• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

V. STRATEGI ADAPTASI MASYARAKAT PULAU WANGI-WANG

5.1. Organisasi Sosial

5.1.2. Kelembagaan Adat dan Stratifikasi Sosial

Perkembangan kelembagaan adat di Mandati dan Wanci sebagai bagian peradaban di Wangi-Wangi dan Wakatobi menarik untuk dikaji. Beberapa tokoh masyarakat mengatakan bahwa sejak awal masyarakat telah mengembangkan suatu sistem kehidupan yang elegan secara turun temurun. Sistem tersebut tampak pada konsepsi sistem nilai, sistem informasi, ekonomi, tata guna lahan, sistem religi dan pertahanan-keamanan.

Kelembagaan adat dan stratifikasi sosial di Wangi-Wangi tidak terlepas dari sejarah awal masyarakat Wangi-Wangi dan kebudayaan lokal yang berkembang, yaitu sejak Wangi-Wangi masih berhubungan dengan Maluku sebagai bagian dari wilayah Ternate (Schoorl 2003) dan belum masuk menjadi wilayah kekuasaan Buton. Juga tariannya seperti Honari Mosega49

yang mirip dengan Tari Cakalele dari Maluku. Awalnya, sistem pemerintahan adat di Wangi-Wangi dipimpin oleh Bonto, selanjutnya oleh Meantu’u.50

Struktur kelembagaan disesuaikan dengan tanggungjawab baik dalam urusan pemerintahan adat maupun sumberdaya alam. Dalam struktur organisasi lembaga adat (Tabel 11 dan 12), selain urusan adat (Sara Adat), juga ada

47

Tiga indikator utama keberhasilan kepemimpinan adat (Sara) adalah tidak ada bencana:

kelaparan, serangan hama dan penyakit, dan kematian massal. Indikator ini menjadi rujukan

untuk memilih atau menggantiSara. Seorang calonSara harus mempunyai “ilmu” kebatinan dan

kecakapan lahiriah. Indikator kepemimpinan ini masih dipercaya masyarakat Mandati. 48

Bunyi sumpah tersebut antara lain: (1) Jika suatu saat berbohong maka sekiranya beliau berlayar maka binatang paling buas di laut akan menyantapnya dan jika di darat maka akan diterkam binatang paling buas; dan (2) Jika memberikan informasi yang tidak benar maka akan disambar kilat dan guntur atau ditelan bumi. Sumpah tersebut selalu menyertai resepsi pelantikan pejabat yang redaksinya disesuaikan dengan tujuan pelantikan.

49

Tarian Honari mosega adalah tarian kepahlawanan. Dalam pertunjukannya terdapat alat

kelengkapan (Tomphida) yang mirip peralatan tarian di Ternate (wawancara La Ode Safuan).

50

Pada masa Kerajaan, pimpinan wilayah (Kadie) dijabat olehBonto dibantu oleh empat orang

Modhi, yaitu WaopuModhi, La Pempengo, Hambembe, dan Kapili. Setelah itu diteruskan oleh

Meantu’u sebagai kepala pemerintahan adat dan agama setingkat desa. Dalam struktur

yang mengurus keagamaan (Sara Agama). Urusan adat, dimulai dari paling bawah, yaitu Talombo dan secara berjenjang ke Meantu’u. Demikian pula urusan keagamaan mulai dariModhidan seterunya keMeantu’u Agama. Jika tidak dapat diselesaikan maka dilanjutkan ke Meantu’u untuk memperoleh keputusan. Struktur organisasiSaraMandati dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Susunan dan kedudukan Lembaga Adat Mandati

Jabatan (Lemba)

Jumlah

(Orang) Deskripsi Tugas

Meantu’u Mandati (Yudikatif) 1 Kepala Esekutif, Legislatif dan Yudikatif. Pusat

kendali sumberdaya di Mandati

Sara Adat (Adati)/Eksekutif

1. Sara Bobato - Kontabitara - Meantu’u Bulu-bulu’a - Meantu’u Antamu - Meantu’u Kotu’a - Meantu’u Kauro - Meantu’u Balande - Meantu’u Saiboti - Bonto 1 1 1 1 1 1 1 2

