• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUJIAN KEMAMPUAN NYALA

[26] Gambar 26 memperlihatkan aliran cairan pada peristiwa kapilarisasi cairan

4 PENGUJIAN KEMAMPUAN NYALA

Pendahuluan

Program-program konservasi dan diversifikasi energi, seperti gasohol, minyak nabati, dan lain-lain telah dilakukan secara intensif. Kehadiran teknologi fast pyrolysis yang mampu menghasilkan bio oil sebesar 70% dari berat biomassa merupakan terobosan baru yang mampu mengatasi kendala di atas dan prospek yang cerah dalam pemanfaatan biomassa (Chamidy 2003). Bio oil memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan bahan bakar fosil, diantaranya adalah lebih murah untuk ditransportasikan dan kerapatan energi volume bio oil sebesar 20 GJ/m³ sedangkan biomassa hanya 4 GJ/m³, sehingga sangat memungkinkan sekali untuk memanfaatkan bio oil sebagai pengganti bahan bakar fosil terutama minyak tanah (Chamidy 2003). Kelemahan utama dari minyak ini sebagai pengganti bahan bakar fosil adalah sifat fisik yang masih rendah dan lebih sulit untuk dinyalakan (dibakar) dibandingkan dengan bahan bakar minyak tanah dan lambatnya kecepatan naik minyak sepanjang sumbu untuk siap terbakar. Reksowardojo (2008) pernah mencoba memodifikasi kompor tekan yang awalnya untuk minyak tanah. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk penyalaan awal memang lebih lama dibandingkan jika menggunakan minyak tanah. Hal ini diakibatkan karena titik bakar minyak jarak lebih tinggi dibandingkan minyak tanah. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam penelitian ini dilakukan pengujian kemampuan nyala untuk melihat minyak nabati dapat terbakar atau tidak dalam kaitannya sebagai bahan bakar dalam kompor sumbu.

Bahan Bakar

Bahan bakar adalah zat atau materi yang apabila dibakar dapat menyebabkan dan melangsungkan proses pembakaran (http://ms.wikipedia.org/ Pembakaran). Pada umumnya bahan bakar yang dipergunakan secara komersial sampai saat ini adalah baik dalam fasa padat, cair maupun gas memanfaatkan

senyawa organik (hidrokarbon) yang berasal dari minyak bumi, batubara, biomassa ataupun minyak dari biji-bijian. Sifat fisika dan kimia bahan bakar sangat bervariasi dan hal ini memberikan pengaruh yang penting terhadap karakteristik nyala. Dalam menentukan suatu senyawa atau minyak dapat dipergunakan sebagai bahan bakar adalah memiliki titik nyala yang cukup rendah dengan nilai kalor yang sangat tinggi (Kuo K.K 1986). Bentuk bahan bakar yang umum dikenal adalah bahan bakar padat, termasuk batu bara dan kayu, bahan bakar cair tersusun dari senyawa-senyawa hidrokarbon cair, sedikit mengandung S dan N, misalnya minyak tanah yang dipergunakan untuk kompor dan lampu penerangan. Sedangkan bahan bakar gas merupakan bahan bakar yang sekarang memiliki potensi besar, misalnya gas hidrogen (Strehlow 1985). Bahan bakar cair dapat digolongkan berdasarkan suhu titik nyala dan tekanan uapnya, seperti golongan pertama adalah bahan bakar cair yang mudah menyala dengan titik nyala dibawah 37,8 oC dan dan titik didih tidak lebih dari 37,8 oC, golongan kedua bahan bakar cair mudah terbakar dengan titik nyala sama atau diatas 37,8 oC. Titik nyala adalah suatu angka yang menyatakan suhu terendah dari bahan bakar minyak dimana akan timbul penyalaan api sesaat, apabila pada permukaan minyak tersebut didekatkan pada nyala api (Reksowardojo 2008).

Teori Pembakaran

Pembakaran didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan cahaya (api) dan panas akibat kombinasi kimia walaupun secara umum pembakaran dikenal sebagai suatu proses reaksi kimia antar bahan bakar dan oksidator dalam hal ini oksigen yang melibatkan pelepasan energi panas (Strehlow 1985).

Terdapat dua aspek penting dalam termodinamika kimia pembakaran, yaitu :pertama, stoikiometri pembakaran, dalam stoikiometri kimia pembakaran, hal yang diinginkan adalah untuk mengetahui secara tepat atau secara stoikiometri jumlah udara yang harus dipergunakan untuk mengoksidasi bahan bakar. Jika udara yang masuk lebih besar dari jumlah stoikiometrinya, campuran ini disebut dengan fuel-lean, apabila lebih sedikit dari stoikiometri, campuran ini disebut fuel-rich. Perbandingan stoikiometri udara-bahan bakar ditetapkan dengan

menulis neraca massa atom dengan asusmi bahwa bahan bakar bereaksi secara sempurna. Oksigen yang dipergunakan dalam kebanyakan proses pembakaran berasal dari udara yang umumnya tersusun atas 21% oksigen dan 79% nitrogen (%volume), sehingga untuk setiap mol oksigen dalam udara terdapat 0,79/0,21 mol N2 atau 3,76 mol nitrogen. Untuk bahan bakar hidrokarbon CxHy (Kuo K.K

1986).

