• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.8. Penggunaan Busana Muslim yang Trendi & Mahal Pada

Menggunakan busana muslim yang trendi dan mahal, menurut para informan memiliki prestise tersendiri untuk pemakainnya. Hal ini tak lepas dari harga yang tentunya relatif tinggi yang kemudian turut meningkatkan kepercayaan diri para informan. Menkonsumsi busana muslim yang trendi dan mahal dapat dipandang sebagai proses menggunakan tanda-tanda yang terkandung di dalam objek-objek oleh para wanita berbusana muslim dalam rangka menandai relasi- relasi sosial. Objek (busana muslim dan aksesorisnya) di sini dapat menentukan

status, prestise, simbol-simbol sosial tertentu bagi para pemakainya, (Baudrillard, Jean P, Terjemahan Wahyunto, 2009) Seperti jawaban para informan seperti berikut :

“Ada, gimanapun yang mahal bahannya pasti bagus, modelnya juga oke. Itu juga secara nggak langsung kan menaikkan harga diri kita di depan kelompok ya, Jadi ya pasti ada lah kebanggaan tersendiri.” (Informan EDL)

“Ya pastilah ya, orang kan tau ya ini baju mahal apa enggak. Kalau yang tahu kan pasti tahu lah, ya pasti bangga ya. Pakai baju modis dan mahal itu ada kepuasan tersendiri lah, hehe.” (Informan CC) “Ada. Karena pas dengan keinginan tante. Kalau kita pakai baju bagus pas kacaan cantik tante seneng ,

happy gitu, hehe.” (Informan FTN)

“Yaiya dong, jadi makin pede kalau pakai baju yang modis trus mahal lagi. kan keliatan ya, baju yang mahal sama yang beli di pajak-pajak (pasar), hehe.” (Informan SL)

“Ia dong. Kalau baju modis dan mahal itu kan pasti dari segi bahan dan model lebih bagus daripada yang dipasaran. Kita yang makai pun jadi pd. Ya walaupun kadang-kadang gara-gara baju tante jadi suka berantem sama suami sih, hehe. Tapi Cuma bentar aja sih, entar juga baik lagi.” (Informan ADR) “Pastinya lah. Karena pada dasarnya setiap perempuankan selalu pingin tampil cantik ya, pasti lah bangga.” (Informan YNT)

“Ada, Apalagi kalau orang tau ya, hehe. Sebenernya sih bukan sombong atau apa ya mbak, tapi kalau pakai baju mahal trus modis gitu rasanya pengen jalaaaan aja, hehe.” (Informan SA)

Selain alasan harga diri, ada juga alasan lain yaitu sebagai sarana penyaluran hobi yang diyakini informan MW dapat turut mengobati segala penyakit, seperti berikut :

“Ooo, jelas. Itukan apa ya ga, jadi sarana menyalurkan hobi juga ya. Kebetulan, mbak juga suka make up, jadi kalau bajunya udah cantik trus mukanya cantik rasanya seneng banget, hehe. Pakai baju modis juga bisa ngobatik stroke lo ga, hehe. Karena kalo hati senang pikiran tenang, penyakit juga akan hilang.” (Informan MW)

Kepuasan diri dan kepercayaan diri bagi informan bukan hanya semata-mata faktor psikologis semata tapi lebih kepada faktor sosiologis dalam mengekspresikanya melalui pakaian yang trendi dan mahal. Bahwa para informan sangat bangga menggunakan busana muslim yang mahal secara sosiologis mereka ingin menunjukkan kelas ekonomi mereka. Tindakan konsumtif para informan juga berkaitan dengan keinginan diakui sebagai orang yang mapan. Konsumtif bagi para informan tak sekedar nilai mata uang secara fisik, namun lebih kepada kepuasan hasrat memiliki sesuatu. Pada akhirnya bertujuan secara sosiologis menjadi anggota dari kelompok dominan.

4.9. Gaya Hidup Konsumtif Para Informan dan Kepentingan Industri Fashion

Gaya hidup konsumtif wanita berbusana muslim saat ini sangat masif terjadi di kota-kota besar di Indonesia, salah satunya adalah Medan. Dari hasil penelitian didapat fakta bahwa para informan yang berjumlah 8 orang (100%) mengakui bahwa mereka adalah orang yang konsumtif. Seperti pernyataan informan berikut ini :

“haha, ia tante konsumtif banget. Tante kalau udah urusan fashion, turun sendiri tante. Mulai dari pilih bahan sampai detail ornamennya. Risikonya ya kalau lihat barang bagus, dibeli semua hehe. Tapi

itulah baiknya si om, gitupun tante, nggak pernah marah si om, hehe. Memang om itu lelaki tersabar di dunia, hehe.” (Informan EDL)

“hehe, kalau tante kayaknya ia ya. Habis gimana ya, kalau mau cantik ya ada harganya. Kayak mau pakek baju kan harus cocok antara jilbab, baju, sama aksesori. Nah, kalau mau yang bagus ya pasti mahal kan. Emang sih mungkin kalau beli satuan nggak mahal tapi kalau ditotal-total jadinya mahal kan? Hehe.” (Informan FTN)

