• Tidak ada hasil yang ditemukan

Probiotik dan Peranannya dalam Mencegah Diare

Probiotik didefinisikan sebagai sediaan sel mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya (Schmid et al. 2006). Sebagai bahan konsumsi manusia, lebih khusus probiotik didefinisikan sebagai suplemen atau komponen makanan berupa mikroba hidup yang telah terbukti memiliki efek menguntungkan bagi kesehatan manusia.

Mikroorganisme probiotik sebagian besar merupakan bakteri dari galur

Lactobacillus dan Bifidobacterium. Salminen et al. (2004) menyebutkan beberapa bakteri asam laktat yang telah digunakan sebagai probiotik komersial antara lain

Lactobacillus casei, Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus acidophillus, Bifidobacterium longum dan Bifidobacterium bifidum.

Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh bakteri asam laktat yang berfungsi sebagai mikroba probiotik antara lain (Salminen et al. 2004):

(1) Suatu probiotik harus nonpatogenik yang mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu, dan masih aktif pada kondisi asam lambung dan konsentrasi garam empedu yang tinggi dalam usus halus

(2) Suatu probiotik yang baik harus mampu tumbuh dan bermetabolisme dengan cepat dan terdapat dalam jumlah yang tinggi dalam usus

(3) Probiotik yang ideal dapat mengkolonisasi beberapa bagian dari saluran usus untuk sementara

(4) Probiotik dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri merugikan

(5) Mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan hidup selama kondisi penyimpanan.

Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting suatu organisme untuk dapat menjadi probiotik karena pH asam lambung yang sangat

rendah (sekitar 2.5) (Jacobsen et al 1999). Toleransi BAL terhadap asam disebabkan oleh kemampuannya untuk mempertahankan pH sitoplasma lebih basa daripada pH ekstraseluler. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Gradien proton yang besar akan merugikan karena translokasi proton menggunakan banyak energi. Selain itu, gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut.

Bakteri asam laktat merupakan mikroorganisme fermentatif yang dapat hidup pada kisaran pH luas. Pertahanan utama sel bakteri dari lingkungannya adalah membran seluler yang terdiri atas struktur lemak dua lapis. Bila sel bakteri terpapar pada kondisi asam, maka membran sel dapat mengalami kerusakan dan berakibat hilangnya komponen-komponen intraseluler, seperti Mg, K, dan lemak dari sel. Biasanya kerusakan ini menyebabkan kematian pada sel. Kondisi ini dapat dideteksi dengan cara mengukur konsentrasi komponen intraseluler yang keluar dari dalam sel. Bakteri yang toleran terhadap asam, membran selnya lebih tahan terhadap kebocoran akibat pH rendah dibandingkan dengan bakteri yang tidak tahan asam. Penelitian yang dilakukan Bender et al. (1987) yang dikutip oleh Hutkins dan Nannen (1993) menyatakan bahwa pada galur streptokoki yang kurang tahan terhadap asam, ion Mg keluar dari dalam sel ketika pH ekstraseluler 4.0, sedangkan pada L.casei hal tersebut terjadi pada pH ekternal di bawah 3.0. Bender et al. (1987) menyatakan bahwa perbedaan ketahanan terhadap kerusakan membran yang disebabkan oleh pengasaman tampak bervariasi untuk setiap organisme dan derajat toleransi asam.

Toleransi bakteri asam laktat yang cukup tinggi terhadap asam biasanya juga disebabkan karena bakteri tersebut mampu mempertahankan pH sitoplasma lebih alkali daripada pH ekstraseluler (Hutkins & Nannen 1993). Untuk mempertahankan pH sitoplasma supaya lebih basa sel harus mempunyai barier terhadap aliran proton. Barier ini umumnya adalah membran sitoplasma. Perbedaan kerentanan membran sitoplasma terhadap kondisi asam menentukan toleransi bakteri tersebut pada pH rendah. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya

penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Bagi BAL gradien proton yang besar tidak menguntungkan sebab translokasi proton menggunakan banyak energi. Selain itu gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut.

