A. Gambaran Umum Hasil Penelitian
1. Pengertian Umum Hukum Zakat Fitrah dengan Uang
Jika Zakat Fitrah Menggunakan Uang
Masalah ini termasuk kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia Islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat.
Sebagian melarang pembayaran zakat fitrah dengan uang secara mutlak, sebagian memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tetapi dengan bersyarat, dan sebagian lain memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tanpa syarat. Yang menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang awam. Umumnya, pemilihan pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih banyak didasari logika sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu agama menyebabkan dirinya begitu mudah mengambil keputusan dalam peribadahan yang mereka lakukan. Seringnya, orang terjerumus ke dalam qiyas (analogi), padahal sudah ada dalil yang tegas.
Uraian ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun, ulasan ini tidak lebih dari sebatas bentuk
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Q.s. An-Nisa’:59)Allah menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka setiap ada masalah, dia wajib mengembalikan permasalahan tersebut kepada Alquran dan As-Sunnah. Siapa saja yang tidak bersikap demikian, berarti ada masalah terhadap imannya kepada Allah dan hari akhir.
Pada penjelasan ini, terlebih dahulu akan disebutkan perselisihan pendapat ulama, kemudian di-tarjih (dipilihnya pendapat yang lebih kuat). Pada kesempatan
Perselisihan ulama dalam hal “zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang”
Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini (zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang). Pendapat pertama, memperbolehkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan mata uang. Pendapat kedua, melarang pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan mata uang. Permasalahannya kembali kepada status zakat fitri (zakat fitrah). Apakah status zakat fitri (zakat fitrah) itu sebagaimana zakat harta ataukah statusnya sebagai zakat badan?
Jika statusnya sebagaimana zakat harta maka prosedur pembayarannya sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan tidak menggunakan benda yang diperdagangkan, namun menggunakan uang yang senilai dengan zakat yang dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan perak, pembayarannya tidak harus menggunakan emas atau perak, namun boleh menggunakan mata uang yang senilai.
Sebaliknya, jika status zakat fitri (zakat fitrah) ini sebagaimana zakat badan maka prosedur pembayarannya mengikuti prosedur pembayaran kafarah untuk semua jenis pelanggaran. Penyebab adanya kafarah ini adalah adanya pelanggaran yang dilakukan oleh badan, bukan kewajiban karena harta. Pembayaran kafarah harus
Jika seseorang membayar kafarah dengan selain ketentuan yang ditetapkan maka kewajibannya untuk membayar kafarah belum gugur dan harus diulangi.
Misalnya, seseorang melakukan pelanggaran berupa hubungan suami-istri di siang hari bulan Ramadan, tanpa alasan yang dibenarkan. Kafarah untuk pelanggaran ini adalah membebaskan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan. Seseorang tidak boleh membayar kafarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, jika dia tidak menemukan budak. Demikian pula, dia tidak boleh berpuasa tiga bulan namun putus-putus (tidak berturut-turut). Juga, tidak boleh memberi uang Rp. 5.000 kepada 60 fakir miskin. Mengapa demikian? Karena kafarah harus dibayarkan persis sebagaimana yang ditetapkan.
Di manakah posisi zakat fitri (zakat fitrah)?
Sebagaimana yang dijelaskan Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwasanya zakat fitri (zakat fitrah) itu mengikuti prosedur kafarah karena zakat fitri (zakat fitrah) adalah zakat badan, bukan zakat harta. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitri (zakat fitrah) adalah zakat badan –bukan zakat harta– adalah pernyataan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tentang zakat fitri (zakat fitrah).
….” (Hr. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah) (zakat fitrah), sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa dan dari perbuatan atau ucapan jorok ….”(Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
Dua riwayat ini menunjukkan bahwasanya zakat fitri (zakat fitrah) berstatus sebagai zakat badan, bukan zakat harta. Berikut ini adalah beberapa alasannya:
1. Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal, mereka adalah orang-orang yang umumnya tidak memiliki harta. Terutama budak;
seluruh jasad dan hartanya adalah milik tuannya. Jika zakat fitri (zakat fitrah) merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.
2. Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa serta dari perbuatan atau ucapan jorok.
Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat fitri (zakat fitrah) berstatus sebagaimana kafarah untuk kekurangan puasa seseorang.
Ada dua konsekuensi hukum ketika status zakat fitri (zakat fitrah) itu sebagaimana kafarah:
1. Harus dibayarkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan yaitu bahan makanan.
2. Harus diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk menutupi hajat hidup mereka, yaitu fakir miskin. Dengan demikian, zakat fitri (zakat fitrah) tidak boleh diberikan kepada amil, mualaf, budak, masjid, dan golongan lainnya. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 25:73)
Sebagai tambahan wacana, berikut ini kami sebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini.
Pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang
1. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz 2. Hasan al-Bashri
3. Imam Abu Hanifah 4. Sufyan al-Tsauri
Alasan para ulama membolehkan zakat fitrah dengan uang diantaranya:
a. Pendapat Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
Artinya:
Dari Qurrah ia berkata: telah datang kepada kami ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tentang zakat fitri: setengah sha’ setiap manusia atau setara dengan setengah dirham.1[20]
b. Pendapat Hasan al-Bashri
Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa beliau mengatakan, “Tidak mengapa memberikan zakat fitri (zakat fitrah) dengan dirham.”
ِرْطِفْلا ِةَقَدَص يِف َمِها َرَّدلا َيِطْعُت ْنَأ َسْأَب َلا : َلاَق ، ِنَسَحْلا ِنَع
Artinya:
Dari Hasan al-Bashri ia berkata: tidak mengapa memberikan dirham untuk zakat fitrah.2[21]
Diriwayatkan dari Abu Ishaq; beliau mengatakan, “Aku menjumpai mereka (Al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka sedang menunaikan zakat Ramadan zakat fitri zakat fitrah dengan beberapa dirham yang senilai bahan makanan.”
1[20] Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, jilid 3, hlm. 174.
2[21]Ibid
Artinya:
Dari Zuhair ia berkata: aku mendengar Abu Ishaq berkata: Aku melihat orang-orang memberikan zakat dibulan Ramadhan berupa Dirham yang seharga makanan.3[22]
c. Pendapat Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri
Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri membolehkan seperti riwayat ‘Umar bin
‘Abdul ‘Aziz dan Hasan al-Bashri.4[23]
Diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabah, bahwa beliau menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) dengan waraq (dirham dari perak).
Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang
1. Imam Malik 2. Imam Syafi’i
3. Imam Ahmad bin Hanbal 4. ‘Atha
5. Syeikh bin Baz
6. Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi a. Pendapat Imam Malik dan Syafi’i
3[22] ibid
4[23]Mar’atu al-Mafatih Syarah Misykatu al-Mashabih, op.cit, jilid 6, hlm. 202.
b. Pendapat imam Ahmad Abu Daud mengatakan:
: ُعَمْسَأ اَنَأ َو َدَمْحَ ِلِ َليِق َمِها َرَد يِطْعُأ
ِرْطِفْلا ِةَقَدَص يِف يِنْعَي ُفاَخَأ : َلاَق
-. َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ َّاللَّ ىَّلَص ِ َّاللَّ ِلوُس َر ِةَّنُس ُف َلَ ِخ ُهَئ ِزْجُي َلا ْنَأ
Artinya:
“Imam Ahmad ditanya dan aku pun menyimaknya. Beliau ditanya oleh seseorang, “Bolehkah aku menyerahkan beberapa uang dirham untuk zakat fithri?” Jawaban Imam Ahmad, “Aku khawatir seperti itu tidak sah.
Mengeluarkan zakat fithri dengan uang berarti menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam7[26]”.
Abu Tholib berkata berkata bahwa Imam Ahmad berkata padanya,
ُهَتَميِق يِطْعُي َلا
“Tidak boleh menyerahkan zakat fithri dengan uang seharga zakat tersebut.”8[27]Dalam kisah lainnya dari Imam Ahmad:
ُذُخْأَي َناَك ِزي ِزَعْلا ِدْبَع ُنْب ُرَمُع ، َنوُلوُقَي ٌم ْوَق : ُهَل َليِق َنوُعَدَي َلاَق ، ِةَميِقْلاِب
: َرَمُع ُنْبا َلاَق ، ٌن َلَُف َلاَق َنوُلوُقَي َو َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ َّاللَّ ىَّلَص ِ َّاللَّ ِلوُس َر َل ْوَق
5[24] ‘Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi Abu Ahmad, al-Mughni
fi Fiqh Ahmad bin Hanbal al-Syaibani, (Beirut:Dar al-Fikr,1405 H), jilid 2, hlm 671.
