No. Transkrip
Kode Kategori 1.1. P : Halo Mas Beni, ini Elisabeth. Boleh perkenalan diri dulu dan sudah berapa lama di Tirto?
N : Aku di Tirto itu mulai dari 2017, sebagai admin waktu itu. Terus 2018 mulai jadi managernya. Gitu doang sih.
P : Kalau latar belakang pendidikannya?
N : Kalau aku sih, sebelum di Tirto, sempat di Media Indonesia sebagai reporter selama 2,5 tahun. Tapi kalau kuliah di UGM, Filsafat.
-
182
1.2 P: Mas Beni, profesi ini kan cenderung baru. Apalagi maksudnya media sosial baru berkembang 15 tahun belakangan. Kalau Mas Beni sendiri bagaimana memaknai profesi ini sebagai manager media sosial sebagai keseluruhan sebagai bagian dari perusahaan media massa?
N: Ya social media kan mengubah orang dalam menikmati artikel, berita, produk-produk jurnalisme. Jadi ini salah satu migrasi dari cetak ke online, klasiklah. Dan salah satu medium yang bisa dimanfaatkan untuk menjangkau pembaca karena saat masih cetak kan, koran yang datengin ke pembaca. Nah sekarang kan pembaca sendiri yang nyari-nyari. Nah sosmed sebagai bagian dari perusahaan media, salah satu fungsinya ya untuk menghadirkan pilihan-pilihan yang dikunjungi sama pembaca, gitu. Kaya aku punya artikel pembaca ini-ini. Jadi seperti itu sih.
P : Maksud saya, bagaimana Mas Beni memandang fungsi profesi tersebut Mas. Apakah Mas Beni memandang profesi Mas Beni sebagai "jenis marketing baru" untuk konten konten-kontan yang dihasilkan Tirto, atau mungkin Mas Beni berpandangan lain seperti itu Mas.
N : Iya, jenis marketing baru. Sebab, ada interaksi sosial bahkan kultural di sana. Tapi, di lain sisi, sosial media lahir kan memang untuk memangkas jarak personal. Kita bisa seolah-olah sangat dekat dengan orang meski enggak kenal. Secara fungsi, dalam konteks profesi, ya memangkas jarak personal itu.
A3
183
P : Interaksi sosial dan kultural yang dimaksud seperti apa ya Mas Beni?
N : Ya di sosial media mereka bisa saling mendapat pengetahuan tentang gaya tutur, fashion, humor, bahkan pola hidup orang lain. Ini menurutku bentuk interaksi kultural antarpengguna sosial media. Kalau interaksi sosial kan udah jelas lah ya, mereka menjalin komunikasi satu sama lain atau dengan orang banyak lewat sosial media.
1.3 P: Kalau yang saya lihat, sepertinya Tirto lebih ke arah menggunakan media sosial sebagai pembaca beritanya aja, ketimbang…, tapi ini mohon dikoreksi ya Mas. Kalau media sosial kan kita bisa berinteraksi dengan pengguna. Sejauh ini yang saya lihat Tirto jarang menggunakan kemampuan itu.
N : Iya, kalau di khususnya di sosmed ya misalnya Instagram, yang disajikan mengemas informasi dalam bentuk baru, yang ramah sama pembaca versi digital, online, anak muda ya itu infografik dengan desain menarik.
A1
1.4 Dia bisa ikut disebarkan sama si pembaca. Karena kalau ngomongin anak muda main Instagram, salah satu kebiasaannya adalah ngeshare itu. Dan gimana caranya artikel yang ada di web dikemas jadi infografik dan itu disebarkan juga sama anak muda.
A1
184
1.5 Dan interaksi, kalau ngejawabin di Twitter, Instagram memang engga sih.
P : Jadi memang fungsinya bukan itu ya?
N : Bukan untuk say hi atau segala macam. Aku engga tau memaknai interaksi yang seperti apa. Tapi interaksinya dalam bentuk bahwa akun Tirto juga sama seperti akun orang, personal. Bukan akun berita.
Interaksinya dalam bentuk teks, produk kaya AKS, infografik, video, gitu-gitu. Interaksinya dalam bentuk itu.
