Penilaian Remaja Terhadap Tipe Pola Asuh Keluarga di
SMA
NEGERI 1
Padangsidimpuan
Sri Wahyuni
SKRIPSI
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Penilaian Remaja
Terhadap Tipe Pola Asuh Keluarga di SMA N. Padangsidimpuan”. Skripsi
ini terlaksana karena arahan, masukan, dukungan dan koreksi dari berbagai pihak.
Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak dr. Dedi Ardinata M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara, dan Pembantu Dekan I ibu Erniyati, S.Kp, MNS,
Pembantu Dekan II ibu Evi Karota Bukit S.Kp, MNS, dan Pembantu Dekan
III bapak Ikhsanuddin A Harahap, S.Kp, MNS.
2. Ibu Siti Zahara Nst, S.Kp, MNS, selaku dosen pembimbing skripsi saya yang
telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini dalam
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU
3. Ibu Reni Tariga S.Kp, MARS dan Bapak Iwan Rusdi S.Kp, MNS, selaku
dosen penguji yang telah memberikan saran yang membangun atas skripsi
saya dalam Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU.
4. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Ayah dan Ibuku tercinta yang selalu
5. Terima kasih buat sahabat-sahabat ku Lia ,Ismu, Wie dan Nanda, yang
banyak membantu, selalu mendukung dan mendoakanku dalam
menyelesaikan skripsi penelitian ini.
Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan pihak-pihak yang
membutuhkan. Penulis sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat
membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Medan, 6 Januari 2012
4.2. Populasi Dan Sampel ... 37
2. Lembar Instrument Penelitian
3. Lembar Rincian Biaya
4. Lembar Jadwal Penelitian
5. Lembar Bukti Bimbingan
6. Surat izin fakultas
7. Surat Bukti Telah Melakukan Penelitian
8. Pengolahan Data
DAFTAR TABEL
TABEL 5.1. ... 46
TABEL 5.2. ... 47
TABEL 5.3. ... 48
TABEL 5.4. ... 48
TABEL 5.5. ... 48
DAFTAR SKEMA
Judul : Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan
Nama mahasiswa : Sri wahyuni
Nim : 101121013
Jurusan : SI Keperawatan Ekstensi
Tahun : 2012
ABSTRAK
Pola asuh adalah cara yang digunakan keluarga dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan tersebut antara lain pengetahuan, nilai moral, dan standart perilaku yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti. Terdapat 3 macam tipe pola asuh orang tua yaitu; demokratis, otoriter, permisif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan. Desain penelitian ini adalah deskriptif. Pengambilan sampel dengan teknik quota sampling. Sample sebanyak 56 orang yang terdiri dari siswa-siswi kelas 2 di SMA N. 1 Padangsidimpuan. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 12 juli 2011. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang meliputi data demografi dan pernyataan terkait dengan tiga tipe pola asuh. Kemudian data yang diperoleh diolah dengan menggunakan teknik komputerisasi dan dideskripsikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Berdasarkan penelitian, Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan yaitu 40 responden (71.4%) menilai tipe pola asuh keluarganya demokratis, dan 13 responden (23,2%) menilai tipe pola asuh keluarganya otoriter, dan 3 responden (5,4%) menilai tipe pola asuh keluarganya permessive. Adapun kesimpulan dari penelitian ini yaitu, penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan adalah tipe pola asuh demokratis. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melengkapi penelitian ini dengan mengembangkan metode lain dan dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan penelitian selanjutnya mengenai tipe pola asuh keluarga.
Judul : Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan
Nama mahasiswa : Sri wahyuni
Nim : 101121013
Jurusan : SI Keperawatan Ekstensi
Tahun : 2012
ABSTRAK
Pola asuh adalah cara yang digunakan keluarga dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan tersebut antara lain pengetahuan, nilai moral, dan standart perilaku yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti. Terdapat 3 macam tipe pola asuh orang tua yaitu; demokratis, otoriter, permisif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan. Desain penelitian ini adalah deskriptif. Pengambilan sampel dengan teknik quota sampling. Sample sebanyak 56 orang yang terdiri dari siswa-siswi kelas 2 di SMA N. 1 Padangsidimpuan. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 12 juli 2011. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang meliputi data demografi dan pernyataan terkait dengan tiga tipe pola asuh. Kemudian data yang diperoleh diolah dengan menggunakan teknik komputerisasi dan dideskripsikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Berdasarkan penelitian, Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan yaitu 40 responden (71.4%) menilai tipe pola asuh keluarganya demokratis, dan 13 responden (23,2%) menilai tipe pola asuh keluarganya otoriter, dan 3 responden (5,4%) menilai tipe pola asuh keluarganya permessive. Adapun kesimpulan dari penelitian ini yaitu, penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan adalah tipe pola asuh demokratis. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melengkapi penelitian ini dengan mengembangkan metode lain dan dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan penelitian selanjutnya mengenai tipe pola asuh keluarga.
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
Masa remaja dikenal sebagai masa yang penuh dengan kesukaran. Bukan
saja kesukaran pada individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi orang
tuanya. Hal ini disebabkan karena masa remaja merupakan masa transisi
antara masa kanak-kanak dan masa dewasa.Yang dimulai pada saat terjadi
kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20
tahun, yaitu menjelang masa dewasa muda. Masa transisi ini sering kali
menghadapkan individu yang bersangkutan kepada situasi yang
membingungkan, disatu pihak ia masih kanak-kanak, tetapi dipihak lain ia
harus bertindak seperti orang dewasa. Ausabel (dalam Soetjiningsih, 2004)
mengatakan bahwa jika status orang dewasa sebagai status primer, artinya
status ini diperoleh berdasarkan kemampuan dan usaha sendiri dan status
anak adalah status yang diperoleh dari apa yang diperoleh dari orang tua dan
masyarakat, maka remaja ada dalam situasi interim sebagai akibat dari posisi
yang sebagian diberikan orang tua dan masyarakat dan sebagian dari usaha
sendiri yang selanjutnya memberi prestice tertentu untuk dirinya.
Dalam perkembangannya menuju kedewasaan, remaja berangsur-angsur
mengalami perubahan. Seperti perubahan kognitif pada remaja dimana
penalaran logis yang berkembang, pemikiran idealis yang meningkat dapat
mempengaruhi hubungan orangtua dan remaja (Santrock, 2003). Selama
masa kanak-kanak orang tua dapat berkata “cukup sampai disitu, kita lakukan
Tapi dengan kemampuan kognitif yang meningkat, remaja tidak mau lagi
menerima pendiktean orang tuanya. Remaja ingin tau kenapa dia dihukum,
bahkan ketika orang tua memberi alasan yang cukup dan masuk akal untuk
menghukum mereka, kemajuan kognitif mereka dapat menemukan
kekurangan dialasan tersebut.
Kesenjangan dan konflik antara remaja dan orangtua terjadi karena remaja
membutuhkan kebebasan emosional dari orang tua, misalnya dalam hal
memilih teman maupun melakukan aktifitas. Sifat remaja yang sangat ingin
memperoleh kebebasan emosional dan sementara orang tua yang masih ingin
mengawasi dan melindungi anaknya dapat menimbulkan konflik diantara
mereka.
Orang tua sekarang dinilai dengan secara langsung membandingkan
dengan orang tua yang ideal. Interaksi yang sangat nyata dengan orang tua,
yang mau tidak mau melibatkan hal negatif, dibandingkan dengan skema
remaja mengenai orang tua ideal. Pemikiran tentang orang tua ideal
didasarkan terutama pada bagaimana perlakuan orang tua terhadap mereka,
terutama dibidang disiplin, pengasuhan, dan rekreasi. Remaja dapat menilai
terhadap apa saja yang dilihat dan didengarnya, dan akan memiliki penilaian
terhadap norma-norma keluarga, tata cara keluarga yang terdiri dari
nilai-nilai, larangan-larangan, yang membatasi dan mengatur tingkah laku keluarga
(Gunarsah, 2003).
