Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Disusun Oleh :
MURSID
NPM : 10.74201.1487
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MADURA PAMEKASAN
2017
viii
LEMBAR PERSETUJUAN... ... ii
LEMBAR PENGESAHAN... ... iii
SURAT PERNYATAAN... ... iv
ABSTRAK... v
KATA PENGANTAR... ... vi
DAFTAR ISI... viii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Penelitian... 1
B. Rumusan Masalah... 5
C. Tujuan Penelitian... ... 5
D. Kegunaan Penelitian... ... 5
E. Tinjauan Pustaka... 6
F. Metode Penelitian... ... 13
G. Pertanggungjawaban Sistematika... ... 16
BAB II KETENTUAN PENGATURAN WARIS- MENURUT HUKUM ISLAM... ... 17
A. Definisi Kewarisan... ... 17
B. Asas-Asas Hukum dalam Kewarisan Islam... 18
C. Pengelompokan Yang Mewarisi... 32
D. Penggolongan Yang Mewarisi...32
ix
Hukum Indonesia... 42
B. Ketentuan Kewarisan Kompilasi Hukum Islam... ... 53
C. KHI Memandang Kasus Aul dan Radd... 72
BAB IV PENUTUP... ... 81
A. Kesimpulan... ... 81
B. Saran... ... 82
DAFTAR PUSTAKA... ... 83
LAMPIRAN-LAMPIRAN... ... 85
I Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan- Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985... 86
II Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991... ... 93
III Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991... 95
IV Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan- Agama Islam No. 3694/EV/HK.00.3/AZ/91... 98
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Setiap terjadi peristiwa kematian seseorang, segera timbul pertanyaan bagaimana harta peninggalannya harus diperlakukan kepada siapa saja harta itu dipindahkan, serta bagaimana caranya. Harta peninggalan dalam hukum waris Islam yang dimaksud adalah sejumlah harta benda serta hak-hak dari pewaris itu dalam keadaan bersih, artinya harta peninggalan yang akan diwarisi oleh ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang si pewaris dan pembayaran lainnya untuk kepentingan mengurus jenazah si pewaris.
Masalah waris, bagi umat Islam tidak saja merupakan proses penerusan atau pengoperan hak dari seseorang terhadap keturunannya, melainkan merupakan suatu ibadah yang pihak-pihak penerima warisnya telah ditentukan.1
Untuk penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat dari adanya peristiwa hukum kematian, maka perlu pengaturan secara rinci agar tidak ada perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi tersebut. Karena itu, Islam dalam menetapkan hukum berpegang kepada keadilan yang merupakan salah satu sendi pembinaan masyarakat agar dapat ditegakkan.
1Otje Salman, 1993, Kesadaran Hukum Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung, hlm.66 2
Mengingat pentingnya masalah warisan tersebut, banyak dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur mengenai warisan itu dengan tegas, jelas dan terperinci.
Diantaranya surat An-Nissa ayat 7, yang artinya :
“Bagi orang-orang lelaki, anak dan para kerabat ada bagiannya dari harta-harta yang ditinggalkan oleh orang tuanya dan oleh kerabat yang telah meninggal dan bagi para wanita ada bahagian dari harta yang ditinggalkan oleh orang tuanya dan oleh kerabatnya yang telah meinggal, baik sedikit harta itu ataupun banyak, Allah menjadikannya bahagiaan yang dimestikannya”.
Ayat tersebut di atas menyatakan bahwa ketentuan waris Islam diberikan kepada kaum laki-laki (Ashabul Ushubah) dan kaum perempuan (Ashabul Furudh) sama-sama berhak menerima warisan dari orang tua dan kerabatnya.
Hadist riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a. yang menyebutkan, Rasulullah SAW bersabda : Bagikan harta warisan kepada ahli waris (yang berhak, dzawil furudh), sedang sisanya untuk saudara laki-laki yang terdekat (ashabah)”.2
Indonesia sebagai negara hukum mengatur mengenai ahli waris, secara konstitusional dijelaskan bahwa ahli waris sah tidak boleh dirugikan hak-haknya.
Hukum mengatur tegas tentang bagian mutlak ahli waris adalah bagian dari suatu warisan yang tidak dapat dikurangi dengan suatu pemberian semasa hidup atau pemberian dengan wasiat. Dalam UUD 1945 mengatur mengenai hak-hak mutlak yaitu, Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 : “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
2 Syamsulbahri Salihima, 2015, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam Hukum Islam dan Implementasinya pada Pengadilan Agama, Prenada Media Group, Jakarta, hlm.38
kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
“Pasal 28H ayat (4) UUD 1945: Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”
Pasal diatas menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai hak-haknya yang dimiliki sebagai manusia dan tidak boleh digantikan atau diambil oleh orang lain begitupun haknya sebagai ahli waris.3
Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) mengatur mengenai hukum kewarisan.
Menurut KHI hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa- siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.4 Hukum waris Islam memiliki kelompok-kelompok ahli waris berdasarkan Pasal 174 KHI, yaitu :
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Sedangkan golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
3Diakses tanggal 6 Juli 2017, 23.25 WIB
www.mahkamahkonstitusi.go.id/hak-dan-kewajiban-warga-negara-indonesia-dengan-uud-45
4Abdurrahman, 2010, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, hlm.155
2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya:
anak, ayah, ibu, janda atau duda.5
Jadi kelompok ahli waris terdiri dari 2 (dua) golongan yaitu golongan laki-laki dan golongan perempuan.
Idris Djakar memberikan pengertian hukum kewarisan Islam adalah seperangkat aturan-aturan hukum tentang perpindahan hak pemilikan hart, peninggalan pewaris, mengatur kedudukan ahli waris yang berhak dan berapa bagian-bagiannya masing-masing secara adil dan sempurna sesuai dengan ketentuan syariat.6 Pada intinya hukum kewarisan adalah perpindahan hak kepemilikan / harta peninggalan pewaris kepada yang berhak mendapatkan warisan secara adil.
Pada Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.7
Hukum waris Islam memilik prinsip pembagian terhadap anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan, Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan sebagai berikut :
“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki
5Abdurrahman, 1995, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, hlm.156-157
6Ibid., hlm.155
7 Muhammad Amin Suma, 2005, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Ed. Revisi 2, Raja Grafindo Persada PT., Jakarta, hlm.108
adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.” Hal ini berarti, bagian anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan adalah: 2:1.
Dari pendeskripsian di atas, selanjutnya penulis tertarik untuk melakukan analisis lebih seksama dalam bentuk skripsi dengan judul : “Waris Dalam Perspektif Hukum Islam”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan pengaturan waris menurut Hukum Islam ? 2. Bagaimana Kompilasi Hukum Islam mengatur hak waris ? C. Tujuan Penelitian
1. Ingin mengetahui bagaimana waris menurut Hukum Islam
2. Untuk mengetahui pembagian waris menurut Kompilasi Hukum Islam.
D. Kegunaan penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan/atau kegunaan bagi pihak-pihak yang memerlukan, baik secara:
a. Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah hazanah dan literatur mengenai hukum waris khususnya terkait hukum waris menurut hukum Islam dan/atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia.
b. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi perbandingan dan sekaligus tambahan pembendaharaan dalam pengembangan ilmu hukum khususnya
hukum Islam dan terlebih khusus lagi mengenai soal dan masalah kewarisan yang ketentuan-ketentuannya dengan jelas telah digariskan dan ditetapkan dalam hukum dan syariat Islam.
