• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan ( N- 56)

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.2 Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan ( N- 56)

Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh otoriter berdasarkan hasil skor yang dihitung terdapat 43 (76,8 %) responden yang masuk kedalam tipe pola asuh otoriter.

Tabel 5.2 distribusi frekuensi dan persentase penilaian remaja terhadap tipe pola asuh otoriter (N-56)

tipe pola asuh otoriter frekuensi (N) persentase(%)

Tidak otoriter : 12-23 13(23.2)

Otoriter : 24-36 43(76,8)

Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh demokratis berdasarkan hasil skor yang dihitung terdapat 54 responden (96,4) yang masuk kedalam tipe pola asuh demokratis.

Tabel 5.3 distribusi frekuensi dan persentase penilaian remaja terhadap tipe pola asuh demokratis (N-56)

tipe pola asuh demokratis frekuensi (N) persentase (%)

Tidak demokratis : 12-23 2 (3,6)

demokratis : 24-36 54 (96,4)

Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh permisif berdasarkan hasil skor yang dihitung hanya terdapat 8 responden (14,3%) yang masuk kedalam tipe pola asuh permessive.

Tabel 5.4. distribusi frekuensi dan persentase penilaian remaja terhadap tipe pola asuh permisif (N-56)

tipe pola asuh Permisif frekuensi (N) persentase (%)

Tidak permisif : 12-23 48 (85,7)

permisif : 24-36 8 (14,3)

Secara keseluruhan data yang diperoleh dari penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N.1 Padangsidimpuan berdasarkan nilai tertinggi dari perhitungan skor tiga tipe pola asuh terdapat 40 responden (71,4%) menilai tipe pola asuh keluarganya adalah tipe pola asuh demokratis.

Tabel 5.5. Distribusi frekuensi dan persentase penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N.1 Padangsidimpuan

Tipe pola Asuh Frekuensi (N) Persentase(%)

Permisif 3 5,4

Demokratis 40 71,4

5.2. Pembahasan

Penelitian ini menjelaskan penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan. Dengan jumlah responden 56 orang.

Pada penelitian ini, penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga dikelompokkan dari 3 tipe pola asuh orang tua yaitu tipe pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga dari hasil skor tertinggi dari ketiga tipe pola asuh keluarga menunjukkan bahwa 71,4% responden menilai tipe pola asuh keluarganya demokratis, 23,8 % menilai tipe pola asuh keluarganya tipe pola asuh otoriter, dan 5,4 % tipe pola asuh permisif. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh jenis kelamin, suku/budaya, tipe keluarga, pekerjaan orang tua, pendidikan orangtua, pendapatan orang tua.

Dilihat dari jenis kelamin, 62,5% responden berjenis kelamin perempuan. Jenis kelamin mempengaruhi pola asuh yang diberikan keluarga, Orangtua pada umumnya lebih keras terhadap anak perempuan daripada anak laki-laki (Rahmawati, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian ada 87,5% responden yang bersuku batak, dimana hampir seluruh responden merupakan penduduk asli di padangsidimpuan yang merupakan suku batak mandailing, dan memiliki pola asuh demokratis. Ini sesuai dengan hasil penelitian Irmawati (2007) bahwa 71,4% yang bersuku suku batak memiliki pola pengasuhan demokratis, karena asumsi orang batak bahwa anak adalah kekayaan yang sangat berharga seperti

semboyan suku Batak “Anakkonki do hamoraon di au”, sehingga orangtua selalu memberi dukungan untuk menjunjung tinggi kebaikan dan kedisiplinan dalam mengasuh untuk mencapai keberhasilan tanpa melakukan pemaksaan dalam mengasuh anak. Dan hasil penelitian yang tinggal dengan keluarga inti sekandung ada 92,9 % responden memiliki pola asuh demokratis. Menurut Allender dan spradley (dalam Ariati, 2006) keluarga inti merupakan bagian dari keluarga tradisional yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak baik sekandung ataupun tidak. Keluarga merupakan lingkungan pertama anak, keluarga juga meletakkan landasan bagi pola penyesuaian dan belajar berpikir tentang diri mereka (Hurlock, 1999). dan keluarga inti sekandung atau tidak mempengaruhi ketegangan atau konflik dalam keluarga dan itu mempengaruhi pola asuh yang diterapkan pada remaja.