A3
1.6 Tapi beberapa tahun belakangan, kayanya, saya di Twitter mulai muncul fitur thread. Orang mulai ngetrend tuh orang bikin thread, utas. Pernah juga Tirto coba untuk ngangkat satu isu yang lagi ramai. Misalnya dalam satu minggu belakangan apa, lalu di akhir minggunya akan bikin thread.
A2
1.7 Ibaratnya untuk menjalin interaksi lagi dengan netizen di Twitter. Tapi kalau untuk ngejawabin apa engga sih, fungsinya bukan seperti itu.
A3
1.8 P : Kalau misalnya di divisi media sosial secara khusus manajer media sosial seperti Mas Beni, cakupan kerjanya apa saja?
A1
185
N : Koordinasi sama redaksi karena kalau yang sosmed di perusahaan media itu kan lebih, yang dijual itu artikelnya kaya bagaimana mengemas artikel itu, lalu kemudian gimana biar bisa dinikmati pembaca. Nanti paling kerja-kerjanya, misalnya redaksi bikin satu produk atau satu campaign misalnya dalam in-depth-nya cover isu apa, Nah itu divisi sosmednya akan mensupport.
1.9 Kira-kira apa aja yang diperlukan untuk campaign itu bisa dibicarakan publik. Misalnya kaya bikin thread di Twitter, mungkin butuh video, support video, ya kebanyakan di Tirto dibikinin format infografiknya gitu. Jadi misalnya multipost nih, atau misalnya satu minggu postingannya soal isu yang diangkat sama redaksi gitu.
A1
1.10 P : Kalau divisi media sosial bisa kah intervensi terhadap divisi redaksi. Misalnya nih ada topik ramai yang divisi media sosial nyadar ini belum diangkat di Tirto. Itu bisa gak sih media sosial intervensi?
N : Bisa sih, tapi modelnya kaya ngasih tahu aja trend yang satu minggu ini lagi dibicarakan di Twitter ini, minta disiapin artikelnya untuk dibikinkan infografik. Paling sebatas itu sih untuk ngasih saran kaya gitu.
P : Berarti bisa juga saran itu ditolak sama redaksi?
A2
186
N : Bisa. Tergantung kebutuhannya kaya misalnya redaksi fokusnya lagi cover isu ini nih. Misalnya kalau ada yang nulis, itu akan diiyain. Kalau potensi wartawannya lagi ngecover yang redaksi ambil ya itu bisa dieliminasi. Tergantung redaksinya sih.
1.11 P : Kalau media sosial selain bersinggungan dengan redaksi, bersinggungan dengan divisi lainkah? Misalnya marketing?
N : Marketing jelas karena salah satunya adalah, produk yang dijual ke klien dalam bentuk infografik. Jadi kaya di sosmed sendiri ada penulis copy-nya gitu untuk misalnya klien dari Walls, misalnya Vinetta kemarin. Nah itu dibikinkan konsepnya mau apa. Nanti ada satu orang yang akan garap, dibikinkan dummy-nya untuk ikut rapat sama klien kaya gitu-gitu. Bikin caption, misalnya mau bikin campaign apa nih. Ya sama marketing, khususnya marketing. Kalau sosmed di Tirto lebih banyaknya memang bekerjasamanya sama marketing, selain sama redaksi ya. Selain itu ga terlalu banyak.
P : Berarti dua divisi itu ya?
N : Iya.
A1
1.12 P : Mas Beni, boleh diceritakan soal proses dari berita hingga diunggah di media sosial? A1
187
N : Jadi di redaksi itu ada dalam satu minggu ada potensi apa yang akan naik nih. Oh ini masih dalam proses liputan, ini masih dalam proses penulisan. Oh ini yang akan naik besok. Dan ketika artikelnya sudah naik di web hari Senin misalnya, nah itu kan udah ada web. Nah dari sosmednya akan mengambil artikel itu, dan dibuatkan semacam storyboard untuk bikin infografik untuk di Instagram. Jadi artikel sudah naik, baru akan diolah sama temen-temen di sosmed untuk dibuatkan semacam storyboard. Jadi nanti akan diserahkan ke desainernya.
