• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengkodean Hasil Wawancara Informan 2

Dalam dokumen LAMPIRAN I PENGELOMPOKAN HASIL KODING (Halaman 77-88)

No. Transkrip

Kode Kategori 2.1.

P : Halo. Selamat pagi Mba Nurul, ini Elisabeth.

N : Halo.

P : Mba Nurul, pertama-tama terima kasih banyak sudah bersedia diwawancara. Boleh kita mulai yah?

N : Heem.

-

2.2 P : Boleh diperkenalkan diri engga Mba, nama dan jabatan di Tirto?

N : Saya Nurul Qomariyah, saya redaktur eksekutif di Tirto.id.

P : Sebagai redaktur eksekutif, apa saja cakupan kerjanya Mba Nurul?

N : Pokoknya saya harus memastikan dari perencanaan konten sampai konten itu bisa tampil di Tirto plus bagaimana memanajemen SDM di Tirto. Jadi alur flow dari hulu sampai hilir, dari proses produksi termasuk manajemen dari orang-orang.

-

207

`2.3 P : Kalau tim redaksi sendiri itu bisa bersinggungan dengan divisi mana saja ya Mba?

N : Oh ya semuanya pasti bersinggunganlah. Kalau redaksi bersinggungan dengan multimedia, sama IT, terus ada tim media sosial. Kurang lebih bersinggungan dengan semua divisi.

-

2.4 P : Kalau secara khusus divisi media sosial, bagaimana redaksi bekerjasama dengan divisi media sosial?

N : Biasanya terkait konten-konten yang akan di-share sama tim media sosial ya. Nanti dari segi pemilihan artikel yang akan di-share, timing-nya, kemudian dari segi pemilihan wording untuk day post social media.

Kemudian di Instagram, dalam hal konten untuk visual yang akan ditampilkan.

A1

2.5 Kemudian dari redaksi juga biasanya menerima feedback dari tim media sosial. Oh ada masukan ini nih dari netizen, terus ini ada usulan tema dari netizen. Jadi apa ya, kita juga nerima, kita juga memberikan sesuatu ke tim media sosial. Jadi kerja samanya kurang lebih seperti gitu.

P : berarti juga divisi lain mengintervensi, maksudnya bisa memberi masukan ke tim redaksi?

A4

208

N : Bukan intervensi ya, cuma masukan. Karena pembaca kan tidak tahu bagaimana mengakses redaksi. Nah itu biasanya mereka akan, “nih ada topik begini nih”, ada koreksi ini nih. Jadi lebih semacam kita menunggu feedback.

2.6 P : Kalau divisi lain seperti marketing, itu juga berhubungan erat engga Mba?

N : Engga. Kita temboknya terpisah. Redaksi tidak boleh bersinggungan dengan tim marketing gitu.

-

2.7 P : Oke. Boleh diceritakan mengenai alur kerja redaksi Tirto Mba? Dari ide hingga berita jadi di web, bagaimana?

N : Biasanya kan kita melalui rapat redaksi untuk penentuan tema. Tema apa yang akan kita garap untuk besok.

Kita biasanya ada seperti itu. Nanti setelah kita menentukan tema kemudian baru nanti per divisi ada yang mild report segala macem, men-deliver ke tim masing-masing, kemudian setelah melakukan peliputan nanti ada tim riset yang akan support data. Setelah tim riset support data, kemudian tim multimedia juga memberikan masukan akhirnya jadi satu konten. Kemudian di-review oleh para editor. Setelah review baru kemudian naskah akan tampil.

Setelah naskah tampil, itu kemudian kita akan share ke media sosial. Kurang lebih alurnya seperti itu.

A1

2.8 P : Ada tuntutan ada tiap harinya engga Mba? Jurnalis harus menulis berapa berita. -

209

N : Kita ada target untuk mild report biasanya seminggu itu empat konten. Kalau current issue itu anak-anak sehari ada satu sampai dua. Tapi maksudnya tiap divisi punya target sendiri-sendiri dan jumlahnya beda.

