• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Aktivitas Antidiare Isolat Lactobacillus asal ASI

C. Metode Penelitian

4. Pengujian Aktivitas Antidiare Isolat Lactobacillus asal ASI

Tikus dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus, yaitu kelompok tikus yang tidak diintervensi Lactobacillus

maupun EPEC (kontrol negatif), kelompok tikus yang diintervensi EPEC tetapi tidak diintervensi isolat Lactobacillus (kontrol EPEC), dan tiga kelompok tikus yang diintervensi baik oleh EPEC maupun salah satu dari tiga isolat

Lactobacillus.

Pemberian ransum standar dan air minum (AMDK) diberikan setiap hari secara ad libitum. Setelah dua minggu masa adaptasi (yaitu hanya mendapat ransum dan air minum), selanjutnya tikus percobaan kelompok perlakuan isolat

Lactobacillus diintervensi dengan isolat Lactobacillus, jumlah isolat

Lactobacillus yang diberikan adalah sebanyak 109 CFU per hari, sedangkan kelompok kontrol EPEC dan negatif dicekok dengan larutan fisiologis selama 7 hari. Untuk melihat manfaat pencegahan diare, tikus percobaan kelompok perlakuan isolat Lactobacillus dan kelompok kontrol EPEC diintervensi dengan EPEC pada H8. Intervensi Lactobacillus dan EPEC dilakukan dengan cara disonde. Tikus kelompok kontrol, yang tidak dicekok EPEC maupun

Lactobacillus (kontrol negatif), dicekok dengan larutan fisiologis. Lebih jelasnya perlakuan tikus percobaan selama pengujian dapat dilihat pada Tabel 3.

Evaluasi aktivitas antidiare isolat Lactobacillus terhadap tikus percobaan dilakukan dengan mengamati:

berat badan tikus (setiap 2 hari) konsumsi ransum (setiap hari)

jumlah laktobasili dan E. coli feses sebelum perlakuan (H0), setelah intervensi Lab selama 1 hari (H1), setelah intervensi Lab selama 3 hari (H3), sebelum intervensi EPEC (H7), 5 hari berturut-turut setelah intervensi EPEC (H8, H9, H10, H11, dan H12)

Jumlah laktobasili dan E. coli pada kolon dan sekum: pengamatan dilakukan 5 hari setelah intervensi EPEC (H12). Skema perlakuan dan pengamatan dalam uji aktivitas antidiare (secara preventif) dapat dilihat pada Gambar 4.

Pengamatan kolon tikus dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) pada H12.

Tabel 3 Perlakuan tikus percobaan selama pengujian antidiare preventif Kelompok Perlakuan Adaptasi (H-13 sampai H0) H1 sampai H7 H8 H9 sampai H12 Kontrol negatif Hanya diberi ransum dan air minum Intervensi diganti dengan disonde air steril Intervensi diganti dengan disonde air steril Intervensi diganti dengan disonde air steril Kontrol EPEC Hanya diberi ransum dan air minum Intervensi diganti dengan disonde air steril Diintervensi EPEC Intervensi diganti dengan disonde air steril Perlakuan isolat Lactobacillus strain 1 Hanya diberi ransum dan air minum Diintervensi Lactobacillus Diintervensi Lactobacillus dan EPEC Diintervensi Lactobacillus Perlakuan isolat Lactobacillus strain2 Hanya diberi ransum dan air minum Diintervensi Lactobacillus Diintervensi Lactobacillus dan EPEC Diintervensi Lactobacillus Perlakuan isolat Lactobacillus strain3 Hanya diberi ransum dan air minum Diintervensi Lactobacillus Diintervensi Lactobacillus dan EPEC Diintervensi Lactobacillus

a. Pengambilan dan Persiapan Sampel Feses Tikus

Feses tikus diambil secara aseptis langsung dari anus tikus dan ditampung dalam plastik steril. Pengambilan feses dilakukan pada setiap tikus dalam tiap kelompok dan feses disatukan tiap dua ekor tikus untuk feses yang memiliki kriteria yang sama (diare atau normal). Feses kemudian dihomogenasikan dalam larutan garam fisiologis (NaCl 0.85%) dan diencerkan secara bertingkat.

b. Pengambilan dan Persiapan Sampel Sekum dan Kolon (modifikasi Blay et al. 1999; Krause et al. 1995)