Orangtua yang menerapkan disiplin yang kaku dan menuntut anak untuk
menilai pola asuh yang diterapkan otoriter. Sebaliknya penerapan pola asuh,
dimana orang tua memberikan kebebasan kepada anak sebanyak mungkin
dalam beraktifitas atau memilih teman sesuai keinginan mereka, orang tua
akan dinilai baik.
Hasil survey pada remaja di 10 kota besar diindonesia tahun 2003,
mayoritas (82%) mereka menyatakan pola asuh orangtua mereka adalah
otoriter, 50% mengaku pernah mendapat hukuman fisik ( Ariani, 2006). Dan
hasil penelitian ada 87,5% responden yang bersuku batak, memiliki pola asuh
demokratis. Ini sesuai dengan hasil penelitian Irmawati (2007) bahwa 71,4%
yang bersuku suku batak memiliki pola pengasuhan demokratis, karena
asumsi orang batak bahwa anak adalah kekayaan yang sangat berharga seperti
semboyan suku Batak “Anakkonki do hamoraon di au”, sehingga orangtua
selalu memberi dukungan untuk menjunjung tinggi kebaikan dan kedisiplinan
dalam mengasuh untuk mencapai keberhasilan tanpa melakukan pemaksaan
dalam mengasuh anak.
Berdasarkan studi pendahuluan peneliti mendapatkan data siswa kelas 2
SMA N 1 Padangsidimpuan tahun 2010-2011 dengan jumlah 224 orang. Dan
peneliti melakukan wawancara pada 5 orang siswa, 4 orang siswa
mengatakan orang tuanya memberikan kebebasan pada mereka untuk
melakukan aktifitas diluar rumah tetapi mereka harus pulang kerumah
sebelum magrib dan mereka bebas memilih teman yang mereka sukai tetapi
mereka tidak boleh mengikuti perilaku buruk dari temannya. Dan satu siswa
melakukan apapun, bahkan ketika dia pulang tengah malam orang tuanya
tidak marah, asalkan dia tidak mabuk-mabukan.
Dari latar belakang diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian remaja
terhadap pola asuh keluarganya berbeda-beda,dan penilaian remaja terhadap
pola asuh orang tuanya belum tentu benar. Karena itu penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian tentang “Penilaian Remaja Tentang Pola Asuh
Keluarga di SMA N 1 Padangsidimpuan”.
1.2.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui penilaian remaja terhadap
tipe pola asuh keluarga diSMA N. 1 Padangsidimpuan.
1.3.Pertanyaan Penelitian
Bagaimana penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1
Padangsidimpuan.
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1. Bagi Prakek keperawatan
Sebagai bahan masukan bagi praktek keperawatan komunitas
khususnya keperawatan keluarga mengenai pola asuh keluarga. Dengan
diketahuinya penilaian remaja terhadap pola asuh keluarga dapat
menjadi dasar bagi perawat dalam menerapakan pola asuh yang baik
1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat diintegrasikan dalam pembelajaran keperawatan
komunitas, khususnya keperawatan keluarga tentang penilaian remaja
terhadap pola asuh keluarga, sehingga fakta ini dapat dikembangkan dalam
praktek belajar lapangan keperawatan komunitas maupun lingkungan
masyarakat.
1.4.3. Bagi Penelitian Selanjutnya
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang
Penilaian remaja terhadap pola asuh keluarga di komunitas untuk
digunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan pola asuh keluarga.
1.4.4. Bagi Keluarga
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pengertian Penilaian
Teori penilaian sosial judgemen teory memberikan perhatian pada
bagaimana orang memberikan penilaian mengenai segala informasi atau
pernyataan yang didengarnya. Teori penilaian sosial disusun berdasarkan
penelitian Muzafer sheriff yang berupaya memperkirakan bagaimana orang
menilai pesan dan penilaian yang dibuat tersebut dapat mempengaruhi sistem
kepercayaan yang sudah dimiliki sebelumnya (Morissan, 2010). Penilaian
adalah alih bahasa dari istilah assessmen. Menurut Buana (2005) penilaian
dapat didefenisikan sebagai kegiatan menentukan nilai suatu objek, seperti
baik- buruk, efektif tidak efektif. Berhasil-tidak berhasil, dan semacamnya
sesuai criteria atau tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Penilailan
adalah merupakan kegiatan untuk mengetahui apakah suatu program yang
telah dilaksanakan telah berhasil dan efisien. Menurut Sudijono (2005),
penilaian berarti menilai sesuatu, sedangkan menilai itu mengandung arti :
mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri dan
berpegang pada ukuran baik atau buruk, sehat atau sakit, pandai atau bodoh
dan sebagainya. Menurut Buana (2005) ada empat unsur pokok penilaian
yaitu : objek yang dinilai, criteria tolak ukur, data tentang objek yang akan
2.2. Remaja
2.2.1. Pengertian Remaja
Menurut WHO anak diakatakan remaja bila telah mencapai umur
10-18 tahun.Masa remaja menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003)
seorang bapak pelopor psikologi perkembangan remaja, dianggap
sebagai masa topan-badai dan stress (strom & stress), karena mereka
telah mmiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Jika
terarah dengan baik maka ia akan menjadi seorang individu yang
memiliki tanggung jawab, tetpi jika tida terbimbing, maka akan menjadi
seseorang yang tida memiliki masa depan yang baik.
Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal
dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai
kematangan”. Menurut Hurlock(1999) Istilah adolescence sesungguhnya
memiliki arti luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan
fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget yang menyatakan bahwa
secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi
terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak
merasa bahwa dirinya di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan
merasa sama, atau paling tidak sejajar.
Santrock mengartikan masa remaja (adolescence) sebagai masa
perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang
remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia
18 dan 20 tahun(Santrock, 2003). Perubahan biologis, kognitif dan
sosial-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual,
proses berfikir abstrak sampai pada kemandirian. Semakin banyak ahli
perkembangan yang menggambarkan remaja sebagai masa remaja awal
dan akhir. Masa remaja awal kira-kira sama dengan masa sekolah
menengah pertama dan mencangkup kebanyakan perubahan pubertas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masa remaja
merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Pada
saat anak mulai remaja, dimana anak merasa tidak lagi di bawah tingkat
orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang
sama.
2.2.2. Tahapan Perkembangan Remaja dan Ciri-cirinya
Hurlock(1999) mengemukakan bahwa seperti halnya semua
periode penting selama rentang kehidupan, masa remaja juga mempunyai
ciri-ciri yang membedakan dengan periode lain. Menurut Hurlock, masa
remaja merupakan suatu periode yang sangat penting karena akan terjadi
serangkaian perubahan. Pada masa remaja, akan terjadi perkembangan
fisik yang cepat dengan disertai juga oleh perkembangan mental,
terutama pada masa awal remaja.Semua perkembangan itu menimbulkan
perlunya penyesuaian mental untuk membentuk sikap, nilai, dan minat
Peralihan tidak berarti terputus atau berubah terhadap apa yang
terjadi sebelumnya, melainkan peraliahan dari satu tahapperkembangan
ketahap berikutnya. Artinya,apa yang telah terjadi sebelumnya akan
meninggalkan bekasnya pada apa yang akan terjadi sekarang dan
berikutnya.Bila masa kanak-kanak beralih kemasa dewasa, anak-anak
harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan.
Hurlock(1999) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa
peralihan, dimana dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah
jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Begitu juga
dengan remaja, remaja akan mengalami ketidakjelasan dan keraguan
terhadap perannya. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan
juga bukan orang dewasa.
