• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUKURAN KINERJA DAN PERANCANGAN KELEMBAGAAN RANTAI PASOK TEPUNG LOKAL

6 MODEL OPTIMASI TUJUAN JAMAK RANTAI PASOK TEPUNG TERIGU PADA KONDISI TIDAK PAST

7 PENGUKURAN KINERJA DAN PERANCANGAN KELEMBAGAAN RANTAI PASOK TEPUNG LOKAL

UNTUK MENDUKUNG SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU

Abstrak

Pada bab ini diuraikan pengukuran kinerja rantai pasok tepung lokal untuk mendukung substitusi tepung terigu yang bertujuan untuk mengetahui posisi rantai pasok tepung lokal saat ini. Hasil pengukuran kinerja sebagai masukan untuk mengembangkan kelembagaan antar pelaku rantai pasok. Tepung lokal yang digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu pada penelitian ini adalah tepung tapioka, tepung mocaf, dan tepung ubi jalar. Tepung tersebut dipilih karena berdasarkan penelitian sebelumnya cocok untuk menggantikan tepung terigu baik sebagian atau keseluruhan tepung terigu. Selain itu, bahan baku tepung lokal tersebut cukup tersedia di Indonesia. Kelembagaan yang dikembangkan pada penelitian ini adalah model kemitraan antara pelaku rantai pasok yaitu antara petani dan pelaku industri tepung lokal berupa pertanian kontrak dan pelaku industri tepung lokal dengan tepung terigu. Studi literatur, pengamatan lapangan, wawancara mendalam kepada para pakar dan pelaku rantai pasok dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai kelembagaan kemitraan yang sudah berjalan serta faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran rantai pasok. Teknik Interpretative Structural Modelling (ISM) digunakan untuk memperoleh elemen kunci keberhasilan dan keterkaitan antara elemen-elemen kelembagaan. Metode fuzzy Analytical Hierarchy Process (FAHP) diimplementasikan untuk memperoleh alternatif pertanian kontrak yang tepat antara pelaku rantai pasok. Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa peran pemerintah merupakan faktor kunci keberhasilan kelembagaan rantai pasok tepung lokal. Alternatif model kelembagaan antara petani ubi kayu dan industri tapioka adalah pola kemitraan inti plasma dan petani dan industri mocaf adalah pola inti plasma dengan petani sebagai pemasok chip. Kemitraan pelaku tepung lokal dan industri tepung terigu berbentuk subkontrak.

Kata kunci: kinerja rantai pasok, kelembagaan, substitusi tepung terigu, kontrak pertanian, interpretative structural modelling

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara pengimpor gandum kedua terbesar setelah Mesir. Gandum merupakan bahan baku pembuatan tepung terigu yang digunakan sebagai bahan dasar berbagai jenis makanan. Sebagian besar industri makanan di indonesia baik skala kecil menengah maupun skala besar umumnya menggunakan tepung terigu sebagai bahan baku utama. Hal ini dapat membahayakan ekonomi Indonesia jika terjadi gangguan pasokan maka akan menyebabkan perusahaan makanan di Indonesia yang berbasis tepung terigu akan mengalami kebangkrutan.

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tepung lokal seperti tapioka, mocaf, ganyong, tepung jagung, tepung ubi jalar dll. dapat menggantikan sebagian atau keseluruhan tepung terigu seperti terlihat pada Tabel 3. Namun penggunaan tepung lokal masih terbatas pada industri kecil menengah.

Studi ini mengidentifikasi dan mengukur kinerja rantai pasok tepung lokal yang ada di Jawa Barat untuk mengetahui posisi saat ini untuk mendukung substitusi tepung terigu pada industri terigu. Hasil analisis kinerja sebagai masukan untuk memperbaiki kelembagaan kemitraan rantai pasok tepung lokal.