E. Tinjauan Pustaka
Islam sebagai agama yang mayoritas dianut di Indonesia, hukum yang ditetapkan oleh agama Islam tentunya harus dapat mengakomodir dan memberikan kepastian hukum dalam setiap perkembangan zaman, yang kemudian diikuti dengan perkembangan peradaban masyarakat. Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan. Sumbernya adalah Al’Quran dan Al’Hadist yang memuat Sunnah Rasulullah yang kemudian dikembangkan secara rinci oleh ahli hukum Fikih Islam melalui Ijtihad orang yang memenuhi syarat, sesuai dengan ruang dan waktu, situasi dan kondisi tempatnya berijtihad.
Sebagai hukum yang bersumber dari wahyu ilahi yang disampaikan dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan sunnahnya, hukum kewarisan Islam mengandung asas-asas yang diantaranya terdapat juga dalam hukum kewarisan buatan akal manusia di suatu daerah atau tempat tertentu. Namun, karena sifatnya yang sui generis (berbeda dalam jenisnya), hukum kewarisan Islam mempunyai corak tersendiri. Ia merupakan bagian agama Islam dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah seorang muslim. Asas hukum kewarisan
Islam yang dapat disalurkan dari Al’Quran dan Al’Hadist, menurut Amir Syarifuddin (1984) sebagaimana yang dikutip oleh Daud Ali adalah Asas Hanya Ajal Tiba,8 Asas Personal,9 Asas Ijbar,10 Asas Adil Imbang,11 dan Asas Bilateral12.13Dan akan penulis jabarkan dan uraikan di bab dua (II) sub (B), in sya Allah.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab semua manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.
Al-Qur’an yang mengatur mengenai warisan itu dengan tegas, jelas dan terperinci.
Diantaranya surat An-Nissa ayat 7.
Rasulullah SAW bersabda : Bagikan harta warisan kepada ahli waris (yang berhak, dzawil furudh), sedang sisanya untuk saudara laki-laki yang terdekat (ashabah)”.
8Dalam Kompilasi Hukum Islam asas Hanya Ajal Tiba tercermin dalam rumusan berbagai istilah yaitu hukum kewarisan, pewaris, ahli waris dan harta peninggalan dalam Pasal 171 pada Bab I Ketentuan Umum
9 Asas Personal dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai besarnya bagian ahli waris tercantum dalam Bab III Besarnya Bahagian Pasal 176 sampai dengan Pasal 180 KHI
10 Asas Ijbar dalam Kompilasi Hukum Islam juga mengenai cara peralihan harta warisan, juga disebut dalam ketentuan umum tersebut pada Pasal 182 ayat (2) KHI
11 Dalam Kompilasi Hukum Islam asas Adil Imbang mengenai besarnya bagian yang di dalam Pasal 176–180 KHI, juga dikembangkan dalam penyelesaian perolehan yang dilakukan pada waktu penyelesaian pembagian warisan melalui pemecahan secara Aul (Pasal 192 KHI), Rad (Pasal 193 KHI), Takharuj atau Tashaluh atau Damai (Pasal 183 KHI). Termasuk soal ahli waris pengganti (Pasal 185 KHI)
12 Asas bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dibaca pada pengelompokan ahli waris seperti tercantum dalam Pasal 174 (ayat 1) yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek (golongan laki-laki) serta ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek (golongan perempaun) menurut hubungan darah
13Mohammad Daud Ali, 2000, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada PT., Jakarta, hlm.281
Pengertian waris di Indonesia ada beraneka ragam, ada pengertian hukum waris menurut hukum Nasional yaitu hukum perdata, ada juga pengertian hukum waris menurut hukum adat dan pengertian waris menurut Islam. Pengertian Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Kata waris berasal dari bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya adalah mawarits, yang berarti harta peninggalan orang yang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.14 Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan yang berwujud perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris, maupun antara mereka dengan pihak ketiga.
Rukun dan Syarat terjadinya pewarisan adalah : 1) Ada orang yang meninggal dunia;
2) Ada harta yang ditinggalkan;
3) Ada ahli waris;
Seseorang yang disebut Pewaris, yang dimaksud adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta kekayaan.15 Ahli waris, adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan.16 Sementara pengertian warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan
14Dian Khairul Umam, 2006, Fiqih Mawaris, Pustaka Setia, Bandung, hlm.11
15Eman Suparman, 1991, Intisari Hukum Waris Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 2 dan 13
16Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung, hlm.17
bersih, artinya harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal warisan17.
Berbeda dengan pengertian warisan menurut BW, yaitu seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
Berarti harta peninggalan yang akan diwarisi tidak hanya meliputi hal bermanfaat, melainkan termasuk hutang pewaris yang merupakan pasiva dari harta yang ditinggalkan. Sehingga kewajiban membayar hutang hakikatnya juga beralih kepada yang mewarisi. Demikian juga hukum waris Adat, menjelaskan bahwa warisan yang dapat beralih kepada yang mewarisi tidak harus dalam keadaan bersih (setelah dikurangi pembayaran hutang pewaris), melainkan dapat saja yang mewarisi menerima warisan meliputi kewajiban membayar hutang pewaris.18
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf a:
“Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilik harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli warisan berapa bagiannya masing-masing”.19
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur mengenai hukum kewarisan. Menurut KHI hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa- siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
17Eman Suparman, 1991, Intisari Hukum Waris Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.10
18Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung, hlm.13-14
19 Abdurrahman, 2010, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, hlm.155
Hukum waris Islam memiliki kelompok-kelompok ahli waris berdasarkan Pasal 174 KHI, yaitu :
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
1. Menurut hubungan darah:
a. Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
b. Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
2. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Jadi kelompok ahli waris terdiri dari 2 (dua) golongan yaitu golongan laki-laki dan golongan perempuan.
Hukum waris Islam memilik prinsip pembagian terhadap anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan.Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan sebagai berikut :
“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.”
Hal ini berarti, bagian anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan adalah: 2:1.
Sumber-Sumber Pengaturan Hukum Waris Islam di Indonesia :
A. Al-Qur’an merupakan sumber hukum waris Islam yang paling utama yang merupakan wahyu-wahyu dari Allah SWT.
B. Hadist merupakan sumber hukum kedua tingkatannya setelah Al-Qur’an yang berasal dari Rasulullah Muhammad SAW.
C. Ijtihad para ulama yang terdiri dari Ijma’ dan Qiyas, merupakan sumber hukum tambahan dalam hukum waris Islam untuk menjelaskan suatu peristiwa atau keadaan yang kurang jelas atau tidak diatur dalam Al-Qur’an dan Hadist. Peraturan Perundang-undangan, dalam hal ini terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yang diharapkan nantinya umat Islam di Indonesia mempunyai pedoman fiqh yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.
Kompilasi Hukum Islam ini terdapat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 1991.
Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya terdiri dari empat macam:20 1. Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan yakni pula
maksudnya menunjukan kepada hukum itu. Hukum seperti itu tetap tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslimin, tidak seorangpun berhak membantahnya, seperti wajib salat yang lima waktu, zakat, puasa dan haji.
2. Hukum diambil dari nash yang tidak tegas, yakni maksudnya terhadap hukum-hukum itu. Dalam hal ini terbuka jalan bagi mujtahid unutk berijtihad dalam batas memahami nash itu saja, tidak boleh melampaui lingkungan nash itu.