6[25]Mar’atu al-Mafatih Syarah Misykatu al-Mashabih, op.cit, jilid 6, hlm. 202.
7[26]Ibid 8[27]Ibid
رهاظو نلَف لاق : نلَف لاق
Artinya:
“Ada yang berkata pada Imam Ahmad, “Suatu kaum mengatakan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz membolehkan menunaikan zakat fithri dengan uang seharga zakat.” Jawaban Imam Ahmad, “Mereka meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka mengatakan bahwa si fulan telah mengatakan demikian?! Padahal Ibnu ‘Umar sendiri telah menyatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri (dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum ...).” Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” Sungguh aneh, segolongan orang yang menolak ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah mengatakan, “Si fulan berkata demikian dan demikian”.9[28]
c. Pendapat ‘Atha
‘Atha membenci zakat fitrah dengan uang ia berkata:
اًق ِر َو ِرْطِفْلا ِةَقَدَص يِف َيِطْعُي ْنَأ َه ِرَك ُهَّنَأ ؛ ٍءاَطَع ْنَع ، ٍجْي َرُج ِنْبا ِنَع
Artinya:
Dari Ibnu Juraij dari ‘Atha: Bahwasanya ia membenci menunaikan zakat fitrah dengan uang.10[29]
d. Pendapat Syaikh Jabir al-Jazairi
Syeikh Jabir al-Jazairi berkata: “Zakat fithri wajib dikeluarkan dari jenis-jenis makanan (pokok), dan tidak menggantinya dengan uang, kecuali karena darurat (terpaksa). Karena, tidak ada dalil (yang menunjukkan) bahwa Nabi Shallallahu
9[28], al-Mughni fi Fiqh Ahmad bin Hanbal al-Syaibani, op.cit, jilid 2, hlm 671.
10[29] Mar’atu al-Mafatih Syarah Misykatu al-Mashabih, op.cit, jilid 6, hlm. 202
e. Pendapat Syaikh bin Baz
“Telah kita ketahui bahwa ketika pensyari’atan dan dikeluarkannya zakat fithri ini sudah ada mata uang dinar dan dirham di tengah kaum muslimin –khususnya penduduk Madinah (tempat domisili) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat fithri.
Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan.
Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan menukil berita tersebut.
Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya.
11[30]Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim (Kaira: Dar al-Salam), hlm 231.
Dari penjelasan ulama yang membolehkan zakat fitrah dengan uang dan yang melarang (pro dan kontra), maka penulis mencoba untuk merumuskan alasan-alasannya.
Pertama, alasan ulama yang pro terhadap zakat fitrah dengan uang hampir semuanya berinduk kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Sedangkan ‘Umar bin
‘Abdul ‘Aziz ketika mengatakan bolehnya bahan makan pokok di ganti dengan uang, itu merupakan Ijtihadnya karena tidak ada nashnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabat.
Kedua, ijtihad itu tidak selamanya benar, Terkadang salah dan terkadang benar. Benar ia dapat dua pahala dan salah ia dapat satu pahala.
مكاحلا دهتجا اذإ رجأ هلف أطخأف دهتجا اذإو نارجأ هلف باصأف
Artinya:
Apabilia seorang hakim berijtihad dan benar maka baginya dua pahala dan jika salah maka baginya satu pahala.13[32] ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz adalah seorang Imam bahkan Khalifah, dan ia memenuhi syarat muthlaq sebagai Mujtahid.
12[31]Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Majmu’ Fatawa bin Baz (Riyadh: Dar al-Qasim, 1420 H), jilid 14, hlm 208.
13[32]Abu Zakarya Yahya bin Syarf al-Nawawi, Minhaj Syarah Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1392), jilid 11, hlm 91.
