• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Tingkat Kelestarian Kaindea Nto’oge

Implikasi kinerja pengelolaan terhadap kelestarian sumberdaya hutan dinilai berdasarkan skor indikator di tiap-tiap kriteria yang telah diuraikan sebelumnya. Pencapaian kelestarian merupakan nilai total seluruh indikator yang digunakan (LEI 2002). Masing-masing skor dikelompokkan ke dalam tiap-tiap kriteria dan prinsipnya masing-masing, seperti yang disajikan pada Tabel 31, 32, 33.

Tabel 31 Skor kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi sosial Dimensi Hasil

Kelestarian Fungsi Sosial

Dimensi Manajemen

Kejelasan tentang hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal hutan yang dipergunakan Terjaminnya pengembangan dan ketahanan ekonomi komunitas Terbangun pola hubungan sosial yang setara dalam proses produksi Keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas 1. MANAJEMEN KAWASAN 1.1. Pemantapan Kawasan 1.2. Penataan Kawasan 5.0 5.0 5.0 - - - - 2. MANAJEMEN HUTAN 2.1. Kelola Produksi 2.2. Kelola Lingkungan 2.3. Kelola Sosial - - - 3.0 5.0 5.0 - - 3.0 3.0 5.0 3. PENATAAN KELEMBAGAAN 3.1. Akuntabilitas Publik 3.2. Penataan Organisasi 3.3. Peningkatan SDM 3.4. Manajemen keuangan - - 5.0 - - - - - - 5.0 - - 5.0 - - - Sumber: Hasil pengukuran nilai C&I LEI 2008.

Tabel 32 Skor kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi produksi Dimensi Hasil

Kelestarian Fungsi Produksi Dimensi Manajemen Kelestarian Sumberdaya Kelestarian Hasil Kelestarian Usaha 1. MANAJEMEN KAWASAN 1.1. Pemantapan Kawasan 1.2. Penataan Kawasan 3.0 3.0 - 3.0 - - 2. MANAJEMEN HUTAN 2.3. Kelola Produksi 2.2. Kelola Lingkungan 2.3. Kelola Sosial - - 5.0 5.0 3.0 - - - 1.0 3. PENATAAN KELEMBAGAAN 3.1. Akuntabilitas Publik 3.2. Penataan Organisasi 3.3. Peningkatan SDM 3.4. Manajemen Keuangan - - - - 5.0 - - - 1.0 - - 3.0 Sumber: Hasil pengukuran nilai C&I LEI 2008.

Tabel 33 Skor kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi ekologi Dimensi Hasil

Kelestarian Fungsi Lingkungan Dimensi Manajemen

Stabilitas ekosistem Sintasan spesies langka/endemik/ dilindungi 1. MANAJEMEN KAWASAN 1.3. Pemantapan Kawasan 1.4. Penataan Kawasan 5.0 5.0 1.0 - 2. MANAJEMEN HUTAN 2.2. Kelola Produksi 2.2. Kelola Lingkungan 2.3. Kelola Sosial 3.0 3.0 5.0 - 3.0 3. PENATAAN KELEMBAGAAN 3.1. Akuntabilitas Publik 3.2. Penataan Organisasi 3.3. Peningkatan SDM 3.4. Manajemen Keuangan - - - - - - - - Sumber: Hasil pengukuran nilai C&I LEI 2008.

Tabel 31, 32, 33 menunjukkan matriks sebaran skor indikator tiap-tiap prinsip kelestarian berdasarkan dimensi manajemen dan dimensi hasil. Dimensi manajemen kawasan, baik itu berupa pemantapan atau penataan kawasan umumnya telah terpenuhi oleh kinerja pengelolaan. Hal ini dibuktikan melalui kejelasan status dan batas lahan, dan mekanisme penyelesaian konflik yang berjalan dengan baik. Keamanan dan kepastian kawasan merupakan “syarat keharusan” bagi tercapainya pengelolaan hutan yang lestari. Hal tersebut erat kaitannya dengan beberapa manfaat yang dapat diberikan, di antaranya: (1) memberikan jaminan terhadap perolehan manfaat bagi pemegang hak, (2) secara relatif meniadakan sengketa diantara pemegang hak, (3) dapat menunjukkan adanya dukungan dari pihak-pihak lain yang bukan pemegang hak kepada pemegang hak, dan (4) ada

kewenangan pada pemegang hak untuk melakukan tuntutan terhadap pihak- pihak yang tidak berhak (LEI 2002).

