BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Landasan Teori
2.2.4. Pengertian Upah Minimum Regional (UMR)
2.2.4. Pengertian Upah Minimum Regional (UMR)
Pengertian upah menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan (www.nakertrans.go.id
Upah Minimum Regional adalah suatu standart pengupahan buruh/pekerja dalam setiap daerah dalam kurun waktu tertentu. Pada tiap-tiap daerah besarnya upah minimum regional (UMR) berbeda-beda yang didasarkan pada tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat.
diakses 24 Juni 2010).
Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan kepada tiga fungsi upah, yaitu :
1. Menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya 2. Mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang
3. Menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja (Simanjuntak, 1998 : 110)
Jadi upah minimum regional merupakan standart pengupahan pekerja atau buruh yang diterima dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja yang besarnya pada tiap-tiap daerah berbeda-beda untuk mendorong produktivitas kerja.
2.2.5.1. Teori Upah
Teori-teori upah dapat dijelaskan dengan menggunakan ajaran Karl Marx yang menjelaskan tiga hal, yaitu :
a. Teori Nilai
Bahwa hanya yang merupakan sumber nilai ekonomi. Jadi nilai suatu barang adalah nilai dari jasa buruh atau dari jumlah waktu kerja yang dipergunakan untuk memproduksi barang tersebut.
b. Pertentangan Kelas
Bahwa kapitalis selalu berusaha menciptakan barang-barang modal untuk mengurangi penggunaan buruh. Dengan demikian akan timbul pengangguran besar-besaran. Dengan adanya pengangguran sangat besar ini maka pengusaha dapat menekan upah. Konsekuensi dari sistem ini maka tidak ada jalan lain bagi buruh kecuali untuk bersatu merebut capital dari pengusaha menjadi milik bersama.
c. Konsekwensi antara teori nilai dan pertentangan kelas
Sebagai konsekwensi dari dua ajaran Marx, teori nilai dan pertentangan kelas adalah terbentuknya masyarakat komunis. Dalam masyarakat ini seseorang tidak menjualkan tenaganya kepada orang lain, akan tetapi masyarakat itu akan mengatur dan apa berapa jumlah
produksi. Tiap orang harus bekerja menurut kemampuannya, dan tiap orang memperoleh menurut kebutuhannya (from each according to his ability, to each according to his needs)
Teori neo klasik mengemukakan bahwa dalam rangka memaksimumkan keuntungan tiap-tiap pengusaha menggunakan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga faktor-faktor produksi yang digunakan menerima atau diberi imbalan sebagai nilai pertambahan hasil marginal dari faktor produksi tersebut. Ini berarti bahwa pengusaha memperkerjakan sejumlah karyawan sedemikian rupa sehingga nilai pertambahan hasil marginal seseorang sama dengan upah yang di terima orang tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut teori Neo Klasik, karyawan memperoleh upah senilai dengan pertambahan hasil marginalnya. Dengan kata lain, upah dalam hal ini berfungsi sebagai imbalan atas usaha kerja yang diberikan seseorang tersebut kepada pengusaha.
Dari teori-teori upah yang ada sebelumnya sebenarnya sampai saat ini belum ditemukan satu teori yang dapat diterima secara umum mengenai pengangguran, akan tetapi banyak analisis seolah-olah bermuara ke satu pendapat bahwa pengangguran itu dapat terjadi karena tingkat upah tidak cukup fleksibel untuk menyeimbangkan pasar.
Gambar 2. Upah yang Fleksibel dan Tidak Fleksibel
(a) Upah Yang Flaksibel (b) Upah Yang tidak Fleksibel
Sumber : Samuelson Paul A, 1997, Makro Ekonomi, Erlangga, Jakarta, hal 368
Grafik sebelah kiri (a) gambar 2. Menunjukkan terdapat penawaran dan permintaan kompetitif dimana keseimbangan pasar terjadi pada titik E dan tingkat upah adalah W. Pada tingkat keseimbangan yang diciptakan oleh pasar kompetitif, perusahaan akan mau mempekerjakan pekerja yang memenuhi kualifikasi dan mau bekerja pada tingkat upah yang berlaku. Banyak tenaga kerja yang diterima tercermin pada garis A ke E. Sebagian dari angkatan kerja yang ditunjukkan oleh EF, sebenarnya mau bekerja akan tetapi dengan tingkat upah yang lebih tinggi. Para pencari kerja yang menganggur yaitu sebanyak E ke F merupakan pengangguran sukarela dalam arti bahwa mereka tidak mau bekerja dengan tingkat upah yang berlaku. Bekerja Pengangguran Sukarela D S L F D E S A H H L* W W1 W Pengangguran Terpaksa Bekerja D S G H J S E D L L*
Grafik sebelah kanan (b) mengasumsikan bahwa dalam situasi dimana terjadi goncangan terhadap perekonomian pasar, pasar tenaga kerja berada pada tingkat upah yang terlalu tinggi. Harga tenaga kerja adalah W’ dan bukan pada tingkat keseimbangan pasar yaitu W. Pada tingkat upah yang terlalu tinggi, pekerja yang sedang mencari pekerjaan lebih banyak bila dibandingkan dengan kesempatan kerja. Jumlah pekerja yang mau bekerja pada tingkat upah W’ adalah sebanyak G pada kurva penawaran, akan tetapi perusahaan hanya mau menerima pekerjaan sejumlah H (tampak pada kurva permintaan). Karena tingkat upah melebihi tingkat upah keseimbangan pasar, maka terdapat surplus tenaga kerja. Para pekerja yang menganggur yang digambarkan dengan garis terputus-putus sepanjang HG disebut pengangguran terpaksa.