Desainernya akan bikin tuh visualnya kaya apa segala macam. Sudah jadi, dibikinkan caption nanti dilempar lagi ke editor. Kira-kira ini begini tampilan visualnya apa yang kurang, apa yang perlu ditambahi atau apa. Apa yang kira-kira misalnya guyonannya kurang sopan, guyonannya kurang politically correct. Nanti kalau misalnya gapapa, ini udah sip. Yaudah tinggal besoknya akan naik di Instagram, Twitter, Facebook.
P : Editor yang dimaksud itu editor dalam redaksi atau?
N : Editor yang di redaksi. Jadi tiap artikel kan ada editornya tuh. Nanti dia yang akan lihat lagi, review ini sudah pas pesennya, udah cukup, masuk terus dinaikin.
1.13 P : Kalau sepengalaman Mas Beni konten semacam apa yang dianggap sukses untuk di media sosial? A2,
188
N : Konten yang dekat sama pembaca, sama konteksnya lagi ramai. Kaya kemarin Didi Kempot itu oke, karena momennya pas. Dia meninggal dan memang tokoh yang besarlah. Kemudian yang deket, kaya misalnya 9 tipe kecerdasan anak itu juga lumayan ramai. Ada kecerdasan matematis, kecerdasan bahasa dan itu ternyata ramai. Kalau aku simpulkan sih yang deket sama pembaca, dan dia relate dengan topik. Kaya gitu-gitu sih. Kaya tema-tema relationship, kemudian tema-tema parenting itu juga.
1.14 Karena segmen di Instagram followernya secara usia mungkin umur 18-35 yang paling banyak. Jadi memang isu-isu yang konteksual, lagi ramai itu yang akan sukses sih.
A4
1.15 P : Tiap-tiap media sosial juga agak-agak berbeda demografisnya engga Mas? Atau di Tirto ini agak-agak mirip antara media sosial satu dengan yang lainnya?
N : Kalau ini ga jauh beda sih. Aku perlu lihat lagi sih sama anak lain. Tapi kalau di Instagram setauku sama Twitter hampir serupa. Kaya misalnya rentang usianya, 18-35. Secara gender, perempuan dan laki-laki hampir sama, 55:45. Hampir samalah.
A4
1.16 P : Kalau demografi seperti itu berpengaruh untuk, maksudnya divisi media sosial kan bisa melihat data itu, apakah disampaikan ke redaksi atau divisi lain, bahwa ini target market Tirto, bagaimana mengolahnya?
A4
189
N : Berdasarkan itu sih paling ngasih tau ke redaksi bahwa gaya di sosmed akan seperti ini. Misalnya dengan bahasa yang anak-anak sekarang pakai, dengan logika itu. Paling ngasih tau ke redaksi, bahwa follower Tirto itu seperti ini. Dan nanti gaya akun Tirto di sosmed akan seperti ini dengan bahasa, dengan bercandaannya mungkin, ya kaya begitu. Cuma untuk gaya penulisan di redaksi ya itu tergantung dari redaksinya kan. Kalau di sosmed Tirto sih paling akan menyesuaikan dengan mayoritas follower di Instagram, di Twitter, Facebook kaya gitu.
1.17 P : Berarti beda-beda perlakuan antara tiap media sosial?
N : Paling dilihat dari fitur yang dipunyai masing-masing platform. Kalau Instagram itu kan lebih di visual, lebih di video. Kalau di Twitter kan lebih ke cerewetnya, bagi-bagi artikel yang lebih cepat karena kan memang Twitter cepet banget persebarannya. Jadi sejam yang lalu pasti udah hilang. Paling akan menyesuaikan si admin sosmed di Twitter, akan menyesuaikan kelakuan netizen Twitter yang hanya sekali bagi berita, yang ga fokus di visual gitu dengan caption anak Twitter gitulah. Dan kalau di Instagram, captionnya lebih ke naratif karena kan memang fokusnya di visual. Paling perbedaannya cuma itu sih, karena masing-masing platform sosmed punya kelebihannya masing-masing. Dan paling itu disesuaikan.