20Sulaiman rasjid, 2002, Fiqih Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, hlm. 1-2 dan 23
3. Hukum yang tidak ada nash, baik secara qat’i (pasti) maupun secara zhanni (dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat (ijma’) para mujtahid atas hukum-hukumnya. Seperti batalnya perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Tidak ada jalan pula untuk ijtihad, setiap muslim wajib mengakui dan menjalankannya karena hukum yang disepakati oleh mujtahid itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah SAW. Tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat.
4. Hukum yang tidak ada nash, baik qat’i maupun zhanni, dan tidak pula ada kesepakatan (ijma’) para mujtahid atas hukum itu.
Hukum seperti ini adalah hasil dari pendapat salah seorang mujtahid menurut asas dan cara yang masuk akal pikirannya serta keadaan atau tinjauan masing-masing di waktu terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum seperti itu tidak tetap, mungkin berubah dengan berubahnya keadaan atau tinjauan masing-masing.
Mujtahid di masa itu atau sesudahnya berhak membantah serta menetapkan hukum yang lain, sebagaimana mujtahid pertama yang telah memberikan atau menetapkan hukum itu sebelumnya. Hasil ijtihad seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim hanya wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orang yang minta fatwa kepadanya, selama pendapatnya itu belum diubahnya.
Hukum kewarisan Islam pada dasarnyan berlaku untuk umat Islam dimana saja di dunia ini. Tetapi corak suatu Negara Islam dan kehidupan masyarakat di Negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah tersebut. Pengaruh tersebut adalah pengaruh terbatas yang
tidak dapat melampaui garis pokok dari ketentuan hukum kewarisan Islam tersebut. Pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad atau pendapat ahli-ahli hukum Islam sendiri. Melihat ciri-ciri sistem kewarisan dalam hukum waris Islam, kemudian dibandingkan dengan sistem kekeluargaan dan sistem kewarisan dalam hukum adat Indonesia.
Sistem pewarisan yang berlaku dalam sistem kewarisan Islam adalah sistem pewarisan bilateral-personal. Bilateral disebabkan dalam hukum waris Islam laki-laki maupun perempuan dengan tidak membawa perbedaan umur mempunyai hak sebagai ahli waris walaupun bagian warisnya berbeda yaitu dua bagian untuk laki-laki dan berbanding satu untuk perempuan, sedangkan kata personal disebabkan bahwa ahli waris laki-laki maupun perempuan tersebut mewaris secara orang perorangan dan bukan mewaris secara bersama-sama.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, yang dimaksud dengan metode penulisan adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan bahan, alat, dan cara yang digunakan baik untuk mengumpulkan maupun mengolah data dan/atau bahan hukum guna mendapatkan kepastian dan kejelasan dari sebuah masalah dan pokok pembahasan di dalam penulisan skripsi tentang kewarisan ini.
Penggunaan metode sangat diperlukan dalam suatu penulisan karya tulis ilmiyah agar dapat memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan kebenaran ilmiyah. Untuk itu penggunaan metode harus disesuaikan dengan objek studi.
Dalam skripsi ini digunakan metode penulisan sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif. Metode yuridis normatif adalah suatu pendekatan masalah dan/atau penelitian dengan melakukan kajian-kajian terhadap peraturan-peraturan perundang-undangan dan teori hukum yang erat hubungannya dengan masalah dan/atau penelitian dimaksud.
Berangkat dari masalah dan/atau penelitian tersebut maka pembahasan penulisan ini nantinya akan menggunakan tinjauan yuridis normatif yaitu menganalisa hukum-hukum yang ada, seperti Kompilasi Hukum Islam, di samping dari berbagai peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya, literatur- literatur hukum serta surat kabar dan media lain yang pastinya berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.
2. Sumber Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penulisan ini diperoleh dari kepustakaan atau studi dokumen dimana literatur ataupun ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah dan/atau penelitian yang akan penulis bahas.
Bahan-bahan atau sumber-sumber hukum yang dapat dijadikan objek studi dalam penulisan ini adalah bahan/sumber hukkum, yang terdiri dari :
a. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat dan berhubungan erat dengan masalah dan/atau penelitian yang akan ditelaah, yakni Kompilasi Hukum Islam serta peraturan-peraturan perundang-
undangan lain yang sekiranya terkait dengan masalah dan/atau penelitian yang akan dibahas.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan dan/atau membahas lebih lanjut hal-hal yang telah dibahas pada bahan-bahan hukum primer, yang berasal dari berbagai masalah, jurnal hukum, surat kabar, dan litaratur lain serta dari media lainnya yang berkaitan dengan masalah dan/atau penelitian.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, misalnya : kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumalatif, dan sebagainya.21
3. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Bahwa prosedur pengumpulan dan pengolahan bahan hukum untuk memperoleh data yang objektif dan dapat dipercaya maka penulis melaksanakan pengumpulan bahan hukum dengan melakukan penelitian kepustakaan, yaitu dengan membaca buku-buku literatur dan bahan hukum lain di samping dengan menginventarisir dan mengumpulkan bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Dari bahan-bahan tersebut, baik bahan primer maupun bahan sekunder, selanjutnya diolah dan dianalisa.
4. Analisis Bahan Hukum
Analisa bahan hukum adalah proses penyederhanaan bahan hukum ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipahami sehingga dalam penulisan
21 Bambang Sunggono, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.114
ini memberikan gambaran atas masalah yang diangkat dan/atau dibahas sesuai dengan rumusan masalah sebelumnya.22
Proses analisa bahan hukum merupakan suatu proses untuk menemukan titik terang dan jelas atas pokok/inti permasalahan. Seperti diketahui dalam penulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yang didukung oleh data utama dan penunjang, maka kedua data tersebut kumudian diolah dan dianalisa.
Agar diperoleh analisa yang baik, maka metode berpikir dedukatif digunakan, yaitu sebuah metode analisa yang berangkat dari sebuah pengetahuan yang sifatnya umum untuk menilai yang khusus.
G. Pertanggungjawaban Sistematika
Bab I Pendahuluan yang berisi : Latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan pertanggungjawaban sistematika penulisan.
Bab II Kewarisan Islam, yang terdiri dari : Definisi waris, asas-asas waris, pengelompokan ahli waris, penggolongan ahli waris, dan pencegah waris- mewarisi.
Bab III Kewarisan Kompilasi Hukum Islam, dengan isi terdiri dari : Peranan Kompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia, ketentuan kewarisan KHI dan Kompilasi Hukum Islam menyikapi kasus aul dan radd.
Bab IV Penutup, ialah Simpulan dan masukan.
22 Sofian Effendi – Chris Manning, 2002, Prinsip-prinsip Analisis Data, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, hlm.263
BAB II
Ketentuan Pengaturan Waris Menurut Hukum Islam
A. Definisi Kewarisan
Kata kewarisan berasal dari bahasa arab
"ﺎﺛرإ"
dan/atau"ﺎﺛاﺮﯿﻣ"
danbentuk masdar dari
"ثﺮﻳ – ثرو"
berarti mewarisi. Sebagaimana dalam al-Qur’andisebutkan:
"ﻦﻴﺛراﻮﻟا ﻦﺤﻧ ﺎﻨﻛو"
/ “Dan kami adalah pewaris-nya”.1"دواد نﺎﻤﻴﻠﺳ ثرو و"
2 / “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud”.3
Dari sudut bahasa dan/atau secara etemologi, arti dari mirats atau irts adalah peralihan sesuatu dari seorang ke yang lain. Atau juga memiliki arti menggantikan, memberikan, menganugerahkan, dan menerimakan.4 Oleh karena demikian, berarti kata kewarisan sangatlah luas objeknya, tidak hanya pada harta benda melainkan juga pada yang lainnya, seperti peralihan kemuliaan, kekuasaan, keilmuan dan lain sebagainya.