Sampel sekum dan kolon dari tikus dalam tiap kelompok diambil secara aseptis pada hari ke-13 (saat pengataman H12) dengan cara

membedah tikus. Pengambilan sekum dan kolon dilakukan secara terpisah dan masing-masing diletakkan dalam cawan petri steril. Selanjutnya isi sekum dan kolon masing-masing dikeluarkan dengan cara merobek sekum maupun kolon menggunakan gunting steril kemudian mengeluarkan isinya menggunakan sudip steril. Isi sekum dan kolon masing-masing ditimbang. Isi sekum dan kolon tersebut masing-masing kemudian dihomogenasikan dalam larutan garam fisiologis (NaCl 0.85%) dan diencerkan secara bertingkat.

c. Penghitungan Jumlah Laktobasili dan E. coli pada Feses, Sekum, dan Kolon Tikus

Pengenceran yang sesuai pada feses, sekum, dan kolon tikus kemudian dipupukkan pada media Rogosa agar untuk menghitung jumlah laktobasili (Harrigan 1998) dan EMBA untuk menghitung jumlah E. coli (Swanson et al. 2002). Untuk dapat membedakan letak sekum dan kolon pada sistem pencernaan tikus dapat dilihat pada Gambar 5. Jumlah laktobasili dan E. coli pada kolon dan sekum pada pengamatan H12 yang kemudian dianalisis dengan program SPSS 13.0 dan uji beda lanjut dengan uji Duncan.

Gambar 5 Skema saluran perncernaan tikus Bagian kolon yang diambil Bagian sekum

d. Preparasi Spesimen Kolon Untuk Analisis SEM (Scanning Electron Microscope) (modifikasi Savage & Blumershine 1974)

Satu ekor tikus tiap kelompok dibedah dan diambil bagian kolonnya. Kolon dibersihkan dari isinya dengan cara diambil menggunakan sudip steril kemudian kolon dipotong pendek sekitar 0.5 cm. Selanjutnya potongan kolon tersebut direndam dalam larutan 2%

glutaraldehyde dalam buffer phosphate pada pH 7.3 dan suhu 4oC yang kemudian disimpan selama 2 hari (tahap prefiksasi). Tahap ini bertujuan untuk mematikan sel tanpa mengubah struktur sel yang akan diamati. Pada tahap fiksasi, sampel direndam dalam tannic acid 2% selama 6 jam, selanjutnya dicuci dengan cacodylate buffer selama 15 menit sebanyak 4 kali, kemudian dicuci dengan osmium tetraoksida 1% selama 1-4 jam dan dicuci dengan akuades selama 15 menit sebanyak 1 kali. Tahap ini terutama bertujuan untuk memberikan kontras yang lebih baik sehingga lebih mudah untuk diamati. Pada tahap dehidrasi, sampel direndam dengan alkohol konsentrasi bertingkat, yaitu 50% selama 5 menit sebanyak 4 kali, 70% selama 20 menit, 85% selama 20 menit, 95% selama 20 menit, dan alkohol absolut selama 10 menit sebanyak 2 kali. Tahap dehidrasi ini bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam sayatan sehingga tidak mengganggu proses pengamatan. Spesimenkemudian dibekukan dalam freezer sampai beku, selanjutnya dimasukkan freeze dryer sampai kering. Spesimen selanjutnya direkatkan pada stub menggunakan perekat karbon, disepuh dengan emas (metal coating). Pelapisan dengan emas ini bertujuan untuk mempertinggi kontras terhadap sel. Sampel siap diamati dengan SEM.

e. Pewarnaan Gram Isolat Bakteri (Hadioetomo 1993)

Sebanyak 1 lup penuh air steril diletakkan pada kaca obyek, kemudian dengan jarum ose steril dipindahkan sedikit isolat ke atasnya, selanjutnya dicampurkan dan disebarkan hingga rata dan dibiarkan olesan mengering oleh udara. Kaca obyek dilalukan di atas api Bunsen, di mana kaca obyek harus terasa agak panas bila ditempelkan pada

punggung tangan, atau sekali-kali dikering anginkan di udara hingga terbentuk lapisan kultur yang tipis dan merata.

