• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGENAAN PPH FINAL PENGALIHAN HAK ATAS

A. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan

6. Penghitungan BPHTB

Formula menghitung BPHTB adalah: BPHTB = Tarif x NPOP – NPOPTKP

= Tarif x NPOPKP

NPOP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak, yang menjadi dasar pengenaan BPHTB.

Pada dasarnya ada 3 jenis nilai (harga) yang menjadi NJOP, yaitu nilai pasar, harga transaksi, dan harga transaksi risalah lelang. Bila nilai pasar atau harga transaksi yang menjadi NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.

NPOPTKP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidaj Kena Pajak yang merupakan jumlah tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak. Ketentuan NPOPTKP diatur dalm ketentuan Pasal 87 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), yang berbunyi :

(4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

(5) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Tarif adalah aturan pungutan, dalam pungutan BPHTB tarif digunakan adalah tarif proporsional. Ketentuan Pasal 88 ayat (1) Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) menentukan tarif BPHTB maksimal sebesar 5% (lima persen), menurut ketentuan Pasal 88 ayat (2) terhadap tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tarif Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah 5% (lima persen) secara flat artinya berapapun nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan tetap dikenakan maksimal 5% (lima persen).

Tarif pajak dibagi dalam enam jenis yaitu: a. Tarif Tetap

Tarif yang berupa jumlah atau besarnya tetap untuk berapapun besarnya DPP. Contoh: BM = Rp. 3.000,- untuk pembayaran dengan cek atau giro bilyet dalam jumlah berapapun.

b. Tarif Proporsional (Sebanding).

Tarif berupa % tertentu yang sifatnya tetap terhadap berapapun besarnya DPP. Contoh: PPn = 10% x DPP.

c. Tarif Progresif (Meningkat).

Tarif berupa % tertentu yang semakin meningkat dengan meningkatnya DPP. Contoh: PPh OP = 5% x sampai dengan Rp.

50 juta, 15% x Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 250 juta, 25% x di atas Rp.250 juta sampai dengan Rp. 500 juta, 30% di atas Rp. 500 juta.

d. Tarif Degresif (Menurun).

Traif berupa % tertentu yang semakin menurun dengan menurunnya DPP, kebalikan tarif PPh OP.

e. TarifAdvalorum.

Tarif dengan % tertentu yag dikenakan pada harga atau niali suatu barang. Contoh: Barang impor 1.000 unit @ Rp. 100, Bea Masuk = 10% x 1.000 x Rp. 100.

f. Tarif Spesifik.

Tarif dengan jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu. Contoh: impor 1.000 unit, Tarif Rp. 100 per unit, Bea Masuk = 1.000 x Rp. 100.

Secara umum, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) (Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Terdapat 3 jenis NJOP yang dijadika Dasar Pengenaan Pajak: a. Nilai Pasar, pada transaksi perolehan berupa:

1) Tukar-menukar, 2) Hibah,

3) Hibah Wasiat, 4) Waris,

5) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, 6) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,

7) Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap,

8) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak,

9) Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak, 10) Penggabungan usaha,

11) Peleburan usaha, 12) Pemekaran usaha, 13) Hadiah.

b.Harga Transaksi, pada transaksi perolehan berupa Jual Beli. c. Harga Transaksi Risalah Lelang, pada transaksi perolehan berupa

penunjukan pembeli dalam lelang.

Apabila Nilai Pasar (NP) atau Harga Transaksi (HT) yang menjadi NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP PBB, maka Dasar Pengenaan Pajak yang dipakai adalah NJOP PBB (Pasal 87 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan regional dengan ketentuan:

a. Paling rendah sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak (Pasal 87 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).

b. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurussatu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) (Pasal 87 ayat (5) Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).

Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak diatur lebih lanjut Peraturan Daerah. Sebagai ilustrasi/gambaran, Pemerintah Daerah Kota Medan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (7) dan ayat (8) Perda Nomor 1 Tahun 2011 ditetapkan besarnya NPOPTKP adalah sebagai Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak, dan besarnya NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat

ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Tata cara pemungutan pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menganut sistemSelf AssesmentdanOfficial Assesment,sebagaimana ternyata dalam Pasal 96 ayat (2) yang mengatur bahwa setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh wajib pajak berdasrakan peraturan perundang- undangan perpajakan. Lebih lanjut sistem Official Assesmentpemungutan pajak ini tampak dalam ketentuan Pasal 96 ayat (3) jo. ayat (4) yang mengatur bahwa Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lain yang dipersamakan berupa karcis dan nota perhitungan. Sedangkan sistem Self Assesment

tampak dalam ketentuan Pasal 96 ayat (5) yang mengatur bahwa Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), dan/atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT).

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pajak yang dapat dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan lainnya berkaitan dengan pemungutan Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 98 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Kemudian sebagai peraturan pelaksanaan diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentan Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, dimana dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) diatur bahwa pemungutan pajak terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak merupakan pembayaran pajak terutang oleh Wajib Pajak berdasarkan penetapan Kepala Daerah dengan menggunakan:

a. Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan; atau

b. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, pemungutan pajak terutang dengan cara dibayar sendiri oleh Wajib

Pajak merupakan pembayaran pajak terutang oleh Wajib Pajak dengan menggunakan:

a. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.

b. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar; dan/atau c. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan.

Sistem pemungutan BPHTB menganut Self Assesment di mana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak yang menentukan dalam Pasal 4 bahwa Bea Masuk Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan jenis pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.

Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif BPHTB sebesar 5% dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:

BPHTB = Tarif x NPOP – NPOPTKP Tarif = maksimal 5%

NPOP = Nilai tertinggi antara Harga Transaksi atau Nilai Pasar dengan NJOP PBB

Contoh:

Rumah dengan luas tanah 600 m2dan bangunan 400 m2dijual P kepada Q, harga transaksi Rp. 500.000.000,- NJOP Tanah Rp. 335.000,-/m2, Bangunan Rp. 365.000,/m2, dan NPOPTKP di kota R tahun 2009 Rp. 30.000.000,-. Akta transaksi jual beli 18 Januari 2009, maka perhitungan BPHTB adalah: NJOP T 600 x Rp. 355.000,- = Rp. 201.000.000,- NJOP B 400 x Rp. 365.000,- = Rp. 146.000.000,- NJOP TB = Rp. 347.000.000,- Harga Transaksi/jual = Rp. 500.000.000,- NPOP = Rp. 500.000.000,- NPOPTKP = Rp. 30.000.000,- NPOPKP = Rp. 470.000.000,- BPHTB terutang 5% x Rp. 470.000.000,- = Rp. 23.500.000,-

C. Pengenaan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Dokumen terkait