Adapun dilihat dari sudut istilah syara’ dan/atau secara termenologi syara’ kewarisan ialah peralihan kepemilikan harta benda peninggalan baik bergerak maupun tidak bergerak dari seorang yang telah meninggal dunia kepada
1QS al-Qashashah (28) : 58
2QS an-Naml (27) : 16
3 Ialah Nabi Sulaiman, AS, (Shalomon) menggantikan kerajaan dan kenabian Nabi Daud, AS, (David) serta mewarisi ilmu pengetahuan-Nya dan kitab Zabur yang Allah turunkan kepada-Nya
4Amir Syarifuddin, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, hlm.32
ahli warisnya yang masih hidup.5 Sehingga dalam kontek ini dapat ditarik benang merah bahwa kewarisan adalah peralihan hak dan kewajiban terkait kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang-orang yang masih hidup (ahli waris) dan tentunya dengan bagian-bagian yang telah digariskan dalam al-Qur’an dan al-Hadits.6
B. Asas-Asas Hukum dalam Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam merupakan salah satu bagian dari keseluruhan hukum Islam yang mengatur peralihan harta benda lagal dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.
Sebagai produk hukum agama yang bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam hukum kewarisan Islam di samping memiliki khas dan corak tersendiri yang membedakan dengan hukum kewarisan yang lain juga terkandung didalamnya asas-asas. Sehingga dari ragam asas-asas tersebut tampaklah terlihat bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam itu sendiri.7
Hukum kewarisan Islam diambil dari ayat-ayat hukum kewarisan dalam al-Qur’an dengan penjelasan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam lewat Sunnah-Nya dan tambahan keterangan dari para pakar fiqh. Dalam sub (B) ini akan dikemukakan asas-asas sehubungan dengan peralihan harta benda peninggalan dari seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya, berikut pola kepemilikan harta oleh ahli waris, serta jumlah dan/atau kadar bagian yang diterima, dan juga saat-saat terjadinya
5Ibid., hlm.19
6Ibid., hlm.5
7Ibid., hlm.19
peristiwa peralihan harta benda dimaksud. Adapun asas-asas dimaksud akan penulis sebutkan, terangkan, serta jelaskan satu persatu di bawah ini.
1. Asas Hanya Ajal Tiba8
Islam telah menggariskan tentang kewarisan dan/atau peralihan harta benda seseorang kepada orang lain berlaku hanya apabila ada peristiwa kematian dari orang yang mempunyai harta benda dimaksud. Artinya harta benda seseorang tidak bisa beralih terhadap orang lain dengan istilah kewarisan jika yang mempunyai harta masih hidup. Dan juga artinya semua pola dan ragam bentuk peralihan harta benda seseorang yang masih hidup baik kontan maupun dieksekusi setelah yang bersangkutan meninggal, tidak dinamakan kewarisan menurut agama. Oleh karenanya hukum kewarisan Islam tidak mengenal kewarisan yang bersifat wasiat yang dibuat pada saat masih hidup yang dalam hukum perdata dikatakan kewarisan bij testament, melainkan hanya berlaku pada satu pola yaitu kewarisan dikarenakan hanya ajal tiba yang dalam BW disebut kewarisan ab intestato.9
2. Asas Personal10
Agama menerangkan bahwa kewarisan berasaskan personal, dengan kata lain harta pusaka dapat dibagi-bagi untuk dimiliki yang bersifat perseorangan dengan para ahli waris masing-masingmemperoleh bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dan terkait dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta kewarisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang dapat dibagi-bagi; kemudian jumlah tersebut
8Tercermin dalam rumusan berbagai istilah yaitu hukum kewarisan, pewaris, ahli waris dan harta peninggalan dalam Pasal 171 pada Bab I Ketentuan Umum, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
9Amir Syarifuddin, op.cit, hlm.26
10 Di dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dipahami dari mengenai besarnya bagian ahli waris tercantum dalam Bab III Besarnya Bahagian Pasal 176 sampai dengan Pasal 180 KHI
diberikan kepada semua ahli waris yang berhak sesuai jumlah dan kadar bagian masing-masing.
Semua ahli waris berhak memperoleh bagian yang didaptnya tanpa bergantung dan terikat dengan ahli waris yang lain. Hal demikian berdasarkan ketentuan jika setiap orang sebagai pribadi memiliki kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban yang di dalam literatur karya ulama salaf disebut ahliyatil wujub. Pengertiannya dalam konteks ini ialah, setiap ahli waris berhak menuntut secara perseorangan harta warisan dan pula berhak untuk tidak.
Pola personal dalam kewarisan Islam dimaksud secara mafhum dapat dilihat dalam sebagian ayat al-Qur’an tentang aturan yang menyangkut pembagian harta pusaka itu sendiri. Di dalam surat an-Nisa’ ayat ke 7 secara garis besar menjabarkan bahwasanya laki-laki dan/atau wanita sama-sama mempunyai hak mendapatkan warisan baik dari orang tua dan/atau sanak kerabat, dengan bagian yang telah ditentukan.
Ditambah dengan surat an-Nisa’ ayat ke 11, 12 dan terakhir ayat ke 176 juga menerangkan lebih spesifik hak masing-masing ahli waris secara personal sesuai jumlah dan/atau kadar bagian yang telah ditentukan dan ditetapkan. Dan lagi di ayat ke 12 dijelaskan tentang bentuk dan model yang tidak tertentu seperti anak laki bersama dengan anak wanita atau di ayat 176 saudara laki dan saudara wanita, dijabarkan pula bagi anak laki bagiannya sama dengan bagian dua anak wanita terkait dengan perimbangan pembagiannya. Dan dari perimbangan pembagian itu nanti akan jelas pula bagian untuk masing-masing ahli waris.
Dalam beberapa bentuk dan kasus memang terdapat bagian secara bersama, seperti anak laki dengan anak wanita di surat an-Nisa’ ayat 11, saudara laki dengan saudara wanita di ayat 176, dua orang anak wanita memperoleh dua pertiga dalam ayat ke 11, dua orang saudara wanita memperoleh dua pertiga dalam ayat 176 dan mendapatkan sepertiga bagi saudara-saudara yang berserikat jika yang meninggal tidak memiliki ahli waris langsung dalam surat an-Nisa’ ayat ke 12. Namun demikian, pola kelompok dimaksud hanya bersifat sementara yaitu sebelum terjadi pembagian yang bersifat personal diantara ahli waris yang bagiannya berserikat.
Ayat-ayat yang menerangkan dan/atau menjelaskan pembagian harta pusaka yang bersifat personal khususnya ayat ke 11 dan 12 Allah Subhanahu Wa Ta’ala sambung dengan ayat ke 13 dan 14 yang memberi petunjuk dan penegasan bahwa pembagian secara personal merupakan ketentuan dan ketetapan yang digariskan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang mengikat dan wajib dilaksanakan oleh setiap muslim dengan sanksi berat kelak di neraka bagi yang melanggar, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Bila kemudian telah dijalankan pembagian secara terpisah di antara ahli waris yang bagiannya berserikat maka untuk selanjutnya masing-masing ahli waris mempunyai hak mutlak dan/atau penuh untuk menggunakan harta benda dimaksud. Walau adanya kebebasan membelanjakan harta benda dimaksud akan tetapi terdapat ketentuan-ketentuan lain yang dalam literatur-literatur ulama salaf dinamakan ahliyatit tasharruf yaitu di mana seseorang diperbolehkan oleh agama untuk menggunakan dan/atau membelanjakan harta bendanya.