Qiyas secara bahasa ةاواسملاو ريدقتلاmengukur sesuatu/ menyamakan.14[33]
Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu15[34]
Al-Quran dan hadits adalah kedua sumber yang harus dijadikan sumber hukum kemudian jika tidak ada didalam keduanya maka menempuh Ijma’ dan Qiyas.
Qiyas sangatlah diperlukan karena tidak semua peristiwa-peristiwa itu ada dalam al-Quran dan hadits, para ulama menempuh jalan Qiyas ketika dihadapkan persoalan yang tidak ada dasar hukumnya dari al-Quran dan Hadits. Seperti Narkoba, narkoba tidak ada dalam al-Quran maupun Sunnah, menghukuminya sangatlah penting. Jika tidak, maka seorang bisa saja memakai narkoba dengan alasan tidak ada dalam al-Quran dan Sunnah sehingga boleh untuk digunakan. Adapun Qiyas dalam masalah ini sangatlah berperan penting, para ulama Muta’khirin menempuh jalan Qiyas dengan cara memenuhi kriteria Qiyas itu sendiri antara lain:
1. Asal
14[33] Dr. Mahmud Hamir ‘Utsman, Isthilahat Ushuliyyin, (Riyadh: Dar al-Zahim, 1324), hlm. 241.
15[34] Ibid, hlm 241-242.
Asal (al-Ashlu) menjadi syarat utama untuk menqiyaskan sesuatu, dan Asal dalam kasus Narkoba adalah Khamer. Kemudian Syarat kedua adalah Far’u (cabang) peristiwa yang tidak ada nashnya kemudian disamakan dengan peristiwa yang ada Nashnya. Dalam hal ini yang menjadi Far’u adalah Narkoba karena Narkoba tidak ada Nashnya. Selanjutnya, ‘Ilat (sebab) yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far’u, dalam peristiwa diatas ‘Ilatnya adalah memabukan.
Dan yang terakhir adalah hukum asal, hukum asal dari peristiwa diatas adalah haram karena al-Quran telah menyebutkan bahwa khamer adalah dosa besar dan perbuatan syetan. Oleh karena itu jelaslah bahwa Narkoba adalah haram sebagaimana khamer karena ada persamaan sehingga harus menempuh jalan Qiyas, dan itulah Qiyas yang shahih.
Jika tidak terpenuhi empat syarat diatas maka qiyasnya tidak sah, sebab empat itu adalah syarat qiyas yang jika seorang meninggalkan salah satunya maka ia batal.
Penulis mencoba menguhubungkan zakat fitrah dengan uang diqiyaskan dengan makanan pokok. Sebagaian orang khususnya pada abad sekarang mengatakan bahwa bolehnya zakat fitrah dengan uang karena ada qiyas didalamnya. Penulis meneliti persoalan qiyas yang terdapat dalam zakat fitrah dengan uang.
dengan peristiwa yang ada Nashnya. Dalam hal ini yang menjadi Far’u adalah uang.
Bisakah uang dijadikan Far’u?tentu saja tidak! karena uang ada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Dinar dan Dirham.
Ketiga,’Ilat. Dalam peristiwa ini zakat tidak memiliki ‘Ilat seperti Khamer.
Meskipun dalam kaidah ةلعلا عم رودي مكحلا(hukum itu dilihat dari ‘Ilatnya).16[35]
Kaidah itu berlaku bagi peristiwa yang jelas ada ‘Ilatnya, jika tidak ada maka menempuh kaidah ببسلا صوصخب لا ظفللا مومعب ةربع (‘Ibrah/yang di pakai itu dengan لا melihat lafazh Umum tidak melihat khususnya sabab). Seperti pengharaman daging Babi, Babi diharamkan tidak ada ‘Ilatnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan Babi tanpa sebab dan Dia mempunyai hak periogatif untuk menetapkan syari’at. jika ada yang mengatakan bahwa babi diharamkan karena ada ‘Ilatnya yaitu cacing pita, bagaimana jika babi itu tidak ada cacing pita? apakah halal dagingnya? tentu saja tidak, karena cacing itu bukanlah ‘ilat dan tidak mempengaruhi hukum baik ada dan tidaknya cacing itu.