Komposisi asam lemak penyusun membran sitoplasma beragam diantara spesies bakteri dimana keragaman tersebut mempengaruhi karakteristik dan permeabilitasnya. Beberapa protein dalam membran secara spesifik juga memfasilitasi pergerakan senyawa melewati membran. Komposisi dan struktur protein berbeda pada membran sitoplasma juga menentukan karakteristik dan permeabilitas membran tersebut. Keragaman asam lemak dan protein pada membran sitoplasma diduga juga mempengaruhi keragaman ketahanan bakteri terhadap pH rendah. Menurut Booth et al. (1989) pada beberapa bakteri Gram positif terjadi peningkatan sintesis asam amino fosfolipid yang bermuatan positif jika ditumbuhkan pada media yang ber-pH rendah. Perubahan ini diduga karena ionisasi asam amino pada pH rendah menyebabkan permukaan membran bermuatan positif sehingga dapat bertindak sebagai barrier proton.

Setelah bakteri tersebut berhasil melalui lambung, mereka akan memasuki saluran usus bagian atas dimana garam empedu disekresikan sehingga ketahanan BAL terhadap garam empedu juga sangat penting. Seperti halnya ketahanan terhadap asam, menurut Zavaglia et al. (1998) dan Jacobsen et al. (1999), semua mikroba yang berhasil hidup setelah tumbuh dalam MRSA yang ditambah 0.3% oxgal, dinyatakan bersifat tahan terhadap garam empedu. Konsentrasi garam empedu sebesar 0.3% merupakan konsetrasi yang kritikal, nilai yang cukup tinggi untuk menyeleksi isolat yang resisten terhadap garam empedu.

Pada saat bakteri memasuki bagian atas saluran usus, bakteri akan terpapar cairan empedu yang disekresikan ke dalam usus. Cairan empedu merupakan campuran dari asam empedu, kolesterol, asam lemak, fosfolipid, pigmen empedu dan sejumlah xenobiotik terdetoksifikasi. Sekresi pankreas juga mengandung serangkaian enzim pencernaan, dimana enzim yang bersifat lipolitik diaktifkan oleh karakteristik aktif dari empedu. Kombinasi tersebut bersifat bakterisidal bagi

mikroorganisme komensal dalam tubuh manusia kecuali bagi beberapa genus penghuni usus yang tahan terhadap empedu.

Gilliland (1984) menyatakan bahwa derajat toleransi terhadap empedu merupakan karakteristik yang penting bagi bakteri asam laktat sebab hal tersebut berpengaruh terhadap aktivitasnya dalam saluran pencernaan. Pada penelitian yang dilakukan Gilliland (1984) terbukti bahwa sel yang diinkubasi pada larutan penyangga yang mengandung oxgal mengalami peningkatan kebocoran materi intraseluler yang terabsorbsi pada panjang gelombang 260 nm, yang berarti terjadi perubahan sifat permeabilitas pada membran sel bakteri.

Isolat yang tidak tahan garam empedu kemungkinan mengalami kebocoran materi intraseluler sehingga menyebabkan kematian. Isolat-isolat yang relatif resisten terhadap garam empedu kemungkinan memiliki karakteristik biologis yang membuatnya bertahan terhadap keberadaan garam empedu. Smet et al.

(1995) menyatakan bahwa beberapa Lactobacillus mempunyai enzim untuk menghidrolisa garam empedu (bile salt hydrolase). Enzim ini mampu mengubah kemampuan fisika kimia yang dimiliki garam empedu, sehingga tidak bersifat racun bagi bakteri asam laktat.

Berbagai penelitian telah menunjukkan potensi isolat bakteri asam laktat untuk mengurangi kejadian diare, baik yang disebabkan oleh infeksi bakteri patogen, virus, maupun diare yang disebabkan oleh konsumsi antibiotik. Michail dan Abernathy (2002) menemukan bahwa Lactobacillus plantarum dapat menurunkan respon sekretori dari sel epitelial usus karena infeksi enteropatogenik

E. coli. Lactobacillus rhamnosus GG juga ditemukan dapat mencegah dan menyembuhkan diare akut akibat rotavirus pada anak-anak (Szajewska et al. 2001; Shornikova et al. 1997).

Probiotik juga diketahui mempunyai pengaruh yang baik terhadap diare yang disebabkan oleh penggunaan antibiotik. Laktobasili seringkali dilaporkan memiliki efek yang menguntungkan bagi diare jenis ini. Pada orang dewasa, pemberian L. acidophillus dan L. bulgaricus secara profilaktik efektif mencegah diare pada pasien yang mendapat perawatan ampisilin. Selain itu ditemukan pula bahwa pemberian kultur L. acidophillus atau L. rhamnosus dapat mencegah efek

samping (diare) pada pasien yang menjalani iradiasi abdomen (Heyman & Menard 2002).