Penelitian sebelumnya mengenai pengukuran kinerja rantai pasok antara lain dilakukan oleh Mutakin dan Hubeis (2011) yang mengukur kinerja rantai pasok produk semen dengan pendekatan Supply Chain Operations Reference (SCOR).

Oztemel dan Tekez (2009) menggunakan indikator seperti kepuasan pelanggan, margin keuntungan, kualitas produk, laju realisasi siklus produk, dan laju ketanggapan untuk mengukur kinerja rantai pasok. Indikator kinerja tersebut dipengaruhi oleh beberapa komponen meliputi permintaan konsumen, penggunaan kapasitas, kualitas produk, lead time pemasok, pergantian persediaan, harga bahan baku, dan keterlambatan. Arin et al. (2013) mengukur kinerja rantai pasok susu segar pada Pusat Koperasi Industri Susu (PKIS) Sekar Tanjung Pasuruan dengan pendekatan pembobotan kinerja dengan Analytic Network Process (ANP) dan rating scale.

Kelembagaan merupakan salah satu aspek yang penting untuk kelancaran rantai pasokan suatu barang atau komoditas. Pola kelembagaan diperlukan sebagai sarana untuk mengkoordinasikan semua kegiatan pada rantai pasok mulai dari budidaya, pengolahan pada industri hulu hingga industri hilir. Pada rantai pasok tepung lokal untuk substitusi tepung terigu ini melibatkan beberapa pelaku mulai petani, pengepul, industri pengolahan tepung lokal, industri tepung terigu, distributor hingga ke konsumen. Model kelembagaan antar pelaku rantai pasok perlu dikembangkan untuk menjamin keberlanjutan substitusi tepung lokal terhadap tepung terigu. Model kelembagaan kemitraan petani dengan industri pengolahan tepung lokal yang dikembangkan berupa pertanian kontrak (contract farming). Menurut Eaton dan Shepherd (2001), pertanian kontrak merupakan sebuah perjanjian antara petani dan perusahaan untuk produksi dan pemasokan produk-produk pertanian yang diatur di dalam kesepakatan awal, seperti kesepakatan penentuan harga. Patrick et al. (2004) mendefinisikan pertanian kontrak merupakan sebuah sistem intermediasi produksi dan pemasaran, yang membagi risiko produksi dan pemasaran di antara pihak industri (agribisnis) dengan petani sehingga dapat mengurangi biaya transaksi yang tinggi.

Tahapan yang dilakukan untuk pengukuran kinerja dan perancangan kelembagaan rantai pasok meliputi: 1) mengidentifikasi dan menganalisis mekanisme rantai pasok tepung lokal, 2) membuat peta aliran mekanisme rantai pasok serta anggota yang berperan dalam rantai pasok tepung lokal, 3) melakukan pengukuran kinerja pada pelaksanaan manajemen rantai pasok tepung lokal, dan 4) perancangan kelembagaan antara pelaku rantai pasok.

Tinjauan Pustaka Pengukuran Kinerja Rantai Pasok

Pengukuran kinerja rantai pasok merupakan pemantauan, pengendalian, pengkomunikasian, tujuan orgnisasi ke fungsi-fungsi rantai pasok dalam rangka perbaikan kinerja sehingg rantai pasok dapat berjalan dengan baik, efektif, dan efisien.

Pengukuran kinerja rantai pasok dilakukan antara lain bertujuan untuk: 1. Membantu pembuatan keputusan yang lebih baik

Mengetahui posisi kinerja rantai pasok saat ini akan membantu pengambil keputusan dalam rangka menyusun strategi peningkatan kinerja rantai pasok. 2. Mendukung terciptanya komunikasi yang lebih baik.

Pengukuran kinerja dapat menghasilkan hubungan komunikasi yang lebih baik bagi setiap anggota di rantai, yaitu komunikasi antar departemen perusahaan, komunikasi antara perusahaan dengan suplier, dan komunikasi antara departemen dengan manajemen atas.

