• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggolongan Yang Mewarisi

Dalam dokumen WARIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM SKRIPSI (Halaman 38-59)

BAB II KETENTUAN PENGATURAN WARIS-

D. Penggolongan Yang Mewarisi

D. Penggolongan Yang Mewarisi

Berdasarkan besarnya hak yang akan diterima oleh para ahli waris, maka ahli waris di dalam hukum waris Islam di bagi ke dalam tiga golongan, yaitu:

1. Ashhabul Furudh, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya ditentukan dan ditetapkan serta tidak berubah-ubah,19 yaitu ; 2/3,1/2,1/3,1/4,1/6,atau 1/8, dan berjumlah 12 orang dengan rincian: 1. anak wanita

(ﺖﻨﺑ)

2. anak wanita

dari anak lelaki

(ﻦﺑﻹا ﺖﻨﺑ)

3. ayah

(بأ)

4. ibu

(ـﻣأ)

5. kakek dari ayah

بأ / ﺪﺟ) (بﻷا

6. nenek dari ayah dan/atau dari ibu

(ـﻣﻷا ـﻣأ بﻷا ـﻣأ / ةﺪﺟ)

7. saudara

wanita seayah dan seibu

(ﺔﻘﻴﻘﺷ ﺖﺧأ)

8. saudara wanita seayah

(بﻷ ﺖﺧأ)

9.

saudara lelaki seibu

(ـﻣﻷ خأ)

10. saudara wanita seibu

(ـﻣﻷ ﺖﺧأ)

11. duda

(جوز)

12. janda

(ﺔﺟوز)

.20

2. Ashabah, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tidak tertentu dan tertetap, melainkan mendapatkan ashabah (sisa) dari ashhabul furudh atau mendapatkan semuanya jika tidak ada ashhabul furudh.21 Adapun orang-orangnya yang berjumlah 12 orang sebagai berikut: 1. anak lelaki

(ﻦﺑإ)

2. cucu

lelaki dari anak lelaki dan terus kebawah

(ﻞﻔﺳ نإ و ﻦﺑﻹا ﻦﺑإ)

3. ayah

(بأ)

4.

kakek dari ayah dan terus ke atas

(ﻼﻋ نإ و بﻷا بأ / ﺪﺟ)

5. saudara lelaki

19Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung. hlm.17

20Ibid., hlm.18

21Otje Salman S – Mustofa Haffas, 2002, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, hlm.51

sekandung

(ﻖﻴﻘﺷ خأ)

6. saudara lelaki seayah

(بﻷ خأ)

7. anak saudara lelaki sekandung

(ﻖﻴﻘﺸﻟا خﻷا ﻦﺑإ)

8. anak saudara lelaki seayah

(بﻷ خﻷا ﻦﺑإ)

9. paman

dari ayah sekandung

(ﻖﻴﻘﺷ ﻢﻋ)

10. paman dari ayah seayah

(بﻷ ﻢﻋ)

11. anak

lelaki paman dari ayah sekandung

(ﻖﻴﻘﺸﻟا ﻢﻌﻟا ﻦﺑإ)

12. anak lelaki paman dari

ayah seayah

(بﻷ ﻢﻌﻟا ﻦﺑإ)

. Dan semuanya disebut Ashabah Binnafsi.22

3. Dzawil Arham, yaitu kerabat selain golongan kesatu dan kedua.23 Atau orang yang mempunya pertalian darah dengan pewaris melalui jalur wanita saja.24 Dan jumlahnya sebanyak 10 orang, yaitu: 1. cucu lelaki/wanita dari anak wanita

( ﻰﺜﻧأ وأ اﺮﻛذ ﺖﻨﺒ ﻟا ﺪﻟو )

2. keponakan lelaki/wanita dari saudara wanita, dan

ke bawah

( ﻞﻔﺳ نإ و ﻰﺜﻧأ وأ اﺮﻛذ ﺖﺧﻷا ﺪﻟو )

3. keponakan wanita dari saudara lelaki

ﺖﻨﺑ) خﻷا

(

4. keponakan lelaki/wanita dari saudara lelaki seibu

وأ اﺮﻛذ مﻷ خﻷا ﺪﻟو ) ﻰﺜﻧأ

(

5. kakek dari ibu

( مﻷا بأ )

6. sepupu wanita dari paman sekandung dari ayah/dari paman seayah dari ayah

( بﻷ وأ ﺎﻘﻴﻘﺷ ﻢﻌﻟا ﺖﻨﺑ)