2.9 P : Kalau per rubrik itu juga ada batasan minimum atau batasan maksimum berita yang harus diterbitkan per harinya?

N : Kenapa?

P : Jadi Tirto memiliki rubrik yang berbeda-beda, apakah ada batasan jumlah minimum atau maksimum yang harus diterbitkan per rubrik per harinya?

N : Engga ada sih. Cuma kita sudah punya timing. Kalau misalnya untuk mild report tuh kita sesuaikan dengan jumlah anggota. Misalnya mild report empat sampai lima. Jadi kita sesuaikan. Tapi engga pernah ada batasan cukup segini engga ada.

-

2.10 P : Menurut Mba Nurul, ciri khas apa sih yang membuat Tirto berbeda dengan media online lain?

N : Sebenarnya yang membuat kita berbeda, sebenarnya sekarang sih sudah mulai banyak mengikuti, penggunaan infografis, penggunaan konten di Instagram yang khusus. Kemudian penggunaan data. Kemudian kita kan tidak main cepet ya, beberapa media kan main cepet. Kalau kita kan engga, kalau kita kan lebih fokus ke

-

210

kualitas dibandingkan kuantitas. Jadi alurnya kan beda dengan hardnews, atau dengan yang lain gitu. Jadi kita menggunakan infografik, menggunakan data. Kita termasuk yang konsisten di sini.

P : Jadi bisa dibilang Tirto semacam trendsetter untuk jenis…?

N : Saya ga bilang itu ya. Saya ga mau mengatakan itu. Tapi maksudnya kita termasuk salah satu yang di awal menggunakan itu. Kan ada juga KataData, dulu ada Beritagar kan juga menggunakan. Saya ga mau bilang kita pioneer, tapi kita termasuk salah satu yang selalu konsisten menggunakan itu sejak awal.

2.11 P : Kalau media-media lain yang banyak menggunakan judul yang clickbait atau isinya bersifat sensasional ya semata-mata untuk klik. Tirto tampaknya menghindari strategi semacam itu. Lalu bagaimana sih caranya agar tetap bisa menarik orang untuk membaca yang dibuat Tirto, apalagi Tirto beritanya lumayan panjang khasnya.

N : Sebenarnya kalau clickbait itu ga boleh ya, emang harusnya engga kalau kita sebagai media yang kredibel, sebagai media yang terdaftar di Dewan Pers, ya kita faktanya apa judulnya harus apa. Kita selalu menghindari clickbait. Cuma kita kalau dalam membuat, kita selalu mengacu pada panduan SEO. SEO-nya apa kita sesuaikan dengan itu tapi tidak boleh clickbait. Itu memang udah kebijakan redaksi, itu tidak boleh membuat judul yang

-

211

clickbait. Jadi makanya dari awal kita selalu begitu. Tapi judul yang ramah SEO kalau kita. Kalau kita lebih ke arah situ. Tapi harus tetap sama isinya. Kan panduan dari Dewan Pers juga seperti itu.

P : Berarti kita tetap ga bisa menghindari SEO dalam praktik jurnalistik di perusahaan ya Mba?

N : Heem. Ya itu wajib. Kalau media harus SEO-friendly lah.

2.12 P : Tadi kan Mba Nurul bilang ga mengutamakan kecepatan. Pernah ga sih berita yang sudah ditulis tapi terpaksa dibatalkan karena udah lewat momennya?

N : Dibatalkan gimana maksudnya?

P : Maksudnya tidak jadi dinaikkan, tidak jadi diterbitkan karena sudah dianggap “basi” gitu.

N : Oh iya, banyak. Jadi misalnya gini ada beberapa naskah yang sudah mau naik. Tapi sidang redaksi bilang oh ini belum cukup konfirmasinya. Masih konfirmasi-konfirmasi, ternyata ga dapet, dan kemudian momennya lewat ya akhirnya kita ga jadi naik. Atau kalau engga penulisnya kelamaan nulis, ga dapet-dapet data. Ada beberapa yang akhirnya batal naik. Atau kalau engga, biasanya kita antisipasi dengan mengubah angle atau merombak tulisan lagi gitu.