Masa remaja adalah masa perubahan. Ada empat perubahan yang
sama yang hampir bersifat universal dialami oleh semua remaja. Pertama
adalah meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat
perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan tubuh,
minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial, sehingga remaja
akan mengalami masalah baru. Ketiga, dengan berubahnya minat dan
pola perilaku, maka nilai-nilai akan ikut berubah. Apa yang pada masa
kanak kanak dianggap penting, maka pada masa remaja bisa saja sesuatu
yang tidak penting itu berubah menjadi penting. Misalnya, penampilan.
perubahan. Remaja menginginkan kebebasan, tetapi takut untuk
bertanggungjawab akan akibat yang ditimbulkan.
Remaja juga merupakan usia bermasalah. Dikatakan sebagai usia
bermasalah karena pertama, sepanjang masa kkanak, masalah
anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang dewasa yang ada di sekitarnya,
misalnya guru atau orangtua. Hal ini mengakibatkan remaja tidak
terbiasa memecahkan masalahnya sendiri. Kedua, remaja merasa dirinya
mandiri, sehingga remaja ingin mengatasi masalahnya sendiri dan
menolak bantuan orang lain, dalam hal ini orangtua dan guru. Masa
remaja juga dicirikan dengan adanya pencarian identitas. Masa remaja
dikatakan juga sebagai masa yang tidak realistik, karena remaja
cenderung memandang kehidupan dari kaca matanya sendiri. Remaja
melihat dirinya sendiri maupun orang lain seperti yang diinginkan dan
bukan apa adanya. Hal ini menimbulkan meningginya emosi yang
merupakan ciri dari masa awal remaja.
Hurlock (1999) menyatakan bahwa perkembangan remaja
merupakan proses untuk mencapai kematangan, baik secara fisik, mental,
emosi maupun sosial. Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik yang
meliputi pertumbuhan yang pesat pada kerangka tubuh, organ-organ
internal, otot-otot, pertumbuhan berat badan, tinggi badan dan terjadinya
tanda-tanda kelamin primer dan sekunder dan mulai berfungsinya
Remaja juga mengalami perkembangan psikis yang meliputi
aspek-aspek intelektual, bakat dan emosi.pandangan bertambah luas
karena perhatian remaja pada ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan. Kemampuan mental yang menyangkut aspek
intelektualnya berkembang dan kini mampu mengadakan generalisasi
dan berpikir abstrak. Pertumbuhan mental remaja yang menyangkut
kemampuan kognitif juga terus berkembang. baik secara kualitatif
maupun kuantitatif, selama tahun-tahun masa remaja. Perolehan tersebut
dikatakan kuantitatif dalam pengertian bahwa remaja mampu
menyelesaikan tugas-tugas intelektual dengan lebih mudah, lebih cepat
dan efisien dibanding ketika masih kanak-kanak. Dikatakan kualitatif
dalam arti bahwa perubahan yang bermakna terjadi juga dalam proses
mental dasar yang digunakan untuk mendefinisikan dan menalar
pemasalahan.
Berdasarkan pernyataan di atas maka disimpulkan bahwa remaja
mengalami perkembangan baik dari segi fisik maupun segi intelektual,
emosi dan sosial, seperti adanya perubahan hubungan dengan orangtua
ataupun orang lain, selain itu remaja juga harus dapat menjadi individu
yang mandiri karena memang tugas paling mendasar dari remaja adalah
mencapai kemandirian agar remaja dapat merencanakan
kegiatan-kegiatannya. Perkembangan positif pada remaja akan membentuk
kepribadian remaja ke arah yang positif dan sebaliknya perkembangan
2.2.3. Perkembangan Kognitif Remaja
Kognitif dalam konteks ilmu psikologi sering didefenisikan secara
luas mengenai kemampuan berpikir dan mengamati, suatu perilaku yang
mengakibatkan seseorang memperoleh pengertian atau yang dibutuhkan
untuk menggunakan pengertian. Salah satu tugas perkembangan remaja
yang harus dilaluinya adalah mampu berpikir secara lebih dewasa dan
rasional, serta memiliki pertimbangan yang lebih matang dalam
menyelesaikan masalah.
Dengan kata lain remaja harus memiliki kemampuan intelektual
serta konsepsi yang dibutuhkan untuk menjadi masyarakat yang baik
(Soetjiningsih, 2004).
Perubahan yang terjadi dimana pada masa anak-anak cara
berpikirnya masih preoperasional dan konkrit operasional. Akan tetapi
pada masa remaja perkembangan kognitif menuju pada level yang paling
tinggi yaitu formal operasional ( Piaget dalam Ariani, 2006 ).
Cara berpikir remaja tidak terlepas dari kehidupan emosinya yang
naik turun . Penentangan dan pemberontakan yang ditunjukkan
denganselalu melancarkan banyak kritik, bersikap menentang peraturan
sekolah, maupun dirumah menjadi suatu ciri mulai meningkatnya
kemampuan berpikir dengan sudut pandang yang mulai meluas pada
Kemampuan kognitif manusia berkembang secara bertahap Pieget
(dalam Soetjiningsih, 2004) membaginya dalam beberapa stadium,
stadium sensori motorik (umur 0-18 bulan), stadium pra opersional (umur
18- 7 tahun), stadium operasional konkrit (umur 7-11 tahun, stadium
operasional formal (mulai 11 tahun).
Tahap formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang
sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas
pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi.
Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir dengan
fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif
jawaban atau penjelasan tentang suatu hal.
Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi
konkret yang hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal.
Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah
mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu
bayangan (Santrock, 2003).
Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat
ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian,
seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya,
termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya.
Dengan kemampuan tersebut maka remaja semakin yakin akan
tergantung pada kepada orang lain (Murniati & Beatrix, 2000) yang sering
mengakibatkan konflik remaja dengan sekolah, orangtua atau
lingkungannya.
Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi
tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang
diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada
remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir
lebih logis.
Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti,
dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu
tujuan di masa depan (Santrock, 2001). Salah satu bagian perkembangan
kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh
remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam
Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah
“ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain” .
2.3. Pola Asuh Keluarga
2.3.1. Pengertian Pola Asuh Keluarga
Pendidikan anak dalam keluarga merupakan awal dan pusat bagi
seluruh pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi dewasa,
dengan demikian menjadi hak dan kewajiban orangtua sebagai
orang tua adalah melengkapi anak dengan memberikan pengawasan yang
dapat membantu anak agar dapat menghadapi kehidupan dengan sukses.
Pengasuhan menurut Porwadarminta (dalam Amal, 2005) adalah
orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin, atau
mengelola. Pengasuhan yang dimaksud disini adalah mengasuh anak.
Menurut Darajat (dalam amal, 2005) mengasuh anak maksudnya adalah
mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minumnya,
pakaiannya, dan keberhasilannya dalam periode yang pertama sampai
dewasa. Dengan pengertian diatas dapat dipahami bahwa pengasuhan
anak yang dimaksud adalah kepemimpinan, bimbingan, yang dilakukan
terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya.
Pola asuh adalah cara yang digunakan keluarga dalam mencoba
berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang
diinginkan. Tujuan tersebut antara lain pengetahuan, nilai moral, dan
standart perilaku yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti (Mussen,
1994).
Tujuan mengasuh anak adalah memberikan pengetahuan dan
ketrampilan yang dibutuhkan remaja agar mampu bermasyarakat.
orangtua menanamkan nilai-nilai kepada anak-anaknya untuk membantu
mereka membangun kompetensi dan kedamaian. Mereka menanamkan
kejujuran, kerja keras, menghormati diri sendiri, memiliki perasaan kasih
karakterkarakter tersebut menjadi bagian utuh kehidupan anak-anak
(Edwards, 2006).
2.3.2. Tipe Pola Asuh Keluarga
Orangtua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu
diantaranya ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anak, orang
tua dipengaruhi oleh budaya yang ada dilingkungannya. Disamping itu,
keluarga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memilihara,
membimbing putra- putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola
pengasuhan kepada anak-anaknya yang berbeda-beda, karena keluarga
memiliki pola asuh tertentu. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikan, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi,
adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh keluarga petani
tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh keluarga
berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh keluarga yang
berpendidikan tinggi (Tarmudji, 2009) .
