• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Perkembangan Ekowisata Mangrove Kampoeng Nipah

3.3 Pengetahuan dan Pandangan Penduduk Setempat Terhadap Mangrove

Kehidupan masyarakat Desa Sei Nagalawan tidak terlepas dari tanaman mangrove. Khususnya mereka yang tinggal di dusun III yang berdampingan langsung dengan sungai dan berdekatan dengan laut. Bagi kelompok Muara Baimbai yang mengelola ekowisata mangrove Kampoeng Nipah, mangrove tentu punya makna sendiri bagi mereka.

Bang Tris, Ketua Kelompok Muara Baimbai yang mengelola ekowisata mangrove Kampoeng Nipah menuturkan bahwa mangrove sangat penting bagi mereka. Jauh sebelum kawasan pesisir Sei Nagalawan menjelma kembali menjadi hutan mangrove, beliau telah begitu mencintai mangrove sehingga memutuskan untuk menanam kembali kawasan pesisir yang sudah sangat rusak akibat penggunaan yang tidak bertanggung jawab. Sebagai anak pesisir sudah barang tentu mangrove sangat dekat keberadaannya dalam kehidupan sehari-hari. Kini mangrove adalah tempat beliau bersama teman-teman kelompok Muara Baimbai menggantungkan hidup.

Bang Tris mengatakan:

Bagaimanapun manusia itu harus hidup selaras dengan alam

dek, yang bisa kita lakukan adalah menjaganya sebelum terjadi

kerusakan. Kalo mangrove ini rusak dan bencana datang kita ga bisa menghindar. Alam itu ga bisa dilawan, makanya kita jaga dari sekarang”

Itulah kata-kata yang selalu beliau sampaikan kepada seluruh anggota kelompok. Beliau percaya bahwa setiap mangrove yang ditanam itu berdo’a dan bertasbih sehingga mendengar harapan mereka. Tidak jauh berbeda dengan Bang

Tris, Bang Herman juga mengamini pernyataan Bang Tris tentang mangrove. Beliau sudah sangat mencintai mangrove. Butuh waktu yang lama hingga mangrove ini bisa tumbuh besar seperti ini.

Beliau mengatakan:

Dulu kawasan ini kosong dek, kami tanami lagi sampe

sekarang jadi hutan mangrove. Ga peduli dulu orang bilang kami gila menanam mangrove dilumpur yang dalamnya hampir sepinggang dan panas-panasan termasuk ibu-ibunya. Disuruh nanam kesana kemari tetap mau dan alhamdulillah sekarang kami menikmati hasilnya. Makanya kami sedih kalo lihat mangrove itu tumbang diterjang ombak, menangis rasanya dek”

Mangrove memang sudah tidak terpisahkan dari keseharian mereka. Bersatu dibawah naungan Kelompok Muara Baimbai kini mereka memanfaatkan mangrove dengan tidak merusak mangrove. Dari mangrove sebagian kebutuhan hidup mereka terpenuhi dan bisa menyambung hidup sampai saat ini. Kini mereka melakukan penanaman mangrove dengan mengajak setiap orang yang peduli dengan ekosistem pesisir.

Kendati sudah berpuluh tahun hidup berdampingan dengan mangrove ternyata tidak menjamin semua masyarakat memperlakukan mangrove seperti yang dilakukan oleh Bang Tris dan Bang Herman. Ada sebagian masyarakat lain di Kampoeng Nipah yang justru apatis dan cenderung merusak mangrove. Sebagian dari mereka bahkan menertawakan sebagian lainnya yang kala itu melakukan penanaman mangrove. Mereka menganggap menanam mangrove adalah pekerjaan yang sia-sia. Kini setelah mangrove tumbuh besar mereka malah dengan seenaknya menebangi mangrove tersebut.

3.4 Sarana dan Prasarana Ekowisata Mangrove

Untuk mencapai lokasi ekowisata mangrove dibutuhkan waktu hampir dua jam dari kota Medan. Dari Medan wisatawan bisa memanfaatkan berbagai transportasi baik transportasi pribadi maupun transportasi umum. Bila menggunakan transportasi umum, wisatawan akan berhenti di Simpang Sei Buluh dan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan Becak Motor atau Ojek. Becak motor atau ojek merupakan satu–satunya alternatif angkutan yang bisa digunakan untuk mencapai lokasi wisata. Tidak ada angkutan umum seperti Angkot (angkutan kota) di daerah ini. Terbatasnya angkutan umum menyebabkan butuh biaya transportasi yang cukup mahal. Bila menggunakan becak atau ojek maka akan dikenakan tarif berkisar dari Rp.20.000–30.000. Untuk meminimalisir biaya tersebut maka wisatawan harus pintar bernegosiasi kepada tukang becak yang bersangkutan. Apabila wisatawan menggunakan kendaraan pribadi maka akan langsung sampai ke lokasi tanpa harus mencari transportasi alternatif.