-

212

2.13 P : Mba Nurul kalau di Tirto ada khasnya. Kaya “Dibaca normal 5 menit” sementara kayanya di media-media lain tidak ada. Apa sih yang melatari ide tersebut?

N : Oh itu sebenarnya lebih ke kita bisa melihat ketahanan pembaca melihat artikel. Karena itu penting untuk orang marketing kita. Orang marketing kita itu kan selalu berapa menit sih orang tahan ada di Tirto itu paling penting. Dibandingkan pageviews, sekarang yang lebih penting untuk pengiklan itu berapa lama orang betah berlama-lama di satu website. Buat apa pembaca banyak tapi ternyata dia cuma betah satu menit, bahkan ada yang cuma tiga puluh berapa detik. Berita pendek itu tidak mampu karena ini bisa meningkatkan engagement dari si pembaca dengan situs yang relate gitu.

A4

2.14 P : Berarti memang kaitannya erat sama marketing ya?

N : Ya, sebenernya ga selalu sih. Sebenernya kita juga untuk meningkatkan engagement. Kita jadi mengukur kalau bisa standar kita bikin tulisan itu sekian menit. Itu kalau di sistem kita, berarti panjangnya harus sekian word.

A4

2.15 P : Ada beberapa berita di Tirto yang menuai kritik di media sosial, hal-hal sensitif seperti LGBT dan agama.

Nah bagaimana redaksi menyikapi hal ini? Apakah ada perubahan?

A4

213

N : Engga sih. Kita tuh yang penting semua kaidah jurnalistik terpenuhi kita pasti akan diloloskan dari sidang redaksi. Yang penting kita proper. Kalau isu-isu sensitif, bukan berarti ga boleh dibahas kan? Yang penting adalah bahwa kita tuh proper. Kalau menyinggung satu pihak, berarti ada dua pihak yang dikonfrontir, kalau ada kaya gini, ada omongan-omongan yang harus diminta konfirmasinya. Yang penting kita proper. Kalau semua naskah proper, clean, clear, either dia perkara sensitif atau apa ya itu, apakah kalau isu sensitif kita ga bahas, kan engga. Cuma ya

itu yang penting kita kaidah jurnalistiknya harus terpenuhi. Kemudian kalau ada yang caci maki atau segala macam ya kita dengerin aja. Tapikan banyak juga orang yang pro. Tapi intinya kalau ada orang yang kontra, itu kita tampung masukannya. Tapi bukan berarti kemudian menghentikan Tirto untuk tidak membahas sesuatu yang penting itu. Kaya misalnya isu-isu minoritas apa segala macam kalau tidak ada yang membahas kan nanti terlupakan lama-lama padahal mereka kan juga sesuatu yang penting untuk dibahas.

P : Berarti Tirto tidak juga merespon semata-mata untuk menghindari respon negatif dari pembaca untuk “Oh kita ga boleh bikin ini nih takutnya…”.

N : Oh engga sih. Kalau pembaca protes, selama kita di koridor yang bener, yang proper, yang aku bilang tadi, itu dijalanin aja. Perkara orang ga setuju kan itu hal yang beda.

214

2.16 P : Terkait infografik Mba. Infografik yang diunggah di web sepertinya berbeda dengan yang di media sosial meskipun itu dari artikel yang sama. Apa pertimbangan redaksi?

N : Yang Instagram aja yang biasanya beda. Instagram itu kita buat khusus karena memang market-nya Instagram beda banget sama market media sosial yang lain. Karena setiap media sosial kan punya karakter sendiri-sendiri, misalkan kalau Instagram itu gen Z yang sukanya begini-begini, yang lucu, yang ga terlalu serius. Kalau Facebook sukanya yang serius. Semua harus ada treatment yang beda-beda. Jadi beda-beda juga. Dan itu teamnya tersendiri.