Beberapa pendapat mengenai tipe pola asuh keluarga diantaranya
sebagai berikut:
Tipe pola asuh menurut Baumrind (dalam santrock, 2003) terdiri
1. Pola Asuh Authoritarian (Otoriter)
Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan
cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, seringkali
memaksa anak untuk berprilaku seperti dirinya (orangtua),
kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak
jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-cerita,
bertukar pikiran dengan orangtua, orangtua malah menganggap
bahwa semua sikapnya yang dilakukan sudah benar sehingga tidak
perlu anak dimintai pertimbangan atas semua keputusan yang
menyangkut permasalahan anak-anaknya(Santrock, 2003).
Pola asuh otoriter cenderung untuk menentukan peraturan
tanpa berdiskusi dengan anak-anak mereka terlebih dahulu. Mereka
tidak mempertimbangkan harapan-harapan dan kehendak hati
anak-anak mereka. Petunjuk atau keputusan dari orangtua dicukupkan
dengan kalimat ”karena aku bilang begitu”. keluarga otoriter
menuntut keteraturan, sikap yang sesuai dengan ketentuan
masyarakat dan menekankan kepatuhan kepada otoritas. Menurut
Baumrind (dalam Santrock, 2003) pola asuh authoritarian (otoriter)
adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan
orangtua atau kontrol yang ditujukan pada anak untuk mendapatkan
Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang kaku,diktator,
dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orangtua tanpa
banyak alasan. Perilaku orangtua dalam berinteraksi dengan anak
bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh
terhadap aturan-aturan yang diberikan oleh orang tua tanpa merasa
perlu menjelaskan pada anak apa guna dan alasan dibalik aturan
tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anak.
Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, dan
menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan
oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum
anak. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang
tua. Karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan
melaksanakan tugas dan kewajibannya. Orang tua tipe ini juga tidak
mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu
arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya
untuk mengerti mengenai anaknya (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni,
2006).
Menurut Yusniah (2008) ciri – ciri pola asuh otoriter
adalah sebagai berikut : 1) anak harus mematuhi peraturan –
peraturan orang tua dan tidak boleh membantah, 2) orang tua
cenderung mencari kesalahan – kesalahan anak dan kemudian
larangan kepada anak, 4) jika terdapat perbedaan pendapat antara
orang tua dan anak, maka anak dianggap pembangkang, 5) orang tua
cenderung memaksakan disiplin, 6) orang tua cenderung
memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai
pelaksana, 7) tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak.
Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk terhadap anak,
anak akan merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk
berinisiatif, selalu tegang, cenderung ragu, dan tidak mampu
menyelesaikan masalah, kemampuan komunikasinya buruk, akibat
seringnya mendapat hukuman dari orang tua. Anak menjadi tidak
disiplin dan nakal dengan pola asuh seperti ini anak diharuskan
untuk berdisiplin Karena semua keputusan dan peraturan ada
ditangan orangtua.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter
menunjukkan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anaknya
ditandai dengan hubungan orangtua dengan anak yang tidak hangat,
kaku, orangtua lebih suka memaksa kehendak, mereka menentukan
peraturan tanpa diskusi dengan anak, dan anak sering diberi
hukuman sebaliknya jarang mendapat pujian.
2. Pola Asuh Authortative (Demokratis)
arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab dan
menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdisiplin. Pola asuh
demokratis mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan
batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi
verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orangtua
bersikap hangat dan bersikap membesarkan hati remaja (Sim, 2000).
Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang
kompeten.
Menurut Shochib (dalam Yuniarti, 2003) orangtua yang
menerapkan pola asuh authoritative banyak memberikan kesempatan
pada anak untuk membuat keputusan secara bebas, berkomunikasi
dengan lebih baik, mendukung anak untuk memiliki kebebasan
sehingga anak mempunyai kepuasan sedikit menggunakan hukuman
badan untuk mengembangkan disiplin. Pola asuh demokratis adalah
pola asuh yang ditandai dengan pengakuan orangtua terhadap
kemampuan anak-anaknya, dan kemudian anak diberi kesempatan
untuk tidak selalu tergantung kepada orangtua. Dalam pola asuh
seperti ini orangtua memberikan sedikit kebebasan kepada anak
untuk memilih apa yang dikehendaki dan apa yang diinginkan yang
terbaik bagi dirinya, anak diperhatikan dan didengarkan saat anak
berbicara, dan bila berpendapat orangtua memberikan kesempatan
terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu
sendiri(Kuczynski & Lollis, 2002).
Menurut Yusniah (2008) ciri – ciri pola asuh demokratis
adalah sebagai berikut; 1) menentukan peraturan dan disiplin dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan alasan – alasan yang dapat
diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak, 2) memberikan
pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan
yang tidak baik agar ditinggalkan, 3) memberikan bimbingan dengan
penuh pengertian, 4) dapat menciptakan keharmonisan dalam
keluarga, 5) dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua
dan anak serta sesama keluarga.
Menurut Park & Locke (dalam Lestari, 2006) teori sistem
keluarga menjelaskan bahwa penting didalam sosialisasi seorang
anak tidak hanya eratnya hubungan keluarga, tetapi keseluruhan
kombinasi dari tingkah laku tersebut. Orangtua mempunyai berbagai
macam fungsi yang salah satu fungsinya mengasuh putra- putrinya.
Dalam mengasuh anak, orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada
dilingkungannya.
3. Pola Asuh Permisif
Menurut Baumrin Pola asuh keluarga permissive tidak
memberikan struktur dan batasan-batasan yang tepat bagi anak-anak
orang tua memberikan kebebasan sebanyak mungkin pada anak
untuk mengatur dirinya. Anak tidak dituntut untuk bertanggung
jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua. Pola asuh ini
memandang anak sebagai seorang pribadi dan mendorong mereka
untuk tidak berdisiplin dan anak diperbolehkan untuk mengatur
tingkah lakunya sendiri. Dengan pola asuh seperti ini anak mendapat
kebebasan sebanyak mungkin dari keluarganya. Mereka cenderung
tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang
dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh
mereka. Pelaksanaan pola asuh permisif atau dikenal dengan pola
asuh serba membiarkan adalah orang tua yang bersikap mengalah,
menuruti semua keinginan, dan melindungi secara berlebihan serta
memberikan atau memenuhi semua keinginan anak. Namun orang
tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh
anak.
Pola asuh permissive memuat hubungan antara anak dan orangtua penuh dengan kasih sayang, tetapi membuat anak menjadi
agresife dan suka menurutkan kata hatinya. Secara lebih luas,
kelemahan orangtua dan tidak konsistennya disiplin yang diterapkan
membuat anak-anak tidak terkendali, tidak patuh, dant ingkah laku
agresif diluar lingkungan keluarga.
maupun kognitif pada anak.Menurut Hetherington clingempeel
(dalam, lestari 2006) Pola asuh permissive cederung menjadikan
anak tidak mampu bersosialisasi, tidak bertanggung jawab, tidak
dewasa, terasing dari keluarga mereka, dan menunjukkan gangguan
dalam perkembanagan kognitif, prestasi, dan keunggulan disekolah.
Pola asuh ini membuat remaja meghabiskan waktu diluar
rumah dengan teman. Orangtua permissive adalah orangtua yang
kaku dan berfokus pada kebutuhan mereka sendiri. Terutama pada
saat anak menjadi lebih dewasa, orangtua gagal mengawasi mereka,
apa yang sedang mereka lakukan atau siapa teman-teman mereka.
Baumrind menggambarkan 2 jenis keluarga yang
permessive antara lain:
1. Keluaraga permisif lunak (memanjakan)
Pola asuh permisif memanjakan (permissive-indulgent parenting)
adalah suatu pola dimana orangtua sangat terlibat dengan remaja
tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka.