7. paman wanita dari

22Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung, hlm.19

23Eman Suparman, 1990, Intisari Hukum Waris Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.16

24Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung, hlm.17

ayah

( بﻷا ﺖﺧأ)ﺔﻤﻋ )

8. paman seibu dari ayah

( مﻷ بﻷا خأ)مﻷ ﻢﻋ )

9. paman dari

ibu

( مﻷا خأ)لﺎﺧ )

10. paman wanita dari ibu

( مﻷا ﺖﺧأ)ﺔﻟﺎﺧ )

.25

Sajuti Thalib dalam bukunya menguraikan mengenai dzawil arham, diantaranya cucu dari anak wanita dan anggota keluarga yang penghubungnya kepada keluarga itu seorang wanita. Menurutnya, akan mewaris apabila sudah tak ditemukan lagi golongan ashhabul furudh dan golongan ashabah.26

Beberapa ahli waris yang termasuk golongan ashhabul furudh memiliki kedudukan rangkap sebagai ashabah.

1. Ashhabul Furudh

Para pakar faraidh memecah ashhabul furudh ke dalam dua macam, yaitu Ashhabul Furudh Bissababiyyah dan Ashhabul Furudh Binnasabiyyah.

Ashhabul Furudh Bissababiyyah adalah golongan ahli waris sebagai akibat adanya ikatan pekawinan dengan si pewaris. Golongan ahli waris ini adalah janda/duda.

Ashhabul Furudh Binnasabiyyah adalah golongan ahli waris sebagai akibat adanya hubungan darah dengan si pewaris , termasuk ke dalam golongan ini adalah:

a. Leluhur wanita; ibu dan nenek.

b. Leluhur lelaki; ayah dan kakek.

c. Keturunan wanita; anak wanita dan cucu wanita pancar lelaki.

25Abd. Wahid Hudzaifah, 2002, al-Faraidh fi Ilmi al-Mirats, Perc. Mif-Ul, Bettet, Pamekasan, hlm.16

26Ibid., hlm.20

d. Saudara seibu; saudara wanita seibu dan saudara lelaki seibu.

e. Saudara sekandung/seayah; saudara wanita sekandung dan/atau seayah.27 2. Ashabah

Para pakar faraidh membedakan dan membagi ashabah ke dalam tiga macam, yaitu Ashabah Binnafsi, Ashabah Bil Ghair, dan Ashabah Ma’al Ghair.28

Ashabah Binnafsi adalah kerabat lelaki yang dipertalikan dengan si pewaris tanpa diselingi oleh orang wanita, yaitu:

a. Leluhur lelaki; ayah dan kakek.

b. Keturunan lelaki; anak lelaki dan cucu lelaki.

c. Saudara sekandung/seayah; saudara lelaki sekandung/seayah.29

Ashabah Bil Ghair adalah kerabat wanita yang disebabkan orang lain menjadi ashabah dan kemudian bersam-sama menerima ushubah, yaitu:

a. Cucu wanita yang mewaris bersama cucu lelaki.30 b. Anak wanita yang mewaris bersama dengan anak lelaki.

c. Sudara wanita sekandung/seayah yang mewaris bersama dengan saudara lelaki sekandung/seayah.

Ashabah Ma’al Ghair adalah saudara wanita yang mewaris bersama anak wanita atau cucu wanita dari si pewaris dan tidak berserikat dalam hal menerima dan memperoleh bagian ushubah, yaitu suadara wanita sekandung dan seayah.31 3. Dzawil Arham

27Otje Salman S – Mustofa Haffas, 2002, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, hlm.52

28Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung. hlm.19

29Otje Salman S – Mustofa Haffas, 2002, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, hlm.52

30Otje Salman S – Mustofa Haffas, 2002, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, hlm.53

31Ibid., dan Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung. hlm.19

Dzawil Arham adalah golongan kerabat yang tidak termasuk golongan ashhabul furudhdan ashabah. Kerabat golongan ini baru mewaris jika tidak ada kerabat yang termasuk kedua golongan dimaksud diatas. Atau disiratkan oleh Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H., Dzawil Arham adalah orang yang memiliki ikatan darah dengan si pewaris melalui pihak perempuan saja.32

E. Pencegah Kewarisan

Rintangan untuk menerima dan memperoleh warisan adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya dan hilangnya hak ahli waris dari mendapatkan harta peninggalan si pewaris.