Ada enam macam golongan ahli waris (dan/atau diluar konteks kewarisan) yang tidak memenuhi syarat diperbolehkannya untuk bertindak atas hartanya, yaitu;
1. Anak kecil yaitu anak yang belum mencapai usia baligh 2. Orang gila yaitu orang yang tidak sempurna akalnya
3. Orang Gendeng yaitu orang yang menghambur-hamburkan dan/atau menggunakan harta benda bukan pada tempatnya11
4. Orang pailit yaitu orang yang mempunyai tanggungan hutang besar dan harta benda yang ada tidak cukup untuk melunasi tanggungan hutangnya12 5. Orang sakit yang tidak ada harapan sembuh yaitu orang sakit yang sudah
mendekati ajal dan/atau maut13
6. Budak atau hamba sahaya menggunakan harta benda tuannya tanpa seizin tuannya yang mengakibatkan kerugian
Maka harta warisan yang diperolehnya berada dibawah kuasa walinya atau pengampunya dan dapat digunakan atau dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari enam macam golongan dimaksud. Hal ini berlandaskan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam ayat ke 5 surat an-Nisa’ yang secara eksplisit menyatakan tidak diperbolehkannya menyerahkan harta benda kepada orang safih, yaitu orang yang belum dewasa umur maupun akal. Sehingga dengan memandang bahwa pada satu sisi setiap ahli waris berhak secara penuh atas harta pusaka yang didapatkannya dan di sisi lain ada sebagian ahli waris yang tidak berhak menggunakan hartanya sebelum ”pencekalan” oleh syari’at dicabut
11Muhammad ibn Qasim Gaza, Syarh Ghayah Ikhtishar, Maktabah Syamilah, App, juz.1, hlm.173
12Dan telah divonis (pailit) oleh hakim peradilan
13Tidak diperbolehkan menggunakan harta melebihi sepertiga kekayaan
dengan alasan karena belum dewasa misalkan, maka ahli waris yang telah dewasa (yang lain) bisa saja tidak memberikan harta warisan secara personal kepada ahli waris yang belum dewasa dimaksud. Artinya dalam kasus seperti tersebut, saudara yang lebih tua di antara beberapa orang bersaudara (yang belum dewasa) bisa menguasai sendiri harta berkelompok tersebut untuk sementara waktu.
Meskipun demikian akan tetapi status personalnya harus tetap diperhatikan dengan mengadakan perhitungan terhadap bagian masing-masing ahli waris, memelihara harta orang yang belum pantas mengelola hartanya, kemudian menyerahkan harta tersebut pada saat yang berhak telah cakap menggunakannya.
Tidak ada pihak yang dirugikan dengan pola seperti tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala lewat firmannya dalam surat an- Nisa’ ayat ke 2.
Melenyapkan pola personalnya dengan jalan mencampur adukkan harta warisan tanpa perhitungan dan dengan sengaja menjadikan hak kewarisan itu bersifat kelompok atau bersama berarti menyalahi ketentuan dan ketetapan disebut di atas. Hal demikian akan mengakibatkan pelakunya terkena sanksi sebagaimana yang disebutkan di akhir ayat ke 2 surat an-Nisa’ yaitu dosa yang besar.
Pemaparan dimaksud di atas dapat ditarik benang merah bahwasanya pola kewarisan bersama atau kelompok tidak seirama dengan ajaran islam, karena cara itu dikhawatirkan akan memakan hak anak yatim yang terdapat dalam harta tersebut. Perbuatan tersebut mempunyai kekhususan dikenai sanksi dosa besar.
3. Asas Ijbar14
Dalam hukum Islam, peralihan harta dari orang yang telah meninggal pada orang yang masih hidup belaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak dari yang akan menerima. Cara peralihan seperti ini di sebut secara ijbar.
Kata ijbar mengandung arti “paksaan”, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Pengertiyan wali mujbir dalam terminology fiqih munakahat mengandung arti si wali dapat mengawinkan anak gadisnya di luar kehendak anak gadisnya itu dan tanpa memerlukan persetujuan dari anak yang akan dikawinkannya itu. Begitu pula kata jabari dalam terminologi ilmu kalam mengandung arti paksaa, dengan arti semua perbuatan yang dilakukan oleh seoang hamba, bukanlah atas kehendak dari hamba tersebut, tetapi adalah sebab kehendak dan kuasa Allah SWT. Sebagaimana yang berlaku menurut aliran jabariyah.15
Diterapkannya asas Ijbar dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa bergantung kepada kehendak dari pewaris ataupun permintaan dari ahli warisnya. Unsur paksaan sesuai dangan arti terminologi tersebut telihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut hukum perdata (BW) yang peralihan harta warisan bergantung kepada kemauan pewaris serta kehendan dan kerelaan ahli waris yang akan menerima, tidak berlaku dengan sendirinya.
14 Asas Ijbar dalam Kompilasi Hukum Islam juga mengenai cara peralihan harta warisan, juga disebut dalam ketentuan umum tersebut pada Pasal 182 ayat (2) KHI
15Amir Syarifuddin, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, hlm.17
Adanya unsur ijbar dalam unsur kewarisan Islam tidak akan memberatkan orang yang akan menerima warisan, karena menurut ketentuan hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul hutang yang ditinggalkan oleh pewaris. Kewajiban hanya sekedar menolonng membayarkan hutang pewaris dengan harta yang ditinggalkannya dan tidak berkewajiban melunasi hutang itu dengan harta sendiri.
Dalam BW diberikan kemungkinan untuk tidak menerima harta kewarisan, karena menerima akan berakibat menaggung resiko untuk melunasi hutang pewaris.
Ijbar dari segi pewaris mengandung arti bahwa sebelum meninggal ia tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. Apapun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya itu dibatasi oleh ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Oleh karena itu, sebelum meninggal ia tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartnya, karena dengan kematiannya itu secara otomatis hartanya akan beralih kepada yang mewarisinya, baik ahli waris itu suka atupun tidak suka.16
Adanya asas Ijbar dalam hukum kewarisan Islam dapat terlihat dari beberapa segi, yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta yang beralih, dan dari segi penerimaan peralihan harta.
Unsur ijbar dari segi peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang meninggal itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Oleh karena itu, kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta, bukan pengalihan harta. Karena dalam peralihan berarti beralih
16Amir Syarifuddin, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, hlm.18
dengan sendirinya. Sedangakan dalam pengalihan berarti nampak usaha seseorang. Asas Ijbari dalam peralihan ini dapat dilihat dari firman Allah SWT.
Dalam surat An-Nisa’ asas Ijbari dalam peralihan ini dapat dilihat dari firman Allah SWT. Dalam surat An-Nisa’ ayat ke 7. Ayat ini menjelaskan bahwa bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada nashib dari harta peninggalan orang tua dan karib kerabat. Katanashib berarti bagian, saham, atau jatah dalam bentuk sesuatu yang diterima dari pihak lain. Dari kata nashib itu dapat dipahami bahwa dalam jumlah harta yang ditinggalkan si pewaris, disadari atau tidak telah terdapat hak bagi ahli waris. Dalam hal ini, pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu sebelum ia meninggal, begitu pula ahli waris tidak perlu meminta haknya.