3. Menyediakan umpan balik kinerja (performance feedback).

Pengukuran menyediakan umpan balik kinerja untuk membantu pencegahan atau koreksi masalah-masalah yang teridentifikasi saat proses pengukuran kinerja. Umpan balik juga memberi pengetahuan mengenai seberapa bagus pembeli, tim, atau suplier apakah kinerjanya sesuai atau tidak.

Berdasarkan review dilakukan oleh Setiawan et al. (2011), beberapa metode yang telah digunakan untuk pengukuran kinerja rantai pasok antara lain: metode Supply Chain Operations Reference (SCOR) yang dikenalkan oleh Supply Chain Council, metode Balanced Scorecard (BSC), Activity Based Costing(ABC), Multi-criteria Analysis (MCA), Life Cycle Analysis (LCA), Data Envelopment Analysis (DEA). Pada studi ini kinerja rantai pasok tepung lokal diukur menggunakan metode SCOR dan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk pembobotan metriks.

Supply Chain Operations References (SCOR)

SCOR (Supply Chain Operations Reference) adalah suatu model referensi

proses yang dikembangkan oleh Dewan Rantai Pasok (Supply chain Council) sebagai

alat analisis pengukuran kinerja manajemen rantai pasok. SCOR dapat digunakan untuk mengukur kinerja rantai pasok perusahaan, meningkatkan kinerjanya, dan mengkomunikasikan kepada pihak-pihak yang terlibat didalamnya. SCOR merupakan alat manajemen yang mencakup semua pelaku, mulai dari pemasoknya pemasok, hingga ke konsumennya konsumen.

Metode SCOR merupakan suatu metode sistematis yang mengkombinasikan elemen-elemen seperti; teknis bisnis, patok duga, dan praktek terbaik untuk diterapkan dalam rantai pasok. Kombinasi dari elemen-elemen tersebut diwujudkan ke dalam suatu kerangka kerja yang komprehensif sebagai referensi untuk meningkatkan kinerja manejemen rantai pasok perusahaan tertentu (Supply Chain Council, 2011). Sebagai sebuah model referensi maka pada dasarnya model SCOR didasarkan pada tiga pilar utama, yaitu:

1. Pemodelan proses: referensi untuk memodelkan suatu proses rantai pasok agar lebih mudah diterjemahkan dan dianalisis.

2. Pengukuran kinerja: referensi untuk mengukur kinerja suatu rantai pasok perusahaan sebagai standar pengukuran.

3. Penerapan praktek-praktek tebaik (best practices): referensi untuk menentukan

best practices yang dibutuhkan oleh perusahaan.

Sub-elemen atribut kinerja dan metrik kinerja pada pengukuran kinerja dengan teknik SCOR dapat dilihat pada Tabel 30.

Penelitian sebelumnya yang menggunakan metode SCOR untuk mengukur kinerja rantai pasok antara lain oleh Mutakin dan Hubeis (2011) yang mengukur rantai pasok komoditas semen. Setiawan et al. (2011) mengkombinasikan metode SCOR dan fuzzy AHP untuk merancang metrik pengukuran kinerja dan kemudian menggunakan metode DEA untuk mengukur kinerja rantai pasok sayuran di dataran tinggi Jawa Barat. Sidarto (2008) menggunakan model performance of activity (POA) untuk mengukur biaya, waktu, kapasitas, produktivitas, utilitas, dan keluaran. Selain itu, Sidarto (2008) juga menggunakan model SCOR untuk mengukur keandalan, ketanggapan, fleksibilitas, biaya dan aset-aset.

Kelembagaan

Eaton and Shepherd (2001) membagi pertanian kontrak ke dalam lima (5) tipe, yaitu:

1. Centralized model (model tersentralisasi), yaitu model yang terkoordinasi secara vertikal, dimana sponsor membeli produk dari para petani dan kemudian memprosesnya atau mengemasnya dan memasarkan produknya. Kuota produksi ditentukan sejak awal musim tanam, hal ini disertai dengan pengendalian yang ketat terhadap mutu.