Adapun rintangan tersebut adalah:

1. Pembunuhan33

Mayoritas ulama telah sepakat untuk menetapkan bahwa pembunuhan itu pada perinsipnya menjadi perintang untuk menerima dan memperoleh warisan bagi si pembunuh terhadap harta yang ditinggalkan oleh orang yang telah dibunuhnya. Dasar hukum terintangnya mewarisi karena pembunuhan adalah sabda Rasulullah SAW.: “Pembunuh tidak boleh mewarisi.”34 “Tidak ada hak bagi pembunuh sedikit pun untuk mewarisi.” (HR. an-Nasa’i). “Barang siapa membunuh seseorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya. (Begitu juga) walaupun korban itu

32Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung. hlm.19

33 Yaitu, ahli waris pembunuh pewaris, tak berhak memperoleh warisan dari keluarga yang dibunuhnya. (Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung. hlm.23)

34Amir Syarifuddin, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, hlm.195

adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan.” (HR. Ahmad).

Meskipun begitu, para ulama masih berselisih pendapat tentang jenis pembunuhan yang bagaimana yang dapat merintangi seseorang untuk menerima dan memperoleh warisan.

Ulama kalangan asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa tindak pembunuhan dalam bentuk apapun menjadi penghalang hak waris.

Ulama kalangan Hanabilah berpendapat bahwa tindak pembunuhan dalam bentuk apapun yang tidak dengan hak menjadi penghalang hak waris.

Menurut kalangan ulama Malikiyah, tindak kejahatan pembunuhan yang disengaja menjadi penghalang hak waris.

Menurut kalangan ulama Hanafiyah, tindak kejahatan pembunuhan yang disengaja dan karenanya dikenai sanksi qishash menjadi penghalang hak waris.35

Pembunuhan bersanksi qishash adalah pembunuhan yang disengaja yang didefinisikan dengan kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang lain dengan alat yang dapat menghancurkan anggota badan seperti senjata tajam dan lainnya.36

2. Beda Agama37

Yang dimaksud dengan beda agama adalah berlainan agama yang menjadi kepecayaan antara orang yang mewarisi dan orang yang mewariskan;

artinya seorang muslim tidak diperbolehkan mewarisi harta peninggalan pewaris nonmuslim dan nonmuslim tidak diperbolehkan mewarisi harta peninggalan

35Ibid., hlm.197

36Ibid., hlm.196

37Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung. hlm.23-24

pewaris muslim, baik hak kewarisan disebabkan karena di antara keduanya memiliki pertalian darah atau pertalian perkawinan maupun karena wala’38, baik si kafir masuk islam (muallaf) sebelum dan/atau sesudah harta pusaka dibagi-bagikan.39Dasar hukum yang barlainan agama menjadi perintang mewarisi adalah hadist Rasulullah SAW. yang diantaranya adalah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Usamah ibn Zaid yang maksudnya: “Seseorang yang nonmuslim tidak mewarisi seseorang muslim dan muslim tidak mewarisi nonmuslim.”

Waris-mewarisi antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan yang berbeda agama dapat diperinci sebagai beikut:

a. Orang Kafir Mewarisi Orang Islam.

Berdasarkan hadits dimaksud di atas mayoritas ulama bersepakat menetapkan bahwa orang kafir tidak dapat mewarisi orang islam. Dan yang demikian itu diperkuat oleh firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat ke 141:

“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan (wilayah/kewenangan) bagi orang kafir terhadap orang islam.”40

b. Orang Islam Mewarisi Oang Kafir.

Mayoritas ahlusunah seperti Abu Bakar, Umar ibn Khatab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Usamah ibn Zaid, Jabir, Urwah, Hanafi, Malik Syafi’i dan Ahmad serta Daud Zhahiri berkonsensus bahwa orang islam tidak dapat mewarisi orang kafir. Berbeda dengan sebagian kecil ulama semisal Umar, Mu’az, dan Muawiyah serta ulama syi’ah yang berpendapat bahwa orang islam diperbolehkan mewarisi orang kafir.

38Wala’ adalah hak kewarisan seseorang yang telah memerdekakan hamba sahayanya

39Taqiyuddin Hishni, Kifayah Akhyar, Maktabah Syamilah, App, juz.1, hlm.329

40Amir Syarifuddin, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, hlm.198-200

c. Orang Kafir dengan Orang Kafir Mewarisi dan/atau Mewariskan.