Pengasuhan permisif memanjakan berkaitan dengan ketidak cakapan
sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian diri. Orangtua
permisif lunak bisa hangat, bersifat ngemong, dan responsif, tetapi
mereka menggunakan sedikit sekali struktur dan bimbingan. Karena
orangtua dengan tipe ini cenderung mempercayai bahwa ekspresi
perkembangan psikologis, mereka sedikit sekali tuntutan kepada
anak-anak mereka untuk menjadi matang dan bersikap mandiri.
Anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua tipe ini biasanya
menjadi anak-anak yang ”manja”. Mereka cenderung tidak cocok
dengan orang dewasa lainnya, mereka sangat menuntut, kurang
percaya diri, dan kurang bisa mengandalikan diri. Mereka tidak
menetapkan tujuan atau menikmati kegiatan yang mengandung
tanggung jawab. Mereka bisa menjadi senang dan bersikap baik
selama segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan mereka, tetapi
mudah frustasi jika keinginan mereka tidak terpenuhi.
2. Keluaraga yang lepas tangan (tidak peduli)
Gaya pengasuhan permisif tidak peduli (permissive-indifferet
parenting) adalah suatu pola dimana keluarga sangat tidak ikut
campur . dalam kehidupan remaja.
Hal ini berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap,
terutama kurangnya pengendalian diri. keluarga semacam ini gagal
memberikan bimbingan dan dukungan emosional yang cukup bagi
anak-anak mereka. keluarga yang tidak peduli bisa saja memulai
dengan mencintai dan tegas, tetapi dalam perjalanannya mereka
menjadi kewalahan menghadapi seringnya respons negatif dari
anggota keluarga yang lain. Mereka mencoba menghindari konflik
dengan bertahap menarik diri dari kehidupan emosional anak mereka.
mereka sendiri, ”apapun yang kulakukan, semuanya tidak berhasil.
Jika aku baik kepada anak ini, juga tidak akan berhasil. Jika aku coba
untuk memaksa anak ini untuk mengerajakan apa yang aku inginkan,
anakmu menolak dan semua menjadi lebih buruk lagi”.
Huffman (dalam Ali, 2004) mengemukakan tiga jenis pola asuh
orangtua, yaitu:
1. Pola asuh bina kasih (induction)
Pola asuh bina kasih adalah pola asuh yang diterapkan keluarga dalam
mendidik senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal
terhadap setiap keputusan dan perlakuan yang diambil bagi anggota
keluarganya.
2. Pola asuh unjuk kuasa (power asertion)
Pola asuh unjuk kuasa adalah pola asuh yang diterapkan orangtua
terhadap anaknya dengan senantiasa memaksakan kehendaknya untuk
dipatuhi oleh anak meskipun sebenarnya anak tidak dapat
menerimanya.
3. Pola asuh lepas kasih (love withdrawal)
Pola asuh yang diterapkan keluarga dalam mendidik anggota
keluarganya dengan cara menarik sementara cinta kasihnya ketika
anak tidak menjalankan apa yang dikehendaki orangtuanya, tetapi jika
anak sudah mau melaksanakan apa yang dikehendaki orangtuanya
maka cinta kasihnya itu dikembalikan seperti sediakalanya. Dalam
pengembangan hubungan sosial, pola asuh yang disarankan oleh
Hoffman untuk menerapkan adalah pola asuh bina kasih.
2.3.3. faktor yang mempengaruhi pola asuh
Menurut Mussen (1994) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pola asuh orangtua, yaitu sebagai berikut:
a. Jenis kelamin
Orang tua pada umumnya cenderung lebih keras terhadap anak wanita
dibandingkan terhadap anak laki-laki
b. Ketegangan orangtua
Pola asuh seseorang bisa berubah ketika merasakan ketegangan ekstra.
Orangtua yang demokratis kadang bersikap keras atau lunak setelah
melewati hari-hari yang melelahkan orangtua bisa selalu bersikap
konsisten. Peristiwa sehari-hari dapat mempengaruhi orangtua dengan
berbagai cara.
c. Pengaruh cara orangtua dibesarkan
Para orang dewasa cenderung membesarkan anak-anak mereka
dengan cara yang sama seperti mereka dibesarkan oleh orangtua
mereka. Namun, kadang-kadang orangtua membesarkan anak dengan
cara yang sama sekali berbeda dibandingkan dengan waktu mereka
dibesarkan.
dengan latihan dan komitmen, para orangtua dapat mempelajari tugas-
tugas yang secara canggung. Dengan komitmen dan latihan
tugas-tugas berat dapat terselesaikan.
d. Lingkungan tempat tinggal
Lingkungan tempat tinggal suatu keluarga akan mempengaruhi cara
orangtua dalam menerapkan pola asuh. Hal ini bisa dilihat bila suatu
keluarga tinggal di kota besar, maka orangtua kemungkinan akan
banyak mengkontrol karena merasa khawatir, misalnya melarang anak
untuk pergi kemana-mana sendirian. Hal ini sangat jauh berbeda jika
suatu keluarga tinggal di suatu pedesaan, maka orangtua kemungkinan
tidak begitu khawatir jika anak-anaknya pergi kemana mana sendirian.
e. Sub kultur budaya
Budaya disuatu lingkungan tempat keluarga menetap akan
mempengaruhi pola asuh orangtua. Hal ini dapat dilihat bahwa banyak
orangtua di Amerika Serikat yang memperkenankan anak-anak
mereka untuk mepertanyakan tindakan orangtua dan mengambil
bagian dalam argumen tentang aturan dan standar moral.
f. Status sosial ekonomi
Keluarga dari status sosial yang berbeda mempunyai pandangan yang
berbeda tentang cara mengasuh anak yang tepat dan dapat diterima,
ketidak sopanan anak dibanding ibu dari kelas menengah keatas.
Begitupun juga dengan orangtua dari kelas buruh lebih menghargai
penyesuaian dengan standar eksternal, sementara orangtua dari kelas
menengah lebih menekankan pada penyesuaian dengan standar
perilaku yang sudah terinternalisasi.
Jadi dari ketiga jenis pola asuh yaitu pola asuh otoriter, pola
asuh demokratis dan pola asuh permisif. Pola asuh orangtua yang
biasa diandalkan adalah pola asuh orangtua demokratis karena
orangtua dalam memberikan pujian, hukuman dan berkomunikasi
dengan anak-anak mereka akan turut mempengaruhi terbentuknya
kemampuan berpenyesuaian yang baik dalam lingkungannya. Sebagai
faktor pola asuh demokratis orangtua merupakan kekuatan yang
penting dan sumber utama dalam pengembangan kemampuan sosial
anak.
2.4. Keluarga
2.4.1. pengertian keluarga
Keluarga merupakan bagian dari manusia yang setiap hari selalu
berhubungan dengan kita. Keluarga menurut Friedman (1998) adalah
kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan
aturan dan emosional dan individu yang mempunyai peran
maasing-masing yang merupakan bagian keluarga. Menurut UUD No. 10 tahun
suami-Dalam keluarga terdapat ikatan perkawinan dan hubungan darah
yang tinggal bersama dalam satu atap (serumah) dengan peran
masing-masing serta keterikatan emosional, seperti yang tertulis dalam
peraturan pemerintahan (PP) No. 21 tahun 1994 bahwa keluarga
dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah.
Menurut duvall dan logan (1986) keluarga adalah sekumpulan
orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan
untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota
keluarga.
Allender dan Spradley ( dalam Ariani, 2006) mengemukakan
bahwa struktur keluarga terdiri dari dua kategori umum yaitu keluarga
tradisional seperti keluarga inti, keluarga besar, keluarga suami istri
tanpa anak, janda/duda (single parent), keluarga usia lanjut, dan non
tradisional seperti homoseksualitas, keluarga yang mempunyai anak
tetapi tidak menikah, dan hidup bersama tanpa menikah.