2. Nucleus estate model (model inti-plasma), yaitu variasi dari model terpusat, dimana dalam model ini sponsor dari proyek juga memiliki dan mengatur tanah perkebunan yang biasanya dekat dengan pabrik pengolahan. Umumnya sistem ini diterapkan pada tanaman perkebunan, tetapi juga bisa diterapkan untuk peternakan sapi perahan. Contoh: perkebunan kelapa sawit (di wilayah transmigrasi) dan peternakan sapi perahan di Indonesia, perkebunan teh di India, Nepal dan Srilangka.

3. Multipartite model (model multipihak), yaitu biasanya melibatkan badan hukum dan perusahaan swasta yang secara bersama berpartisipasi bersama Tabel 30 Atribut kinerja rantai pasok metode SCOR

Atribut kinerja Definisi Metrik kinerja

Reliabilitas Kinerja rantai pasok dalam mengirimkan produk dengan tepat, pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan jumlah yang tepat, dan terdokumentasi dengan baik.

- Pesanan terkirim penuh

- Ketepatan Pengiriman - Kondisi barang

sempurna Responsivitas Kecepatan rantai pasok dalam

menyediakan produk ke konsumen.

- Waktu siklus memperoleh bahan baku

- Waktu siklus pengolahan Agilitas Kemampuan rantai pasok dalam

merespon perubahan pasar dalam upaya memenangkan persaingan pasar. - Kemampuan perubahan kapasitas produksi - Fleksibilitas kecepatan produksi

Biaya Biaya-biaya yang berhubungan dengan pengoperasian rantai pasok.

- Biaya pengolahan - Biaya perawatan Aset Kemampuan untuk secara efisien

memanfaatkan aset.

para petani. Contoh: di Cina, dimana departemen pemerintah, komite kota, dan perusahaan-perusahaan asing bersama-sama menyepakati kontrak dengan desa dan petani secara individual.

4. Informal model, yaitu model yang biasanya diaplikasikan terhadap wiraswasta perseorangan atau perusahaan kecil yang biasanya membuat kontrak produksi informal yang mudah dengan para petani berdasarkan musiman terutama untuk produk sayuran dan buah-buahan tropis. Contoh supermarket seringkali membeli produk segar dari para petani individual.

5. Intermediary model, yaitu suatu perusahaan memperoleh/membeli bahan baku melalui perantara seperti kolektor, koperasi atau kelompok petani. Contoh di Thailand, perusahaan makanan olahan membeli bahan baku dari para kolektor individual atau kelompok petani yang membuat pengaturan informal dengan pihak petani dimana di Indonesia disebut dengan plasma.

Menurut Daryanto (2012) di Indonesia secara umum mengenal empat tipe kontrak/kemitraan pertanian, yaitu:

1. Kemitraan inti plasma yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra yang disebut plama dengan perusahaan mitra yang disebut inti. Perusahaan mitra membina kelompok mitra dalam hal menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Keunggulan dari sistem inti plasma diantaranya adalah terciptanya saling ketergantungan dan saling memperoleh keuntungan serta terciptanya peningkatan usaha karena adanya pembinaan dari perusahaan inti. Kelemahan dari sistem inti plasma antara lain pihak plasma masih kurang memahami hak dan kewajibannya sehingga kesepakatan yang telah ditetapkan berjalan kurang lancar serta belum adanya kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban komoditas plasma sehingga terkadang pengusaha inti mempermainkan harga komoditas plasma. 2. Kemitraan sub kontrak, yaitu hubungan kemitraan antar kelompok mitra

dengan perusahaan mitra dimana kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. 3. Tipe dagang umum, yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan

perusahaan mitra, dimana kelompok mitra memasok kebutuhan perusahaan mitra sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.