A1

2.17 P : Oh ok. Terkait narasumber, kan banyak media online mengutip unggahan, postingan seseorang di media sosial. Tampaknya Tirto juga memperbolehkan hal itu ya. Kalau Mba Nurul bagaimana melihat fenomena ini?

N : Oh engga. Kalau Tirto itu membolehkan tapi banyak syaratnya kalau mau mengutip di media sosial. Satu, harus izin sama yang ngepost. Kalau misalkan dia ngomong apa di media sosial, satu kita pastikan akunnya verified dulu. Misalnya ada Sri Mulyani ngomong apa di akun media sosialnya. Kita pastikan dulu akunnya verified. Kedua, kita harus izin, boleh ga ini dikutip. Misalnya apa, boleh ga dikutip? Ketiga, kalau kasusnya olok-olok kaya let’s say Jerinx lah, itu kita mengambil omongan itu untuk dijadikan satu topik pembicaraan. Misalnya omongan

A2

215

ngawurnya kita jadikan cek fakta. Bener ga omongannya. Itu kan beda lagi. Kita ngecek omongan orang asal atau engga. Tapi satu, kita harus memastikan bahwa akun itu bener. Jerinx itu kan jadi ramai karena kita menjadikan itu sebagai satu cek fakta. Kita menjadikan itu sebagai satu topik. Misalkan kemarin Ferdian yang Youtuber itu. Itu kan ada konten itu. Kita ga semata-mata ngambil dari peristiwanya kaya Lambe Turah, engga. Kita tetap konfirmasi ke polisi, kita konfirmasi ke keluarganya sampai kemudian lengkap jadi berita. Kita ga seperti akun-akun lain yang infotainment, yang Cuma bermodal satu omongan Instagram kemudian jadi berita yang berpanjang-panjang. Engga seperti itu. Prosedur kita boleh mengutip pun sangat rigid ya. Kita ga boleh sembarangan. Kita makanya berlapis-lapis. Ada info yang penting pun di Twitter kita ga langsung eksekusi jadi satu berita. Kita pastikan dulu ini berita bener atau engga. Misalnya kemarin, “STAN tidak jadi menerima mahasiswa” kita harus pastikan ini sumber Kementerian RB bener ga, Kemenpan bener ga, kita sampai telusuri ke sumber aslinya. Ternyata kekonfirmasi baru kita berani nulisnya. Jadi kalau kita prosedurnya itu karena kita kan patuh pada Dewan Pers. Kita patuh pada Undang-Undang Pers yang tidak membolehkan hanya sekadar dari satu pihak. Semuanya harus terkonfirmasi, baru bisa naik artikelnya.

P : Berarti memang ketat ya?

216 N : Kalau kutipan di media sosial lumayan ketat kita.

2.18 P : Pertanyaan terakhir Mba. Apakah wartawan itu juga dituntut, ketika berita sudah naik di web apakah wartawan juga dituntut untuk menyebarkan berita-berita yang sudah diterbitkan?

N : Oh engga. Kita ga wajibkan itu. Tapi anak-anak biasanya seneng aja kalau beritanya naik pada nge-share sendiri di akun medsosnya. Biasanya kasih ke narasumbernya, tadi kita kan janji, tadi ada wawancara biasanya kita janjikan.

P : Berarti memang tidak ada aturan tertulis?

N : Engga, engga kita wajibkan.

A1

2.19 P : Okedeh. Sepertinya itu saja Mba Nurul.

N : Cukup?

P : Cukup Mba. Terima kasih sudah meluangkan waktunya Mba N : Oke sama-sama. Sukses ya untuk skripsinya.

P : Terima kasih Mba. Selamat pagi.

-

217

LAMPIRAN V

Dalam dokumen LAMPIRAN I PENGELOMPOKAN HASIL KODING (Halaman 77-88)

Dokumen terkait