CxHy + a(O2 + 3,76N2)  x CO2 + (y/2) H2O + 3,76 aN2

dimana a = x + (y/4). Sering ditemui permasalahan untuk mendapatkan pencampuran bahan bakar dengan udara yang diberikan. Dengan demikian udara diberikan dalam jumlah berlebih untuk memastikan terjadinya pembakaran secara sempurna, dikenal dengan istilah udara berlebih (excess air), dimana reaksinya dapat ditulis sebagai

CxHy + a/(O2 + 3,76N2)  x CO2 + (y/2) H2O +a5 O2 + 3,76 aN2

dimana a = x + (y/4) dan a5 = a(1-)/

Kedua, hukum termodinamika 1, besarnya energi yang dilepaskan pada saat reaksi pembakaran terjadi disebut dengan panas pembakaran. Besarnya panas pembakaran ini sangat tergantung dari jenis bahan bakar yang dipergunakan dan kondisi proses, isobar, isothermal atau isovol. Secara umum panas pembakaran suatu reaksi pembakaran dinyatakan dalam panas entalpi, H, dengan satuan kJ/kg atau kJ/mol. Dalam termofluida, panas pembakaran didefinisikan sebagai panas yang dilepaskan per satuan massa bahan bakar jika stoikiometrik reaktan (bahan bakar + udara) terbakar dimana reaktan dan produk atau hasil reaksi berada pada pada suhu 298,15K dan tekanan 1 atm (Kuo K.K 1986).

Menurut Turn.R.S (1996), kekentalan minyak bakar akan mempengaruhi panjang lidah api (flame length, Lf), sudut api (angle of flame,), dan panas api

yang dilepas (heat realese) serta kecepatan api (flame speed). Semakin tinggi angka kekentalan minyak tersebut maka panjang lidah api akan semakin panjang, sudut semakin terendah, kecepatan api rendah, dan pelepasan panasnya kecil sehingga penurunan kekentalan minyak diperlukan.

Berdasarkan teori pembakaran, bahan bakar yang mengalir sepanjang sumbu nyala api menyebar secara radial keluar, sementara itu udara sebagai oksidator terhisap ke dalam. Ketika bahan bakar dan oksidator bertemu dalam keseimbangan stoikiometrik (stoichiometric equilibrium) akan terbentuk permukaan api (flame surface), dengan demikian permukaan api dapat didefiniskan sebagai titik dimana nilai equivalence ratio sama dengan satu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa api berada dalam bentuk laminer yang secara sederhana struktur penyebaran api laminer ditampilkan pada Gambar 43 (Turn.R.S 1996). Dengan demikian penurunan kekentalan minyak nabati yang dipergunakan sebagai bahan bakar diperlukan tidak hanya karena masalah aliran fluida kental, tetapi akan membutuhkan tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan fluida dengan kekentalan rendah.

Gambar 43 Struktur penyebaran api laminer (Turns R.S 1996). Tujuan Penelitian

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendapatkan data lama api menyala dan tinggi nyala.

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat

Pengujian kemampuan nyala minyak nabati dilakukan di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen Teknik Pertanian IPB dan Laboratorium Kimia Dasar Program Studi Teknik Kimia. Waktu penelitian dimulai bulan Maret 2009 sampai Juli 2009.

Bahan

Bahan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah sumbu kompor, minyak kelapa, minyak kacang tanah, minyak bintaro, minyak jelantah dan minyak jarak pagar serta campuran minyak tersebut dengan minyak tanah dan korek api.

Alat

Peralatan yang dipergunakan untuk melakukan pengujian kemampuan nyala adalah gelas kimia, kolom kaca atau selongsong aluminium untuk tempat sumbu, statif dan penjepit sebagai alat pemegang sumbu kompor, dan alat penghitung waktu digital.

Prosedur Percobaan

Percobaan diawali dengan memasang sumbu pada kolom gelas atau selongsong aluminium sepanjang 10-15 cm. Selongsong selanjutnya dimasukkan ke dalam gelas ukur yang telah diisi dengan minyak uji pada posisi sumbu terendaam sekitar 5 cm dan selongsong dipasang pada statif. Setelah sekitar lima menit, sumbu dinyalakan, diamati warna dan tinggi nyala serta penghitungan lama nyala dimulai seperti ditampilkan pada Gambar 44. Panjang sumbu yang terbakar diukur dan konsumsi minyak diketahui dengan penimbangan minyak awal dan akhir.