Terkait dengan dimensi manajemen hutan, utamanya komponen kelola produksi, masih dijumpai berapa indikator yang belum terpenuhi, di antaranya: (a) tidak tersedianya informasi dan dokumentasi yang memadai terhadap spesies endemik oleh masyarakat; (b) rendahnya kelestarian hasil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kedua komponen ini dapat mempengaruhi kinerja pengelolaan hutan di Mandati.

Dimensi penataan kelembagaan (akuntabilitas publik, penataan organisasi, peningkatan sumberdaya manusia (SDM), dan manajemen keuangan) merupakan “syarat perlu” bagi pencapaian pengelolaan hutan yang lestari. Indikator kelestarian hutan yang terkait dengan ketiga dimensi penataan kelembagaan masih belum terpenuhi seluruhnya di Mandati. Indikator dimaksud diantaranya akuntabilitas publik, penataan organisasi manajemen keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen.

Untuk mengetahui kecenderungan kelestarian hutan yang dihasilkan oleh pengelolaanKaindeaNto’oge dapat dilihat pada Tabel 34.

Tabel 34 Skor total indikator pada tiap-tiap prinsip kelestarian hutan Kategori

No Prinsip

Baik Cukup Jelek

1 Kelestarian fungsi sosial 9.0 3.0 0.0

2 Kelesetarian fungsi produksi 3.0 5.0 2.0

3 Kelestarian ekologi 3.0 3.0 1.0

Total 15.0 11.0 3.0

Persentase (%) 51.7 38.0 10.3

Sumber: Data primer setelah diolah 2008.

Tabel 34 menunjukkan bahwa indikator di tiap-tiap prinsip hanya tersebar pada tiga kategori penilaian, yaitu kategori baik (3,68–5,00) sebesar 51,7%; kategori cukup (2,34–3,67) sebesar 38,0%; dan kategori jelek (1,00– 2,33) sebesar 10,3%. Mengacu pada kategori LEI (2002), implikasi adaptasi masyarakat Pulau Wangi-Wangi terhadap kelestarian Kaindea adalah “baik” yaitu pemanfaatan dan pengelolaan hutan Kaindea telah memenuhi persyaratan minimum pencapaian kelestarian hutan. Ini menunjukkan adanya

keseimbangan pada ketiga prinsip kelestarian: kelestarian fungsi sosial, kelestarian fungsi produksi, dan kelestarian fungsi ekologi, yang dihasilkan oleh kinerja pengelolaanKaindea di Mandati khususnya padaKaindea u’sara diKaindeaNto’oge.

Kriteria kelestarian di atas memiliki keselarasan dengan kriteria kinerja (emik dan etik), terutama terhadap komponen “penutupan hutan dan keamanan (kestabilan) kawasan hutan dan gangguan pihak lain”, yang memberikan jaminan terhadap fungsi ekologi dan sosial. Juga pada aspek produktivitas, keberlanjutan, keadilan dan efisiensi. Oleh karena itu, pengelolaan Kaindea harus mengedepankan fungsi ekologi dan sosial, sementara sumber-sumber ekonomi masyarakat yang titik beratkan pada pemanfaatan kebun dan pengembangan ragam mata pencaharian .

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

7.1. Kesimpulan

Perubahan lingkungan telah terjadi di Pulau Wangi-Wangi, yaitu tekanan penduduk, perubahan ekonomi dan dinamika politik. Tekanan penduduk ditandai kekurangan pangan dan ancaman kerawanan pangan serta sempitnya lahan pertanian. Perubahan ekonomi ditandai dengan perubahan orientasi sistem ekonomi dari subsisten menjadi pencarian keuntungan dan perilaku konsumtif. Dinamika politik ditandai oleh perubahan kebijakan kelembagaan dari sistem adat ke negara tahun 1960-an, yaitu kepala adat (Meantu’u) yang diangkat oleh dan untuk masyarakat berubah menjadi kepala desa yang diangkat oleh pemerintah.