Begitu juga dalam Zakat fitrah penulis melihat tidak adanya ‘Ilat dari Zakat fitrah ini mengapa dengan makanan pokok.
16[35]Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani, Qaulu al-Mufid fi Adillah al-Ijtihad wa al-Taqlid, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1396), jilid 1, hlm 72.
Dari uraian diatas maka syarat qiyas tidak terpenuhi seluruhnya maka qiyasnya tidak sah/batal.
Tarjih ikhtilaf ulama terhadap zakat fitrah dengan uang
Dari uraian diatas mengenai alasan-alasan mengapa timbulnya zakat fitrah dengan uang, penulis mencoba mentarjihnya. penulis melihat yang mendekati kebenaran ( باوصلل برقا(yaitu tidak boleh zakat fitrah dengan uang seperti apa yang telah ditetapkannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Ditetapkannya zakat dari gandum, kurma, keju, kismis dan diriwayat lain makanan pokok yang ada di daerahnya.” Dan apa yang ditetapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib di ikuti dan ta’ati sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ُلوُس َّرلا ُمُكاَتآ اَم َو اوُهَتْناَف ُهْنَع ْمُكاَهَن اَم َو ُهوُذُخَف
Artinya:
(dan apa yang datang dari Rasul maka ambillah dan apa yang dilarang maka tinggalkanlah).17[36]
17[36]Q.S al-Hasyr ayat 7
Qiyas harus terpenuhi empat syarat yaitu Asal, Far’u, Hukum asal, ‘Ilat?. Dan far’u ini tidak bisa digunakan, sebab far’u itu harus tidak ada pada asalnya (uang) supaya di ukur kepada asal (bahan makan pokok).
Dan hal ini jelas dibantah dengan kaidah qiyas itu sendiri atau dikenal dengan Qiyas Ma’a al-Fariq (Qiyas yang berbeda dengan apa yang diqiyaskan). Selain itu perkara yang jelas aturannya tidak bisa dirubah, dan yang menyelisihinya tertolak sebagimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
َسْيَل ًلََمَع َلِمَع ْنَم د َر َوُهَف اَنُرْمَأ ِهْيَلَع
Artinya:
Barang siapa yang mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak berdasarkan perintah kami (Nabi) maka amalan itu tertolak.18[37]
Dalam hal ini penulis menganggap bahwa zakat fitrah dengan uang merupakan Bid’ah yang tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabat, sedangkan munculnya masalah ini dizaman Tabi’in bukan dizaman sahabat. Dan sahabat tidak bisa disamakan dengan tabi’in karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan legalitas syari’at/agama khusus kepada sahabat sebagaimana hadits Nabi :
18[37]Shahih muslim, op.cit, jilid 5, hlm 132.
ةللَض ةعدب لك نإف روملِا
Artinya:
“Ikutilah sunahku dan sunnah Khulafa al-Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku gigitlah keduanya dengan gigi geraham dan jauhilah perkara yang diada-adakan sesungguhnya yang diadakan itu adalah bid’ah, dalam riwayat lain setiap bid’ah adalah sesat”.19[38]
Oleh karena itu setiap permasalahan wajib merujuk kepada Quran dan Sunnah yang Shahih. Sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يِف ْمُتْع َزاَنَت ْنِإَف ْمُكْنِم ِرْمَلِا يِلوُأ َو َلوُس َّرلا اوُعيِطَأ َو َ َّاللَّ اوُعيِطَأ ُهوُّد ُرَف ٍءْيَش
َِّاللَّ ىَلِإ ِلوُس َّرلا َو
Artinya:
Ta’atilah Allah dan Ta’tilah Rasul dan Ulil Amri diantara kamu, jika kalian berselisih tentang sesuatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (Quran) dan Rasul (sunnah).20[39]
Dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jelas mesyariatkan zakat fitrah dengan makanan pokok bukan uang.
Mashlahatul Mursalah zakat fitrah dengan uang
Tidak bisa dipungkiri bahwa meskipun zakat fitrah dengan uang tidak ada nashnya dalam hadits, tetapi ada Mashlahatnya diantaranya:
19[38]‘Abdullah bin ‘Abdurahman Abu Muhammad Darimi, Sunan al-Darimi (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1407 H), jilid 1, hlm 57.
