• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUMPULAN DATA KUANTITATIF

Dalam dokumen STUDI AGRARIA menurut GUNA W AN WIRADI (Halaman 116-128)

METODE PENGUMPULAN DATA

SUMBER DATA DAN METODE PENGUMPULAN DATA Survey Responden Informan Dokumen Participant

D. PENGUMPULAN DATA KUANTITATIF

Mengingat buku ini bukanlah buku teks, maka pada bagian ini saya hanya akan menguraikan beberapa hal tertentu saja mengenai pendekatan kuantitatif yang saya anggap penting. Sedangkan uraian yang lebih lengkap mengenai berbagai metode penelitian kuantitatif dengan segala seluk beluknya, secara rinci dapat dibaca pada buku-buku teks tentang meto- dologi penelitian yang sudah cukup banyak ditulis, termasuk

oleh pakar-pakar Indonesia sendiri dalam bahasa Indonesia.4 Sebelum memulai pembahasan lebih lanjut, di sini perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “data kuantitatif” adalah informasi mengenai hal-hal yang dapat diukur dan dapat dikuantifikasikan (di-”angka”-kan). Sedangkan “metode/pen- dekatan kuantitatif” lebih menguraikan landasan filosofisnya,

yang secara logis menentukan metode pengumpulan datanya.5

Dalam ilmu-ilmu sosial, salah satu metode kuantitatif ada- lah metode survey. Menurut pemantauan saya, sejak akhir dasawarsa 1960-an sampai dengan pertengahan 1980-an seba- gian besar penelitian yang dilakukan oleh para peneliti Indo- nesia adalah penelitian dengan metode survey. Ini disebabkan karena memang sejak awal 1970-an, terutama, orang-orang Indonesia sedang getol-getolnya mempelajari metode survey. Bahkan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (YIIS) pimpinan Almarhum Prof. Dr. Selo Soemardjan pernah menyelenggarakan serang- kaian “Latihan Penelitian Sosial” secara beruntun di beberapa tempat (di Aceh, Sumatra Barat, Ujung Pandang, dll), masing- masing selama tiga bulan. Dalam pelatihan ini, meskipun me- tode yang lain juga diberikan (seperti misalnya metode Groun- ded Research), tetapi setahu saya porsi terbesar dalam pela- tihan itu adalah metode survey.

Barulah pada sekitar pertengahan 1980-an metode kuali-

4 Sebagai misal, untuk memahami metode survey sebagai salah

satu metode pendekatan kuantitatif, kita bisa membaca, antara lain, buku suntingan Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1989).

5 Landasan filosofis pendekatan kuantitatif ini telah diuraikan

secara sepintas di awal sub bab III.C di atas, sebagai kontras dari landasan filosofis pendekatan kualitatif.

tatif mulai banyak menarik minat orang. Mengapa? Mungkin karena adanya pandangan yang keliru bahwa seolah-olah metode kualitatif itu lebih mudah daripada metode kuantitatif. Padahal sebenarnya tidak demikian. Metode kuantitatif me- mang menuntut, sedikit atau banyak, pengetahuan ilmu statis- tik dan karenanya terasa sukar. Namun selebihnya, metode kualitatif mencakup berbagai gejala yang sukar diukur dengan angka dan berkenaan dengan hal-hal yang lebih abstrak, serta menekankan kepada masalah pemahaman (verstehen), yang dengan demikian menuntut daya abstraksi yang lebih kuat. Justru pada sisi inilah, sesungguhnya metode kualitatif menjadi lebih sukar. Itulah sebabnya di bagian-bagian depan buku ini beberapa aspek metode kualitatif dibahas secara relatif lebih panjang lebar.

Metode survey adalah metode penelitian yang pengum- pulan datanya dilakukan dengan cara mengambil contoh (sam- ple) dari sebuah populasi menurut prosedur tertentu, dengan alat berupa daftar pertanyaan yang terstruktur. Apabila data itu dikumpulkan dari seluruh populasi, maka ini disebut sen- sus. Karena sensus untuk suatu wilayah yang luas pasti memer- lukan tenaga yang banyak dan dana yang besar, maka ditempuh

metode sampling, yaitu mengambil sejumlah contoh yang

dengan prosedur tertentu dianggap mewakili (representatif bagi) keseluruhan populasi.

Survey dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut. Pertama, daftar pertanyaan dapat disebarkan kepada semua

responden sample melalui pos, dan semua responden diha-

rapkan mengisi sendiri lembar jawaban yang disediakan untuk dikirimkan kembali, juga lewat pos. Cara pertama ini hanya

cocok bagi wilayah yang penduduknya umumnya berpendi- dikan. Cara kedua adalah seperti yang biasa kita lakukan dalam penelitian pedesaan, yaitu si peneliti sendiri terjun ke lapangan, mewawancarai para responden dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkan.

