• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Perkembangan Ekowisata Mangrove Kampoeng Nipah

3.1 Sejarah Ekowisata Mangrove

Hijau, begitulah kata pertama yang akan terucap kala melihat lokasi ekowisata mangrove Kampoeng Nipah. Ekowisata mangrove terletak di Desa Sei Nagalawan tepatnya di dusun III, dusun paling ujung yang dekat dengan laut. Penamaan Kampoeng Nipah tidak terlepas dari sejarah geografis dimana dulu di daerah ini banyak sekali terdapat tanaman Nipah khususnya di sepanjang aliran sungai. Awalnya penyebutannya adalah Sungai Nipah sesuai dengan keadaan kala itu namun seiring perkembangan zaman masyarakat setempat menyebutnya menjadi Kampoeng nipah. Tidak ada yang menyangka bahwa lokasi wisata ini dulu pernah rusak dan mengalami abrasi besar akibat terjangan ombak.

Mangrove pernah tumbuh di daerah ini dengan sendirinya. Kondisi alam geografis yang mendukung membuat mangrove tumbuh dengan sangat baik. Masyarakat setempat dulu memanfaatkan mangrove sebagai salah satu sumber mata pencaharian. Mereka membuat tambak dengan mengeruk dan membuat pematang di sekitar mangrove dan membiarkan mangrove tetap hidup. Anak-anak dari mereka menjadikan mangrove sebagai tempat untuk bermain sambil mencari kepiting. Saat itu mangrove tumbuh besar tanpa ada yang mengganggu. Mangrove bahkan bisa tumbuh besar sampai dengan ukuran tiga kali pelukan orang dewasa dan anak-anak setempat menuliskan nama mereka pada batang-batang mangrove

tersebut. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena kemudian mangrove mulai terusik keberadaannya.

Pada tahun 1990-an kawasan pesisir di Desa Sei Nagalawan mengalami abrasi pantai yang luar biasa, akibatnya bibir pantai tergerus oleh air laut dan terjadi intrusi air laut ke lahan pertanian penduduk. Kerusakan ini akibat dari pengalifungsian hutan mangrove menjadi tambak udang yang terjadi hampir di seluruh kawasan pesisir timur Sumatera Utara pada tahun 1980-an. Saat itu pemerintah melegalkan pengusaha dan investor menjadikan mangrove menjadi lahan tambak, sawah dan permukiman. Hal ini berdampak pada hampir seluruh kawasan pesisir yang masuk dalam kawasan hutan lindung pantai. Disatu sisi peristiwa ini berdampak positif terhadap keberadaan kawasan yang dulunya terisolir dari akses publik, menjadi demikian berkembang pesat dan merubah pola pikir sebagian masyarakatnya. Akan tetapi disisi lain kawasan pesisir yang dulunya indah dan lestari terancam kelestariannya diakibatkan proses abrasi yang sangat cepat menghantam kawasan pesisir dan terjadi pula intrusi air laut ke lahan-lahan pertanian.

Kawasan pantai Desa Sei Nagalawan juga mengalami hal yang sama. Berdasarkan fakta, hampir sejauh 500 meter bibir pantai yang tergerus oleh air laut dan garis pantai hampir mencapai kepemukiman penduduk. Situasi ini tidak hanya berakibat pada rusaknya kawasan pesisir akan tetapi berakibat pula dengan menurunnya hasil tangkapan nelayan tradisional sebab hutan mangrove yang menjadi tempat tinggal biota laut semakin rusak. Menurunnya hasil tangkapan

nelayan membuat masyarakat setempat harus melaut dengan jarak yang semakin jauh dari garis pantai dengan hasil yang belum pasti memuaskan.

Pada tahun 1992 mulai masuk sebuah Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang pengembangan desa khususnya masyarakat nelayan yakni lembaga WPAP (Wadah Pengembangan Alternatif Pedesaan) di Desa Sei Nagalawan khususnya di dusun III Sungai Nipah. LSM ini mengembangkan berbagai kegiatan-kegiatan dengan membentuk kelompok perempuan nelayan dengan program kerja konservasi kawasan pesisir dengan melakukan penanaman pohon bakau dan peningkatan ekonomi perempuan pesisir melalui UBSP (Usaha Bersama Simpan Pinjam) kelompok.