Bentuk ijbar dari segi jumlah harta yang beralih berarti bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas telah ditentukandan ditetapkan oleh Allah SWT, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan dan ditetapkan itu. Setiap pihak terikat pada yang telah ditentukan dan ditetapkan.
Adanya unsur ijbar dari segi jumlah itu dapat dilihat dari kata mafrudh yang secara etimologi berarti “telah ditentukan atau telah diperhitungkan.” Kata- kata tersebut dalam terminologi ilmu fiqh berarti sesuatu yang telah diwajibakan Allah SWT. Kepada hamba-Nya. Dengan menggabungkan kedua kemungkinan pengertian itu, maka maksudnya ialah: sudah ditentukan dan ditetapkanjumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa, mengikat dan memaksa.
Bentuk ijbar dari segi penerima peralihan harta itu berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti, sehingga
tidak ada suatu kuasadan daya manusiapun yang dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak. Adanya unsurijbari dapat dipahami dari kelompok ahli waris sebagaimana disebutkan Allah SWT dalam ayat ke 11, 12, dan 176surat an-Nisa'.
4. Asas Adil Imbang17
”Adil” merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata ’adla. Di dalam al-Qur’an kata ’adla atau turunannya dikutip lebih dari 28 kali. Sebagian darinya diturunkan oleh Allah dalam bentuk kalimat perintah (thalab) dan sebagian dalam bentuk kalimat kabar (insya’). ”Adla” diungkapkan dalam konteks yang berbeda dan arah yang berbeda pula. Sehingga, juga akan memberikan pengertian yang berbeda pula sesuai dengan maksud dan tujuan dari penggunaan kata ’adla dimaksud.
Dalam hubungannya dengan hak yang berkenaan dengan materi, khususnya yang berkaitan dengan waris, kata dimaksud dapat dimaknai sebagai keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan kegunaan.
Atas dasar definisi dimaksud, terlihat dengan jelas asas keadilan dalam pembagian harta waris dalam hukum Islam. Secara mendasar dapat disebutkan bahwa perbedaan jenis kelamin tidak menentukan hak waris dalam islam. Dengan maksud wanita pun mendapatkan hak yang sama kuatnya untuk memperoleh harta pusaka sebagaimana laki-laki. Hal demikian secara jelas dikatakan dalam surat an-Nisa’ ayat ke 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan wanita dalam
17Dalam Kompilasi Hukum Islam ialah mengenai besarnya bagian yang di dalam Pasal 176–180 KHI, juga dikembangkan dalam penyelesaian perolehan yang dilakukan pada waktu penyelesaian pembagian warisan melalui pemecahan secara Aul (Pasal 192 KHI), Rad (Pasal 193 KHI), Takharuj atau Tashaluh atau Damai (Pasal 183 KHI). Termasuk soal ahli waris pengganti (Pasal 185 KHI)
hak sama memperoleh harta pusaka. Sementara itu, dalam ayat ke 11, 12, dan 176 surat an-Nisa’ diungkapkan kesamaan kekuatan hak menerima harta waris antara anak laki-laki dan anak wanita, ayah dan ibu, suami dan isteri, saudara laki-laki dan saudara wanita.
Berkaitan kadar jumlah bagian yang diperoleh oleh laki-laki maupun wanita terdapat dua bentuk. Kesatu, laki-laki memperoleh jumlah yang sama banyaknya dengan wanita, seperti ibu dan ayah yang sama memperoleh seperenam (1/6) dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung, begitu juga saudara laki-laki dengan saudara wanita seibu yang sama memperoleh seperenam (1/6) dalam kasus pewaris seorang kalalah sebagaimana yang termuat dalam ayat ke 12 surat an-Nisa’. Kedua, laki-laki memdapatkan bagian dua kali lipat dari yang diperoleh oleh wanita dalam kasus yang sama, yaitu anak laki-laki dengan anak wanita dalam surat an-Nisa’ ayatke 11 dan saudara laki-laki dengan saudara wanita sekandung dan yang seayah dalam ayat ke 176 surat an-Nisa’. Dalam kasus yang lain, duda memperoleh dua kali lipat dari yang diperoleh janda, yaitu seperempat (1/4) banding seperdelapan (1/8) jika pewaris meninggalkan anak, dan setengah (1/2) banding seperempat (1/4) bila pewaris tak meninggalkan anak sebagaimana Allah firmankan dalam ayat ke 12 surat an-Nisa’.
Ditinjau dari segi kadar bagian yang diperoleh saat menerima harta pusaka, memang terdapat ketidak samaan. Namun, hal demikian bukan berarti tidak imbang dan adil, sebab keadilan dalam agama tidak diukur dengan kadar jumlah yang diperoleh saat menerima harta pusaka, melainkan juga dihubungkan pada kebutuhan dan kegunaan.
Secara umum, boleh dikatakan laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibanding wanita. Hal itu karena laki-laki memikul kewajiban dan beban ganda, yaitu selain untuk dirinya sendiri juga terhadap keluarganya, termasuk di dalamnya adalah wanita, semisal ibunya, istrinya dan lain sebagainya. Sehingga apabila kadar jumlah bagian yang diperoleh dikaitkan dengan kewajiban dan tanggungjawab seperti yang telah dimaksudkan di atas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang akan dirasakan laki-laki sama dengan apa yang dirasakan oleh wanita. Meskipun pada mulanya laki-laki memperoleh dua kali lebih banyak dari bagian yang diperoleh wanita, namun sebagian yang didapat akan diberikannya kepada wanita dalam statusnya sebagai pembimbing yang bertanggungjawab. Inilah keadilan dalam konsep ajaran Islam.
Meskipun kerabat garis ke atas, yaitu orang tua dan kerabat garis ke bawah, yaitu anak-anak sama berhak atas harta pusaka dalam kasus yang sama, bahkan dalam ayat ke 11 surat an-Nisa’ dinyatakan bahwa keduanya memiliki kedudukan sama, akan tetapi terdapat perbedaan dalam kadar jumlah waris yang diperolehnya. Anak memperoleh bagian rata-rata lebih banyak dibandingkan dengan bagian yang diperoleh orang tua. Adanya perbedaan ini dapat ditelaah dan dikaji dari aspek hakkewajiban dan tanggungjawab, maka tanggungjawab orang tua terhadap anak lebih besar daripada tanggungjawab anak terhadap orang tua.
Hak waris yang didapat oleh yang mewarisi pada hakikatnya merupakan kontinuitas tanggungjawab pewaris terhadap keluarganya dan/atau yang mewarisi, sehingga kadar jumlah bagian yang didapat ahli waris berimbang
dengan ketidaksamaan tanggungjawab seseorang (yang kemudian menjadi pewaris) terhadap keluarga (yang kemudian menjadi yang mewarisi).
Bagi seorang laki-laki tanggungjawab utamanya adalah istri dan anak- anaknya. Yang demikian adalah beban dan kewajiban agama yang harus dipikul dan ditanggungnya .
5. Asas Bilateral18
Membicarakan asas ini, berarti membicarakan tentang kemana arah peralihan harta itu dikalangan ahli waris. Asas Bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan melalui 2 arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima kewarisan dari kedua belah pihak garis kekerabatan, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
Asas Bilateral ini dapat secara nyata dilihat dalam firman Allah dalamsurat An-Nisa’ayat ke 7, 11, 12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari piahak ayahnya dan juga dari pihak ibunya. Ayat ini merupakan dasar dari kewarisan bilateral itu. Secara terperinci, asas Bilateral itu dapat dipahami dalam ayat-ayat selanjutnya.