Panglima/kepalaSara Bobato

Mengepalai sub-wilayah Wungka Mengepalai sub-wilayah Topa Kepala urusan kebun, hutan dan laut Mengepalai sub-wilayah Wa Tintii Mengepalai sub-wilayah Balande Mengepalai sub-wilayah Mandati Tonga Hakim 2. PelengkapSara - Pangalasa - Djurubasa - Wati - Talombo 2 2 12 6 Juru nasab Juru bahasa

Juru jaga aset/sumberdaya (bendaharaSara)

Juru Panggil/pengumuman

Sara Agama (Hokumu)/Legislatif

- Meantu’u a agama - Hatibi - Imamu - Modhi - Mokimu 1 1 1 4 3

Pemimpin urusan keagamaan/urusan perkawinan Membaca hutbah/cukur rambut

Imam shalat/pemimpin doa Pembantu imam/mua’dzin/sunat Pembantu urusan kematian Sumber: Wawancara dari berbagai sumber 2008

Tabel 11 mengambarkan bahwa fungsi organisasi kelembagaan adat Mandati sudah desentralisasi, dimana setiap wilayah (kampung) dibentuk

Meantu’u-meantu’u yang wewenangnya adalah menjalankan wewenang

Meantu’u Mandati di wilayah kerjanya. Demikian pula dengan Sara yang mengurus masalah keagamaan dengan sistem nilai yang dibangun merupakan nilai-nilai yang berdasarkan ajaran Agama Islam dimana pejabat yang diangkat harus tunduk dan taat pada ajaran agama. Desentralisasi kewenangan menunjukkan bahwa masyarakat Mandati dapat mengambil keputusan yang terbaik menurut kondisi lokal dan budayanya.

Pejabat Meantu’u yang pernah diangkat di Kadie Mandati adalah La Ode Sinapu/Waopu Mansuana (Meantu’u I); La Ode Buraisi/Torisi/anaknya La Ode Sinapu (Meantu’u II),; La Ode Mangambei (Waopu Dhengko),

saudara Meantu’u kedua (Meantu’u III); La Ode Masigi, anaknya Meantu’u

ketiga (Meantu’u IV); La Ode Kato (Meantu’u V); La Dhaluthe (Meantu’u VI); La Dhaima (Meantu’u VII); Ode Arudhani (Meantu’u VIII); La Ete (Meantu’u

IX); La Ode Madi (Meantu’u X); dan La Ruku (Meantu’u XI) atau Meantu’u

terakhir. Selama lima generasi, jabatan Meantu’u diberi gelar Ode di depan namanya sebagai gelar sosial yang tinggi. Pada generasi berikutnya tidak lagi memakai gelar sosial yang berkaitan dengan jabatan.51

Organisasi pemerintahan adat di Wanci secara umum sama dengan di Mandati. Meantu’u Wanse (Wanci) mempunyai wewenang dan tanggungjawab yang sama dengan semuaMeantu’u di Kadie lainnya sesuai dengan sistem pemerintahan Kesultanan Buton di tingkat lokal. Untuk generasi Meantu’u Wanci yang pernah menjabat, penulis hanya mempunyai informasi dua Meantu’u, yaitu La Ode Haruwa (Ija Bani) dan sesudahnya digantikan oleh La Ode Hamzah (La Ode Kosee) sebagai Meantu’u terakhir. Adapun struktur pemerintahan adat dan tanggungjawabnya dapat dilihat pada susunan dan kedudukan lembaga Adat Wanci pada Tabel 12.