Jumlah orang yang bekerja biasanya tergantung dari besarnya permintaan atau demand dalam masyarakat. Permintaan tersebut biasanya dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan tingkat upah. Sedangkan penyediaan atau supply tenaga kerja dalam masyarakat adalah jumlah orang yang menawarkan jasanya untuk proses produksi. Proses terjadinya penempatan atau hubungan kerja melalui permintaan atau penyediaan tenaga kerja dinamakan pasar kerja. Besarnya penempatan dipengaruhi oleh faktor kekuatan penyediaan dan permintaan tersebut.
Gambar 3. Supply dan Demand dari Tenaga Kerja
Sumber : Simanjuntak, J Payaman, 1998, Pengantar Ekonomi Sumber daya Manusia, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hal 4
Kurva permintaan untuk tenaga kerja sebagai suatu masukan faktor mempunyai kemiringan yang bergerak dari kiri atas ke kanan bawah (digambarkan oleh garis D) yang menunjukkan suatu penurunan produktivitas tenaga kerja marginal pada saat tenaga kerja yang digunakan bertambah. Posisi dan kemiringan dari kurva permintaan untuk suatu jenis tenaga kerja akan tergantung pada produktivitas dan elastisitas permintaan terhadap harga untuk produk yang dihasilkan oleh tenaga kerja tersebut.
Kurva penawaran untuk tenaga kerja mempunyai kemiringan yang bergerak dari kiri (digambarkan oleh garis S) yang berarti semakin tinggi tingkat upah maka semakin besar jumlah tenaga kerja yang ditawarkan. Posisi dan kemiringan dari kurva penawaran untuk tenaga kerja akantergantuung keahlian dari tenaga kerja yang bersangkutan dan mobilitas mereka. W WE W1 L D L LS LE LD 0
Dengan asumsi bahwa informasi yang ada adalah senpurna mengenai pasar kerja, maka teori neoklasik beranggapan bahwa jumlah penyediaan jumlah tenagakerja selalu sama dengan permintaan. Ditunjukkan pada titik E dimana garis S dan D berpotongan dimana tingkat upah berada di WE dan jumlah tenaga kerja berada di LE
Dalam kenyataan titik E (equilibrium) itu tidak pernah tercapai karena informasi mengenai pasar kerja tidak pernah sempurna dan hambatan-hambatan institusional selalu ada. Sebagai contoh bila tingkat upah minimum ditetapkan pada titik W
. Bila permintaan sama dengan penyediaan maka tidak terjadi pengangguran.
1 bukan pada WE, maka jumlah penyediaan tenaga kerja adalah LS sedangkan permintaan hanya sebesar LD. Selisih antara LS dan LD
Teori neoklasik akan cocok digunakan dalam konteks negara dengan pasar tenaga kerja yang terintegrasi. Bagi negara berkembang seperti Indonesia yang masih memiliki karakteristik pasar tenaga kerja dualistik maka diperlukan pendekatan teori yang lain.
Gambar 4. Dampak Upah Minimum di Sektor Formal dan Informal
Sumber : Suryhadi Asep, 2003, Kebijakan Upah Minimum dan Dampaknya Terhadap Pasar Tenaga Kerja, Kongres ke XV Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), batu, hal 27
Jika tidak terdapat distorsi di pasar tenaga kerja maka tingkat keseimbangan akan tercapai pada titik E, dimana kurva DF dan D1 berpotongan. Tingkat keseimbangan upah adalah pada W* berlaku pada sektor formal maupun non formal. Jumlah keseluruhan tenaga kerja adalah ON, ON* bekerja disektor formal dan N*N bekerja disektor informal. Jika upah minimum ditetapkan pada tingkat WM maka jumlah tenaga kerja akan berkurang menjadi ON1. Hal ini akan memaksa sebagian pekerja disektor formal untuk pindah ke sektor informal sehingga jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal akan meningkat menjadi N1N. Akibatnya tingkat upah di sektor informal akan tertekan menjadi W1
2.2.5.2. Hubungan Teori Upah Dengan Pengangguran
.
Menurut Teori neo klasik bahwa dalam rangka memaksimumkan keuntungan tiap-tiap pengusaha menggunakan faktor-faktor produksi
W1 W1 W1 W1 N W1 W* W1 0 N1 N*
sedemikian rupa sehingga faktor produksi yang digunakan menerima atau diberi imbalan sebagai nilai pertambahan hasil marginal dari faktor produksi tersebut. Ini berarti bahwa pengusaha memperkerjakan sejumlah karyawan sedemikian rupa sehingga nilai pertambahan hasil marginal seseorang sama dengan upah yang di terima orang tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut teori Neo Klasik, karyawan memperoleh upah senilai dengan pertambahan hasil marginalnya. Dengan kata lain, upah dalam hal ini berfungsi sebagai imbalan atas usaha kerja yang diberikan seseorang tersebut kepada pengusaha.
Jadi dengan keutungan Perusahaan yang tinggi dan jumlah Upah yang diterima karyawan yang kecil maka perusahaan akan menambah Angkatan kerja karena tingkat upah yang diterima karyawan sekarang kecil sehingga perusahaan berani menambah tenaga kerja dengan upah yang sekarang guna meningkatkan keuntungan perusahaannya.