4. Pola kerjasama operasional, yaitu pola kemitraan yang dijalankan oleh kelompok mitra dengan perusahaan mitra. Kelompok mitra adalah kelompok yang menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja. Sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaaan sarana produksi lainnya. Perusahaan mitra juga sebagai penjamin pasar dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan.

Tipe pertanian kontrak berdasarkan jenis kontrak yang dirumuskan oleh Wilson tahun 1986 dikutip dari Rustiani et al. (1997) ada tiga (3) tipe, yaitu: 1. Kontrak pemasaran

Pada tipe kontrak ini perusahaan inti hanya menentukan jenis dan jumlah produksi pertanian yang harus diserahkan. Biasanya dalam kontrak tipe ini, pihak inti tidak memperkenalkan cara atau teknik tertentu dalam proses produksi serta tidak harus memberikan sarana penunjang produksi bagi petani. Kontrak ini lebih merupakan perjanjian untuk membeli hasil produksi petani

kelak. Pada tipe kontrak ini, petani lebih bebas bekerja sesuai dengan keinginannya, tetapi di bawah kendali perusahaan inti.

2. Kontrak produksi

Pada tipe kontrak ini pihak inti terlibat dalam proses produksi berupa menentukan jenis dan jumlah komoditas dibudidaya, juga menentukan jenis varietas dan metode produksi. Pihak inti biasanya memberikan bantuan teknis dan menyediakan sarana produksi.

3. Integrasi vertikal

Pada sistem kontrak ini, semua proses produksi berada dalam kendali perusahaan inti yang menguasai seluruh alat produksi dan hasil produksi, kecuali tenaga kerja. Sementara itu, posisi petani setara dengan pekerja pengawas sewaan atau bahkan hanya sebagai pekerja borongan. Contoh: PT. Salim Ivomas Pratama, Tbk. adalah perusahaan yang bergerak pada penyulingan minyak crude palm oil (CPO) yang menghasil produk minyak goreng sawit dan margarin. Untuk mendukung kontinuitas pasokan bahan baku, perusahaan melakukan integrasi secara vertikal dengan usaha perkebunan sawit dan pabrik CPO. Pada integrasi vertikal perusahaan dapat memperoleh pasokan bahan baku yang cepat dengan harga yang stabil dan murah sehingga dengan strategi ini perusahaan dapat menekan biaya bahan baku.

Saptana et al. (2006) memperkenalkan beberapa pola kemitraan usaha (partnership) pada rantai pasokan produk pertanian yang umum, antara lain(1) Pola kemitraan dagang umum, pada pola ini terjadinya kontrak kerjasama biasanya terjadi pada tingkat supplier (midle man) dengan super market, restauran dan hotel, juga dengan pedagang besar di tujuan-tujuan pasar; (2) Pola kemitraan kontrak pertanian antara perusahan (industri) dengan petani atau kelompok tani (3) Pola kemitraan rantai pasok dalam kerangka pengembangan Sub-Terminal Agribisnis (STA) dan pasar lelang, (5) Pola kemitraan petani/kelompok tani dengan pedagang mitra; serta (6) Pola kemitraan kelompok tani dengan perusahaan pengolahan. 7) Pola kemitraan dalam menyediakan modal. Kemitraan petani dengan perusahaan dapat berupa perusahaan industri pengolahan, pedagang /supplier/vendor, perusahaan ekspor-impor atau perusahaan lainnya berperan menyediakan kebutuhan sarana produksi petani berupa bibit berkualitas, pupuk, dan sarana produksi lainnya sesuai kesepakatan yang tepat, yaitu tepat jumlah, tepat kualitas, tepat tempat, tepat waktu, tepat dosis, dan tepat harga yang ditetapkan dengan kesepakatan.

Pengambil Keputusan dengaan Analytical Hierarchy Process (AHP)

Metode AHP dikembangkan oleh dikembangkan oleh Saaty (1980) merupakan metode pengambilan keputusan multi kriteria baik kuantitatif maupun kualitatif. AHP ditujukan untuk memodelkan persoalan-persoalan tak terstruktur dan kompleks yang meliputi bidang ekonomi, sosial, maupun manajemen sains.