Di kalangan ulama terdapat ketidaksamaan pandangan (khilafiyah) dalam hal waris-mewarisi di antara orang kafir dengan orang kafir lainnya. Pendapat yang sah menetapkan bahwa mereka bisa saling waris-mewarisi satu sama lain baik dengan adanya persamaan perinsip agamanya tetapi berlawanan kepercayaannya, misal kristen katholik dan kristen protestan, yahudi dengan nasrani. Dan hal yang demikian apabila keduanya sama kafir dzimmi dan/atau sama kafir harbi.

Menurut kalangan as-Syafi’iyah sebagaimana ditegaskan oleh an-Nawawi dan ar-Rafi’i, bahwa jika di antara kedua kafir salah satu dzimmi dan sebagian yang lain harbi, maka tidak dapat dan/atau tidak boleh saling mewaris.41

d. Orang Murtad Mewarisi dan/atau Mewariskan.

Telah disepakati oleh ulama bahwa orang murtad, orang yang meninggalkan agama islam, tidak bisa saling mewarisi dan/atau mewariskan harta pusaka peninggalan dari dan/atau ke keluarganya, karena sebagaimana dikatakan Abu Manshur, bahwasanya orang murtad adalah orang kafir pada hakikatnya.

Dasar hukum orang murtad tidak boleh mewarisi dan/atau mewariskan adalah hadits riwayat Abu Bardah: “Aku diutus oleh Rasulullah SAW. untuk menemui seorang lelaki yang menyukai (menikahi) istri ayahnya, lalu aku diperintahkan untuk memukul leher (membunuh) nya dan membagi harta kekayaannya menjadi lima bagian, dan dia adalah orang murtad.”42

3. Perbudakan

41Taqiyuddin Hishni, Kifayah Al-Akhyar, Maktabah Syamilah, App, juz.1, hlm.329

42Taqiyuddin Hishni, Kifayah Al-Akhyar, Maktabah Syamilah, App, juz.1, hlm.329

Para fuqaha telah sepakat menetapkan perbudakan itu adalah suatu hal yang menjadi perintang waris-mewarisi. Hal ini berdasarkan adanya petunjuk yakni firman Allah SWT di ayat ke 75 surat an-Nahl “Allah telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya) yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu apapun.” Pengertian ayat dimaksud menjelaskan bahwa budak itu dianggap dan dinilai tidak cakap mengurus harta milik kebendaan dengan jalan apa saja. Hak-hak kebendaannya sepenuhnya berada di tangan tuannya. Dan status kekerabatannya dengan keluarganya sudah putus. Sebagaimana Drs. Fatchur Rachman menyatakan, bahwa hamba sahaya (budak) tidak dapat mewarisi kerena:

a. Ia dipandang tidak mempunyai kecakapan mengurusi harta milik, secara yuridis/hukum jika ia menerima harta pusaka dari keluarganya maka akan jatuh ke tangan tuannya.

b. Status kekeluargaannya terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus dan karenanya ia sudah menjadi bukan keluarganya lagi.43

4. Hilang Tanpa Kabar

Seseorang yang hilang tanpa kabar tak tentu dimana alamat dan tempat tinggalnya selama sekira orang yang sepadan/sebaya (seumuran) dengannya meninggal, maka orang tersebut dianggap mati karena hukum (mati hukmy) dengan sendirinya tidak dapat mewarisi, dan untuk menyatakan mati terhadap orang yang hilang dimaksud harus dengan keputusan hakim/peradilan.44

43Dalam bukunya, “Ilmu Waris” Cet. II, 1981, Al-Ma’arif, Bandung

44Komite Fak. Syariah Universitas Al Azhar Mesir, 2000-01, Ahkam al Mawarits fi al Fiqhi al Islamy, Maktabah ar Risalah al Dauliyah, Mesir, terj. Addys Aldizar dan Fathurrahman, 2004, Hukum Waris, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, hlm.377

BAB III

Kewarisan Kompilasi Hukum Islam

A. Peranan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia

Negara Indonesia sebagai negera hukum yang mayoritas penduduknya beragama islam adalah merupakan realitas social, karena itu sangat relevan apabila hukum islam dijadikan sumber rujukan dalam pembentukan hukum-hukum nasional, maka peranan ulama dan ilmuan terhadap islam sangat diperlukan.

Strategi perkembangan hukum islam secara komulatif tidak dapat dilepaskan dari kerangka ijtihad sebagai suatu metode, di antaranya dengan strategi asimilasi imitative dan inovatif terhadap segala norma yang berharga yang hidup dalam masyarakat Indonesia dan bermanfaat dalam ukuran yang dibolehkan dalam kultur islam, sehingga islam mudah diterima dalam segala keadaan.