David (1992) mengkategorikan keluarga berdasarkan pengertian
sebagai berikut :
1. Keluarga seimbang
Keluarga yang ditandai dengan keharmonisan hubungan (relasi) antara
ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan anak. Dalam
anggota keluarga saling menghormati dan saling memberi tanpa harus
diminta. Anak-anak measa aman, walaupun tidak selalu disadari.
Dianatara keluarga saling mendengarkan jika bicara bersama, melalui
teladan dan dorongan orangtua. Setiap masalah dihadapi dan
diupayakan untuk dipecahkan bersama.
2. Keluarga kuasa
Keluarga ini lebih menekankan kekuasaan daripada relasi. Pada
keluarga ini, anak merasa seakan-akan ayah dan ibu mempunyai buku
peraturan, ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah
habis. Orang tua bertindak sebagai bos dan pengawas tertinggi.
Anggota keluarga terutama anak-anak tidak memiliki kesempatan atau
peluang agar dirinya didengarkan.
3. Keluarga protektif
Keluarga ini lebih menekankan pada tugas dan saling menyadari
perasaan satu sama lain. Dalam keluarga ini ketidakcocokan sangat
dihindari karena lebih menyukai suasana kedamaian.
4. Keluarga kacau
Keluarga ini kurang teratur dan selalu timbul konflik. Orangtua kurang
peka terhadap kebutuhan anak-anak. Anak sering diabaikan dan
diperlakukan secara kejam karena kesenjangan antara anak dan orang
tua. Orangtua sering bersikap kasar terhadap anak. Hampir sepanjang
5. Keluarga simbotis
Keluarga simbotis dicirikan oleh orientasi dan perhatian keluarga yang
kuat bahkan hampir seluruhnya terpusat pada anak-anak. Keluarga ini
berlebihan dalam relasi. Orangtua sering merasa terancam karena
meletakkan diri sepenuhnya pada anak-anak, dengan alasan “demi
keselamatan” . orangtua banyak menghabiskan waktu untuk
memikirkan dan memenuhi keinginan anak.
2.4.2. Karakteristik keluarga
Karakteristik keluarga dapat dikembangkan berdasarkan
pendidikan orang tua, penghasilan orang tua, dan tipe keluarga. Orangtua
yang memiliki pendidikan tinggi cenderung akan memiliki kemampuan
kognitif yang lebih baik. Hal ini disebabkan bapak akan mendapatkan
informasi yang lebih banyak sehingga dalam memberikan keputusan yang
berkaitan dengan pendidikan dan permasalahan remaja akan lebih baik
pula ( Harlock, 1999).
Informasi yang didapatkan oleh bapak dari Pendidikan formal,
akan memperkaya wawasan bapak terkait dengan pengasuhan dan upaya
mengantisipasi perilaku remaja. Disamping itu, dilihat dari peran formal
bapak sebagai pencari nafkah dengan pendidikan formal yang memadai
memberikan peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak jg semakin
terbuka ( Mcmurray, 2003, dalam Ariani, 2006).
Bapak dalam keluarga memilki peran formal sebagai pencari
pengambil keputusan. Dalam budaya indonesia peran bapak masih
dominan dalam berbagai segi kehidupan dan pengambil kepurusan.
Keputusan-keputusan yang diambil berkaitan dengan pengasuhan yang
dibeikan pada remaja masih banyak ditentukan oleh bapak. Keputusan
akan semakin baik apabila bapak memilki wawasan dan pendidikan yang
memadai ( Ariani, 2006).
Demikian juga pendidikan yang tinggi pada ibu, ibu sangat
mempengaruhi perilaku remaja, ibu yang berpendidikan tinggi memiliki
kemampuan kognitif yang lebih tinggi dan mendapatkan informasi yang
lebih baik, sehingga mampu memberikan keputusan yang terkait dengan
masalah remaja ( Harlock, 1999 ). Ibu sebagai pilar rumah tangga tentu
memiliki peran formal yaitu sebagai ibu runah tangga dan juga sebagai
pengasuh anak. Mendidik dan mengasuh anak bukanlah suatu hal yang
mudah, mengingat anak-anak terutama remaja memiliki keunikan
masing-masing.
Dalam proses pembimbingan dan pengasuhan anak, dibutuhkan
strategi dan kiat-kiat cermat sehingga remaja akan tumbuh dan
berkembang secara optimal ( Harlock, 1999). Kiat-kiat dan strategi yang
cermat membutuhkan kemampuan kognitif dan wawasan yang baik. Selain
peran formal, ibu juga memiliki peran informal dimana seorang ibu harus
mampu sebagai manajer keuangan keluarga sehingga stabilitas ekonomi
Pendidikan yang tinggi pada ibu, juga memiliki peluang bagi ibu
untuk mendapatkan pekerjaan. Ibu yang bekerja pada umumnya memiliki
pendidikan yang lebih baik, sehingga kualitas pengasuhan juga lebih baik,
meskipun dalam segi kuantitas frekuensi keberadaan didalam rumah lebih
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
3.1. Kerangka Konseptual
Kerangka konsep pada penelitian ini disusun berdasarkan serangkaian
konsep yang saling terkait yaitu remaja, penilaian,dan tipe pola asuh keluarga.
Berikut ini akan dijabarkan konsep terkait yang akan digunakan sebagai dasar
dalam merumuskan kerangka dan instrument penelitian.
Kerangka penelitian Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di
SMA N. 1 Padangsidimpuan dapat dilihat dari skema dibawah ini.
Skema 3.1 kerangka Penelitian penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga Tipe pola asuh keluarga
3.2. Defenisi Konseptual dan Operasional
3.2.1. Defenisi Konseptual
Defenisi konseptual penilaian remaja terhadap tipe pola asuh
keluarga adalah:
a. Penilaian
Penilaian adalah kegiatan menentukan nilai suatu objek, seperti
baik- buruk, efektif tidak efektif. Berhasil-tidak berhasil, dan
semacamnya sesuai kriteria atau tolak ukur yang telah ditetapkan
sebelumnya(Buana, 2005).
b. Remaja
Remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa anak dan
masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan
sosial- emosional (Santrock, 2003). Masa remaja dimulai kira-kira
usia 10-13 tahun dan berakhir antara usia 18-20 tahun (Santrock,
2003).
c. Tipe pola asuh Keluarga
Cara yang digunakan keluarga dalam mencoba berbagai strategi
untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan(Mussen,
1994). Tipe pola asuh keluarga menurut Baumrind (dalam
3.2.2. Defenisi Operasional
Defenisi Operasional pada penilaian remaja terhadap tipe pola asuh
keluarga adalah:
a. Penilaian
Penilaian dalam penelitian ini yang dimaksud adalah pola asuh
keluarga yang dinilai oleh remaja atau responden di SMA N 1
padangsidimpuan berdasarkan tolak ukur tipe pola asuh otoriter.
Demokratis, permissive.
b. Remaja
Dalam penelitian ini yang dimaksud remaja adalah responden
yang berusia 15-17 tahun di SMA N 1 Padangsidimpuan yang
berada dikelas 2.
c. Tipe pola asuh keluarga
Dalam penelitian ini yang dimaksud tipe pola asuh keluarga
adalah cara yang digunakan keluarga remaja atau responden di
SMA N 1 padangsidimpuan untuk mencapai tujuan yang
diingikan oleh keluarga responden berdasarkan tipe pola asuh
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif . Dimana peneliti
akan mengetahui penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA
N. 1 Padangsidimpuan.
4.2. Populasidan Sampel Penelitian
4.2.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa remaja pria dan wanita
usia 15-17 tahun yang duduk dikelas 2 SMA N 1 Padangsidimpuan,
Dengan jumlah populasi siswa/i kelas 2 sebanyak 224 orang .
4.2.2. Sampel
Menurut Arikunto (2002), untuk pengambilan sampel jika
subjeknyakurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga
penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya, jika
subjeknya lebih dari 100 maka dapat diambil antara 10-15 % atau
20-25% atau lebih, tergantung pada kemampuan peneliti dilihat dari segi
waktu, tenaga, dan dana serta luasnya wilayah pengamatan, maka
populasi. Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk
dapat mewakili populasi.