A1
190
1.18 P : Kemarin saya mengamati media sosialnya Tirto. Terkadang ada berita yang sama diunggah dengan caption sama, tapi ada yang pakai hashtag, ada yang engga. Dan bahkan captionnya pun bisa berbeda. Itu memang engga sengaja lupa pakai hashtag atau bagaimana?
N : Kalau hashtag sih sebenarnya secara prosedur di sosmed paling cari yang tema-tema umum sama maksimal itu lima hashtag jadi engga boleh lebih dari lima. Itu kan ada yang sampai sepuluh sampai banyak banget dan pakai kata kunci merepresentasikan isi dari infonya misalnya. Misalnya kemarin Didi Kempot, musisi, kita lihat yang kira-kira di Instagram hashtag yang paling ramai kata kuncinya apa, kita pakai itu dan ga boleh lebih dari lima. Tiga sampai lima gitu.
A2
1.19 Nah untuk artikel info yang pernah diunggah, lebih ke… karena kita lihat misalnya Didi Kempot itu kemarin sudah dishare sebelumnya, pas dia lagi hit banget kaya setahun lalu. Dan ketika ada kejadian lagi, kaya meninggal kemarin bisa diangkat lagi gapapa untuk ngingetin. Ya kan keterbatasan kecepatan si desainernya juga belum siap, pagi waktu itu dan konten ini masuk untuk mengenang Didi Kempot jadi bisa dinaikin ulang. Atau misalnya lagi ada yang, kaya tokoh dan tema, misalnya konspirasi. Kita punya apa di databasenya, oh ada artikel mengenai konspirasi, kita reuse lagi dengan caption yang menyesuaikan bisa, atau bisa caption yang sama juga gapapa.
A1
191
1.20 P : Selain itu, adakah strategi media sosial Tirto yang Mas Beni merasa berbeda dengan media sosial dari media massa lain?
N : Mungkin kalau sekarang pada ke arah sana. Cuma dari aku pas awal ke sini itu paling strateginya nomor satu yang ditekankan adalah memanusiakan akunnya Tirto. kaya ini bukan akun robot. Ini akun yang bisa punya kepribadian gitu. Bisa lucu, bisa sedih, bisa kesel jadi intinya biar follower dan pembaca Tirto nyaman karena ini temen gua gitu. Kayanya bukan perusahaan, ini itu orang, Pak Tirto-nya. Pak Tirto yang megang akun, punya karakter. Makanya captionnya bisa sangat witty, bisa sangat datar. Paling itu sih secara garis besar yang ditekankan untuk mengelola sosmednya Tirto, ya kamu harus jadi orang. Akun ini bukan akun robot.
A3
1.21 P : Kalau misalnya mengelola media sosial pakai platform manajemen media sosialkah?
N : Iya. Kalau di Instagram pakai Iconosquare itu untuk ngejadwal. Kalau di Twitter pakai Tweetdeck.
A1
1.22 Iconosquare juga bisa ngasih feedback kaya analisis seperti engagement, reach-nya seberapa, postingan yang paling ramai, hari apa yang paling bagus untuk ngeposting ada. Kalau Facebook kayanya memang ada analisis sendiri jadi pakai di Facebook, ga pakai apa-apa. Jadi di Facebook ada tools-nya sendiri.
A4
192
1.23 P : Menurut Mas Beni sebagai manajer media sosial, apa aspek yang dirasa penting, metrik-metrik apa yang jadi tolok ukur kesuksesan divisi media sosial?
N : Yang pertama jelas yang disajikan anak-anak sosmed itu dibicarakan sama publik, artikelnya Tirto bisa dibicarakan publik. Kedua, karakter Pak Tirtonya akan terus melekat. Pak Tirtonya begini, Pak Tirtonya begitu.
Jadi secara personal, adminnya engga kaku di publik. Lebih ke karena mengemban tanggung jawab untuk menyebarluaskan artikel ya tentu tolok ukur kesuksesannya artikel itu akan hangat dipublik. Kaya misalnya waktu itu artikel pencurian bangkai kapal dua tahun yang lalu. Itu bikin campaign, satu minggu bikin utas, bikin video, banyaklah produk-produk untuk cover campaign ini dan bisa dibicarakan satu minggu sama publik bahkan bisa memengaruhi pemberitaan dari media lain. Kaya “oh lagi ngangkat bangkai kapal” dan itu terus dibicarakan.