Dalam islam terdapat tiga substansi hukum yang dapat dipedomani yaitu, petama hukum-hukum yang ketentuannya secara detail diatur oleh al-Qur’an dan sunnah. Kedua, hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah tetapi ketentaun detailnya diserahkan kepada negara. Ketiga, hukum-hukum yang tidak tersurat dalam al-Qur’an dan sunnah tetapi tersirat dalam sunnatullah dan inilah yang merupakan kewajiban negara untuk mengaturnya.1

Keadaan tersebut memungkinkan terjadinya hukum-hukum baru yang mengecualikan atau membatasi dalil umum dan kadang kala mensyaratkan dalil

1Sidik Tono – Dadan Muttaqin, 1999, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hlm.172

mutlak dalam al-Qur’an. Indonesia dewasa ini sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang, termasuk pembangunan di bidang hukum. Umat islam merupakan bagian dari pejalanan sejarah bangsa Indonesia yang tidak bias dipisahkan dengan Negara, pemerintah dan hukumnya, ia terjalin secara religius yang diperselisihkan dan diaktualisasikan dalam hidup sehari-hari. Oleh karena itu Negara sudah semestinya memberikan peluang konstitusional berlakunya hukum islam dalam tata hukum nasional Indonesia. Sebab islam dating ke Indonesia jauh sebelum masa penjajahan dan hukum islam telah diikuti dan dilaksakan para pemeluk agama islam dalam ke hidupan sehari-hari.

Tujuan hukum islam pada dasarnya adalah kemaslahatan manusia, sehinga hukum islam mencoba menegakkan maslahat dan mencegah mafsadat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di dunia dan di akhirat. Karena itu, memahami hukum islam tidak hanya didasarkan pada makna literalnya saja tapi pengkajian dan pengembangan hukum secara normatif sebagai cara mewujudkan keadilan hukum yang dapat diterapkan di tengah-tengah mesyarakat merupakan hal yang sangat penting sebagai wahana pembinaan dan pengembangan hukum nasional di Indonesia.

Membicarakan tentang masalah Kompilasi Hukum Islam, pada dasarnya adalah membicarakan salah satu aspek dari hukum islam di Indonesia.

Perbincangan tersebut merupakan perbincangan yang kompleks sekalipun hukum islam menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa sekarang. Kompilasi Hukum Islam dianggap sebagai satu di antara sekian banyak karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka memberi

arti yang lebih positif bagi kehidupan dan kebangkitan umat Islam Indonesia.

Akan tetapi, Kompilasi Hukum Islam tidak bersifat mutlak sebagaimana halnya wahyu Tuhan dan bukan sebuah karya yang telah mencapai hasil yang final.

Kompilasi Hukum Islam bersifat lebih terbuka dalam menerima usaha-usaha penyempurnaan untuk meraih keberhasilan yang lebih baik di masa mendatang.2

Bedasarkan hal tersebut di atas, akan dibahas tentang latar belakang penyusunan Kompilasi Hukum Islam, proses penyusunannya, dan kedudukannya dalam tata hukum nasional.

1. Pengaertian Kompilasi Hukum Islam

Istilah “kompilasi” diambil dari bahasa Latin. Kompilasi diambil dari kata compilare yang berarti mengumpulkan bersama-sama. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi compilation dalam bahasa Inggris atau compilatie dalam bahasa Belanda. Istilah ini kemudian dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi “Kompilasi”, yang berarti terjemahan langsung dari dua perkataan tersebut. Dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, compilation berarti karangan tersusun dan kutipan buku-buku lain. Sedangkan dalam Kamus Umum Belanda Indonesia, kata compilatie diterjemahkan menjadi kompilasi dengan arti kumpulan dari lain-lain karangan.3

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa ditinjau dari segi bahasa (etimologi), kompilasi adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai suatu persoalan tertentu. Sedangkan pengertian kompilasi dari segi hukum adalah

2 Abdurrahman, 2010, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, hlm.5-8

3Wojowasito, 1981, Kamus Umum Belanda – Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, hlm.123

sebuah buku hukum atau buku kumpulan yng memuat uraian atau bahan-bahan tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum.

Adapun pengertian Kompilasi Hukum Islam adalah rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama fikih yang bisa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun kedalam satu himpunan.