Seluk beluk kerja-lapangan secara umum sudah diuraikan di bagian-bagian terdahulu, dan itu juga berlaku bagi kerja- lapangan pengumpulan data kuantitatif. Tetapi di samping panduan umum itu, khusus untuk metode survey, memang ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan. Tentu tidak semua dapat diuraikan di sini, tetapi setidaknya dua hal yang menurut saya perlu diperhatikan. Pertama, soal istilah-istilah “populasi”, “satuan analisis”, dan “satuan respon”. Kedua ada- lah masalah penyusunan kuesioner dan bagaimana menggu-

nakannya di lapangan.6

Penjelasan Mengenai Beberapa Peristilahan

Istilah “Populasi”. Yang dimaksud dengan populasi bukanlah semata-mata “jumlah penduduk”, melainkan jumlah “satuan”. Satuan ini bisa berupa individu, bisa rumahtangga, bisa kelompok, dan seterusnya, tergantung dari tujuannya. Contohnya, kita ingin meneliti mengenai kondisi tenaga kerja di suatu desa. Lalu kita memutuskan bahwa yang akan kita gali

6 Memang, dalam metode survey, sebenarnya banyak hal yang

seyogyanya dipahami secara mendalam. Selain pengetahuan ele- menter tentang statistik, juga mengenai macam-macam istilah, serta soal-soal teknis prosedural, dan lain-lain. Namun, sekali lagi, sebaiknya semua itu dibaca saja dalam buku-buku teks yang ada.

adalah ciri-ciri individu-individu usia kerja. Maka lalu kita hitung dulu (misalnya melalui data di kantor desa) berapa orang jumlah usia kerja di desa itu, baik laki-laki maupun pe- rempuan. Jumlah inilah (dan bukan jumlah seluruh penduduk) yang dimaksud dengan populasi, yaitu jumlah satuan yang akan digali informasinya mengenai diri mereka masing-masing.

Istilah “Satuan Analisis”. Dalam contoh tersebut di atas, jika semua penduduk usia kerja diwawancarai, itu berarti sensus. Tetapi jika hanya diambil sejumlah contoh (sample) melalui prosedur tertentu, maka itu sample survey. Jika misal- nya dalam satu desa ada 500 orang penduduk usia kerja, dan setelah melalui prosedur pengambilan sample terambil/ terpilih misalnya sebanyak 50 orang (10%), maka 50 orang inilah yang kita wawancarai, satu per satu. Jika dari hasil wa- wancara itu ternyata terdapat 30 orang yang menganggur, maka dikatakan bahwa 60% (30 dari 50) penduduk di desa itu menganggur. Dalam contoh ini maka satuan analisis-nya ada- lah individu. Jadi, menurut saya, satuan analisis adalah satuan hitungan.

Contoh lain, misalnya kita akan meneliti soal kesejahtera- an, maka satuan analisis yang tepat adalah rumahtangga, bukan individu. Rumahtangga adalah sekumpulan orang yang “hidup dari satu dapur”. Artinya kehidupan ekonominya di bawah satu pengelolaan. Misalnya, dalam satu rumah bisa saja terdiri dari dua keluarga, tetapi jika keluar-masuknya uang (untuk makan dsb) berada di dalam satu pengelolaan, maka itu disebut satu rumahtangga. Jadi, di dalam sample survey, populasinya adalah jumlah rumahtangga, dan satuan sample yang ditarik juga adalah satuan rumahtangga. Misalnya, jika

ada 500 rumahtangga dalam satu desa, dan misalnya kita ambil 5% sample (berarti 25 rumahtangga yang kita wawancarai), dan ternyata ada 15 rumahtangga miskin, maka kita bisa kata- kan bahwa 60% rumahtangga di desa itu miskin, karena sample itu kita anggap mewakili masyarakat desa tersebut. Itulah sebabnya saya sebutkan bahwa satuan analisis adalah satuan hitungan, yaitu satuan yang kita pakai untuk menghitung.

Catatan ini saya anggap penting karena ada beberapa pa- kar, yang kurang mengenal metode survey, mempunyai per- sepsi yang berbeda. Yang mereka maksud dengan satuan ana- lisa adalah satuan “yang dianalisa”. Jadi, dalam contoh terse- but, katanya, satuan analisanya adalah desa. Sebenarnya, pengertian ini juga tidak salah. Memang yang akan kita gam- barkan adalah masyarakat desa, tetapi dalam metode survey kita menganalisis lewat hitung-menghitung. Dalam contoh terakhir ini satuan untuk menghitung itu adalah rumahtangga.

Istilah “Satuan Respon”. Apabila satuan analisis adalah rumahtangga, ataupun keluarga, ataupun kelompok,

maka timbul masalah mengenai siapa yang akan kita wawan-

carai? Apakah hanya kepala rumahtangga/keluarga/ketua kelompok saja? Atau setiap anggotanya harus diwawancarai semua? Atau, pada prinsipnya adalah ketuanya saja, tetapi para anggotanya boleh berpartisipasi di dalam menjawab per- tanyaan, yang berarti wawancara kelompok. Dalam hal ini,

siapapun yang dianggap dapat mewakili jawaban atas per-

tanyaan mengenai rumahtangga/keluarga/kelompok, maka dialah yang disebut sebagai satuan respon. Pilihan mengenai siapa ini tergantung dari model atau bentuk pertanyaan- pertanyaannya.