Perubahan lingkungan direspon masyarakat dengan membangun strategi adaptasi dalam bentuk penyesuaian organisasi sosial, penyesuaian teknologi pertanian, pengaturan tenaga kerja keluarga dan pengembangan ragam mata pencaharian. Penguatan organisasi sosial dilakukan melalui menyesuaian kelembagaan adat dan penguatan kekerabatan yang mengontrol sistem sosial dan sumberdaya. Pengangkatan kepala desa harus disetujui masyarakat/pemangku adat. Hubungan kekerabatan (Santuha) dari hubungan darah diperluas “maknanya” menjadi hubungan jasa/pengabdian. Penyesuaian teknologi pertanian, yaitu intensifikasi lahan melalui pemanfaatan lahan subur di sekitar Kaindea, pengolahan lahan, pengaturan jarak tanam, dan adopsi teknologi. Pengaturan tenaga keluarga melibatkan seluruh anggota keluarga dalam kegiatan ekonomi keluarga. Pengembangan ragam mata pencaharian melalui migrasi, berlayar, dan berdagang. Hal ini dilakukan karena disamping sempitnya lapangan kerja (pertanian) juga karena terjadinya perluasan kebun ke arah hutan, yang telah mendorong penduduk melakukan pembukaan hutan untuk kebun.

Dinamika politik eksternal, merupakan faktor yang paling berpengaruh pada organisasi sosial dan berimplikasi pada kinerja pengelolaan Kaindea. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya organisasi sosial masyarakat Wanci yang menyebabkan melemahnya kontrol adat terhadap tatanan sosial dan sumberdaya Kaindea akibat pembubaran pemerintahan adat tahun 1960-an.

Hubungan kekerabatan yang terbangun sejak pemerintahan adat tidak berlanjut setelah peralihan tersebut. Perubahan “ketergantungan” Kadie Wanci dari pusat kesultanan ke negara, menjadikan respon kolektif tidak berjalan. Sebaliknya di Mandati, dinamika politik yang direspon dengan penguatan organisasi sosial berimplikasi positif pada kinerja dan kelestarian Kaindea. Hal ini ditunjukkan oleh kinerja pengelolaan Kaindea Nto’oge di Mandati dengan kategori “baik”. Aspek kelestarian juga menunjukkan hal yang sama, yaitu kategori “baik” dimana pengelolaan hutan Kaindea telah memenuhi persyaratan minimum pencapaian kelestarian hutan.

Kinerja dan kelestarianKaindea di Mandati tidak terlepas dari eksistensi pengelolaan sumberdaya “Kaindea-Koranga” (hutan-kebun) dengan masyarakat. Masyarakat dan Kaindea mempunyai sejarah dan peran strategis bagi keberlangsungan hidup (penyusunan ekonomi), ekologi, sosial- budaya dan politik. Hubungan ini tercermin dalam sistem hubungan sosial dan pola pemukiman, yang tergambar dalam falsafah pengelolaan Kaindea, yaitu “Te pamonini’a u’togo(melindungi konservasi air, kesuburan lahan dan menciptakan iklim mikro); Te sowo’a u’sara (ketahanan pangan komunitas); dan “Te pamotuko’a u’santuha” (penguatan hubungan sosial). Sementara dalam menjaga keadilan tatanan sosial dan sumberdaya terdapat falsafah “Bhara u’pobela-bela ako’e a’togo” (jangan mengutamakan diri-sendiri untuk kepentingan umum).

Terdapat variasi adaptasi antara Mandati dan Wanci karena perbedaan orientasi hidup masyarakat sejak zaman kesultanan. Menurut Steward (1955) dalam Geertz (1983:7) bahwa variasi dalam suatu unsur budaya merupakan unsur-unsur sekunder yang disebabkan karena faktor kultural historis dan unsur-unsur ini memberikan perbedaan wajah berbagai kebudayaan yang berinti sama. Mengacu pada teori Steward tentang “cultural core”, disimpulkan bahwa “cultural core” masyarakat Mandati adalah pertanian berkebun (agricultural) dan Wanci adalah “priyayi” (birokrat).110 Perbedaan cultural core ini telah memberikan menjelasan mengapa kedua masyarakat ini mempunyai kondisi sumberdaya hutanKaindeayang berbeda.

110

Lihat Kuntowijoyo (2002:15) bahwa “Priyayi” merupakan inti kelas sosial baru di Madura yang bertahan dalam perubahan dan berusaha menjadi pegawai di kantor pemerintah kolonial. Dalam konteks penelitian,priyayi bermakna sebagai kelompok sosial yang berorientasi kepada sekolah dan berupaya bekerja di sektor pemerintahan menjadi pegawai negeri (birokrat).