Pewarnaan Gram dimulai dengan meneteskan pewarna primer (kristal violet) secara merata di atas kultur pada kaca obyek, dan dibiarkan selama 1 menit. Kemudian kaca obyek dimiringkan untuk membuang kelebihan kristal violet, lalu dibilas dengan air dari botol pijit, dan sisa air diserap dengan menggunakan kertas serap. Olesan ditetesi dengan lugol selama 2 menit, kemudian dimiringkan seperti di atas dan kemudian dibilas dengan air, sisa warna yang masih ada dihilangkan dengan pemucat warna etanol 95%, tetes demi tetes selama 10-20 detik sampai zat warna kristal tidak terlihat lagi mengalir dari kaca obyek. Selanjutnya dicuci kembali dengan air dari botol pijit, lalu ditiriskan dan ditetesi dengan larutan safranin selama 10-20 detik. Kaca obyek kemudian dimiringkan dan kembali dibilas dengan air dari botol pijit, ditiriskan dan sisa air yang masih ada diserap dengan kertas serap. Preparat siap untuk diperiksa dengan mikroskop.

Pemeriksaan dengan mikroskop dilakukan dengan menggunakan lensa obyektif minyak imersi (1000x), dimulai dari perbesaran yang terendah dan berangsur-angsur diganti dengan yang tinggi. Pengamatan dilakukan terhadap ukuran, bentuk, cara pengelompokan (tunggal, berpasangan, rantai, bergerombol, dan sebagainya). Reaksi Gram positif ditandai dengan warna sel ungu atau biru dan Gram negatif berwarna merah muda.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengujian Aktivitas Antibakteri Lactobacillus terhadap E. coli

Enteropatogenik (EPEC K1.1)

Pada pengujian pertama, yaitu kontak antara isolat Lactobacillus 106 cfu/ml dengan EPEC K1.1 105 cfu/ml, dari 19 isolat Lactobacillus yang diujikan hanya terdapat 5 isolat Lactobacillus yang dapat menurunkan jumlah E. coli > 2 log cfu/ml, yaitu isolat L. rhamnosus B16, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, dan isolat R25, sedangkan untuk isolat L. rahmnosus R12, L. rhamnosus R26, dan L. rhamnosus B10 jumlah E. coli meningkat hingga lebih dari 105 cfu/ml yaitu meningkat sekitar 1 log cfu/ml. Jika dibandingkan dengan kontrol EPEC dimana isolat EPEC K1.1 ditumbuhkan dalam susu skim 10% tanpa penambahan isolat Lactobacillus, ketiga isolat Lactobacillus tersebut cukup dapat menghambat pertumbuhan E. coli, karena pada kontrol EPEC peningkatan pertumbuhannya hingga sebesar 3,01 log cfu/ml. Untuk 11 isolat Lactobacillus

lainnya dapat menghambat pertumbuhan EPEC K1.1, tetapi tidak lebih dari 2 log cfu/ml. Hasil pengujian pertama aktivitas antibakteri Lactobacillus terhadap EPEC K1.1 dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Penurunan jumlah EPEC K1.1 oleh 19 isolat Lactobacillus 106 cfu/ml

Kelima isolat Lactobacillus yang dapat menurunkan jumlah E. coli sebesar > 2 log cfu/ml dengan konsentrasi Lactobacillus sebesar 106 cfu/ml, yaitu L. rhamnosus B16, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, dan isolat R25 diujikan kembali dengan EPEC 105 cfu/ml tetapi dengan konsentrasi

Lactobacillus sebesar 108 cfu/ml. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

Lactobacillus dengan konsentrasi 108 cfu/ml terhadap EPEC K1.1. Konsentrasi

Lactobacillus yang tinggi ini digunakan dengan pertimbangan bahwa akan terjadi penurunan sejumlah Lactobacillus di dalam saluran pencernaan karena adanya kondisi keasaman lambung dan garam empedu. Berdasarkan penelitian Nuraida et al. (2007) menyatakan bahwa 19 isolat Lactobacillus yang digunakan dalam pengujian tersebut seluruhnya mengalami total penurunan oleh asam lambung dan garam empedu sebesar < 3 log cfu/ml dengan pengujian secara in vitro. Dengan pertimbangan tersebut, diharapkan kelima isolat Lactobacillus (L. rhamnosus

B16, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, dan isolat R25) dengan 108 cfu/ml maka akan masih terdapat sisa Lactobacillus yang bertahan kurang lebih 105-106 cfu/ml yang masih dapat menurunkan EPEC K1.1 sebesar > 2 log cfu/ml. Hasil pengujian tahap kedua antara kelima isolat Lactobacillus

konsentrasi 108 cfu/ml dengan EPEC K1.1 dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Penurunan jumlah EPEC K1.1 oleh 5 isolat Lactobacillus 108 cfu/ml

Dari hasil pengujian dengan menggunakan jumlah Lactobacillus kontak yang lebih besar (108 cfu/ml) terdapat tiga isolat dengan nilai penghambatan

tertinggi terhadap EPEC K1.1, yaitu isolat L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16. Ketiga isolat tersebut dapat menghasilkan penghambatan terhadap EPEC K1.1 sekitar 3 log cfu/ml. Berdasarkan hasil tersebut diatas maka dipilih 3 isolat Lactobacillus yang akan digunakan dalam pengkajian aktivitas antidiare secara preventif menggunakan hewan percobaan, yaitu L. rhamnosus

R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16.