Dalam metode survey, hal ini amat penting karena ber- kaitan erat dengan penyusunan kuesioner. Karena itu, dalam usulan penelitian, satuan respon itu harus dinyatakan dengan jelas disertai alasannya. Sebab, hal ini ada implikasinya terha- dap proses wawancara. Misalnya, jika ditentukan bahwa satuan respon-nya adalah kepala rumahtangga, maka selama wawancara itu hanya dia yang boleh berada di tempat wawan- cara, sama seperti jikalau satuan analisisnya individu (dalam hal ini individu kepala rumahtangga).

Penyusunan Daftar Pertanyaan (Kuesioner)

Dalam metode kualitatif, pengumpulan datanya dilakukan melalui wawancara bebas. Daftar pertanyaan yang disiapkan sekedar sebagai “panduan” agar isu-isu yang dianggap penting tidak terlupakan. Paling-paling, untuk isu-isu tertentu, disiap- kan daftar pertanyaan semi-terstruktur. Semuanya ini karena tujuan metode kualitatif adalah “pemahaman”, sehingga sampai batas tertentu jawaban responden diberi peluang untuk mele- bar ke mana-mana sepanjang hal itu relevan terhadap per- tanyaan pokok.

Dalam metode kuantitatif, khususnya metode survey, data yang hendak dikumpulkan sudah dipilih secara tajam dan terarah sebelumnya. Karena itu kuesionernya disiapkan secara terstruktur. Artinya, baik urutan isi pertanyaan maupun rumusan kalimat setiap pertanyaan harus disusun sedemikian rupa sehingga diharapkan responden akan dapat menjawab sesuai dengan apa yang ditanyakan. Bentuk jawaban itu bisa dibedakan menjadi dua macam sesuai dengan dua bentuk pertanyaannya, yaitu tertutup dan terbuka. Pertanyaan tertu-

tup, jawabannya hanya “ya” atau “tidak”. Dalam survey, bah- kan yang dikatakan pertanyaan terbuka pun sebenarnya juga terbatas, yaitu bahwa responden diberi opsi-opsi atau pilihan jawaban yang sudah distrukturkan, tergantung dari tujuan studi.

Misalnya, kita ingin tahu apakah responden sebagai pe- milik tanah, dalam proses panen menggunakan “sistem ter- buka” ataukah “sistem tertutup”. Jika kita langsung meru- muskan pertanyaan dengan istilah “sistem…”, maka sangat mungkin responden tidak memahaminya. Karena itu, kalimat pertanyaan itu lalu kita rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menuntun responden memahami maksudnya. Misalnya, sebagai contoh saja:

“Untuk panen di tanah sawah Anda, siapa saja tenaga panen yang Anda gunakan?”

Lalu, “Pilihlah jawaban berikut ini dengan memberi tanda !”

™ Siapa saja boleh ikut sebagai tenaga upahan

™ Tenaga upahan tertentu, yaitu hanya yang saya

tunjuk

™ Hanya tenaga dalam keluarga

™ Tenaga dalam keluarga, dan tenaga upahan secara

terbatas yang saya tunjuk

Dalam metode survey, setelah kuesioner tersusun, maka kuesioner tersebut harus diujicobakan dulu di tempat yang akan diteliti, atau di wilayah yang lain yang kondisinya dianggap mirip dengan lokasi studi (ini yang disebut pre-test). Jika ada hal-hal dalam kuesioner itu yang tidak memadai untuk diterapkan maka kuesioner itu harus diperbaiki dulu sebelum langsung digunakan di lokasi studi.

Hal-hal di atas sangat erat berkaitan dengan pelaksanaan wawancaranya di lapangan, yaitu masalah bagaimana kita menyatakan pertanyaan yang terumuskan dalam kuesioner. Prinsipnya adalah bahwa setiap responden harus diperlakukan sama, sebab kalau tidak, itu tidak comparable. Karena itu, cara kita bertanya harus persis sama dengan kalimat pertanyaan yang sudah tertulis dalam kuesioner, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Jika responden belum paham, kalimat itu hanya boleh diulangi, dan paling banyak hanya diulangi tiga kali. Namun kita tahu bahwa khususnya di Indonesia, belum semua rakyat yang paham bahasa nasional dengan baik. Karena itu, ada batas-batas toleransinya. Jika sudah diulangi tiga kali tapi responden belum juga paham, maka barulah kita boleh men- jelaskan pertanyaan itu dengan kalimat-kalimat kita sendiri, atau bahkan dengan bahasa daerah yang dimengerti oleh res- ponden.

Demikianlah beberapa hal yang barangkali ada gunanya untuk diperhatikan dalam melaksanakan pengumpulan data kuantitatif.

Dalam dokumen STUDI AGRARIA menurut GUNA W AN WIRADI (Halaman 116-128)