• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

7. Penilaian Kualitas Terjemahan

Penilaian penerjemahan sangatlah penting namun penilaian tersebut

dianggap betul ataupun salah sangatlah relatif. Seperti yang dinyatakan oleh Ivir

dalam House (Meta: 2001) bahwa “Equivalence is…relative and not

absolute,…”.Oleh karenanya penilaian dalam suatu penerjemahan sangatlah sulit untuk dilakukan.

Newmark dalam Hoed (2006: 92-98) menyebutkan ada empat jenis

penilaian dalam penerjemahan, yaitu:

a. Translation as a science

Penilainan ini melihat suatu hasil terjemahan (betul-salahnya)

berdasarkan kriteria kebahasaan. Misalnya menerjemahkan ‘Uncle

Tom’s cabin’ menjadi ‘Kabin Paman Tom’. Ini sebuah kesalahan yang tidak ‘relatif’ karena ‘cabin’ disini berati ‘gubug’ atau ‘pondok’

sedangkan ‘kabin’ dalam bahasa Indonesia berarti ‘kamar di kapal’

atau ‘bagian pesawat terbang tempat penumpang’. Dengan demikian

kesalahan seperti ini sifatnya mutlak. Dalam hal ini kita berbicara

mengenai ‘betul-salah’.

commit to user

lvii

Disini penerjemahan dianggap suatu kiat, yakni upaya penerjemahan

untuk mencapai padanan yang cocok dan memenuhi aspek kewajaran

dalam Bsa. Rekayasa kebahasaan menjadi penting dan berakibat

menyimpang jauh dari kesejajaran formal. Disisni sudah tidak

membicarakan ‘betul-salah’, namun mana yang dianggap lebih baik

dalam penarjemahan. Sebagai contoh adalah kalimat ‘passangers can

enjoy ride’ yang diterjemahkan menjadi ‘para penumpang dapat menikmati perjalanan’. Kata ‘passanger’ (jamak) diterjemahkan

menjadi ‘para penumpang’ (bukan penumpang-penumpang) dan ‘ride’

diterjemahkan ‘perjalanan’ Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa

upaya ini bukan hanya pengalihbahasaan tetapi suatu kiat agar hasil

terjemahan dapat diterima oleh pembaca sebagai bahasa Indonesia

yang ‘wajar’. Dalam penerjemahan ini kita tidak berbicara ‘betul-

salah’ melainkan ‘baik-buruk’.

c. Translation as an Art

Panerjemahan ini menyangkut estetis, yakni apabila penerjemahan

tidak hanya merupakan proses pengalihan pesan tetapi juga

‘penciptaan’ yang biasanya terjadi pada penerjemahan sastra atau

tulisan yang bersifat liris. Misalnya dalam menerjemahkan ‘to be or

not to be’ milik Shakespeare yang oleh sebagian penerjemah tidak diterjemahkan menjadi ‘ada atau tiada’. Ungkapan yang sudah sangat

commit to user

lviii

tidak diterjemahkan karena maknanya lebih dari sekedar apa yang

tertulis. Disini kita sudah berbicara ‘baik-buruk’ bukan ‘betul-salah’.

d. Translation as a Test

Ini menyangkut pilihan terjemahan yang bersifat pribadi, yakni apabila

pilihan terjemahan merupakan hasil pertimbangan berdasarkan selera.

Misalnya kata ‘however’ yang bisa diterjemahkan menjadi ‘namun’

atau ‘akan tetapi’ sesuai dengan selera penerjemah. Disini masalah

‘baik-buruk’ makin menonjol dan mempunyai warna subjektif yang

kuat.

Larson (1984: 489-501) mengatakan bahwa untuk menguji sebuah

terjemahan ada 5 langkah yang harus dilakukan, yaitu:

a. Comparison With The Source Language (Perbandingan dengan Teks Bsu)

Tujuan dari perbandingan ini adalah untuk memeriksa apakah padanan

informasi dalam teks Bsu sudah dimasukkan semua kedalam Bsa, tidak

ada yang tertinggal, dihilangkan, ditambahkan atau yang berbeda.

b. Back-Translation (Terjemahan Balik)

Penerjemahan balik ini hendaknya dilakukan dengan meminta orang

lain yang juga menguasai teks Bsu dan teks Bsa. Orang ini diminta

untuk menulis dalam teks Bsu apa yang didapatnya dari Bsa tanpa

memperlihatkan kepadanya teks Bsu yang diterjemahkan oleh

penerjemah.

commit to user

lix

Tujuan dari tes ini adalah untuk melihat apakah terjemahan itu dapat

dimengerti secara tepat oleh konsumen yang sebelumnya tidak pernah

melihat terjemahan itu. Pengujian ini hendaknya dilakukan oleh orang

yang lancar menggunakan bahasa sasaran. Apabila terjemahan

diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat, maka hendaknya orang

tua, muda, orang terpelajar diikutsertakan menjadi responden.