7.2. Implikasi

7.2.1. Implikasi Kebijakan

Perubahan lingkungan di Pulau Wangi-Wangi direspon masyarakat dengan dua strategi yaitu secara internal dan eksternal. Secara internal yaitu penguatan organisasi sosial dan penyesuaian teknologi pertanian. Secara eksternal masyarakat melakukan pengaturan tenaga kerja keluarga dan pengembangan ragam mata pencaharian. Strategi adaptasi eksternal dengan titik berat bekerja di luar desa (pertanian) menunjukkan bahwa ada batas “toleransi” masyarakat untuk beradaptasi terhadap kondisi ekologi. Sehingga strategi kebijakan yang tepat dikembangkan di pulau Wangi-Wangi dan pulau-pulau kecil pada umumnya adalah fasilitasi peningkatan kapasitas masyarakat, pengembangan teknologi tepat guna dan pengembangan ragam mata pencaharian di luar sektor pertanian seperti pemanfaatan potensi kelautan untuk perikanan, jasa lingkungan dan perdagangan. Hal ini ditunjukkan oleh trend kontribusi PDRB111 Wakatobi setiap tahunnya dimana sektor pertanian memberi kontribusi terbesar (50,69%) dan diikuti sektor jasa dan perdagangan (28,88%) (Statistik Kabupaten Wakatobi 2007).

Laju pertumbuhan penduduk, kemajuan perekonomian dan dinamika politik yang tinggi merupakan ancaman terhadap daya dukung pulau. Data menunjukkan bahwa daya dukung ketahanan pangan di Pulau Wangi-Wangi hanya 8,2% atau 12,54 km2 dari luas pulau. Luasan tutupan hutan juga jauh dibawah 30% seperti yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan tentang tata ruang pulau-pulau kecil. Intrusi air laut rata-rata sejauh 200 meter ke arah darat. Namun demikian, tekanan lingkungan belum dibarengi dengan upaya-upaya pengendalian. Pada sisi lain, karakteristik Pulau Wangi- Wangi sebagai pulau-pulau kecil dalam Taman Nasional secara ekologi rentan dengan perubahan lingkungan. Oleh karena itu kesiapan masyarakat harus ditingkatkan melalui perencanaan yang terintegrasi antar sektor. Agar lebih implementatif, maka perlu dirumuskan perangkat insentif dan dis- insentif. Perangkat insentif ditujukan untuk mengarahkan dan memacu pembangunan, sedangkan perangkat dis-insentif ditujukan untuk

111

PDRB adalah Produk Domestik Regional Bruto sebagai tolok ukur mengetahui tingkat kemakmuran atau kontribusi suatu sektor terhadap perekonomian.

mengendalikan dan mengamankan fungsi kawasan. Dalam aspek birokrasi perlunya peningkatan kapasitas dan profesionalitas serta perubahan paradigma dalam berpikir dan bertindak dari orientasi ekonomi ke orientasi integrasi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Keberhasilan pengelolaan hutan oleh masyarakat bergantung pada regulasi, insentif dan organisasi (Chomitz 2007; Fraser 2002). Pendekatan integrasi ekonomi, sosial dan lingkungan akan mendukung kesejahteraan dan kelestarian lingkungan (Darusman 2002).

Kabupaten Wakatobi sebagai daerah kepulauan mempunyai visi, misi dan program yang dititikberatkan pada pengembangan pariwisata, perikanan dan kelautan. Hal bertujuan sebagai upaya mengurangi tekanan lingkungan dan sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu diperlukan penelitian dasar dan terapan untuk mengetahui besaran daya dukung dan cara implementasinya. Urgensi daya dukung lingkungan (sosial- budaya, ekonomi, ekologi) adalah memastikan bahwa pembangunan dimasa mendatang berada dalam koridor yang tepat bagi kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan ekologi. Dalam konteks penelitian, pengembangan manfaat hutan tidak langsung dan hasil hutan non-kayu dengan mengoptimalkan sistem ekonomi (pertanian) disekitarnya dapat menjadi solusi bagi masalah daya dukung dan kelestarian hutan. Perubahan pemanfaatan Kaindea dari manfaat ekonomi (Te sowo’a u’sara) ke manfaat sosial (Te pamotuko’a u’santuha) dan ekologis (Te pamonini’a u’togo) merupakan bentuk strategi menyiasati perubahan lingkungan sehingga menjamin kelestarianKaindea.