“Oia, tante itu suka lapar mata ya. Kalau lihat yang lucu-lucu di mal rasanya pengen dibeli semua, hehe. Baju tante yang dari Labiba aja masih banyak yang harganya masih nggantung belum pernah dipakai, hehe. Sampai lemari itu udah nggak muat lagi. Baju- baju tante udah tante gantungin aja di gudang. Jadi gudang isinya bukan apa-apa tapi baju tante. Hehe” (Informan YNT)

Meski mengetahui tindakan konsumtif dalam hal ini penggunaan busana muslim yang dilatarbelakangi perintah agama sangat bertolak belakang dengan ajaran itu sendiri, para informan tidak mempermasalahkan hal tersebut. Mereka tak menampik bahwa tindakan konsumtif bukanlah sesuatu yang bijak namun keinginan memiliki sesuatu (busana muslim yang trendi) menjadikan budaya konsumtif suatu hal yang biasa. Untuk itupun tak jarang mereka harus “kucing- kucingan” dengan sang suami seperti 2 informan berikut ini :

“Suami kadang komplain kalau tante borong baju. Kata suami,”Kapan bisa nabung kalau belanja terus?”. Tapi tante tetep beli aja daripada kepikiran terus di rumah, takut diambil orang. Sampai tempatnya udah nggak muat, baju-baju tante udah tante gantungin aja di gudang, gudang udah disulap jadi lemari karena nggak ada tempat lagi, hehhe.” (Informan ADR)

“Tante suka malu kalau lagi borong gitu, sama om. Suka nggak berasa kalau udah jalan semua dibeli. Kalau udah gitu, biasanya tante taruk dulu di mobil.

Misalnya tante pulang malem, trus tante taruk dulu belanjaan di mobil, tante ambil besoknya kalau om sudah berangkat praktek, kan mobilnya beda, hehe. Kalau udah gitu, pernah dulu pas tante belanja si om nggak pergi-pergi, sampai tante tanya “Nggak praktek pa?”, habisnya tante udah nggak sabar, hehe.” (Informan CC)

Merujuk dari hasil penelitian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa fenomena ini dapat terjadi dikarenakan peran 2 pihak, yang pertama peran pelaku usaha di bidang fashion muslim (pemilik butik) dan juga konsumen itu sendiri. Untuk memperkuat data Peneliti mencoba membandingkan 2 kultur yang berbeda yaitu di Jawa Tengah (Yogja dan Solo) dengan kultur di Sumatera khususnya di Kota Medan. Di Yogja maupun Solo juga memiliki desainer-desainer yang berkualitas baik, namun dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti gaya berbusananya sangat berbeda. Kultur di Jawa cenderung lebih kalem, sehingga penggunaan busana muslim cenderung lebih sederhana dibanding dengan gaya berbusana di Kota Medan. Di sini peneliti ingin menyatakan bahwa peran pelaku usaha fashion muslim dalam membentuk citra busana muslim yang mewah adalah sesuatu yang trendi tidak akan berjalan lancar jika tidak memiliki pasar yang dituju. Sebagai contoh dalam melakukan penelitian sebagai pembanding, peneliti sempat mengamati gaya berbusana (pesta ataupun pengajian di Kota Solo dan Kota Medan).

Peneliti saat itu berkunjung di salah satu pesta direktur rumah sakit ternama di Kota Solo yang diadakan di salah satu hotel berbintang di kota tersebut. Busana (muslim) yang dikenakan para wanita berbusana muslim di acara tersebut cenderung lebih sederhana. Hal lain terjadi juga pada saat peneliti memjahit baju pada desainer yang cukup ternama yang sering mengadakan fashion show di acara

Jogja Fashion Week. Saat itu peneliti menyerakan model dan warnanya kepada desainer tersebut karena merasa percaya dengan kemampuan sang desainer, namun ternyata hasilnya di luar dugaan. Peneliti yang biasa mendatangi pesta di Kota Medan yang identik dengan busana yang mewah dan “bling-bling” merasa kurang puas. Hal ini dikarenakan warna yang soft dan model yang biasa, namun menurut sang desainer busana tersebut sudah sangat mewah jika digunakan di Kota tersebut. Hal berbeda dialami peneliti, ketika melakukan penelitian baik di butik Labiba maupun pada saat wawancara dengan para informan, peneliti mendapatkan fakta bahwa para kultur di Kota Medan berkebalikan dengan kulkur di Jawa. Para wanita berbusana muslim di Kota Medan lebih berani mengekspresikan diri melalui citra busana yang digunakan. Selain itu pemilihan warna dan aksesoris juga lebih berani ditonjolkan oleh para wanita berbusana muslim.

Hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan pemilik butik Labiba seperti berikut :

“Saya sendiri membuka butik dengan segmen menengah ke atas itu bukan tanpa alasan. Awalnya saya yang berlatarbelakang orang Jawa, sempat kaget dengan gaya berbusana terutama pada saat pesta orang-orang Medan. Kemudian saya berfikir, ini dapat dijadikan peluang bisnis. Kalau di Medan ini ibu-ibu yang menengah ke atas nggak mau kalau nggak mewah gitu, malah kadang bisa dia lebih all

out daripada pengantinnya, hehe. Sebenarnya nggak

hanya di Medan ya, yang nggak kalah itu Aceh, sekali turun (datang ke Medan) mereka bisa belanja gila-gilaan. Malah ada pelanggan yang request bahannya sutra dengan payet (biasanya custom) yang tentunya harganya lebih mahal. Berbeda kalau yang belanja orang Jawa (domisili di Jawa). Dulu sewaktu butik masih di Gajah Mada (Wong Solo Jalan Gajah Mada Medan), ada tamu dari Semarang yang melihat butik dan suka sama baju kombinasi

batik sutra dengan harga kurang lebih Rp 1.500.000. Saya ingat sekali beliau berfikir dua kali untuk membeli baju itu karena harganya cukup mahal. Selain itu alasan lain yang dikatakan, “Mau dipakek kemana bajunya?”. Tapi karena suka akhirnya beli juga. Disini perbedaan orang Jawa sama orang Medan. Kalau di Medan dari tamu-tamu (Labiba) yang sudah-sudah ya, mereka gampang saja mengeluarkan uang untuk beli baju pesta. Sejauh ini sih kalau kualitas baju nggak ada yang komplain, paling harga, tapi setelah dijelaskan kualitasnya mereka umumnya memakluminya. Makanya, saya menyesuaikan ya. Orang Medan ini nggak bisa disamakan dengan yang lain. Baju harus ngejreng harus heboh, kita desain sesuai permintaan. Selain itu kita selalu perbaruhi jadi kalau tamu datang selalu ada yang menarik perhatian (diproduksi terus).

Disini peneliti ingin menyampaikan bahwa benar adanya gaya hidup konsumtif memang ada unsur dibuat oleh para pelaku usaha di bidang fashion muslim (pemilik butik) seperti pernyataan DS selaku pemilik butik Labiba dimana penelitian ini dilakukan. (Pernyataan diajukan pada saat bertanya tentang tanggapan DS terhadap pengajian atau kelompok agama yang menggunakan

dresscode ), “Buat kita sih positif ya, kalau bisa setiap pertemuan selalu menggunakan dresscode, hehe

Selain itu, ada pula tanggapan DS yang menguatkan kesan bahwa para pemilik butik mempunyai cara untuk selalu menarik perhatian pelanggan seperti berikut:

“Kalau untuk barang baru biasa 3-4 bulan, tapi kita punya trik sendiri. Setiap barang baru kita simpan dulu, dikeluarinnya satu-satu. Karena kan tamu tu pasti nanya “Ada barang baru?”. Kadang walaupun masih baru tapi udah pernah dilihat, mereka bilangnya barang lama. Untuk baju stok lebaran juga gitu, kadang kita udah siapin beberapa bulan

sebelumnya bisa 6 bulan sebelumnya, tapi dikeluarinnya pas mau lebaran. Tapi kalau banyak barang baru yang lama kita keluarin juga.”

Dari pernyataan DS diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilik butik cenderung memancing pelanggan dengan barang yang selalu baru setiap bulan. Dengan harapan sang pelanggan akan tertarik. Hal ini ternyata cukup sukses, diakui DS banyak pelanggan yang tadinya hanya berniat melihat-lihat akhirnya tertarik membeli baju, jilbab, atau sekedar aksesoris. Hal inilah yang diasumsikan peneliti sebagai salah satu faktor pendorong tingginya gaya hidup konsumtif para wanita berbusana muslim. Meski demikian, hal tersebut tidak akan berhasil jika tidak dibarengi dengan kultur masyarakat dimana butik itu berada.

Disini peran media juga sangat berkontribusi dalam menggiring persepsi masyarakat akan gaya busana muslim yang trendi yang tak hanya sebatas cara berpakaian semata, namun meliputi cara menggunakan jilbab seperti artis idola yang banyak disiarkan di televisi, majalah, ataupun youtube. Yang pada akhirnya membuka peluang usaha lainnya yaitu, pemasangan jilbab kreasi. Jasa layanan ini biasanya ramai dikunjungi pelangga saat acara-acara tertentu, seperti acara pernikaha, wisuda, ataupun pengajian. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan tambahan berikut ini :

Kalau permintaan kreasi jilbab sekarang ini alhamdulillah ya mbak (ramai), ada yang buat kawinan, pesta, wisuda, sampai pengajian juga ada mbak , biasanya kalau pengajian itu ibu-ibu yang inilah (highclass). Dalam sebulan kurang lebih bisa nanganin sampai 50 orangan. Harganya standart ya mbak, dari Rp 50.000 (ditempat) sampai Rp 70.000 (datang ke rumah). Kalau mau make up juga bisa, harganya Rp 200.000 itu udah komplit pakai wardah. Kalau buat inspirasinya selain memang sudah ada SOP dari pusat biasanya kresi sendiri ya

mbak, liat youtube sama majalah. Satu lagi, biasanya dari BBM ibu-ibu itu. lihat temennya bagus trus minta dibuat kayak gitu.

4.10. Gaya Hidup Konsumtif Dalam Fashion dari Perspektif Habitus Pierre