P : Maksud saya, bagaimana Mas Beni memandang fungsi profesi tersebut Mas. Apakah Mas Beni memandang profesi Mas Beni sebagai "jenis marketing baru" untuk konten konten-kontan yang dihasilkan Tirto, atau mungkin Mas Beni berpandangan lain seperti itu Mas.
A2
193
N : Iya, jenis marketing baru tentu. Sebab, ada interaksi sosial bahkan kultural di sana. Tapi, di lain sisi, sosial media lahir kan memang untuk memangkas jarak personal. Kita bisa seolah-olah sangat dekat dengan orang meski enggak kenal. Secara fungsi, dalam konteks profesi, ya memangkas jarak personal itu.
P : Interaksi sosial dan kultural yang dimaksud seperti apa ya Mas Beni?
N : Ya di sosial media mereka bisa saling mendapat pengetahuan tentang gaya tutur, fashion, humor, bahkan pola hidup orang lain. Ini menurutku bentuk interaksi kultural antarpengguna sosial media. Kalau interaksi sosial kan udah jelas lah ya, mereka menjalin komunikasi satu sama lain atau dengan orang banyak lewat sosial media.
1.24 P : Ada perbedaan antara tuntutan yang perusahaan dan idealisme divisi media sosial, atau mungkin ada dari pihak lain seperti marketing?
N : Untuk itu sih, khususnya redaksi, sudah semacam memberi otonomi atau apa bilangnya, “yaudah gue percaya sama lu”. Yang penting apa produk redaksi ini bisa sampai dengan baik di publik. Tolok ukur apapun yang digunakan sama tim sosmed itu akan dijadikan bahan evaluasi juga sama tim redaksi. Bahwa dari tim sosmed begini-begini, artikel ini begini-begini. Aku pikir bukan perbedaan ya. Ya mereka akan memberi kepercayaan
A4
194
penuh kepada tim sosmed, “ya ini memang bagianmu. Kami ga punya tujuan yang berbeda dengan tim sosmed asal artikelnya akan dibaca sama orang.” Yang penting itu sih.
1.25 P : Begitu jugakah dengan divisi marketing?
N : Kalau marketing sih, paling koordinasinya sama sosmed. Misalnya dari sosmed bikin rambu-rambu sebaiknya cari klien, atau produk yang memang sesuai dengan gaya Tirto, gaya tim sosmednya Tirto. Jadi kaya memberikan rambu-rambu. Gayanya akan seperti ini nih, gaya yang akan ditawarkan ke klien begitu. Tirto tuh lebih begini. Kira-kira kliennya mau gak ditampilkan produknya dengan gayanya Tirto. paling begitu sih.
Menyesuaikan dengan yang sudah dibangun dengan tim sosmednya Tirto karena akun di Instagram, Twitter itu kan semacam etalase yang bisa ditaruh produknya. Dan ngelihat demografinya begitu-begitu juga, kelasnya Tirto, segmennya Tirto. Ya begini gayanya Tirto, kalau misalnya engga, ya engga akan dilihat juga. Jadi marketing akan selalu ngikutin visi dari tim sosmed untuk bikin gaya seperti apa tampilan yang akan ditawarkan sama klien.
A4
1.26 P : Mengenai rapat evaluasi kerja. Boleh digambarkan bagaimana proses rapat evaluasi itu?
N : Ada satu bulan itu paling minggu kedua ada. Tiap bulan juga ada evaluasi sama redaksi khususnya. Kalau sama marketing itu tiap dua minggu sekali. Paling yang dibahas soal evaluasi konten, misalnya konten ini ramai
A4
195
nih, konten ini engga kenapa. Kok Facebook trafficnya ambruk? Kok Twitter juga? Kira-kira apa yang membuat itu jadi ga banyak nyumbang traffic ke web. Ada dari tim analis datanya, “oh konten-konten ini yang ramai.