Pengelolaan Kaindea sebagai sumberdaya milik komunal masih diakui oleh masyarakat yang dikelola berdasarkan aturan-aturan adat. Namun disisi lain ada “klaim” Pemda Wakatobi bahwa Kaindeaadalah hutan milik negara. Walaupun belum menimbulkan konflik namun perambahan dan indikasi klaim individu terhadap Kaindea di Wanci sudah terjadi. Dengan demikian, perlu diperjelas status kawasan dan sistem pengelolaanKaindea yang tepat untuk menjamin kinerja dan kelestarian hutan di masa depan. Penetapan Kaindea sebagai hutan adat yang berfungsi lindung harus dilakukan secara dini berdasarkan alasan sebagai berikut: (1) berdasarkan hasil analisis kinerja (emik dan etik) dan kelestarian menunjukkan bahwaKaindea dapat dikatakan

sebagai “hutan” dan telah memenuhi syarat “kelola lestari”. Juga ditunjukkan oleh kinerja pengelolaanKaindea yang “baik”, yaitu penguasaan lahan komunal, orientasi produksi subsisten dan keragaman produk agroforestri; (2) kearifan pengelolaan Kaindea dengan organisasi sosial dan hubungan kekerabatan masih dipercaya masyarakat, dengan demikian ada landasan moral bagi pengambil kebijakan dalam implementasinya; dan (3) mensiasati perubahan dan meminimalisasi perambahan dan klaim individu.

Dalam konteks strategi adaptasi, substansi pilihan kebijakan pengelolaan Kaindea adalah bukan mengubah cara hidup masyarakat, tetapi bagaimana penyesuaian kelembagaan memperkuat kondisi lokal dalam menghadapi perubahan. Sehingga “transformasi” kelembagaan hutan adat ke dalam hutan negara, mutlak mengadaptasi nilai-nilai dasar pengelolaan (kearifan lokal) yang masih hidup dalam masyarakat. Sebagai konsekuensinya, semangat pengakuan terhadap masyarakat lokal (adat) secara eksplisit perlu dipertegas sebagai bagian dari ekosistem. Pengelolaan hutan masyarakat akan efektif jika definisi “kehutanan” sebagai pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu, benar-benar “terpadu” dengan kepentingan masyarakat sekitar (desa/pemilik) hutan. Sehingga pemahaman “ekosistem” dalam definisi “hutan”, harus pula mencangkup manusia di dalamnya. Dalam implementasinya diperlukan kelembagaan yang diperkuat dengan adanya Perda pengelolaan hutan berbasis masyarakat sebagai “peraturan wajib” bagi Pemda di tingkat kabupaten/kota.

7.2.2. Implikasi Teori - Metodologi

Penelitian tentang Kaindea dalam perspektif adaptasi pengelolaan sumberdaya hutan masyarakat merujuk pada Teori “Cultural Ecology” Steward (1955). Steward telah menjelaskan penguatan organisasi sosial dan penyesuaian teknologi sebagai strategi adaptasi dalam merespon tekanan penduduk. Tetapi Steward tidak menjelaskan perubahan ekonomi dan dinamika politik sebagai konsep lingkungan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam penelitian ini, konsep-konsep yang dikembangkan oleh Geertz (1983); Kuntowijoyo (2002); Fox (1996) membantu menjelaskan strategi adaptasi masyarakat Wangi-Wangi akibat pengaruh perubahan

ekonomi dan dinamika politik di pulau-pulau kecil, yaitu pengaturan tenaga kerja keluarga dan pengembangan ragam mata pencaharian di luar pertanian. Steward juga menjelaskan bagaimana inti kebudayaan (cultural core) yang responsif terhadap adaptasi tetapi tidak menjelaskan sampai sejauh mana inti kebudayaan itu akan tetap adaptif terhadap perubahan lingkungan dalam waktu yang panjang (evolusi).