Seandainya terjemahan ini diperuntukkan bagi kalangan tertentu saja

maka yang jadi respondennya juga kalangan tertentu tersebut.

d. Naturalness Test ( Test Kewajaran )

Tes ini bertujuan untuk melihat apakah bentuk terjemahan itu wajar dan

apakah gaya bahasanya juga sesuai. Pengujian ini hendaknya dilakukan

oleh mereka yang mengerti Bsu dan Bsa, juga mereka yang mempunyai

pengetahuan yang cukup tentang prinsip penerjemahan. Pemeriksa yang

sudah terlatih akan dapat memberikan masukan yang bermanfaat untuk

sebuah terjemahan.

e. Readability Test (Test Keterbacaan)

Keterbacaan teks merupakan seberapa mudahnya sebuah teks dipahami

oleh pembaca. Tes ini bisa dilakukan dengan meminta seseorang

membaca terjemahan ini dengan bersuara. Sewaktu orang itu membaca,

penguji harus memperhatikan dan mencatat bagian mana yang

membuat pembaca ragu-ragu, atau berhenti dan membaca ulang dan

tidak mengerti mengapa teks itu mengatakan demikian. Pembaca yang

commit to user

lx

agak rumit sedangkan pembaca yang kurang terpelajar akan kesulitan.

Inilah alasan kenapa tes keterbacaan sangat perlu dilakukan.

f. Consistency Test (Test Konsistensi )

Tes konsistensi digunakan untuk menguji sebuah terjemahan yang

pengerjaannya memakan waktu yang lama. Bisa saja penerjemah tidak

konsisten dalam menggunakan padanan sebuah istilah. Kalaupun harus

menggunakan padanan kata yang berbeda seorang penerjemah harus

tahu alasannya mengapa menggunakan istilah yang berbeda tersebut.

Selain itu Larson (1984: 485) juga menyatakan bahwa “There are three

main reasons for testing a translation. The translator wants to be sure his translation is accurate, clear and natural”.

Sementara itu Nababan (2008: 85-92) menyatakan bahwa kritik terhadap

suatu karya terjemahan bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan

dalam terjemahan. Penelitian terhadap mutu terjemahan tersebut terfokus pada

tiga hal, yaitu ketepatan pengalihan pesan (accuracy), ketepatan pengungkapan

pesan dalam Bsu (clarity), dan kealamiahan bahasa terjemahan (naturalness).

Selanjutnya Nababan juga menjelaskan bahwa kualitas suatu terjemahan pada

umumnya dikaitkan dengan tingkat keakuratan pengalihan pesan dan tingkat

keterbacaan teks Bsa.

Dari pernyatan-pernyataan para ahli diatas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa penilaian kualitas suatu karya terjemahan melibatkan tiga komponen

yakni kekuratan (accuracy), keterbacaan (readibility) dan keberterimaan

commit to user

lxi

A. Keakuratan (accuracy)

Keakuratan adalah ketepatan penyampaian pesan dari Bsu ke Bsa.

Seperti yang dinyatakan oleh Nababan (2004: 61) bahwa keakuratan

terjemahan berhubungan dengan seberapa jauh isi teks Bsu tersampaikan

dengan benar dalam Bsa. Pernyataan tersebut senada dengan pernyataan

Sadtono (1985: 12) bahwa pada dasarnya ada dua hal yang menyebabkan

pentingnya ketepatan pada segi arti yang harus diutamakan dalam

penerjemahan, yaitu:

- setiap bahasa menyatakan suatu pengalaman dengan menggunakan

simbol-simbol perkataan tertentu, dan

- terdapat perbedaan antara satu bahasa dengan bahasa yang lain

dalam cara menyusun dan mengatur simbol-simbol untuk

menyatakan suatu pengalaman

B. Keterbacaan Teks

Tercapainya derajat keterbacaan teks yang memadai seharusnya

menjadi tujuan dari penerjemahan. Keterbacaan (readability) teks menurut

Richard et al dalam Nababan (2008: 62) adalah ‘how easily written

materials can be read and understood’. Sedangkan Sakri berpendapat bahwa keterbacaan adalah derajat kemudahan sebuah tulisan untuk

dipahami maksudnya. Dari kedua definisi itu tersirat bahwa faktor pembaca

menjadi penentu tingkat keterbacaan suatu teks.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat keterbacaan suatu

commit to user

lxii

panjang rata-rata kalimat, jumlah kata-kata baru, dan kompleksitas

gramatikal dari bahasa yang digunakan. Sementara itu Nababan (2008:68)

menambahkan beberapa faktor lain dalam keterbacaan yaitu:

a. Penggunaan kata-kata baru

Kata baru adalah kata yang tidak lazim atau bahkan asing bagi pembaca

sebuah teks. Hal ini akan mengakibatkan keterbacaan teks menjadi

rendah. Sebagai contoh adalah kata ‘nirlandas” yang berarti ‘kata

kerja’ intransitif’ yang mungkin hanya ketahui oleh orang-orang yang

bergelut di bidang kebahasaan.

