/Perbaikan/Reparasi Jasa Pengiriman Pesanan/Ekspedisi Jasa Personal

KATEGORI SUB KATEGORI

Fasilitas Penitipan Anak Panti Pijat, Spesialis/ahli

Klinik dan Laboratorium Kesehatan Salon dan Spa/ perawatan kecantikan Jasa Bangunan

Jasa pemakaman

Perkantoran Bisnis dan Profesional

Pemerintahan

Praktisi Medis, Dokter Gigi, dan Ahli Kesehatan

Institusional Tempat Ibadah

TK, SD, SMU

Sekolah Tinggi, Universitas Sekolah Kejuruan

Rumah Sakit dan Fasilitas Perawatan

Transmisi Induk, Relay, dan Distribusi Komunikasi Museum

Lembaga Pelayanan Sosial

Industri Industri Berat

Industri Ringan Industri Manufaktur

Industri Riset dan Pengembangan Industri Penambangan dan Ekstraktif

Tabel 2.2 (lanjutan)

Terminal/Pool Truck dan Transportasi Percetakan/Penerbitan

Penimbunan Rongsokan Industri Pergudangan Industri Depo Pelayanan dan Jasa

Kendaraan Bermotor

Bengkel Kendaraan Pribadi/Niaga

Penjualan/ Persewaan Kendaraan Pribadi/Niaga

Penjualan/Persewaan Peralatan dan Perlengkapan Kendaraan Penjualan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

Ruang terbuka Hijau Rekreasi Aktif (Taman Bermain, Theme Park, Kebon Binatang)

Rekreasi Pasif (Taman) Pemakaman

Lapangan Golf, Driving Range Lapangan Tembak

Danau/Situ/Waduk Lapangan Olahraga

Preservasi Sumber Daya Alam

Penjualan Tamanan Hias dan Bunga di Ruang Terbuka Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997

2.3.3 Pola tata guna lahan

Pola tata guna lahan adalah model susunan tata guna lahan dalam konteks keruangan suatu kota dalam penggunaan media atau lahan untuk fungsi kota. Tiap kota di negara maju maupun negara berkembang mempunyai pola tata guna lahan atau pola keruangan kota yang tidak sama. Perbedaan pola keruangan ini menurut Bintarto (1977) disebabkan oleh: luas daerah kota, unsur topografi, faktor sosial, faktor budaya, faktor politik, dan faktor ekonomi. Dan pada garis besarnya, pola keruangan kota dibagi menjadi 2 (dua), yakni: inti kota (core the city) dan selaput kota (intergruments), dimana pada kedua daerah tersebut masih dapat dijumpai daerah-daerah kosong (interstices).

1. Teori Jalur Sepusat (Concentric Zone Theory) yang dikemukakan oleh EW. Burgess. Teori ini membagi lima zone penggunaan lahan dalam kawasan perkotaan yaitu: kawasan pusat kota; kawasan transisi untuk komersial dan industri; kawasan perumahan buruh yang berpendapatan rendah; kawasan perumahan buruh yang berpendapatan sedang; kawasan yang menampung perkembangan baru dan di sepanjang jalan besar menuju kawasan ini terdapat masyarakat berpenghasilan menengah dan atas.

2. Teori Sektor (Sector Theory), konsep yang dikemukakan Humer Hoyt ini

menyatakan bahwa kota-kota tidak tumbuh di dalam zone konsentrik saja, tetapi juga di sektor-sektor lain sejenis perkembangannya, sehingga daerah perumahan dapat berkembang keluar sepanjang ada hubungan transportasinya. Susunan zone penggunaan lahan dalam teori ini adalah: pusat kota berada di dalam lingkaran pusat; pada sektor tertentu terdapat pula kawasan industri ringan dan kawasan perdagangan; perumahan buruh yang dekat dengan pusat kota dan sektor bagian sebelahnya; perumahan golongan menengah ditempatkan agak jauh dari pusat kota dan sektor industri dan perdagangan; perumahan golongan atas diletakkan lebih jauh lagi dari pusat kota.

2.3.4 Perubahan guna lahan

Pengertian konversi lahan atau perubahan guna lahan adalah alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut tranformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lain (Tjahjati, 1997). Namun sebagai terminologi dalam kajian-kajian land economics, pengertiannya terutama difokuskan

pada proses dialih gunakannya lahan dari lahan pertanian atau perdesaan ke penggunaan non-pertanian atau perkotaan yang diiringi dengan meningkatnya nilai lahan (Pierce dalam Iwan Kustiwan 1997).

Mengutip penjelasan Bourne (1982), bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya penggunaan lahan, yaitu: perluasan batas kota; peremajaan di pusat kota; perluasan jaringan infrastruktur tertutama jaringan transportasi; serta tumbuh dan hilangnya pemusatan aktifitas tertentu. Secara keseluruhan perkembangan dan perubahan pola tata guna lahan pada kawasan permukiman dan perkotaan berjalan dan berkembang secara dinamis dan natural terhadap alam, dan dipengaruhi oleh:

1. Faktor manusia, yang terdiri dari: kebutuhan manusia akan tempat tinggal, potensi manusia, finansial, sosial budaya serta teknologi.

2. Faktor fisik kota, meliputi pusat kegiatan sebagai pusat-pusat pertumbuhan kota dan jaringan transportasi sebagai aksesibilitas kemudahan pencapaian.

3. Faktor bentang alam yang berupa kemiringan lereng dan ketinggian lahan.

Catanese (1986) mengatakan bahwa dalam perencanaan penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh manusia, aktifitas dan lokasi, dimana hubungan ketiganya sangat berkaitan, sehingga dapat dianggap sebagai siklus perubahan penggunaan lahan.

Sebagai contoh dari keterkaitan tersebut yakni keunikan sifat lahan akan mendorong pergeseran aktifitas penduduk perkotaan ke lahan yang terletak di pinggiran kota yang mulai berkembang, tidak hanya sebagai barang produksi tetapi juga sebagai investasi terutama pada lahan-lahan yang mempunyai prospek akan menghasilkan keuntungan yang tinggi.

Selanjutnya menurut Bintarto (1989) dari hubungan yang dinamis ini timbul suatu bentuk aktivitas yang menimbulkan perubahan. Perubahan yang terjadi adalah perubahan struktur penggunaan lahan melalui proses perubahan penggunaan lahan kota, meliputi:

1. Perubahan perkembangan (development change), yaitu perubahan yang terjadi setempat dengan tidak perlu mengadakan perpindahan, mengingat masih adanya ruang, fasilitas dan sumber-sumber setempat.

2. Perubahan lokasi (locational change), yaitu perubahan yang terjadi pada suatu tempat yang mengakibatkan gejala perpindahan suatu bentuk aktifitas atau perpindahan sejumlah penduduk ke daerah lain karena daerah asal tidak mampu mengatasi masalah yang timbul dengan sumber dan swadaya yang ada

3. Perubahan tata laku (behavioral change), yakni perubahan tata laku penduduk dalam usaha menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam hal restrukturisasi pola aktifitas.