Kehadiran LSM dinilai sangat banyak membawa perubahan pola pikir masyarakat untuk mencintai lingkungan/kawasan pesisir sehingga ketika LSM ini tidak lagi bekerja di Sei Nagalawan sudah banyak meninggalkan kader-kader masyarakat yang peduli dan mencintai lingkungannya. Berbagai kegiatan yang pernah dilakukan LSM ini bersama masyarakat adalah Pembuatan MINA Bakau dengan memelihara ikan dan menanam pohon bakau di kolam milik angggota kelompok dan melakukan kegiatan penanaman pohon bakau pada tahun 1994 di kawasan yang termasuk di dalam kawasan konservasi hutan mangrove. Tahun 1998 setelah melalui proses yang cukup panjang beberapa masyarakat yang merupakan bagian dari proses tersebut ditambah dengan masyarakat yang peduli terhadap nelayan dan lingkungan pesisir membentuk sebuah kelompok nelayan dibawah naungan Sarekat Nelayan Sumatera Utara (SNSU) dengan nama Kelompok Nelayan Kayuh Baimbai dan terbentuk kembali sebuah kelompok

perempuan nelayan pada tahun 2005 dengan nama kelompok perempuan Muara Tanjung. Kelompok nelayan ini selain berkegiatan untuk meningkatkan produktifitas nelayan juga mendorong anggotanya untuk peduli terhadap kawasan pesisir khususnya hutan mangrove. Bekerja sama dengan sebuah Jaringan LSM advokasi Nelayan di Medan yakni JALA (Jaringan Advokasi Nelayan Sumatera Utara) dan Yayasan KEKAR (kekuatan ekonomi rakyat) Indonesia Tebing Tinggi serta bekerjasama dengan Fakultas Pertanian USU Medan melakukan penanaman kembali pohon bakau di kawasan pesisir pada tahun 2004 dengan jumlah bibit sekitar 10.000 batang pohon bakau. Selain mendapatkan dukungan bibit dari berbagai LSM, kelompok juga mengupayakan secara swadaya bibit bakau dengan memanfaatkan pohon induk sisa tanaman pada tahun 1994 yang lalu dengan membuat pembibitan mangrove.

Mengingat pentingnya menjaga kawasan hutan mangrove di pesisir Desa Sei Nagalawan maka kemudian kelompok mendorong Pemerintah Desa pada tahun 2006 untuk menerbitkan regulasi tingkat desa dengan Surat Keputusan Kepala Desa Sei Nagalawan Nomor: 678/03/SN/2006 tanggal 17 Maret tahun 2006 Tentang Perlindungan Hutan Bakau Seluas 2 Ha dan atau lahan-lahan kosong yang tidak dipergunakan yang ditanam dan dikelola Kelompok Nelayan Kayuh Baimbai dan Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung Desa Sei Nagalawan, Kabupaten Serdang Bedagai.

Situasi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi kelompok nelayan yang selama ini telah berjuang untuk melestarikan kawasan hutan mangrove khususnya di Desa Sei Nagalawan untuk terus melakukan aktifitas pelestarian hutan

mangrove. Berangkat dari kesadaran kritis masyarakat yang berhimpun dalam kelompok nelayan Kayuh Baimbai dan kelompok perempuan Muara Tanjung pada tahun 2009 membentuk sebuah kelompok tani Hutan Mangrove yang diberi nama Kelompok Konservasi Mangrove Muara Baimbai.

Pada tahun 2009 kelompok Konservasi Mangrove membangun kerjasama dengan BPHM Wilayah II Medan dalam satu kegiatan yang diberi nama Gerakan Penanaman Swadaya dimana kegiatan ini melibatkan berbagai instansi di Pemkab Serdang Bedagai Yakni Dinas Kehutanan dan Perkebunan Serdang Bedagai, organisasi kemasyarakatan dan para stakeholders lainnya.

Gambar 2: Photo satelit pantai Sei Nagalawan tahun 2005 Sumber: Dokumentasi KSU Muara Baimbai

Berdasarkan fakta sejarah tersebut, bahwa sejak tahun 1990-an hingga saat ini gerakan konservasi dan rehabilitasi kawasan hutan pantai merupakan hal yang sudah terintegrasi dengan baik pada masyarakat dusun III Desa Sei Nagalawan. Kehadiran Kelompok Konservasi Mangrove Muara Baimbai yang kemudian membentuk Koperasi Serba Usaha Muara Baimbai mampu memotivasi masyarakat sekitar untuk menjaga dan melindungi hutan dan memanfaatkannya sebagai sumber kehidupan manusia yang bertahan hingga saat sekarang.