Konten ini yang engga. Konten ini yang biasa aja.” Terus nanti paling ada dari sosmednya akan ngasih rekomendasi, kaya minggu ini netizen lagi ngomongin isu ini, isu 1-2-3-4-5. Nanti akan disampaikan ke redaksi kira-kira ini yang lagi rame. Reaksinya gitu.
P : Berarti data analisis akan dipakai? Selalu ditampilkan?
N : Selalu ditampilkan, dari Facebook bulan ini atau minggu ini trafficnya berapa. Dari Twitter trafficnya berapa. Dari Instagram engagement-nya berapa, reach-nya berapa, pertambahan followernya berapa.
1.27 P : Tirto secara Alexa-nya ga setinggi media lain kaya Republika di antara media-media online lain. Tirto sendiri juga bilangnya mengutamakan pageview. Adakah pertentangan internal soal ini?
N : Ya itu tentu ngaruhnya ke iklan, peringkat Alexa, traffic segala macam. Paling yang dipertentangkan adalah lebih utama pageview atau interaksi di Instagram-nya? Ini yang selalu kutekankan ke beberapa orang di sini. Kayanya pembaca sekarang jarang banget ngunjungin langsung ke web, dan kebanyakan orang, ada riset dari tim sosmednya sendiri, kebanyakan follower Tirto tau Tirto itu dari sosmednya. Mereka jarang mengunjungi
A4
196
langsung web-nya, ngetik tirto.id. mereka hanya akan menikmati Tirto lewat Instagram. Follow Tirto di Tirto.
Jadi engga banyak untuk langsung, oh setelah tahu dari Instagram-nya dia akan lari ke web. Jadi yang kutekankan itu pilihan antara bagaimana mengoptimalkan interaksi di Instagram, kaya menambah reach, menambah engagement, atau fokus di pertambahan follower. Atau ngomongin pageview, traffic, reach di web. Soalnya itu dua tolok ukur berangkatnya dari metrik yang berbeda. Itu klasik sih perdebatannya. Ya aku mau trafficnya naik karena untuk iklan, tapi di sisi lain juga aku tekanin di teman-teman marketing bahwa ga penting traffic di web.
Soalnya yang lihat di Instagram, orang-orangnya ga akan ke web juga. Kenapa engga di Instagram-nya aja yang fokusnya di situlah. Paling itu sih. Pertentangan kaya gitu lah.
1.28 Tapi untuk redaksi memang fokusnya ada tim di Jogja yang khusus untuk bikin artikel-artikel yang hardnews, yang cuma lima paragraf. Yang receh untuk tetep nyumbang klik ke web kaya misalnya tips menurunkan berat badan. Ya kaya gitulah, kaya Detik. Suplemen konten namanya. Dia bikin dari Jogja tuh.
A4
1.29 P : Mas Beni, kalau misalnya saya ngeklik berita di Twitter Tirto, itu menyumbang ke pageview, atau itu hanya diolah sama internalnya Twitter sendiri?
A4
197
N : Tergantung. Kalau kamu misalnya ngeklik ke web, nanti ada lima detik, baru dihitung pageview. Tapi kalau di bawah lima detik itu engga kehitung. Jadi kehitungnya cuma di Twitter aja. Jadi misalnya ada artikel menarik nih di Twitter, aku klik, terus baca sampai satu menit nah itu baru dihitung satu. Tapi ketika ngeklik, terus keluar lagi nah itu ga dihitung. Hitungnya paling hitung interaksi di akun Twitter-nya Tirto, masuknya ke engage karena ada interaksi dengan link yang kita bagikan. Tapi untuk jadi traffic, pageviews itu butuh lima detik.
Google ngebacanya lima detik, empat sampai lima detik baru dihitung satu.
P : Kalau di Facebook sendiri, itu bagaimana?
N : Kayanya sama deh.
1.30 P : Oke. Selanjutnya, dari kemarin aku lihat kayanya ada perbedaan antara infografik di artikel di web dan di media sosial. Apa pertimbangan yang melatari hal itu?
N : Kalau yang di artikel dibikin sama tim multimedia, anak redaksilah itu. Nah kalau yang di sosmednya
N : Kalau yang di artikel dibikin sama tim multimedia, anak redaksilah itu. Nah kalau yang di sosmednya