Hasil dan Pembahasan Pengaruh Jenis Minyak Terhadap Kemampuan Nyala

Hasil pengujian kemampuan menyala sebagai fungsi jenis minyak uji pada jenis sumbu 1 ditampilkan pada Tabel 4. Lama nyala merupakan lamanya api bertahan tetap hidup, sedangkan tinggi nyala diukur dengan mempergunakan penggaris dengan melihat tinggi rata-rata yang dicapai oleh lidah api. Dari Tabel 4 untuk sumbu yang dipergunakan jenis 1, tampak bahwa jenis yang dipergunakan memberikan karakteristik nyala yang cukup berbeda. Minyak nabati khususnya untuk minyak bintaro, minyak jelantah, minyak kacang tanah, dan minyak jarak pagar hanya mampu bertahan selama 5-8 menit, selanjutnya api mengecil dan mati, sedangkan untuk minyak kelapa 12 menit dan minyak tanah mampu mencapai hampir 62 menit sampai minyak habis dan mati. Hal ini diakibatkan oleh besarnya kekentalan minyak nabati dibandingkan dengan minyak tanah, sehingga kemampuan minyak nabati untuk naik ke bagian atas sumbu dimana penyalaan terjadi sangat lambat, akibatnya api mati sebelum minyak nabati sampai di bagian atas sumbu. Selain itu, titik bakar minyak nabati memang hampir lima puluh kali lebih tinggi dari titik bakar minyak tanah.

Tabel 4. Pengujian kemampuan menyala minyak pada sumbu 1. Jenis Minyak Lama Nyala

(menit) Tinggi Nyala (cm) Jelaga MT 62 20 ya MK 12 10 tidak MJP 8 7 tidak MKT 5 8 tidak MB 5 6 tidak MJ 5 6 tidak MT+MK 60 15 tidak MT+MKT 39 14 tidak MT +MB 34 14 tidak MT+MJ 34 14 tidak MT +MJP 34 13 tidak Keterangan : MT : Minyak Tanah, MK : Minyak Kelapa,

MKT : Minyak Kacang Tanah, MB : Minyak Bintaro, MJ : Minyak jelantah, MJP : Minyak Jarak Pagar

Sedangkan kemampuan menyala untuk campuran minyak nabati dengan minyak tanah tampak lebih baik. Waktu yang dicapai seluruh campuran hampir mencapai 30 sampai 60 menit. Pada pengujian kemapuan menyala, warna dan ketinggian nyala untuk minyak tanah dan minyak nabati jenis minyak diperlihatkan pada Gambar 45. Tampak bahwa warna api untuk minyak nabati hampir tidak berjelaga, sedangkan untuk minyak tanah menghasilkan jelaga yang berwarna hitam.

(a) (b)

Gambar 45 Warna lidah api minyak tanah (a) dan minyak nabati (b). Pengaruh Jenis Sumbu Terhadap Kemampuan Nyala

Jenis sumbu yang dipergunakan adalah dua sumbu kompor yang berbeda yang umum dijual di pasar dan dipergunakan oleh masyarakat pemakai kompor. Untuk jenis sumbu 1, komposisi jenis serat penyusunnya adalah terdiri dari kapas atau katun (33%) dan poliester (67%), sedangkan sumbu jenis 2 hampir seluruhnya tersusun atas serat kapas atau katun seperti tampak pada Gambar 46.

(a) (b)

Lama minyak tanah tetap menyala berlangsung sampai minyak tanah dalam bejana habis, sedangkan untuk minyak nabati kemampuan nyala bertahan hanya mencapai 5 sampai 40 menit seperti ditampilkan pada Gambar 47.

Gambar 47 Pengaruh sumbu terhadap kemampuan nyala minyak.

Secara keseluruhan fenomena kemampuan minyak nabati pada sumbu jenis 1 maupun jenis 2 mempunyai kecenderungan yang hampir sama. Minyak nabati tidak mampu bertahan lama dengan panjang lidah api yang pendek, hanya mencapai 6 - 10 cm. Tetapi untuk campurannya, panjang lidah api mencapai 11- 15 cm. Sifat katun adalah mudah terbakar dan habis sedangkan poliester mampu menahan nyala lebih lama (Kampmann B&Goldman R.F 2007). Pengaruh jenis sumbu pada ketinggian nyala memberikan perbedaan yang cukup besar seperti tampak pada Gambar 48, tetapi tidak memberikan warna nyala yang berbeda.

(a) (b)

Gambar 48 Tinggi lidah api pada sumbu 1 (a) dan sumbu 2 (b). 0 10 20 30 40 50 60 70

Sumbu 1 Sumbu 2 Sumbu 1 Sumbu 2

Lama Nyala (menit) Tinggi Nyala (cm)

MT MK MJP MB MJ MKT MT+MK MT+MJP

Kesimpulan

Dari hasil pengamatan, pengumpulan dan pengolah data dapat disimpulkan bahwa sumbu jenis 2 mempunyai kemampuan menyala lebih mudah tetapi sumbu jenis 1 lebih mampu mempertahankan nyala lebih lama. Lama api menyala untuk minyak kelapa berlangsung sampai 13 menit, disusul minyak jarak pagar mencapai 9 menit sedangkan untuk minyak bintaro, minyak jelantah dan minyak kacang tanah hanya bertahan selama 5 menit. Tinggi nyala api minyak kelapa mencapai 8 cm, minyak jarak pagar 8 cm sedangkan minyak bintaro, minyak kacang tanah dan minyak jelantah mencapai 6-7 cm.

Dokumen terkait