Jarak Simpang Sei Buluh menuju Sei Nagalawan mencapai 10 KM. Namun wisatawan tak perlu jenuh menghabiskan waktu selama dalam perjalanan. Sebelum sampai di lokasi ekowisata, wisatawan akan dimanjakan dengan hijaunya bentangan sawah. Jika sedang beruntung, wisatawan juga bisa menikmati kawanan burung bangau putih yang berkumpul dan beterbangan di sekitar sawah.

Lintasan jalan masih memiliki banyak lubang dan bila musim kemarau datang maka abu akan berterbangan di badan jalan. Kondisi jalanan yang

berlubang sebenarnya sudah cukup lama terjadi. Namun pemerintah setempat sampai saat ini belum juga melakukan perbaikan padahal jalur ini banyak dilalui berbagai kendaraan menuju ke tempat–tempat wisata di Desa Sei Nagalawan serta sebagai jalur umum untuk sarana mobilitas masyarakat. Apabila musim hujan datang, maka bersiap-siap lubang yang menganga akan terisi air dan menimbulkan genangan di sepanjang jalan menuju lokasi ekowisata mangrove Kampoeng Nipah.

Gambar 6: Kondisi jalan yang rusak menuju lokasi ekowisata Sumber: Dokumentasi Pribadi

Butuh waktu 15-20 menit lebih untuk sampai di lokasi ekowisata dari Simpang Sei Buluh. Setelah sampai di Kampoeng Nipah dusun III Desa Sei Nagalawan, wisatawan ditawarkan dua alternatif untuk mencapai lokasi. Wisatawan bisa berjalan melewati hutan mangrove dan jembatan yang dibangun dari kayu dan bambu atau memilih mencapai lokasi dengan menggunakan perahu yang disediakan oleh pihak pengelola ekowisata.

Dulu sebelum ekowisata mangrove ini dikenal luas wisatawan bisa masuk ke lokasi ekowisata secara cuma-cuma namun kini setiap wisatawan yang masuk

akan dikenakan tiket masuk sebesar Rp.8.000 untuk dewasa serta Rp.5.000 untuk anak-anak dan siswa sekolah. Dari total pembayaran tersebut hanya Rp.5.000 yang masuk ke dalam kas pengelola sementara Rp.3.000 menjadi tarif retribusi tempat rekreasi Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Serdang Bedagai.

Setelah sampai, wisatawan dapat menikmati beragam sarana dan prasarana yang ditawarkan. Sarana dan prasarana yang tersedia dibangun secara swadaya dan sederhana oleh penduduk setempat. Sarana dan prasarana yang ditawarkan beragam yang sangat mendukung keberlanjutan ekowisata mangrove Kampoeng Nipah.

3.4.1 Pemandu Wisata

Pemandu wisata atau yang biasa disebut sebagai guide sangat mudah ditemukan di wisata mangrove Kampoeng Nipah. Hal ini dikarenakan masyarakat setempat yang terlibat dalam pengelolaan ekowisata mangrove sadar akan konsep wisata sehingga mereka tahu cara menghadapi kunjungan wisatawan. Pemandu wisata yang juga merupakan masyarakat setempat paham betul tentang ekowisata mangrove Kampoeng Nipah. Mereka bahkan fasih bercerita tentang sejarah hingga aktifitas mereka saat ini.

Setiap orang yang tergabung dalam kelompok Muara Baimbai ini dapat dipastikan dapat menjadi pemandu wisata. Semua hampir memiliki kemampuan yang sama untuk menginformasikan kepada pengunjung tentang kawasan ekowisata tersebut. Pertama sekali saya datang ke lokasi wisata Kampoeng Nipah

langsung disambut oleh seorang perempuan paruh baya yang sedikit tambun mendatangi saya sambil bertanya “mau ngapain dek, ada yang bisa ibu bantu?” dengan halus saya membalas pertanyaan beliau “saya mau lihat-lihat dulu buk,

nanti kalo ada yang penting saya hubungi ibu ya” Beliau balik tersenyum sambil

berkata “Iya, silahkan berkeliling dulu sambil dinikmati pemandangannya, kalo ada apa-apa datang aja ke kantin, Ibu selalu dikantin sampe nanti sore” Begitulah cara pengelola setempat menyambut tamu. Disini tidak tersedia

receptionist atau information center yang dibangun secara khusus. Semua

dikerjakan secara bersama-sama di kantin yang merangkap sebagai pusat informasi sekaligus. Hal ini mempunyai beberapa nilai positif, salah satunya pengunjung bisa bertanya dan berbagi cerita secara langsung sambil menikmati menu makanan yang disediakan oleh pihak pengelola.

Untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan ekowisata maka Bang Tris selaku ketua melatih anggota kelompok khususnya pemuda dan anggota yang baru bergabung untuk cakap komunikasi sehingga dapat memandu tiap pengunjung yang datang. Pelatihan ini bahkan dilakukan sampai larut malam karena cukup sulit mengajarkan kepada mereka tentang informasi yang mendukung ekowisata mangrove. Mayoritas penduduk setempat hanya tamat di bangku SMP bahkan ada yang tidak tamat pendidikan SD sehingga Bang Tris bekerja ekstra untuk melatih mereka.

3.4.2 Joglo

Joglo merupakan salah satu fasilitas yang disediakan oleh pihak pengelola ekowisata untuk pengunjung yang sekedar ingin bersantai. Ada beberapa joglo yang disediakan dengan ukuran 2x2 meter. Joglo dibuat dari papan dan bambu dan beratapkan daun rumbia, ijuk aren dan seng. Disini wisatawan bisa menyewanya untuk sekedar bercerita atau menghabiskan waktu bersama-sama. Joglo juga bisa digunakan oleh pengunjung untuk menyantap makanan.

Gambar 7: Fasilitas joglo yang dibangun untuk meningkatkan kunjungan Sumber: Dokumen Pribadi

Untuk memanjakan pengunjung Joglo dibangun sedemikian rupa di beberapa titik tertentu. Ada yang dibangun dekat dengan kantin yang menghadap langsung ke laut, ada yang dibangun ditengah hutan mangrove serta didekat kolam-kolam pemancingan dan menghadap langsung ke pantai. Joglo disewakan seharga Rp.30.000 dan bisa digunakan sampai puas. Joglo dibangun untuk memanjakan pengunjung yang ingin sekedar bersantai sambil menikmati hutan mangrove dan pantai. Rencananya joglo juga akan dibangun menghadap langsung ke pantai dengan latar belakang hutan mangrove yang hijau.

3.4.3 Aula

Aula biasa digunakan untuk menampung kunjungan wisatawan dalam jumlah besar. Satu aula cukup untuk diisi oleh 20-30 orang. Disini wisatawan bisa mengadakan berbagai kegiatan misalnya diskusi, seminar dan beragam kegiatan lainnya. Harga yang ditawarkan juga relatif terjangkau. Untuk satu hari penyewaan aula hanya dikenakan uang sebesar Rp.300.000. Aula dibuat secara sederhana dengan lantai keramik dan ditutup oleh seng pada bagian atasnya. Pada bagian dinding aula banyak dihias oleh ukiran-ukiran yang berhubungan dengan laut. Ukiran yang banyak dibuat adalah ukiran tentang biota laut seperti kepiting, ikan, udang, cumi-cumi dan beragam biota laut lainnya.

Aula dibangun tepat di titik tengah lokasi ekowisata. Pada bagian depan langsung berhubungan dengan kantin. Sisi kanan dan kiri langsung berhubungan dengan hutan mangrove serta pada bagian belakang langsung berhubungan dengan jalan menuju pantai. Karena posisinya yang strategis banyak sekali pengunjung yang memanfaatkan aula untuk bersantai bersama apalagi dengan berkunjung dalam skala besar misalnya rombongan anak sekolah dan mahasiswa.

3.4.4 Homestay (Penginapan)

Terdapat dua penginapan yang dikelola oleh komunitas setempat untuk wisatawan yang ingin bermalam di kawasan ekowisata mangrove. Tarif permalam dikenakan sebesar Rp. 75.000. Homestay dibangun di tengah-tengah kawasan ekowisata mangrove yang langsung menghadap ke arah muara sungai. Homestay ini dibangun diatas kolam kecil yang menampung air bilamana air laut pasang.

Homestay dibangun dengan menggunakan material papan dengan dinding menggunakan pelepah sawit (gedek). Di dalam homestay terdapat tempat tidur dan kipas angin sementara kamar mandi dibangun terpisah di belakang homestay.