b. Penggunaan kata asing dan daerah

Saat ini sering sekali kata asing atau daerah yang muncul dalam

berbagai teks bahkan dalam surat kabar ataupun majalah. Hal ini akan

membuat pembaca kebingungan ketika mereka tidak mengetahui apa

yang dimaksud dengan kata asing atau daerah tersebut. Sebagai contoh

adalah ketika sebuah surat kabar harian yang ada di kota Solo (Solopos)

pada tanggal 18 Mei 2009 yang memuat artikel berjudul “Butet

Ngunduh Mantu”. Bagi mereka yang bukan orang Jawa akan sangat sulit memahami kata tersebut, sehingga diperlukan catatan kaki dalam

artikel tersebut karena seperti kita ketahui bahwa di kota Solo banyak

sekali pendatang dari berbagai daerah.

c. Penggunaan kalimat bahasa asing

Penggunaan kalimat asing kadang-kadang muncul pada sebuah teks,

commit to user

lxiii

suatu lokasi dimana terjadinya sebuah percakapan ataupun dengan

siapa percakapan tersebut berlangsung. Sebagai contoh ketika

diceritakan seseorang yang pergi ke suatu negara untuk menimba ilmu

lalu terjadi suatu percakapan dalam bahasa negara tersebut. Tentu saja

pembaca tidak mampu untuk memahami kalimat asing tersebut.

d. Penggunaan kata taksa,

Kata taksa adalah kata yang memiliki lebih dari satu makna. Kalimat

‘The truck driver stopped at the pub and drained the dragon’ akan

mengakibatkan dua makna yang berbeda yaitu, ‘Supir truk tersebut

berhenti di pub dan mengeringkan radiatornya’ atau ‘Supir truk tersebut

berhenti di pub dan pergi ke toilet’. Karena ‘drained the drago’n adalah

idiom yang dipakai di Australia yang merupakan ‘euphemism’

(penghalusan kata) untuk kata ‘toilet’ (buang air kecil).

e. Penggunaan kalimat tidak lengkap

Kalimat lengkap menunjuk pada unsur-unsur kalimat seperti subjek,

predikat, objek dan keterangan. Jika salah satu unsur tersebut tidak

terdapat dalam satu kalimat maka kalimat tersebut bisa dikatakan

kalimat tidak lengkap. Jika hal ini terjadi akan mengakibatkan

kesulitan bagi pembaca untuk memahami pesan yang dimaksudkan

oleh penulis. Sebagai contoh ‘Sasha, the cleverest student in this class’.

Kalimat ini belum lengkap karena tidak memiliki predikat.

commit to user

lxiv

Panjang rata-rata kalimat menunjuk pada jumlah rata-rata kalimat

dalam suatu teks. Namun tidak semua kalimat yang panjang selalu sulit

dipahami atau sebaliknya kalimat pendek juga belum tentu mudah

dipahami. Hal ini tergantung pada pemahaman pembaca dalam setiap

makna kata pada kalimat tersebut.

g. Alur pikiran yang tidak runtut dan tidak logis

Kadang-kadang teks Bsu yang akan diterjemahkan belum tentu

memiliki kalimat atau paragraf yang baik dilihat dari sisi gramatikal

dan juga tidak memilii alur pikiran yang tidak runtut sehingga hal ini

akan mengakibatkan kesulitan untuk dipahami.

h. Penggunaan kalimat kompleks

Penggunaan kalimat kompleks juga akan menentukan tinggi rendahnya

tingkat keterbacaan suatu teks karena kalimat kompleks memiliki lebih

dari satu gagasan yang dirangkum dalam satu kalimat.

C. Keberterimaan

Keberterimaan teks terjemahan berhubungan dengan pembaca teks

tersebut. Pembaca akan mengerti penggunaan bahasa secara alamiah sesuai

dengan situasi yang melingkupi teks tersebut melalui rangkaian kalimat

yang membentuk teks. Jika rangkaian kalimat tersebut tidak bisa saling

berhubungan dan bahkan tidak lazim bagi pembaca teks tersebut maka teks

terjemahan yang dihasilkan itu bisa dikatakan tidak berterima. Oleh

karenanya, dalam suatu teks terjemahan penerjemah sudah seharusnya

commit to user

lxv

makna yang terkandung didalamnya agar maksud dari kalimat tersebut bisa

diterima oleh pembacanya.

Dokumen terkait