Tahapan-tahapan penyelesaian permasalahan dengan menggunakan metode AHP adalah sebagai berikut:

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. 2. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama.

Pada tahap ini ditentukan tujuan yang ingin dicapai dan elemen-elemen pada setiap hierarki. Elemen hierarki terdiri dari faktor-faktor yang

mempengaruhi pencapaian tujuan, pelaku yang mempengaruhi faktor dan elemen hierarki alternatif pemecahan masalah

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan.

Matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan penilaian dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. Untuk memulai proses perbandingan berpasangan dipilih sebuah kriteria dari level paling atas hierarki misalnya K dan kemudian dari level di bawahnya diambil elemen yang akan dibandingkan misalnya E1,E2,E3,E4,E5.

4. Mendefinisikan perbandingan berpasangan

Perbandingan berpasangan didefinsikan sehingga diperoleh jumlah penilaian seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan.

Skala perbandingan berpasangan antara 1-9 yang diperkenalkan oleh Saaty (1980) dimana mempunyai makna seperti ditunjukkan pada Tabel 31.

5. Membuat matriks pendapat gabungan

Pendapat gabungan diperoleh dengan cara menggabungkan matriks pendapat individu para pakar memakai rata-rata geometrik. Formulasi rata-rata geometrik adalah:

√∏

(7.1)

dimana:

gij = nilai matriks pendapat gabungan perbandingan tingkat kepentingan

elemen ke-i terhadap elemen ke-j

aij = nilai matriks pendapat individu tentang perbandingan tingkat

kepentingan elemen ke-i terhadap elemen ke-j k = individu ke-k (k= 1, 2, ..., m)

6. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan

Vektor eigen merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hierarki terendah sampai mencapai tujuan. Penghitungan dilakukan lewat cara menjumlahkan nilai setiap kolom dari Tabel 31 Nilai perbandingan berpasangan pada metode AHP

Nilai perbandingan berpasangan

Definisi 1 Kedua elemen sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lainnya,

5 Elemen yang satu lebih penting dari pada yang lainnya

7 Elemen yang satu jelas lebih penting dari pada elemen lainnya

9 Elemen yang satu mutlak lebih penting dari pada elemen lainnya

2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan,

matriks, membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks, dan menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah elemen untuk mendapatkan rata-rata.

7. Memeriksa rasio konsistensi hierarki

Jika tidak memenuhi dengan CR <0,10 maka penilaian harus diulang kembali. Untuk menentukan rasio konsistensi pertama dihitung indeks konsistensi dengan formula:

(7.2)

Selanjutnya nilai rasio konsistensi dapat dihitung dengan rumus:

(7.3)

Dimana

RI= nilai random indeks nilai eigen

Nilai CI menyatakan penyimpangan dari konsistensi atau disebut juga ukuran dari inkonsistensi, RI adalah nilai indeks konsistensi random dan merupakan nilai eigen maksimum. Nilai RI diperoleh dari tabel Oardkridge pada Tabel 32 dengan N = jumlah elemen alternatif atau kriteria.

Fuzzy Analytical Hierarchy Processing (FAHP)

Pemilihan pola kemitraan dilakukan dengan menggunakan pendekatan fuzzy analytical hierarchy process (FAHP). Penggunaan fuzzy pada AHP dimaksudkan untuk mengatasi ketidaktepatan dalam mempertimbangkan penilaian yang muncul akibat keterbatasan dan ketidakmampuan para responden (pakar). Teori himpunan fuzzy pertama kali dikenalkan oleh Zadeh (1965) yang merupakan perluasan dari pengertian himpunan klasik untuk mengatasi kesamaran pikiran manusia. Pada teori himpunan klasik, unsur-unsur keanggotaan dalam himpunan dinilai dalam hal biner menurut kondisi bivalen-elemen baik termasuk atau tidak termasuk dalam himpunan. Sebaliknya, teori himpunan fuzzy memungkinkan penilaian bertahap dari keanggotaan elemen dalam himpunan, digambarkan dengan bantuan sebuah fungsi keanggotaan yang dinilai dalam unit nyata interval [0,1]. Teori himpunan fuzzy memiliki kemampuan mempresentasikan data yang samar. Fungsi keanggotaan himpunan-himpunan fuzzy yang mempunyai bentuk ̃ : R[0,1] dengan jelas mempunyai pengertian kuantitatif dan dapat dilihat sebagai bilangan fuzzy.