Tabel 12 Susunan dan kedudukan Lembaga Adat Wanci

Jabatan (Lemba) Jumlah (orang) Deskripsi Tugas Meantu’u Wanse (Yudikatif)

1 Kepala Esekutif, Legislatif dan Yudikatif. Pusat

kendali sumberdaya di Wanci

Sara Adat (Adati)/Eksekutif

1. Kapala Kampo Sesuai kampung

Mengepalai sub-wilayah (kampung). 2. Kontabitara 1 Panglima/fungsi penuntut umum 3. Bonto 1 Memiliki fungsi seperti hakim

4. Jou Kapala Sawu 2 Protokoler untuk acara pertemuanSara

5. Jou Mansuana 1 Penerima tamu pada acara pertemuanSara

6. Wati To’oge 1 Penegak/protokoler Sara(Tumpua’u Sara). Yang

memberikan jabatan Sara (Hebaju) dan

melepaskan jabatanSara (Umambe).

7. Wati Bhahuli 1 Pencacat aset (bendaharaSara)

8. Talombo 1 Juru penerangan dan pemeriksa kelengkapan pesta

SaraAgama (Hokumu)/Legislatif

1. Meantu’uAgama 1 Kepala urusan keagamaan/perkawinan (Pakawi),

khitanan (Karia), aqiqah (Gunti hotu’a).

2. Hatibi 1 Pembaca khutbah Jumat (khatib) 3. Imamu 1 Imam Masjid (shalat)

Imamu Wawo 1 Pembantu khatib

Imamu Woru 1 Pembantu imam/mua’dzin

4. Modhi 2 Yang mengumandangkan adzan (mu’adzin) 5. Mokimu 4 Pembantu pengurusan kematian

Sumber: Asuhadi 2008

51

Peranan kelembagaan adat sangat tergantung pada Meantu’u sebagai penguasa dan pengambil keputusan hukum tertinggi setelah mendapatkan masukan atau laporan dari DewanSara (Adati dan Hokumu). Meantu’u akan memimpin sidang dewan adat jika: (1) ada pengangkatan/pemberhentian

Sara adat dan Sara Agama; (2) ada perkembangan baru dalam masyarakat; (3) ada hal yang belum diatur dalam peraturan adat di wilayahnya; (4) membicarakan hal khusus atau keadaan darurat seperti ancaman dari daerah lain, wabah penyakit, kelaparan, kematian massal; dan (5) pengambilan keputusan terhadap pelanggaran dalam wilayah seperti menjatuhkan hukuman terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya.

Pemerintahan adat dibubarkan pemerintah pada tahun 1960, dan beralih ke sistem distrik (negara). Kontrol pemerintahan dalam masa transisi (1960-1970) adalah distrik di tingkat kecamatan. Masyarakat di Mandati meresponi perubahan ini dengan melakukan perubahan pengaturan kelembagaan adat dengan penguatan Sara Agama yang berpusat di Mesjid Mandati (Sara Mesjid) untuk urusan keagamaan dan keluarga besar

Meantu’u (Santuha) sebagai pemangku adat untuk mengatur urusan adat dan sumberdaya alam. Sedangkan peranMeantu’u di ambil kepala desa sebagai fasilitator. Untuk peran-peran Meantu’u di tingkat kampung diserahkan kepada Sara lokal di mesjid/langgar di kampung bersama kepala kampung. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, koordinasi kepala desa/lurah (pemerintah) bersama pemangku adat (Santuha) yang diketahuiSara Mesjid di pusat (Mesjid Mandati) sangat menentukan pemanfaatan yang efektif. Proses perubahan kelembagaan pasca pemerintahan adat di Mandati dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Perubahan struktur kelembagaan pengelolaan sumberdaya pasca transisi dari adat (kiri) ke desa/negara (kanan).