Kendati Steward tidak menganalisis pengaruh ekonomi (pasar) dan politik serta faktor-faktor manusiawi, tetapi dalam konteks pengelolaan Kaindea di Pulau Wangi-Wangi, tampak bahwa adaptasi kebudayaan masyarakat disamping terjadi karena tekanan penduduk (ekologis) juga karena perubahan lingkungan yang lain (perubahan ekonomi dan dinamika politik). Hal ini sesuai dengan Teori Steward tentang “Perubahan Sosial”. Asumsi dasarnya adalah perubahan sosial yang evolutif tidak berlangsung linear dan satu arah, melainkan multi-linear. Perubahan tidak selalu akibat dari adopsi terhadap inovasi dari luar, melainkan juga karena faktor ekologi. Pembuktiannya melalui analisis organisasi sosial dan teknologi, tetapi tidak berhenti sampai ini saja; Steward sampai pada kesimpulan tentang cultural core yang menentukan “wajah” dari suatu kelompok masyarakat.

Penjelasan Steward diatas menggambarkan apa yang terjadi di Pulau Wangi-Wangi. Secara kultural menunjukkan bahwa strategi adaptasi internal (penguatan organisasi sosial dan teknologi) merupakan strategi yang lebih adaptif dalam pengelolaan Kaindea. Dengan demikian bahwa “inti kebudayaan” masyarakat Pulau Wangi-Wangi adalah “agricultural” atau “Hekoranga” (berkebun). Hal ini tampak pada interaksi antara sistem pertanian Hekoranga (lingkungan) dengan pola-pola budaya yang dikembangkan masyarakat. Walaupun masyarakat Wangi-Wangi melakukan pengaturan tenaga kerja keluarga dan pengembangan ragam mata pencaharian, namun pola-pola budaya seperti sistem nilai, organisasi dan hubungan sosial tidak banyak berubah khususnya pada masyarakat Mandati. Penegasan ini didasarkan pada perbandingan dua kelompok masyarakat pengelola Kaindea dengan kinerja yang berbeda, yang terletak pada cara masyarakat Mandati dan Wanci dalam menyesuaikan organisasi sosialnya. Adanya variasi respon masyarakat Wangi-Wangi akibat perubahan lingkungan menunjukkan pula bahwa organisasi sosial dan teknologi juga

tidak berdiri sendiri, tetapi ada aspek lain dari kebudayaan yang berubah. Ini menunjukkan bahwa adaptasi internal pada kondisi tertentu tidak menutup kemungkinan diikuti juga dengan adaptasi eksternal. Artinya bahwa perubahan kebudayaan bukan sekedar menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, tetapi bisa lebih dari itu karena terkait dengan aspek sejarah dan orientasi masyarakat.

Perubahan ekonomi dan dinamika politik juga berkaitan tekanan penduduk. Ini dapat menunjukkan bahwa tekanan penduduk merupakan ancaman utama daya dukung. Strategi adaptasi eksternal dengan mengembangkan pola baru seperti pengaturan tenaga kerja dan ragam mata pencaharian menunjukkan bahwa daya dukung ekologi Pulau Wangi-Wangi sangat terbatas. Ini sejalan dengan temuan Kuntowijoyo (2002) bahwa migrasi merupakan adaptasi ekologi masyarakat Madura; Fox (1996) dan Sundawati (2001) tentang adaptasi ekologi di Savu dengan maksimalisasi pohon lontar; Geertz (1983) penyebab “involusi pertanian” karena masyarakat tidak mengembangkan adaptasi eksternal; dan Suharjito (2002) tentang strategi adaptasi kebun-talun masyarakat Buniwangi.

Untuk mengkaji bagaimana perubahan berpengaruh terhadap masyarakat dari waktu ke waktu (evolusi), analisis sejarah, sebab akibat, kinerja dan kelestarian pada dua kelompok masyarakat di Wangi-Wangi, telah membantu menjelaskan konteks perubahan lingkungan dan perbedaan respon masyarakat Pulau Wangi-Wangi pada ekologi yang sama. Hal yang sama dilakukan untuk memahami realitas yang tidak tertangkap, dengan pendekatan emik. Ini mempertegas bahwa hubungan fungsional antara variabel lingkungan dan kebudayaan terjadi secara dialektika. Dalam perspektif metodologi, perbandingan menurut waktu dan tempat merupakan penajaman dan jawaban atas kritikan112 yang ditujukan pada Teori Steward.