Tingkat pendidikan terakhir pada ayah responden 48,2% tamatan SMA, dan pada ibu 59% tamatan SMA. Ayah yang memiliki pendidikan yang tinggi cenderung akan memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik. Dan hal ini disebabkan ayah yang mendapatkan informasi yang lebih banyak (Hurlock, 1999). Dari informasi yang didapat akan memperkaya wawasan ayah terkait dengan pengasuhan anak. Dan pendidikan yang tinggi pada ibu akan meningkatkan rasa percaya diri ibu dan rasa aman bagi ibu untuk mengasuh anaknya (Mcmurray, dalam Ariani, 2006) sehingga mempengaruhi pola asuh yang diberikan pada anaknya. Dan pada pekerjaan orangtua responden 53.9% ayah responen bekerja sebagai PNS, dan pada ibu 41% bekerja sebagai wiraswasta, Ayah yang bekerja sebagai PNS/ABRI kebnyakan responden

memiliki pola asuh otoriter.orangtua yang bekerja umumnya memiliki pengetahuan yang lebih baik sehingga kualitas pengasuhan juga lebih baik, wawasan yang tinggi diperlukan dalam kiat-kiat mengasuh dan mendidik anak, pendidikan dan pekerjaan mempengaruhi pola asuh yang diberikan. Hasil penelitian pada pendapatan orang tua 57,1% berpenghasilan diatas Rp.3.000.000, menurut Mussen (1994) keluarga dari status sosial yang yang berbeda mempunyai pandangan yang berbeda tentang cara mengasuh anak yang tepat dan diterima.orangtua dari kelas menengah lebih menekankan pada penyesuaian standar perilaku yang sudah terinternalisasi.

Berdasarkan hasil penilaian remaja terhadap tipe pola asuh otoriter sebanyak 43 responden (76,8%) menilai pola asuh keluarganya masuk kedalam kategori pola asuh otoriter, hal ini berdasarkan lebih dari setengah pertanyaan pada tipe pola asuh otoriter, responden menjawab sering terjadi, yaitu pada pertanyaan no.1,3,4,5,6,7,11,12. Dimana sebanyak 62,5% responden menjawab sering terjadi pada keluarga menetapkan aturan dirumah tanpa boleh dilanggar, dan 62,5% responden menjawab sering terjadi keluarga akan menghukum remaja jika pulang larut malam, dan 53,6% responden menjawab sering terjadi keluarga saat ini melarang remaja berpacaran, 37,5% sering terjadi keluarga mengatur remaja bersekolah sesuai keinginan keluarga, 48,2% keluarga membandingkan remaja dengan saudara atau teman remaja yang berprestasi, 39,3% sering terjadi keluarga mengatur jam tidur dan bangun tidur setiap hari, 44,6% sering terjadi keluarga akan memarahi remaja jika nilai raport tidak memuaskan, dan 48,2% sering terjadi keluarga melarang remaja

membantah segala keputusan keluarga. Dan ini sesuai dengan pendapat Yusniah (2008) ciri – ciri pola asuh otoriter adalah sebagai berikut : 1) anak harus mematuhi peraturan – peraturan orang tua dan tidak boleh membantah, 2) orang tua cenderung mencari kesalahan – kesalahan anak dan kemudian menghukumnya, 3) orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak, 4) jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak dianggap pembangkang, 5) orang tua cenderung memaksakan disiplin, 6) orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana, 7) tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak. Tipe pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, seringkali memaksa anak untuk berprilaku seperti dirinya (orangtua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-cerita, bertukar pikiran dengan orangtua, orangtua malah menganggap bahwa semua sikapnya yang dilakukan sudah benar sehingga tidak perlu anak dimintai pertimbangan atas semua keputusan yang menyangkut permasalahan anak-anaknya (Santrock, 2003). Dan ini sesuai dengan penelitian Ariani (2006) bahwa hasil survey pada remaja di 10 kota besar diindonesia tahun 2006, mayoritas 82% mereka menyatakan pola asuh orangtua mereka adalah tipe pola asuh otoriter, dan 50% mengaku pernah mendapat hukuman fisik.

Dan pada penilaian remaja terhadap tipe pola asuh demokratis, 54 (96,4%) responden masuk kedalam kategori tipe pola asuh demokratis, hal ini