Kepala Desa SaraMesjid Santuha Koordinasi Meantu’u Sara Agama SaraAdat Struktural

Seluruh masyarakat Mandati sampai saat ini menjadikan keputusan

Sara Mesjid Syuhada di Mandati sebagai rujukan dan pengambil keputusan dalam urusan keagamaan. Untuk fungsi Sara Adat dilakukan oleh keluarga besar (Santuha) sebagai pemangku adat yang mengetahui informasi dan tata cara pengelolaan sumberdaya. Sementara fungsi Meantu’u Mandati dilakukan oleh kepala desa yang berfungsi sebagai fasilitator dan pengayom masyarakat sekaligus mengesahkan hasil keputusan adat menjadi keputusan pemerintah desa. Masyarakat Mandati selalu menghendaki agar kepala desa yang diangkat adalah turunan keluarga besar Meantu’u. Tercatat tiga kepala desa pada masa transisi sebagai representasi Meantu’u Mandati dijabat oleh keluarga atau dalam turunan Meantu’u, yaitu La Ode Tabua, La Kambose dan Haeruma. Jadi walaupun terjadi perubahan organisasi, namun secara substansi kelembagaan tidak mengalami perubahan, justru terjadi penguatan karena posisi masing-masing pihak menjadi setara. Efektifitas kelembagaan ini sampai sekarang berjalan dan diakui. Buktinya penyelesaian urusan kemasyarakatan, pemerintahan dan kontrol sumberdaya tetap terjaga. Berbagai masalah-masalah sosial dan sumberdaya justru lebih efektif diselesaikan oleh kepala desa bersama-sama tokoh masyarakat di Mandati dibandingkan oleh camat atau polisi. Dalam konteks ini, peranan Santuha

sebagai representasi urusan adat sangat penting dalam menegakkan tata nilai dalam masyarakat termasuk pengelolaanKaindea.

Di Wanci, perubahan sistem pemerintahan dari adat ke negara (desa) tidak diikuti oleh penguatan organisasi sosial. Sara adat sebagai dewan adat yang mengontrol sumberdaya alam dan sistem kemasyarakatan tidak berfungsi. Demikian pulaSara Agama dialihkan ke Mesjid, sementara urusan pemerintahan dilakukan oleh kepala desa, dan urusan adat dilakukan oleh keluarga (Santuha). Dalam pelaksanaannya tidak melakukan koordinasi, sehingga kontrol sumberdaya (hutan) di kampung/desa-desa berjalan sendiri- sendiri. Menurut wawancara dengan La Aru, bahwa lemahnya peran lembaga adat (Sara) di Wanci karena dua hal, yaitu tidak adanya koordinasi antar lembaga dan lemahnya sistem sosial. Tidak adanya koordinasi bermula ketika masa pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakar.52Meantu’u

52

Pada masa Orde Lama, Buton merupakan basis Partai Masyumi. Anak Sultan Buton (La Ode Manarfa) menjadi pengurus Partai Masyumi dan menjadi wakil rakyat di parlemen

Wanci meminta perlindungan di Wolio sehingga urusan politik-pemerintahan menjadi kosong di Kadie. Yang kedua, adalah wewenang Sara Mesjid yang tidak sentral lagi bagi mesjid-mesjid di wilayah adat wanci. Masing-masing mesjid/mushallah di kampung memiliki tata cara dan ritual sendiri baik menyangkut urusan adat, keagamaan maupun pengelolaan sumberdaya. Tindakan individual masyarakat merambah hutan menjadi kebun tanpa memperdulikan aturan adat menjadi bukti betapa lemahnya peran kelembagaan Sara untuk mengatur urusan komunitas pasca pemerintahan adat. Ironisnya, perambahan dan konversi justru bermula dari keluarga Sara

(Santuha) yang diharapkan bisa menjadi perekat hubungan sosial dan kekerabatan. Masing-masing desa atau kampung memiliki kewenangan sendiri sehingga dalam pengaturan dan pemanfaaan hutan tidak ada yang mengendalikan lagi. Klaim individu dan perambahan Kaindea di Wanci adalah indikator pengaruh kelembagaan adat mulai melemah dan diabaikan pada kurun waktu tahun 1968-1980. Tahun 1968 persatuan veteran membuka Hutan Lebho di Longa Wanci tanpa bisa dicegah dan juga ketika diperkenalkan penghijauan tanaman perkebunan (jambu mete).53 Secara internal perambahan hutan (membuka lahan kebun) secara perlahan antara waktu 1980-1997 sejalan tekanan penduduk yang tinggi dan maraknya intervensi ekonomi pasar yang melanda masyarakat Wangi-Wangi.