4.2.3 .Teknik Sampling
Teknik Sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam
pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai
dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2003).
Sampel dipilih dengan menggunakan Quota Sampling yaitu
pengambilan sampel dilakukan dengan cara memilih sampel diantara
populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah
dalam penelitian), jika sampel sudah terpenuhi maka pengambilan
sampel dihentikan (Nursalam, 2003).
ada beberapa kriteria responden sebagai subjek studi dan dianggap
representative yaitu :
1. Siswa/siswi kelas 2 SMA
2. Siswa remaja usia 15-17
3. Tinggal dengan keluarga inti, baik sekandung atau tidak
4.3. Lokasi Waktu Penelitian
Penelitian telah dilakukan di SMA N 1 Padangsidimpuan, dengan
pertimbangan banyak terdapat remaja usia 15-17 tahun masih memiliki orang
tua atau keluarga inti dan tinggal bersama,dan belum pernah dilakukan
penelitian di SMA ini. Penelitian dilakukan pada tanggal 12 juni 2011 di
SMA N 1 Padangsidimpuan.
4.4. Pertimbangan Etik
Dalam melakukan penelitian ini, permohonan izin diajukan kepada
Fakultas Keperawatan USU, kemudian izin penelitian disampaikan kepada
kepala sekolah SMA N 1 Padangsidimpuan agar penelitian dapat
dilaksanakan.
Pada pelaksanaan penelitian, kepada calon responden diberikan penjelasan
tentang informasi esensial dari penelitian yang akan dilakukan, antara lain
tujuan, manfaat, kegiatan dalam penelitian serta hak-hak responden didalam
penelitian ini.
Penelitian ini memperhatikan, menghormati, dan memberikan sepenuhnya
hak-hak perlindungan diri bagi responden, yaitu hak atas privacy diri,
kerahasian identitas diri, dengan perlakuan yang sama dalam penelitian.
Responden berhak untuk menentukan sendiri kesediaan berpartisipasi
sampai akhir penelitian ini selesai atau menarik diri dari penelitian walaupun
dengan jelas dalam informend consent yang berupa pernyataan prsetujuan
partisipasi secara lisan atau yang ditandatangani oleh responden sebelum
penelitian dilaksanakan.
Sebelum menandatangani informend consent tersebut, responden diberi
waktu hingga benar-benar paham sepenuhnya atas apa yang akan dijalaninya
dalam penelitian.
4.5. Instrumen Penelitian
Untuk megetahui informasi dari responden, peneliti menggunakan alat
pengumpul data berupa kuisoner yang disusun sendiri oleh peneliti dengan
berpedoman pada konsep dan tinjauan pustaka. Kuisoner Penilaian remaja
terhadap tipe pola asuh keluarga merupakan instrument yang digunakan
dalam penelitian ini. Item-item dalam instrumen terbagi menjadi 2 bagian
yaitu:
4.5.1. Data Demografi Remaja
Bagian ini terdiri dari 10 item yaitu umur, jenis kelamin, agama,
suku, tinggal dengan keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang
tua, dan pendapatan orangtua. Data demografi merupakan variabel yang
4.5.2. Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga
Bagian ini ditujukan untuk mengkaji penilaian remaja terhadap tipe
pola asuh keluarga. Pengkajian penilaian remaja terhadap tipe pola
asuh keluarga. menggunakan skala likert dengan cara menetapkan
bobot jawaban terhadap tiap-tiap item (Mardalis, 1995). Kuesioner
terdiri dari 36 pernyataan, dengan tiga pilihan jawaban yaitu tidak
pernah (TP), jarang terjadi (JT), atau sering terjadi (ST). Kuesioner
ini terbagi atas dua kategori pola asuh keluarga meliputi pernyataan
tentang tipe pola asuh otoriter pernyataan no. 1-12, dimana TP ( Nilai
1), JT (Nilai 2), dan ST (Nilai 3). pernyataan tentang tipe pola asuh
demokratis pernyataan no. 13-24, dimana TP ( Nilai 1), JT (Nilai 2),
dan ST (Nilai 3) pernyataan tentang tipe pola asuh permisif no.
25-36, dimana TP (Nilai 1), JT (Nilai 2), dan ST (Nilai 3) .
4.6. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas telah dilakukan oleh dosen pembimbing ibu Siti
Zahara S.Kp.MNS. dengan cara validitas isi yaitu instrumen dilihat dan
dikoreksi oleh dosen apakah sesuai dengan konsep pola asuh keluarga, jika
instrumen sesuai maka instrumen dikatakan valid.
Uji reliabilitas dilakukan pada 20 remaja yang bertempat tinggal di jl.perjuangan Padangsidimpuan yang memiliki kriteria yang sama dengan
sampel penelitian. Hasil uji reliabilitas kuesioner untuk penilaian remaja
hasil 0.730. Menurut Polit & Hungler (1995) suatu instrumen yang baru
reliabel bila koefisiennya 0.70 atau lebih. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kuesioner penilaian remaja terhadap tipe pola asuh
keluarga yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel.
4.7.Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Mengajukan permohonan izin kepada pelaksanaan penelitian pada
institusi pendidikan program studi ilmu keperawatan Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatra Utara.
2. Mengirimkan permohonan izin yang diperoleh ketempat penelitian
(SMA N. 1 Padangsidimpuan )
3. Setelah mendapatkan izin dari kepala sekolah SMA N.1
Padangsidimpuan, maka peneliti melakukan pengumpulan data
penelitian dikelas 2 IPA3 dan dikelas 2 IPA4.
4. Menjelaskan kepada calon responden tentang prosedur, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan cara pengisian kuesioner
5. Peneliti meminta kesediaan responden untuk mengikuti penelitian
dengan memberikan informend consent dan meminta untuk
6. Seluruh responden yaitu 56 orang bersedia untuk menjadi responden
dan responden diminta menjawab pertanyaan dengan mengisi sendiri
kuesioner yang diberikan sesuai dengan waktu yaitu ± 30 menit.
7. Peneliti menganalisa data.
4.8. Analisa Data
Setelah data terkumpul, maka analisa data dilakukan melalui pengolahan
data secara komputerisasi dengan menggunakan SPSS versi 14.0. Data
demografi disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase.
Hasil analisa data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan
persentase untuk melihat penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga
yaitu otoriter, demokratis, permessive, dengan pembagian rentang kelas
menggunakan rumus menurut Hidayat (2009).
Data demografi dianalisis disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
dan persentase dan data hasil analisa tipe pola asuh keluarga juga akan
disajikan dalam bentuk frekuensi dan persentase.
Berdasarkan rumus statiska P = Rentang , dimana P merupakan
panjang kelas dan Banyak kelas
rentang adalah nilai tertinggi dikurangi nilai terendah (Hidayat, 2009).
Untuk analisa tipe pola asuh Authoritarian (otoriter) dengan rentang sebesar
28 dan jumlah kategori sebanyak 2 maka diperoleh panjang kelas sebesar 12.
Dengan P = 12 dan nilai terendah = 12 sebagai batas bawah kelas interval
Tidak Otoriter = 12-23
Otoriter = 24-36
Untuk analisa tipe pola asuh Demokrasi dengan rentang sebesar 28 dan
jumlah kategori sebanyak 2 maka diperoleh panjang kelas sebesar 12.
Dengan P = 12 dan nilai terendah = 12 sebagai batas bawah kelas interval
pertama, pemberian skor adalah sebagai berikut :
Tidak Demokratis = 12-23
Demokratis = 24-36
Untuk analisa tipe pola asuh permissive dengan rentang sebesar 28 dan
jumlah kategori sebanyak 2 maka diperoleh panjang kelas sebesar 12.