Untuk memenuhi kebutuhan pemodelan masalah fuzzy, beberapa model bilangan fuzzy yang telah digunakan oleh peneliti antara lain bilangan fuzzy segitiga, bilangan fuzzy trapesium, dan bilangan fuzzy R-L. Pada penelitian ini menggunakan bilangan fuzzy segitiga. Jika x, α, , , Є R, dimana R adalah himpunan bilangan real. Bilangan fuzzy ̃ didefinisikan sebagai bilangan fuzzy segitiga jika fungsi keanggotaan seperti yang diuraikan pada persamaan 7.4 dan grafik bilangan keanggotaan fuzzy segitiga ditunjukkan pada Gambar 30.

Tabel 32 Nilai indeks random (RI) pada tabel Oardkridge

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

̃ { (7.4)

Penelitian tentang FAHP sebelumnya antara lain dilakukan oleh Kahraman et al. (2003) untuk pemilihan supplier dengan multi kriteria. Lee et al. (2012) menggunakan FAHP untuk pemilihan supplier dalam rantai pasok hijau. Kahraman et al. (2004) mengunakan FAHP pemilihan perusahaan katering yang memenuhi kepuasan pelanggan. Chang dan Yang (2011) menggunakan FAHP untuk menentukan kesukaan terhadap atribut produk berdasarkan pilihan konsumen. Beberapa penelitian FAHP yang telah disebutkan diatas umumnya menggunakan bilangan fuzzy segitiga untuk penilaian perbandingan berpasangan dan penurunan bobot vektor.

Tahapan metode FAHP menurut Javanbarg et al. (2012) adalah sebagai berikut:

1. Pembuatan struktur hierarki.

Pembuatan struktur hierarki sama dengan struktur AHP kovensional. Pada tahap ini ditentukan tujuan yang ingin dicapai dan elemen-elemen pada setiap hierarki. Elemen hierarki terdiri dari faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian tujuan, pelaku yang mempengaruhi faktor dan elemen hierarki alternatif pemecahan masalah. Setelah identifikasi sistem selesai maka dibuat struktur hierarki dengan melakukan abstraksi antara komponen dan dampak- dampaknya pada sistem.

2. Pengembangan matriks perbandingan fuzzy berpasangan.

Mempertimbangkan permasalahan prioritas pada suatu tingkat dengan n elemen, dimana penilaian perbandingan berpasangan dipresentasikan dengan bilangan fuzzy segitiga yaitu ̃ ( ). Seperti AHP konvensional, setiap himpunan perbandingan untuk suatu level nembutuhkan n(n-1)/2 penilaian yang mana lebih lanjut digunakan untuk membangun matriks perbandingan timbal balik fuzzy positif { ̃ } seperti berikut:

̃ [ ̃ ̃ ̃ ̃ ̃ ̃ ] (7.5) Gambar 30 Grafik fungsi keanggotaan bilangan fuzzy segitiga

dengan ̃ = 1 jika i=j, dan ̃ = ̃ ̃ ̃ ̃ ̃ atau ̃ , ̃ , ̃ , ̃ , ̃ jika i≠ j.

Jaganathan et al. (2007) memberikan fungsi keanggotaan untuk setiap atribut kepentingan dengan model representasi bilangan fuzzy segitiga, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 33.