Dengan berakhirnya sistem pemerintahan adat tahun 1960, masyarakat Mandati merespon perubahan kebijakan politik tersebut dengan penguatan organisasi Sara Mesjid yang ditunjang oleh keluarga besar Meantu’u

(Santuha) sebagai pemangku adat dan pemerintah Desa Mandati. Tujuannya agar urusan sosial dan kontrol sumberdaya tetap bertahan dan hubungan sosial tetap harmonis. Simbolisasi Meantu’u dipercayakan ke kepala desa dimana masyarakat menginginkan agar pengangkatan kepala desa harus keturunan langsung dari keluarga Meantu’u. Fungsi Sara Adat tetap dijalankan oleh rumpun keluarga (Santuha) dan fungsi agama dilakukanSara

(Konstituante). Setelah pemberontakan Kahar Muzakar, banyak pengurus Masyumi dicurigai

sebagai pendukung DI/TII, sehingga banyakMenatu’u Kadiemeninggalkan tugasnya.Meantu’u

Wanci meninggalkan Wanci dan meminta perlindungan Sultan Buton di Wolio, sementara

Meantu’u Mandati lari ke hutan. 53

Penghijauan tanaman jambu mete dilakukan di pandang tandus (Padangkuku) seluas 50 ha.

Kondisi ini menimbulkan harapan yang tinggi bagi masyarakat untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Akibatnya, banyak lahan-lahan subur ditanami jambu mete.

Mesjid sebagaimana sebelumnya. Dalam konteks ini perubahan sistem pemerintahan dan politik dihadapi masyarakat dengan memperkuat organisasi sosial melalui penataan institusiSaradan hubungan sosial dengan memperkuat hubungan solidaritas sosial (Ponamisi), kekerabatan (Potuha) dan kepercayaan (Poparasaea). Dengan demikian kelembagaan dan modal sosial yang ada memungkinkan kontrol terhadap hutan tetap efektif dalam memenuhi fungsinya dan hubungan sosial tetap terjaga dengan baik.

Kuatnya kontrol adat setelah penghapusan pemerintahan adat dituturkan La Biru Kampo (70 tahun) seorang warga Longa-Sousu (Desa Matahora) yang dikenal dengan ilmu kesaktiannya. Daerah ini masih Wilayah Adat Mandati yang paling jauh jaraknya. Beliau menceritakan kharisma dan kuatnya pengawasan Kepala Desa Mandati.54 Pada tahun 1977 La Biru Kampo menebang kayu di hutan tanpa izin. Karena ada orang yang melaporkannya kepada kepala desa, La Biru sangat takut dan tanpa disuruh dia langsung melaporkan diri kepada Kepala Desa Mandati. Menurut kepercayaan masyarakat bahwa jika orang berbuat salah lebih baik segera menghadap kepala desa (Pak Haji) sebelum dipanggil karena sanksinya akan lebih berat. Termasuk ada kepercayaan bahwa kalau di “sumpahi”, maka akan mengena. La Biru Kampo langsung menghadap di rumah kepala desa dan mengakui semua perbuatannya serta pasrah akan hukuman yang akan diberikan. La Biru Kampo mengatakan kepada kepala desa:

Ora kohumokomu mate aku, sabaane kutompa akoemo kua I kita. Toka bara o hukumuaku te mia hele, te yaku kubumolosi” (walaupun saya dihukum mati, semuanya saya serahkan sepenuhnya kepada kita (kepala desa). Tapi jangan hukuman itu dilakukan oleh orang lain, saya akan melawan).

Pak Haji berkata :

Kuparasae’e na molobu’u. Teiko’o meanna’e waliakumo kua Longa

kene I lange rea-rea bawae saba ane a kau i hokodaou.” (saya percaya kejujuranmu, kamu sekarang kembali ke Longa dan besok pagi bawa semua kayu yang telah kamu binasakan).

54

Haeruma diangkat sebagai Kepala Desa ke-3 (1970-1982) setelah peralihan sistem adat.