20[39] Q.S al-Nisa ayat 59
dari pada makanan itu sendiri.
Seperti : jika seorang mempunyai bahan makanan pokok dan ia menerima bahan makan pokok , sedangkan di rumahnya tidak ada minyak untuk memasak makanan pokok tersebut, bagaimana ia akan memasak sedangkan ia tidak memiliki uang? maka lebih mashlahat jika makanan pokok itu diganti oleh uang sehingga bisa di beli/tukar dengan hal-hal yang ia butuhkan.
Afif Abdul Fatah menyatakan bahwa aturan dalam Islam bukan saja sekedar berdasarkan pada keadilan bagi seluruh umat manusia, akan tetapi sejalan dengan kemashlahatan dan kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman dan keadaan, walaupun zaman itu berbeda dan berkembang dari waktu ke waktu21[40]. Selain itu uang memiliki sifat fleksible, bukan hanya untuk ditukar dengan makanan pokok tetapi bisa disesuaikan dengan kebutuhan.
2. Selain uang bersifat Fleksible uang lebih ringan dan cocok dikalangan umat sekarang ini, sebab uang masuk semua kalangan baik itu kaya, miskin,anak kecil, orang dewasa, laki-laki, perempuan dan lain-lain.
21[40] Afif Abdul Fatah Thabari, Ruuh Ad-Diin Al-Islamy, (Damaskus: Daar el-Fikr,1966), hlm 300.
Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Mereka mewajibkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan bahan makanan dan melarang membayar zakat dengan mata uang. Di antara ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad. Bahkan, Imam Malik dan Imam Ahmad secara tegas menganggap tidak sah jika membayar zakat fitri (zakat fitrah) mengunakan mata uang. Berikut ini nukilan perkataan mereka.
Perkataan Imam Malik
Imam Malik mengatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri (zakat fitrah) dengan mata uang apa pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.”
(Al-Mudawwanah Syahnun)
Imam Malik juga mengatakan, “Wajib menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) senilai satu sha’ bahan makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitri (zakat fitrah)).” (Ad-Din Al-Khash)
Perkataan Imam Asy-Syafi’i
Perkataan Imam Ahmad
Al-Khiraqi mengatakan, “Siapa saja yang menunaikan zakat menggunakan mata uang maka zakatnya tidak sah.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah)
Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham. Beliau menjawab, ‘Aku khawatir zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunah Rasulullah.’” (Masail Abdullah bin Imam Ahmad; dinukil dalam Al-Mughni, 2:671)
Dari Abu Thalib, bahwasanya Imam Ahmad kepadaku, “Tidak boleh memberikan zakat fitri (zakat fitrah) dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang yang berkomentar kepada Imam Ahmad, “Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membayar zakat menggunakan mata uang.” Imam Ahmad marah dengan mengatakan, “Mereka meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat dengan perkataan Fulan. Padahal Abdullah bin Umar mengatakan,
‘Rasulullah mewajibkan zakat fitri (zakat fitrah) satu sha’ kurma atau satu sha’
gandum.’ Allah juga berfirman, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.’
Zahir mazhab Imam Ahmad, beliau berpendapat bahwa pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan nilai mata uang itu tidak sah.
Beberapa perkataan ulama lain:
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran kafarah dengan bahan makanan.” (Majmu’ Fatawa)
Taqiyuddin Al-Husaini Asy-Syafi’i, penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fikih Mazhab Syafi’i) mengatakan, “Syarat sah pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) harus berupa biji (bahan makanan); tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam masalah ini.” (Kifayatul Akhyar, 1:195)
An-Nawawi mengatakan, “Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak boleh membayar zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat.” (Al-Majmu’)
An-Nawawi mengatakan, “Tidak sah membayar zakat fitri (zakat fitrah) dengan mata uang menurut mazhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad, dan Ibnul Mundzir.” (Al-Majmu’)
Asy-Syairazi Asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak boleh menggunakan nilai mata
Asy-Syairazi Asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak boleh menggunakan nilai mata