Hasil tersebut juga berkorelasi dengan hasil penelitian Nuraida et al. (2007) yang menyatakan bahwa ketiga isolat BAL tersebut memiliki daya penghambatan yang cukup baik terhadap E. coli dengan menggunakan metode difusi agar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat L. rhamnosus R14 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 2,8 mm, L. rhamnosus R23 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 3,6 mm, dan L. rhamnosus B16 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 4,1 mm.

Efektifitas penghambatan terhadap mikroba tertentu dapat bersifat menginaktifkan, merusak, atau menghancurkan sel yang berlanjut ke arah kematian. Menurut Pelczar dan Chan (1986), senyawa antimikroba dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba dengan mekanisme berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat proses pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk, dan perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran nutrisi dari dalam sel. Dengan rusaknya membran sitoplasma akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel.

Ada beberapa senyawa yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang bersifat antimikroba, diantaranya adalah asam-asam organik, hidrogen peroksida, dan senyawa protein atau kompleks spesifik yang disebut bakteriosin (Ouwehand & Vesterland 2004). Dalam penelitian ini tidak diidentifikasi jenis senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh galur-galur Lactobacillus yang digunakan, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa BAL menghasilkan beberapa senyawa yang menghambat pertumbuhan mikroba. Asam laktat dan asam asetat adalah salah satu senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh BAL. Akan tetapi, BAL yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan Lactobacillus

menjadi asam laktat sehingga dapat diprediksikan bahwa asam yang dihasilkan oleh Lactobacillus homofermentatif dan diduga memiliki kemampuan sebagai antimikroba adalah asam laktat.

Bakteri asam laktat memproduksi asam organik (asam laktat, asam format, dan asam asetat), diasetil, hidrogen peroksida, karbondioksida, dan bakteriosin yang berpotensi untuk menghambat beberapa mikroorganisme lain (Davidson & Hoover 1993). Sebagian besar bakteri asam laktat telah dilaporkan dapat menginaktivasi bakteri patogen serta menghambat pertumbuhan kapang dan beberapa substansi antibakteri telah berhasil diisolasi (Gourama & Bullerman 1995).

Asam akan menyebabkan penurunan pH di bawah kisaran pH pertumbuhan bakteri, di mana asam-asam ini dalam bentuk tidak terdisosiasi yang dapat berdifusi secara pesat ke dalam sel mikroba. Menurut Ostling dan Lindgren (1990) asam tidak terdisosiasi akan terurai menjadi anion dan proton, di mana proton (H+) akan masuk ke dalam sel, akibatnya fungsi metabolisme akan terganggu seperti terjadinya pengasaman sitoplasma, penghambatan transfer substrat, sintesis makromolekul, yang secara keseluruhan pertumbuhan bakteri akan dihambat.

Salah satu senyawa antimikroba yang dihasilkan BAL adalah bakteriosin yang merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan pada fase stasioner yaitu rata-rata setelah 24 jam inkubasi. Bakteriosin berperan lebih baik apabila bakteri asam laktat terus-menerus dikonsumsi sehingga mampu melekat pada sel epitelial dan mengkoloni di permukaan usus. Perjalanan makanan maupun bakteri hanya membutuhkan waktu kira-kira 12 jam dari mulut ke rektum, sehingga konsumsi bakteri probiotik harus dilakukan secara rutin setiap hari (Surono 2004).

Beberapa jenis bakteriosin yang dihasilkan oleh spesies laktobasili, yaitu

L.acidophilus menghasilkan lactatin (Barefoot & Klaenhammer 1983; Muriana & Klaenhammer 1991), L.plantarum menghasilkan plantaricin (Franz et al. 1998), dan L.sake menghasilkan sakacin (Schillinger & Lucke 1989). Menurut Dover et al. (2007), menyatakan bahwa bakteriosin yang dihasilkan oleh Lactobacillus rhamnosus adalah lactocin.

Dokumen terkait