Gambar 8: Homestay yang dibangun di tengah hutan mangrove Sumber: Dokumetasi KeMANGTEER Medan

Selain menginap di homestay pengunjung juga bisa menginap di rumah warga yang tergabung dalam komunitas pengelolaan ekowisata mangrove. Warga disini akan menawarkan rumahnya untuk menjadi penginapan. Biasanya rumah penduduk juga dijadikan sebagai tempat menginap bila ada kunjungan dalam skala besar sehingga aula dan homestay tidak cukup untuk digunakan sebagai tempat beristirahat.

3.4.5 Lokasi Pra-Weeding

Lokasi ekowisata mangrove Kampoeng Nipah sangat bagus karena selain dikelilingi oleh hutan mangrove kawasan ini juga memiliki pantai yang cukup bagus seperti pantai Cermin. Pantainya memiliki pasir yang cukup putih dan tidak berlumpur sehingga banyak pengunjung yang bermain di bibir pantai. Disinilah

letak keistimewaan lokasi ini yakni memiliki pantai yang cukup bagus serta dikelilingi oleh kawanan mangrove yang bisa menjadi tepat berteduh dikala cuaca sedang terik-teriknya.

Keindahan lokasi ini terletak pada ekosistem geografisnya yang sedemikian rupa tersusun dengan indah. Gugusan mangrove yang masih remaja berbaris rapi di sepanjang pantai dan bibir sungai sehingga terlihat begitu indah ketika diabadikan dalam suatu moment, termasuk moment untuk pre-weeding. Kerapian dan keindahan tanaman mangrove yang tumbuh tidak terlepas dari teknik menanam mangrove dimana mangrove ditanam dengan memperhatikan jarak serta susunannya sehingga dapat berkembang secara optimal.

3.4.6 Ruang Sholat

Untuk mendukung kunjungan wisatawan, ekowisata mangrove Kampoeng Nipah juga menyediakan fasilitas ruang sholat. Tidak jauh berbeda dengan lokasi wisata lainnya, ruang sholat merupakan salah satu prioritas utama yang harus disediakan mengingat penduduk di Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Ruang sholat dibangun tepat diatas tambak kepiting dan dikelilingi pepohonan mangrove. Bangunannya dibuat secara sederhana namun nyaman digunakan dan terbuka bagi siapa saja yang ingin menjalankan sholat. Tempat berwudhu dan toilet juga tersedia sehingga semakin memperlancar wisatawan yang akan melakukan ibadah.

3.4.7 Berkeliling dengan Perahu

Salah satu fasilitas yang banyak menarik minat wisatawan adalah berkeliling hutan mangrove dengan menggunakan perahu. Cukup membayar Rp.4.000/orang maka wisatawan akan diajak berkeliling menikmati hutan mangrove sepanjang sungai hingga menuju ke laut. Satu perahu bisa mengangkut 3-5 orang. Wisatawan bisa berkeliling perahu 10–15 menit.

Gambar 9: Berkeliling dengan perahu Sumber: Dokumentasi KeMANGTEEER MEDAN

Berkeliling perahu dapat dinikmati dari dermaga yang sudah disediakan menuju ke hulu sungai melewati gugusan hutan mangrove yang beragam sambil menyaksikan aktivitas penduduk yang tinggal di pinggiran pantai. Pengunjung bahkan bisa naik perahu menuju laut dengan dipandu oleh pemandu yang telah disediakan oleh pengelola.

3.4.8 Memancing

Memancing merupakan hal yang wajib dilakukan di kawasan ekowisata. Wisatawan bisa memancing ikan di tambak yang telah disediakan maupun di muara sungai. Fasilitas yang satu ini paling banyak diminati oleh anak–anak dan kaum pria dewasa. Selain memancing ikan, pengujung juga bisa memancing kepiting di kawasan hutan mangrove mengingat kepiting banyak hidup di akar- akar mangrove. Dengan adanya mangrove secara otomatis jumlah kepiting akan meningkat dan menjadi salah satu daya tarik ekowisata mangrove Kampoeng Nipah. Ikan dan kepiting yang ditangkap dikawasan tambak akan dihitung berdasarkan satuan kilo dan harga disesuaikan dengan harga pasar sementara apabila memancing diluar kawasan tambak maka wisatawan dapat membawa pulang secara gratis.

3.4.9 Menyantap Seafood

Disini wisatawan bisa menyantap seafood sepuasnya dengan harga terjangkau. Seafood yang akan diolah merupakan tangkapan nelayan yang tergabung dalam Kelompok Kayu Baimbai. Wisatawan bisa memilih sendiri berbagai jenis olahan seperti Ikan Pari, Kepiting, Udang, Kupang dan lain sebagainya.