Kembalinya hutan mangrove mulai mencuri perhatian hingga banyak warga setempat dan warga luar yang datang ke lokasi mangrove. Berbagai acara juga banyak dilakukan ditempat ini. Diawali dengan swadaya masyarakat setempat serta didukung oleh LSM, Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dan swadaya kelompok maka dibentuk kelompok untuk pelestarian hutan mangrove. Kelompok Kayuh Baimbai dan Kelompok Muara Tanjung bersepakat untuk menggabungkan diri karena mempunyai kesamaan visi dan misi dalam pelestarian hutan mangrove. Kelompok Muara Baimbai merupakan penggabungan dua kelompok sebelumnya. Dipilihnya kata Muara Baimbai memiliki filosofi tersendiri bagi kelompok ini. Muara diambil dari kelompok perempuan yang berarti ujung atau akhir, sementara Baimbai memiliki arti bersama-sama. Kata Baimbai diletakkan pada bagian paling belakang diartikan sebagai bentuk tanggung jawab laki-laki kepada perempuan untuk mendayung secara bersama- sama mencapai satu tujuan. Kayu Baimbai sendiri merupakan jenis kayu yang biasa digunakan untuk membuat dayung. Secara resmi objek wisata ini baru dibuka pada tahun 2011.

Kini ekowisata mangrove Sei Nagalawan sudah menjadi objek wisata yang dikenal luas. Banyak media cetak dan elektronik yang membantu mengenalkan ekowisata ini kepada masyarakat antara lain KOMPAS, SINDO, DAAI TV, TRANS TV, MNC dan media lainnya. Adapun secara ringkas ditanaminya kembali mangrove di Desa Sei Nagalawan mengacu kepada dua motif yaitu motif konservasi dan motif ekonomi.

3.1.1 Motif Konservasi

Motif konservasi merupakan motif yang paling penting dimana motif ini bertujuan untuk mencegah kerusakan mangrove yang lebih parah dengan menanaminya kembali serta melakukan pemeliharan, perlindungan dan pelestarian mangrove.. Motif konservasi membuat penduduk setempat terus melakukan penanaman mangrove secara berkesinambungan dengan memperhatikan proses tumbuh kembang mangrove serta melakukan penyulaman di area penanaman bilamana ditemukan bibit mangrove rusak atau mati.

Motif inilah yang mengawali kawasan ini menghijau kembali dan akhirnya memberikan dampak positif terhadap lingkungan mangrove. Laju abrasi bisa ditahan dan hasilnya pesisir Sei Nagalawan tetap bertahan hingga saat ini, intrusi air laut juga tidak masuk ke lahan pertanian penduduk. Biota laut, spesies dan satwa kini dengan sangat mudah bisa ditemukan di kawasan ini.

3.1.2 Motif Ekonomi

Motif ekonomi merupakan motif kedua dilakukannya penanaman mangrove. Berawal dari mulai sulit mendapatkan ikan maka masyarakat mulai menanam mangrove. Hasilnya kini mereka lebih mudah mendapatkan ikan, kepiting bakau dan beragam biota laut. Selain itu mereka juga dapat memanfaatkan mangrove untuk beragam keperluan yang bernilai ekonomis. Masyarakat bisa membudidayakan kepiting di tambak-tambak mangrove, memancing ikan dan memanfaatkan mangrove menjadi produk yang bisa diolah. Puncaknya penduduk setempat memanfaatkan kawasan hutan mangrove menjadi

kawasan ekowisata yang memberikan pendapatan untuk masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan mangrove.

Kedua motif tersebut di atas tertuang dalam misi kelompok Muara Baimbai yang dirinci sebagai berikut:

 Melakukan kegiatan penyelamatan hutan pantai atau pesisir di desa Sei Nagalawan khususnya di dusun III Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai

 Pemanfaatan potensi kawasan pesisir/hutan pantai berupa jasa lingkungan/ekowisata dan pengolahan makanan serta minuman berbasis mangrove yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemanfaatnya mangrove yang didasarkan pada motif ekonomi yang kemudian dikemas sebagai bentuk ekowisata dan pengolahan makanan serta minuman mangrove merupakan bentuk komodifikasi dasar atas mangrove yang dilakukan oleh kelompok Muara Baimbai untuk tujuan kesejahteraan masyarakat setempat.

Dokumen terkait