Dalam ayat 11 dijelaskan:
a. anak wanita berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya sebagaiman yang didapat oleh anak laki-laki dengan perbandingan seorang anak laki- laki menerima sebayak yang didapat oleh dua orang anak wanita.
18Dapat dibaca dalam Kompilasi Hukum Islam pada pengelompokan ahli waris seperti tercantum dalam Pasal 174 (ayat 1) yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek (golongan laki-laki) serta ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek (golongan perempaun) menurut hubungan darah
b. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun wanita.
Begitu juga ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun wanita.
Dalam ayat 12 dijabarkan:
a. Bila pewaris adalah seorang anak laki-laki yang tidak mempunyai yang mewarisi langsung (anak atau ayah), maka saudara laki-laki dan wanita berhak mendapatkan bagian dari harta pusaka.
b. Bila pewaris adalah seorang anak wanita yang tidak mempunyai yang mewarisi langsung (anak atau ayah), maka saudara laki-laki dan wanitaberhak mendapatkan bagian dari harta pusaka.
Dalam ayat 176 diungkapkan:
a. Seorang laki-laki yang tidak memiliki keturunan (ke atas – ke bawah), sedang ia memiliki saudara laki-laki maupun saudara wanita, maka saudara- saudaranya berhak mendapatkan harta peninggalannya.
b. Seorang wanita yang tidak memiliki keturunan (ke atas – ke bawah), sedang ia memiliki saudara laki-laki maupun saudara wanita, maka saudara- saudaranya berhak mendapatkan harta peninggalannya.
Berlandaskan tiga ayat yang telah dikemukakan di atas, terlihat secara benderang bahwa kewarisan itu beralih ke bawah, ke atas, ke samping dari kedua belah pihak garis keluarga, yaitu laki-laki dan wanita yang mewarisi dari kedua garis keluarga, yaitu dari garis laki-laki dan dari garis wanita. Inilah yang disebut kewarisan secara bilateral.
Demikian asas-asas hukum kewarisan Islam yang menunjukkan karakteristik dari kewarisan dalam hukum Islam. Dari asas-asas dimaksud dapat ditarik perbedaan antara sistem kewarisan hukum Islam dengan sistem kewarisan hukum lain, sekalipun terlihat dan terdapat titik-titik kesamaan.
C. Pengelompokan Yang Mewarisi
Berdasarkan jenis kelamin para ahli waris, maka ahli waris di dalam hukum waris Islam di bagi ke dalam dua kelompok, yaitu:
1. Ahli waris lelaki, berjumlah sepuluh (10) orang dengan rincian: 1. anak lelaki
(ﻦﺑإ)
2. cucu lelaki dari anak lelaki, kebawah(ﻞﻔﺳ نإ و ﻦﺑﻹا ﻦﺑإ)
3. ayah(بأ)
4.kakek, ke atas
(ﻼﻋ نإ و ﺪﺟ)
5. saudara lelaki(خأ)
6. keponakan lelaki dari saudara lelaki, dan seterusnya(ﻰﺧاﺮﺗ نإ و خﻷا ﻦﺑإ)
7. paman lelaki(ﻢﻋ)
8. sepupulelaki dari paman lelaki, dan seterusnya
(ﺪﻋﺎﺒﺗ نإ و ﻢﻌﻟا ﻦﺑإ)
9. duda(جوز)
10. tuanlelaki yang memerdekakan
( ﻖﺘﻌﻣ ﻰﻟﻮﻣ )
2. Ahli waris wanita, berjumlah tujuh (7) orang dengan rincian: 1. anak wanita
(ﺖﻨﺑ)
2. anak wanita dari anak lelaki(ﻦﺑﻹا ﺖﻨﺑ)
3. ibu(ـﻣأ)
4. nenek( ةﺪ ﺟ)
5.saudara wanita
(ﺖﺧأ)
6. janda( ﺔﺟوز )
7. tuan wanita yang memerdekakanةﻻﻮﻣ ) ﺔﻘﺘﻌﻣ
(
D. Penggolongan Yang Mewarisi
Berdasarkan besarnya hak yang akan diterima oleh para ahli waris, maka ahli waris di dalam hukum waris Islam di bagi ke dalam tiga golongan, yaitu:
1. Ashhabul Furudh, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya ditentukan dan ditetapkan serta tidak berubah-ubah,19 yaitu ; 2/3,1/2,1/3,1/4,1/6,atau 1/8, dan berjumlah 12 orang dengan rincian: 1. anak wanita
(ﺖﻨﺑ)
2. anak wanitadari anak lelaki
(ﻦﺑﻹا ﺖﻨﺑ)
3. ayah(بأ)
4. ibu(ـﻣأ)
5. kakek dari ayahبأ / ﺪﺟ) (بﻷا
6. nenek dari ayah dan/atau dari ibu(ـﻣﻷا ـﻣأ – بﻷا ـﻣأ / ةﺪﺟ)
7. saudarawanita seayah dan seibu
(ﺔﻘﻴﻘﺷ ﺖﺧأ)
8. saudara wanita seayah(بﻷ ﺖﺧأ)
9.saudara lelaki seibu
(ـﻣﻷ خأ)
10. saudara wanita seibu(ـﻣﻷ ﺖﺧأ)
11. duda(جوز)
12. janda
(ﺔﺟوز)
.202. Ashabah, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tidak tertentu dan tertetap, melainkan mendapatkan ashabah (sisa) dari ashhabul furudh atau mendapatkan semuanya jika tidak ada ashhabul furudh.21 Adapun orang- orangnya yang berjumlah 12 orang sebagai berikut: 1. anak lelaki
(ﻦﺑإ)
2. cuculelaki dari anak lelaki dan terus kebawah
(ﻞﻔﺳ نإ و ﻦﺑﻹا ﻦﺑإ)
3. ayah(بأ)
4.kakek dari ayah dan terus ke atas
(ﻼﻋ نإ و بﻷا بأ / ﺪﺟ)
5. saudara lelaki19Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung. hlm.17
20Ibid., hlm.18
21Otje Salman S – Mustofa Haffas, 2002, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, hlm.51
sekandung
(ﻖﻴﻘﺷ خأ)
6. saudara lelaki seayah(بﻷ خأ)
7. anak saudara lelaki sekandung(ﻖﻴﻘﺸﻟا خﻷا ﻦﺑإ)
8. anak saudara lelaki seayah(بﻷ خﻷا ﻦﺑإ)
9. pamandari ayah sekandung
(ﻖﻴﻘﺷ ﻢﻋ)
10. paman dari ayah seayah(بﻷ ﻢﻋ)
11. anaklelaki paman dari ayah sekandung
(ﻖﻴﻘﺸﻟا ﻢﻌﻟا ﻦﺑإ)
12. anak lelaki paman dariayah seayah
(بﻷ ﻢﻌﻟا ﻦﺑإ)
. Dan semuanya disebut Ashabah Binnafsi.223. Dzawil Arham, yaitu kerabat selain golongan kesatu dan kedua.23 Atau orang yang mempunya pertalian darah dengan pewaris melalui jalur wanita saja.24 Dan jumlahnya sebanyak 10 orang, yaitu: 1. cucu lelaki/wanita dari anak wanita
( ﻰﺜﻧأ وأ اﺮﻛذ ﺖﻨﺒ ﻟا ﺪﻟو )
2. keponakan lelaki/wanita dari saudara wanita, danke bawah
( ﻞﻔﺳ نإ و ﻰﺜﻧأ وأ اﺮﻛذ ﺖﺧﻷا ﺪﻟو )
3. keponakan wanita dari saudara lelakiﺖﻨﺑ) خﻷا
(
4. keponakan lelaki/wanita dari saudara lelaki seibuوأ اﺮﻛذ مﻷ خﻷا ﺪﻟو ) ﻰﺜﻧأ
(
5. kakek dari ibu( مﻷا بأ )
6. sepupu wanita dari paman sekandung dari ayah/dari paman seayah dari ayah( بﻷ وأ ﺎﻘﻴﻘﺷ ﻢﻌﻟا ﺖﻨﺑ)
7. paman wanita dari22Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung, hlm.19
23Eman Suparman, 1990, Intisari Hukum Waris Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.16
24Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung, hlm.17
ayah
( بﻷا ﺖﺧأ)ﺔﻤﻋ )
8. paman seibu dari ayah( مﻷ بﻷا خأ)مﻷ ﻢﻋ )
9. paman dariibu
( مﻷا خأ)لﺎﺧ )
10. paman wanita dari ibu( مﻷا ﺖﺧأ)ﺔﻟﺎﺧ )
.25Sajuti Thalib dalam bukunya menguraikan mengenai dzawil arham, diantaranya cucu dari anak wanita dan anggota keluarga yang penghubungnya kepada keluarga itu seorang wanita. Menurutnya, akan mewaris apabila sudah tak ditemukan lagi golongan ashhabul furudh dan golongan ashabah.26
Beberapa ahli waris yang termasuk golongan ashhabul furudh memiliki kedudukan rangkap sebagai ashabah.