112

Pengembangan Teori “Cultural Ekologi” Steward di kritik karena dianggap tidak mampu menjelaskan adaptasi dalam konteks evolusi dan tidak mampu menjelaskan hal-hal yang tersembunyi. Termasuk “keraguan” Steward untuk menjawab apakah hubungan korelasi lingkungan dengan unsur kebudayaan merupakan unsur yang mutlak ada dalam adaptasi. Metode dan kesimpulan yang diambil dipertanyakan karena tidak menggunakan studi perbandingan budaya yang ketat (Muchtar 1994:4). Penelitian ini membuktikan bahwa yang dikritik bukan teori dasar “Ekologi Budaya”, tetapi pada metodologi. Penelitian ini mengembangkan berbagai metode dan analisis serta menggali pengetahuan lokal Kaindea. Dengan demikian bahwa kendati terdapat banyak bentuk-bentuk adaptasi sebagaimana yang nyatakan oleh pengkritik neo-fungsionalis dengan menghindari “kemutlakan” (inevitability) dari

Dengan kata lain, bahwa kritikan terhadap Steward bukan pada aspek teori dasar “ekologi budaya”, tapi lebih pada aspek metode. Secara metodologis menunjukkan bahwa pendekatan sejarah dan silang budaya lokal dalam perspektif emik merupakan metode untuk menemukan gambaran dan proses (tersembunyi) yang tegas dalam menjelaskan “makna” mengapa dan bagaimana konteks perubahan dan cara masyarakat meresponnya. Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa sejarah menjelaskan perubahan (Abdullah 1995; Kuntowijoyo 2002; Geertz 1983; Muchtar 1994).

Secara ekologi dan latar budaya, Mandati dan Wanci mempunyai kemiripan namun mempunyai respon yang berbeda yang ditunjukkan kinerja dan kelestarian Kaindea. Steward (1955) menyatakan bahwa lingkungan yang berbeda, masyarakat mempunyai respon yang berbeda, tapi pada lingkungan sama “belum tentu” respon akan sama karena ada variabel kebudayaan tertentu yang responsif perubahan. Suatu perubahan kebudayaan yang diakibatkan oleh faktor ekologis, akan menimbulkan suatu upaya pengaturan kembali yang berpengaruh pada struktur sosial. Perbedaaan respon masyarakat Mandati dan Wanci karena faktor kesejarahan yang membentuk variasi sistem sosial oleh Steward disebut sebagai “kultural historis” (Geertz 1983:7). Sejarah kebudayaan tidak hanya menceritakan peristiwa dan perubahan, tetapi menentukan “cara” masyarakat memaknai perubahan. Keputusan Meantu’u Mandati melepaskan “ketergantungan” Kadie, merupakan penjelasan mengapa masyarakat Mandati mempunyai organisasi sosial yang kuat dalam menjaga tatanan sosial dan sumberdaya (Kaindea) pada saat perubahan sistem politik pemerintahan tahun 1960.

Secara sosial, budaya dan ekonomi, masyarakat Pulau Wangi-Wangi telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam kurun waktu lebih dari 25 tahun terakhir. Ini mengindikasikan bahwa manusia dan kebudayaannya mempunyai kelebihan dibandingkan mahluk yang lain. Responsifnya kebudayaan oleh Steward (1955) karena ada faktor “kind of technological determinism” dimana fenomena agama dapat dipertimbangkan sebagai cara

proses adaptasi, namun pendekatan perbandingan (waktu dan ruang) dalam perspektif emik dapat melengkapi metodologi Steward.

masyarakat beradaptasi (Muchtar 1994:5). Masyarakat Wangi-Wangi sebagai bagian dari Kesultanan Buton selama ratusan tahun telah menempatkan nilai moral agama sebagai landasan kehidupan bermasyarakat dan telah mengilhami kebudayaan berlandaskan pada nilai-nilai Agama Islam. Dalam konteks kemajuan Pulau Wangi-Wangi sebagai pulau-pulau kecil dan cara masyarakat beradaptasi, maka definisi tentang kekhasan pulau-pulau kecil yang selama ini dipercaya oleh DKP (2007), tidak seluruhnya berlaku untuk Pulau Wangi-Wangi, kecuali pada kekhasan ekologi. Bahwa kesamaan ciri khas pulau-pulau kecil di Indonesia hanya terletak pada aspek ekologi, sementara pada aspek sosial, budaya dan ekonomi tidak seluruhnya tepat. Secara metodologis menegaskan bahwa pendekatan pengelolaan pulau- pulau kecil harus mempertimbangkan aspek-aspek kekhasan lokalitas yang mencerminkan hubungan antara potensi ekologi dan kebudayaan (ekonomi, sosial-budaya, dan politik).

Implikasi penelitian ini mendukung dan sekaligus melengkapi Teori