berdasarkan seluruh pertanyaan pada tipe pola asuh demokratis responden menjawab sering terjadi, yaitu pada pertanyaan no.13-24. Dimana 87,5% responden menjawab sering terjadi keluarga memberikan hadiah jika remaja berbuat baik dan menghukum remaja jika melakukan kesalahan, dan 87,5% responden bahwa sering terjadi keluarga berkomunikasi dengan hangat dan baik, 89,4% responden sering terjadi keluarga membicarakan dengan remaja dalam memilih sekolah yang diinginkan, 91,1% responden menjawab sering terjadi keluarga menasehati remaja jika berbuat salah, 83,9% sering terjadi keluarga mengizinkan teman remaja bermain kerumah, 78,6% keluarga percaya remaja mampu bersikap baik dimasyarakat, 75% keluarga mengenal teman dekat remaja, 83,9% keluarga mengajarkan untuk meminta maaf jika menyakiti hati teman, 78,6% keluarga cemas jika remaja pulang terlambat kerumah, 62,5% keluarga selalu memceritakan keberhasilan remaja didepan keluarga yang lain. Ini sesuai dengan pernyataan Baumrind (dalam Santrock, 2003) bahwa pola asuh demokratis adalah pola asuh yang bercirikan adanya hak, dan kewajiban, orang tua dan anak adalah sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdisiplin. Pola asuh demokratis mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orangtua bersikap hangat dan bersikap membesarkan hati remaja (Sim, 2000). Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang ditandai dengan pengakuan orangtua terhadap kemampuan anak-anaknya, dan

kemudian anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orangtua. Dalam pola asuh seperti ini orangtua memberikan sedikit kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang dikehendaki dan apa yang diinginkan yang terbaik bagi dirinya, anak diperhatikan dan didengarkan saat anak berbicara, dan bila berpendapat orangtua memberikan kesempatan untuk mendengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri (Kuczynski & Lollis, 2002).

Dan pada penilaian remaja terhadap tipe pola asuh permisif hanya 8 (14,3%) responden yang masuk kedalam kategori tipe pola asuh permessive. Dari jawaban responden pada pertanyaan no.26,27,29,30,32,33,34. tentang tipe pola asuh permessive responden menjawab jarang terjadi. 57,1% jarang terjadi keluarga memenuhi keinginan remaja untuk membeli barang yang diinginkan remaja, dan 53,6% jarang terjadi keluarga memberikan kebebasan dalam berpakaian sesuai dengan tuntutan mode, 46,4% jarang terjadi keluarga membebaskan remaja untuk belajar atau tidak dirumah, 42,8% jarang terjadi keluarga lebih baik mangalah daripada berdebat dengan remaja, 39,3% jarang terjadi keluarga tidak tahu kegiatan remaja ketika membuka internet dirumah atau diwarnet, 46,4% jarang terjadi keluarga memberikan kebebasan untuk remaja menonton tv, 42.9% jarang terjadi keluarga karena kesibukan tidak sempat membicarakan masalah remaja. Hal ini dapat dipengaruhi dari sebagian ibu responden 66% bekerja, dan 7,1% responden tinggal dengan keluarga tidak sekandung. Menurut Baumrin (2003) Pola asuh keluarga permissive tidak memberikan struktur dan batasan-batasan yang tepat bagi anak-anak mereka.

Pola asuh permissive merupakan bentuk pengasuhan dimana orang tua memberikan kebebasan sebanyak mungkin pada anak untuk mengatur dirinya. Anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua. Pola asuh ini memandang anak sebagai seorang pribadi dan mendorong mereka untuk tidak berdisiplin dan anak diperbolehkan untuk mengatur tingkah lakunya sendiri. Dengan pola asuh seperti ini anak mendapat kebebasan sebanyak mungkin dari keluarganya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Pelaksanaan pola asuh permisif atau dikenal dengan pola asuh serba membiarkan adalah orang tua yang bersikap mengalah, menuruti semua keinginan, dan melindungi secara berlebihan serta memberikan atau memenuhi semua keinginan anak (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006).

Namun berdasarkan hasil penelitian penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N.1 Padangsidimpuan dari nilai yang paling tinggi pola asuh utama yang diterapkan menunjukkan mayoritas responden 71,4% menilai tipe pola asuh keluarganya adalah pola asuh demokratis. Pola asuh yang diberikan keluarga bisa berubah-ubah ketika merasakan ketegangan ekstra, orang tua yang demokratis kadang bersikap keras atau lunak setelah melewati hari-hari yang melelahkan, peristiwa sehari-hari dapat mempengaruhi orangtua dengan berbagai cara. Pengaruh cara orangtua dibesarkan juga mempengaruhi pola asuh yang diberikan.Para orang dewasa cenderung membesarkan anak-anak mereka dengan cara yang sama seperti mereka dibesarkan oleh orangtua

mereka. Namun, kadang-kadang orangtua membesarkan anak dengan cara yang sama sekali berbeda dibandingkan dengan waktu mereka dibesarkan ( Mussen, 1994 ). Pada setiap keluarga tidak selamanya pola asuh yang diberikan hanya satu tipe pola asuh, terkadang orang tua menerapkan pola asuh pada anaknya lebih dari satu tipe pola asuh.

BAB 6

Dokumen terkait