De Roos dan Katan (2000) menyebutkan bahwa probiotik kemungkinan mencegah diare karena menghambat pertumbuhan bakteri patogen dengan memproduksi bakteriosin atau dapat berkompetisi dengan patogen untuk berikatan dengan sel epitel. Qin et al. (2005) menemukan bahwa terdapat peningkatan integritas ikatan epitel usus dan mikrofili pada kelompok tikus yang diberi probiotik L. acidophilus. Ikatan kompleks tersebut memungkinkan masih terjadinya difusi paraseluler ion dan solut lainnya tetapi tidak untuk mikroorganisme dan makromolekul yang berpotensi toksik. Penempelan galur

Lactobacillus tertentu pada sel epitel usus dapat menghambat pengikatan patogen enterik secara signifikan melalui eksklusi kompetitif. Penghambatan patogen enterik ini dapat berhubungan dengan induksi ekspresi gen musin usus dan kemampuan bakteri probiotik untuk berikatan dengan mukus dan galur sel kolon manusia (Heyman & Menard 2002).

De Roos dan Katan (2000) juga menyebutkan bahwa probiotik dapat mencegah atau meringankan diare melalui pengaruhnya terhadap sistem imun. Infeksi oleh bakteri menginduksi pembentukan antibodi humoral yang disekresikan oleh plasma darah pada nodus limfe regional dan pada submukosa saluran pernapasan dan pencernaan. Antibodi IgA sekretori spesifik untuk struktur bakteri tertentu dapat memblok penempelan bakteri pada sel epitel mukosa dan merupakan pertahanan inang utama terhadap penempelan bakteri. IgA sekretori berperan penting sebagai fungsi efektor pada permukaan membran, yang merupakan tempat masuk utama organisme patogen. Pengikatan IgA sekretori pada permukaan bakteri dan virus mencegah penempelan patogen pada sel mukosa sehingga mencegah infeksi dan kolonisasi (Goldsby et al. 2007).

Beberapa studi telah menunjukan adanya pengaruh konsumsi probiotik terhadap sistem imun inang. Beberapa jenis bakteri asam laktat seperti L. casei, L. rhamnosus dan L. plantarum dapat meningkatkan imunitas sistemik maupun imunitas mukosa. Bahan pangan yang mengandung bakteri probiotik dapat menstimulasi respon imun immunoglobulin A (IgA) (Galdeano & Perdigon 2006). Link-Amster et al. (2000) di dalam De Roos dan Katan (2002) menemukan bahwa

pada relawan yang divaksinasi Salmonella typhimurium dan mengkonsumsi yogurt yang mengandung B. bifidum dan L. acidophilus terjadi peningkatan konsentrasi IgA dalam serum darahnya. Antibodi IgA terarah untuk melawan antigen O dan K Escherichia coli dan enterotoksin (Hanson 1976).

Bakteri asam laktat mampu menstimulasi sistem imun karena adanya senyawa peptidoglikan dan lipopolisakarida dalam dinding sel. Bakteri asam laktat melakukan kontak dengan sistem imun saluran usus melalui sel M atau sel

folikel epitelium dari Peyer’s patch atau melalui sel epitelial saluran usus halus

atau usus besar. Interaksi antara bakteri asam laktat dengan sel M hanya menstimulasi respon imun spesifik, sedangkan interaksi antara bakteri asam laktat dengan sel folikel epitel menstimulasi respon imun non spesifik atau peradangan meskipun juga dapat meningkatkan respon imun spesifik (Surono 2004).

Probiotik selain mempunyai efek modulasi flora normal saluran pencernaan, probiotik juga mampu berperan sebagai modulator sistem imun (Gorbach 2000).

Lactobacilli meningkatkan fungsi imunitas seluler dan humoral (Vanderhoof 2001). Bakteri ini mampu menstimulasi sistem imun antara lain meningkatkan fungsi fagositosis makrofag, sel natural killer (NK), monosit dan netrofil.

Lactobacillus GG mampu merangsang sekresi IgM setelah vaksinasi rotavirus dan meningkatkan produksi IgA dengan hasil akhir meningkatkan produksi imunoglobulin (Walker 2000).

Dokumen terkait