Dengan P = 12 dan nilai terendah = 12 sebagai batas bawah kelas interval
pertama, pemberian skor adalah sebagai berikut :
Tidak Permisif = 12-23
Permisif = 24-36
Dan skor tertinggi dari ketiga skor penilaian remaja terhadap tipe pola asuh
keluarga yaitu otoriter,demokratis,dan permessive merupakan tipe pola asuh
yang dominan digunakan oleh keluarga responden di SMA N. 1
Padangsidimpuan. Hasil analisa data baik data demografi maupun kuesioner
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan
mengenai penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1
Padangsidimpuan. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 12 juli 2011
Padangsidimpuan dengan jumlah 56 orang responden di SMA N.1
Padangsidimpuan.
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Karakteristik Responden
Pada penelitian diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden
berusia 16 tahun, yaitu sebanyak 51 orang (91,1%) dari total sampel.
Mayoritas responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 35
responden (62,5%) . Untuk karakteristik agama, mayoritas responden
beragama Islam (89,3%) dan mayoritas bersuku Batak (87,5%).
Sebanyak 52 responden tinggal dengan keluarga inti (92,2%).
Pendidikan orang tua terakhir (Ayah) 27 responden (48,2%) adalah
lulusan SMA dan (Ibu) pendidikan terakhir adalah SMA dari 33
setengah responden yaitu 32 responden (57,1%) berpenghasilan lebih
dari Rp. 3.000.000,00.
Tabel 5.1. Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik demografi responden (N= 56).
Karakteristik Demografi Frekuensi(n) Persentase(%)
1. Umur
15 tahun 3 5,3 16 tahun 51 91,1 17 tahun 2 3,6
2. Jenis Kelamin
Perempuan 35 62,5
5. Remaja Bertempat Tinggal dengan
Keluarga Inti sekandung 52 92,9 Keluarga inti tidak
Sekandung 4 7,1
6. Pendidikan terakhir orang tua Ayah
SD 3 5,4
SMP 4 7,1
SMA 27 48,2
Perguruan tinggi 22 39,3 7. Pendidikan terakhir orang tua
Ibu
SD 3 3,5
SMP 3 7,1
SMA 34 48,2
Perguruan tinggi 16 39,3
8. Pekerjaan orangtua Ayah
PNS/TNI 30 53,9
Tabel 5.1. Lanjutan
Karakteristik Demografi Frekuensi(n) Persentase(%)
9. Pekerjaan orangtua Ibu
PNS 14 25
Wiraswasta 23 41
IRT 19 34
10.Penghasilan keluaraga per bulan
< Rp.1.000.000 5 14,3
Rp. 1.000.000 – Rp. 3.000.000 18 28,6
>Rp.3.000.000 33 57,1
5.1.2 Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan ( N- 56).
Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh otoriter berdasarkan hasil skor
yang dihitung terdapat 43 (76,8 %) responden yang masuk kedalam tipe pola asuh
otoriter.
Tabel 5.2 distribusi frekuensi dan persentase penilaian remaja terhadap tipe pola asuh otoriter (N-56)
tipe pola asuh otoriter frekuensi (N) persentase(%)
Tidak otoriter : 12-23 13(23.2)
Otoriter : 24-36 43(76,8)
Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh demokratis berdasarkan hasil
skor yang dihitung terdapat 54 responden (96,4) yang masuk kedalam tipe pola
Tabel 5.3 distribusi frekuensi dan persentase penilaian remaja terhadap tipe pola asuh demokratis (N-56)
tipe pola asuh demokratis frekuensi (N) persentase (%)
Tidak demokratis : 12-23 2 (3,6)
demokratis : 24-36 54 (96,4)
Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh permisif berdasarkan hasil skor
yang dihitung hanya terdapat 8 responden (14,3%) yang masuk kedalam tipe pola
asuh permessive.
Tabel 5.4. distribusi frekuensi dan persentase penilaian remaja terhadap tipe pola asuh permisif (N-56)
tipe pola asuh Permisif frekuensi (N) persentase (%)
Tidak permisif : 12-23 48 (85,7)
permisif : 24-36 8 (14,3)
Secara keseluruhan data yang diperoleh dari penilaian remaja terhadap tipe
pola asuh keluarga di SMA N.1 Padangsidimpuan berdasarkan nilai tertinggi dari
perhitungan skor tiga tipe pola asuh terdapat 40 responden (71,4%) menilai tipe
pola asuh keluarganya adalah tipe pola asuh demokratis.
Tabel 5.5. Distribusi frekuensi dan persentase penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N.1 Padangsidimpuan
Tipe pola Asuh Frekuensi (N) Persentase(%)
Permisif 3 5,4
Demokratis 40 71,4
5.2. Pembahasan
Penelitian ini menjelaskan penilaian remaja terhadap tipe pola asuh
keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan. Dengan jumlah responden 56 orang.
Pada penelitian ini, penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga
dikelompokkan dari 3 tipe pola asuh orang tua yaitu tipe pola asuh otoriter,
demokratis, dan permisif.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada penilaian remaja
terhadap tipe pola asuh keluarga dari hasil skor tertinggi dari ketiga tipe pola
asuh keluarga menunjukkan bahwa 71,4% responden menilai tipe pola asuh
keluarganya demokratis, 23,8 % menilai tipe pola asuh keluarganya tipe pola
asuh otoriter, dan 5,4 % tipe pola asuh permisif. Hal ini mungkin dipengaruhi
oleh jenis kelamin, suku/budaya, tipe keluarga, pekerjaan orang tua,
pendidikan orangtua, pendapatan orang tua.
Dilihat dari jenis kelamin, 62,5% responden berjenis kelamin perempuan.
Jenis kelamin mempengaruhi pola asuh yang diberikan keluarga, Orangtua
pada umumnya lebih keras terhadap anak perempuan daripada anak laki-laki
(Rahmawati, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian ada 87,5% responden yang bersuku batak,
dimana hampir seluruh responden merupakan penduduk asli di
padangsidimpuan yang merupakan suku batak mandailing, dan memiliki pola
asuh demokratis. Ini sesuai dengan hasil penelitian Irmawati (2007) bahwa
71,4% yang bersuku suku batak memiliki pola pengasuhan demokratis, karena
semboyan suku Batak “Anakkonki do hamoraon di au”, sehingga orangtua
selalu memberi dukungan untuk menjunjung tinggi kebaikan dan kedisiplinan
dalam mengasuh untuk mencapai keberhasilan tanpa melakukan pemaksaan
dalam mengasuh anak. Dan hasil penelitian yang tinggal dengan keluarga inti
sekandung ada 92,9 % responden memiliki pola asuh demokratis. Menurut
Allender dan spradley (dalam Ariati, 2006) keluarga inti merupakan bagian
dari keluarga tradisional yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak baik sekandung
ataupun tidak. Keluarga merupakan lingkungan pertama anak, keluarga juga
meletakkan landasan bagi pola penyesuaian dan belajar berpikir tentang diri
mereka (Hurlock, 1999). dan keluarga inti sekandung atau tidak mempengaruhi
ketegangan atau konflik dalam keluarga dan itu mempengaruhi pola asuh yang
diterapkan pada remaja.
Tingkat pendidikan terakhir pada ayah responden 48,2% tamatan SMA,
dan pada ibu 59% tamatan SMA. Ayah yang memiliki pendidikan yang tinggi
cenderung akan memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik. Dan hal ini
disebabkan ayah yang mendapatkan informasi yang lebih banyak (Hurlock,
1999). Dari informasi yang didapat akan memperkaya wawasan ayah terkait
dengan pengasuhan anak. Dan pendidikan yang tinggi pada ibu akan
meningkatkan rasa percaya diri ibu dan rasa aman bagi ibu untuk mengasuh
anaknya (Mcmurray, dalam Ariani, 2006) sehingga mempengaruhi pola asuh
yang diberikan pada anaknya. Dan pada pekerjaan orangtua responden 53.9%
ayah responen bekerja sebagai PNS, dan pada ibu 41% bekerja sebagai