1. Ashhabul Furudh
Para pakar faraidh memecah ashhabul furudh ke dalam dua macam, yaitu Ashhabul Furudh Bissababiyyah dan Ashhabul Furudh Binnasabiyyah.
Ashhabul Furudh Bissababiyyah adalah golongan ahli waris sebagai akibat adanya ikatan pekawinan dengan si pewaris. Golongan ahli waris ini adalah janda/duda.
Ashhabul Furudh Binnasabiyyah adalah golongan ahli waris sebagai akibat adanya hubungan darah dengan si pewaris , termasuk ke dalam golongan ini adalah:
a. Leluhur wanita; ibu dan nenek.
b. Leluhur lelaki; ayah dan kakek.
c. Keturunan wanita; anak wanita dan cucu wanita pancar lelaki.
25Abd. Wahid Hudzaifah, 2002, al-Faraidh fi Ilmi al-Mirats, Perc. Mif-Ul, Bettet, Pamekasan, hlm.16
26Ibid., hlm.20
d. Saudara seibu; saudara wanita seibu dan saudara lelaki seibu.
e. Saudara sekandung/seayah; saudara wanita sekandung dan/atau seayah.27 2. Ashabah
Para pakar faraidh membedakan dan membagi ashabah ke dalam tiga macam, yaitu Ashabah Binnafsi, Ashabah Bil Ghair, dan Ashabah Ma’al Ghair.28
Ashabah Binnafsi adalah kerabat lelaki yang dipertalikan dengan si pewaris tanpa diselingi oleh orang wanita, yaitu:
a. Leluhur lelaki; ayah dan kakek.
b. Keturunan lelaki; anak lelaki dan cucu lelaki.
c. Saudara sekandung/seayah; saudara lelaki sekandung/seayah.29
Ashabah Bil Ghair adalah kerabat wanita yang disebabkan orang lain menjadi ashabah dan kemudian bersam-sama menerima ushubah, yaitu:
a. Cucu wanita yang mewaris bersama cucu lelaki.30 b. Anak wanita yang mewaris bersama dengan anak lelaki.
c. Sudara wanita sekandung/seayah yang mewaris bersama dengan saudara lelaki sekandung/seayah.
Ashabah Ma’al Ghair adalah saudara wanita yang mewaris bersama anak wanita atau cucu wanita dari si pewaris dan tidak berserikat dalam hal menerima dan memperoleh bagian ushubah, yaitu suadara wanita sekandung dan seayah.31 3. Dzawil Arham
27Otje Salman S – Mustofa Haffas, 2002, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, hlm.52
28Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung. hlm.19
29Otje Salman S – Mustofa Haffas, 2002, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, hlm.52
30Otje Salman S – Mustofa Haffas, 2002, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung, hlm.53
31Ibid., dan Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung. hlm.19
Dzawil Arham adalah golongan kerabat yang tidak termasuk golongan ashhabul furudhdan ashabah. Kerabat golongan ini baru mewaris jika tidak ada kerabat yang termasuk kedua golongan dimaksud diatas. Atau disiratkan oleh Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H., Dzawil Arham adalah orang yang memiliki ikatan darah dengan si pewaris melalui pihak perempuan saja.32
E. Pencegah Kewarisan
Rintangan untuk menerima dan memperoleh warisan adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya dan hilangnya hak ahli waris dari mendapatkan harta peninggalan si pewaris.
Adapun rintangan tersebut adalah:
1. Pembunuhan33
Mayoritas ulama telah sepakat untuk menetapkan bahwa pembunuhan itu pada perinsipnya menjadi perintang untuk menerima dan memperoleh warisan bagi si pembunuh terhadap harta yang ditinggalkan oleh orang yang telah dibunuhnya. Dasar hukum terintangnya mewarisi karena pembunuhan adalah sabda Rasulullah SAW.: “Pembunuh tidak boleh mewarisi.”34 “Tidak ada hak bagi pembunuh sedikit pun untuk mewarisi.” (HR. an-Nasa’i). “Barang siapa membunuh seseorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya. (Begitu juga) walaupun korban itu
32Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung. hlm.19
33 Yaitu, ahli waris pembunuh pewaris, tak berhak memperoleh warisan dari keluarga yang dibunuhnya. (Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung. hlm.23)
34Amir Syarifuddin, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, hlm.195
adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan.” (HR. Ahmad).
Meskipun begitu, para ulama masih berselisih pendapat tentang jenis pembunuhan yang bagaimana yang dapat merintangi seseorang untuk menerima dan memperoleh warisan.
Ulama kalangan asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa tindak pembunuhan dalam bentuk apapun menjadi penghalang hak waris.
Ulama kalangan Hanabilah berpendapat bahwa tindak pembunuhan dalam bentuk apapun yang tidak dengan hak menjadi penghalang hak waris.
Menurut kalangan ulama Malikiyah, tindak kejahatan pembunuhan yang disengaja menjadi penghalang hak waris.
Menurut kalangan ulama Hanafiyah, tindak kejahatan pembunuhan yang disengaja dan karenanya dikenai sanksi qishash menjadi penghalang hak waris.35
Pembunuhan bersanksi qishash adalah pembunuhan yang disengaja yang didefinisikan dengan kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang lain dengan alat yang dapat menghancurkan anggota badan seperti senjata tajam dan lainnya.36
2. Beda Agama37
Yang dimaksud dengan beda agama adalah berlainan agama yang menjadi kepecayaan antara orang yang mewarisi dan orang yang mewariskan;
artinya seorang muslim tidak diperbolehkan mewarisi harta peninggalan pewaris nonmuslim dan nonmuslim tidak diperbolehkan mewarisi harta peninggalan
35Ibid., hlm.197
36Ibid., hlm.196
37Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung. hlm.23-24