Seafood diolah oleh perempuan–perempuan yang tergabung dalam

Kelompok Perempuan Muara Tanjung. Selain dapat dinikmati dalam bentuk makanan siap saji, pengunjung juga dapat membeli hasil tangkapan laut nelayan

untuk dijadikan oleh-oleh. Hasil tangkapan ini dijamin masih segar dan bebas dari pengawet karena langsung ditangkap oleh nelayan dari laut.

Semua fasilitas yang tersedia dibuat secara swadaya tanpa campur tangan dari pemerintah maupun pengusaha. Masyarakat secara swadaya dan bergotong– royong menyediakan fasilitas. Selain secara swadaya seringkali mereka juga mengajukan proposal dalam pengadaan sarana dan prasarana wisata namun seringkali hal tersebut menuai banyak hambatan. Meskipun menuai hambatan, masyarakat yang tergabung dalam pengelolaan ekowisata mangrove Kampoeng Nipah mampu menjalankan semuanya dengan sangat baik.

Pada awal pengembangan ekowisata Kelompok Muara Baimbai membangun fasilitas ekowisata dengan modal swadaya dan bantuan hibah dari British Council sebesar Rp.100.000.000 serta bantuan dari beberapa pihak lain. Modal awal yang terkumpul digunakan untuk membangun fasilitas sebagai berikut:

Tabel 8

Modal Awal Unit Usaha Wisata 1. Modal Investasi

No Keterangan Sumber Dana Jumlah

KSU HIBAH 1 Pembangunan Insfraturtuktur Homestay 4 Unit 10.000.000 30.000.000 40.000.000 Rumah Penjaga 25.000.000 25.000.000 Tempat Sholat 1.000.000 1.000.000 Aula 1 Unit 45.000.000 45.000.000

Kantin 1 Unit 10.000.000 10.000.000 Toilet 3 Unit 1.000.000 5.000.000 6.000.000 Warung/ Rumah Makan

2 Unit 2.000.000 6.000.000 8.000.000

Pondok Bambu 4 Unit 4.000.000 4.000.000

Tracking 4 Jalur 2.000.000 6.000.000 8.000.000

Meja Stainless 6 Buah 7.800.000 7.800.000

Menara Air 1.500.000 1.500.000 Tiang Listrik 1.050.000 1.050.000 - 2 Peralatan - Kursi 12 Buah 1.200.000 1.200.000 Sapu 10 Buah 130.000 130.000

Tikar Lipat 3 Buah 450.000 450.000

Tong Sampah 4 Buah 1.200.000 1.200.000

Tilam 3 Pasang 240.000 240.000

Bantal 3Pasang 300.000 300.000

Lemari Kaca 1 Unit 1.500.000 1.500.000

Sprey 3 Buah 220.000 220.000

Kelambu 3 Buah 300.000 300.000

Tikar Purun 10 Buah 150.000 150.000

Boat Wisata 25.000.000 25.000.000

Kipas Angin 3 Buah 450.000 450.000

Peralatan Masak 2.000.000 2.000.000

Mesin Air + Instalasi 1.000.000 1.000.000

Instalasi Listrik 4.000.000 4.000.000

Sub Total 57.990.000 145.500.000 203.490.000

2. Modal Operasional

1 Pembelian Bahan 3.000.000 3.000.000

2 Biaya Tenaga Kerja 2.000.000 2.000.000

3 Biaya Operasional 1.000.000 1.000.000

Sub Total 6.000.000 6.000.000

TOTAL 63.990.000 145.00.000 209.000.000

Adapun total dana yang mereka keluarkan untuk mengembangkan ekowisata mangrove ini mencapai Rp.209.000.000 yang digunakan untuk beragam keperluan ekowisata.

Sebagai salah satu ekowisata yang dikembangkan dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat tentu modal utama yang dimiliki adalah masyarakat yang mau bahu membahu untuk menciptakan ekowisata yang dilakukan secara swadaya. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja hanya Rp.2.000.000 rupiah yang digunakan untuk jumlah anggota kelompok yang banyaknya hampir 50 orang. Secara ekonomis tentu ini tidak akan mencukupi pembayaran tenaga kerja namun karena cita-cita kelompok yang ingin mendirikan kawasan ekowisata berkelanjutan maka hal ini tidak menjadi suatu permasalahan. Modal utama yang menjadi pijakan dasar kelompok ini adalah kebersamaan, kepercayaan serta keterbukaan antara sesama anggota kelompok.

3.5 Prinsip–Prinsip Pengelolaan Ekowisata

Dokumen terkait