Himpunan inilah yang dinamakan kompilasi.4

A. Hamid S. Attamimi mengemukakan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah himpunan ketentuan hukum islam yang ditulis dan disusun secara teratur. KHI bukanlah peraturan perungang-undangan, bukan hukum tertulis meskipun ia ditulis, bukan undang-undang, bukan peraturan pemerintah, bukan keputusan presiden, dan seterusnya. KHI menunjukkan adanya hukum tidak tertulis yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama islam untuk menelusuri norma-norma hukum yang bersangkutan apabila diperlukannya.5 Jadi, Kompilasi Hukum Islam berkaitan dengan kegiatan penghimpunan bahan-bahan hukum sebagai pedoman bagi para hakim dilingkungan Peradilan Agama.

2. Latar belakang penyusunan Kompilasi Hukum Islam

Latar belakang penyusunan Kompilasi Hukum Islam didasarkan pada konsideran keputusan bersama ketua mahkamah agung dan menteri agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tentang Penunjukan

4 Abdurrahman, 2010, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, hlm.14

5 A. Hamid S. Attamimi, 1996, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, dalam Amrullah Ahmad, Gema Insani Press, Jakarta, hlm.152

Pelaksanakan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek Kompilasi Hukum Islam. Ada dua pertimbangan mengapa proyek ini diadakan:6

a. Bahwa sesuai dengan fungsi pangaturan Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia, khususnya di lingkungan Peradilan Agama, perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadi hukum positif di Pengadilan Agama.

b. Guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas, singkronisasi, dan tertib administrasi dalam proyek pembangunan hukum islam melalui yurisprudensi, dipandang perlu membentuk suatu tim proyek yang susunannya terdiri dari pejabat Mahkamh Agung da Departemen Agama Republik Indonesia.

Proses pembentukan Kompilasi Hukum Islam ini mempunyai kaitan yang erat dengan kondisi hukum islam di Indonesia selama ini. Menurut M. Daud Ali, dalam membicarakan hukum islam di Indonesia, pusat perhatian akan ditujukan pada kedudukan hukum islam dalam sistem hukum Indonesia. Hukum Islam sebagai tatanan hukun yang dipegangi/ditaati oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, merupakan

6 Abdurrahman, 2010, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, hlm.15

sebagian ajaran dan keyakinan islam dan ada dalam kehidupan hukun nasional dan merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya7.

Hukum islam, baik di Indonesia maupun di dunia islam pada umumnya hingga saat ini adalah hukum fikih hasil penafsiran pada abad kedua hijriyah dan beberapa abad sesudahnya. Kitab-kitab klasik karya ulama salaf di bidang fikih masih tetap berfungsi dalam memberikan informasi hukum. Kajian pada umumnya banyak dipusatkan pada masalah-masalah ibadah dan awwal al-syakhshiyyah. Kajian tidak banyak diarahkan pada fikih muamalah. Hal ini membuat hukum islam terlihat begitu kaku berhadapan dengan masalah-maslah dewasa ini. Masalah yang dihadapi bukan saja berupa perbuatan struktur sosial, tetapi juga perubahan kebutuhan dalam berbagai bentuknya. Berbagai sikap dalam menghadapi tantangan tersebut telah dilontarkan dan diwacanakan, yang pada intinya menghendaki dan menginginkan adanya penafsiran-penafsiran baru sesuai dengan situasi dan kondisi masa kini. Untuk itu ijtihad perlu dihidupkan kembali.

Kompilasi Hukum Islam ini merupakan keberhasilan besar umat islam Indonesia pada pemerintahan orde baru. Umat islam di Indonesia akan memiliki pedoman fikih yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama islam. Denagn ini diharapkan tidak akan terjadi kesimpang siuran keputusan dalam lembaga-lembaga peradilan agama dan sebab-sebab khilaf yang disebabkan oleh masalah fikih dapat diakhiri.

Berdasarkan pernyataan inidapat dikatan bahwa latar belakang dari diadajannya

7M. Daud Ali, 1986, Asas-asas Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, hlm.198

penyusunan Kompilasi adalah karena adanya kesimpang siuran putusan dan tajamnya perbedaan pendapat tentang masalah-masalah hukum islam.

M. Yahya Harahap kemudian mengimbuhkan bahwa adanya penojolan kecenderungan mendahulukan fatwa atau penfsiran ulama dalam menetapkan dan menerapkan hukum menjadi salah salah satu alasan penyusunan Kompilasi

M. Yahya Harahap kemudian mengimbuhkan bahwa adanya penojolan kecenderungan mendahulukan fatwa atau penfsiran ulama dalam menetapkan dan menerapkan hukum menjadi salah salah satu alasan penyusunan Kompilasi

Dalam dokumen WARIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM SKRIPSI (Halaman 38-59)

Dokumen terkait