Kemudian menjadi Lurah Mandati (1982-1986). Beliau adalah anak pertamaMeantu’u Mandati

terakhir (La Ruku). Dalam sehari-harinya dipanggil Pak Haji atau Bapak Raja. Berkaitan dengan kontrol sosial dan sumberdaya beliau di gelar “busu tendeki” (tinju dan menginjak) artinya pada hukuman berat dilakukan dengan meninju dan sekaligus menginjak.

Karena hari sudah malam, La Biru bergegas ke Longa. Jaraknya sekitar 18 km yang ditempuh dengan jalan kaki. Jarak tersebut secara normal ditempuh 3-4 jam dengan akses yang masih sulit tanpa kendaraan. Kemudian besoknya harus menghadap sambil membawa kayu untuk disita. Namun hampir saja terlambat. La Biru berkata :

I lange no, ita la….. dimoo bahuli ku molingamo. Te olo’o melangamo kira-kira o lalomo a rambi oalu. Dhari ku hagorimo kutinti kua Mandati barano no daolaromi aku” (besok paginya lihat.. hampir sedikit saya lupa. Matahari sudah tinggi kira-kira lewat jam 8. Sehingga saya bergegas lari ke Mandati nanti saya dimarahi).

La Biru mengisahkan bahwa sekitar jam sembilan telah tiba di rumah kepala desa. Karena beliau sudah ke balai desa, maka La Biru segera menyusul kemudian melaporkan apa yang telah diminta dan tidak lupa meminta maaf. Kepala desa menetapkan hukuman denda dengan arif dan sejak saat itu hubungannya dengan Pak Haji (panggilan kepala desa) bertambah dekat. Peran dan status turunan Meantu’u dan keluarga besar (Santuha) masih tetap ada dan diakui dalam masyarakat.

Sejak awal tahun 1997-an, banyak masalah sosial dan sumberdaya yang tidak diselesaikan sebagaimana mestinya oleh pemerintah. Masyarakat berharap agar pemerintah negara (lurah/kepala desa) menjadi pengayom

Sara yang berkaitan dengan kontrol sosial dan sumberdaya banyak disalahgunakan. Puncak dari perambahan hutan oleh masyarakat dan penyalahgunaan jabatan adalah ketika beberapa oknum masyarakat membuka lahan di Kaindea Sara (Kaindea Teo) di Wanci. Kemudian pemanfaatan sumberdaya hutan pada masa kepemimpinan Lurah Mandati I periode (1995-2003). Pada tahun 1997, lurah mengeluarkan kebijakan kontroversial yang ditentang oleh masyarakat, yaitu mengeluarkan izin pengambilan kayu untuk sarana umum dari Kaindea Nto’oge. Aturan adat telah menggariskan bahwa kebutuhan kayu hanya dapat diambil dari Motika

atau tempat lain (kebun), sementaraKaindea hanya khusus untuk hasil hutan non-kayu. Setelah itu munculnya tempat hiburan yang menyediakan minuman keras dan wanita membuat keresahan dalam masyarakat terutama para ibu-ibu. Keresahan terjadi karena banyak dari suami mereka dan bahkan anak-anak remaja menjadi pelanggan. Keresahan semakin

bertambah karena tidak ada upaya dari pemerintah kecamatan untuk bertindak dan bahkan disinyalir adanya keterlibatan oknum pejabat dalam memuluskan berdirinya tempat hiburan tersebut. Sara Agama yang diharapkan dapat menegur melakukan perbaikan, tidak bisa berbuat banyak karena tidak ada kewenangan. Sara Agama hanya mempunyai kewenangan mengurus masalah hukum agama. Keadaan ini mengundang reaksi sejumlah orang tokoh masyarakat untuk menggagas suatu lembaga adat agar nilai-nilai sosial dan pengelolaan sumberdaya dapat dipertahankan. Di Wanci disebut “Lembaga Adat Wanci” dengan Ketua La Ode Saharumu dan di Mandati disebut dengan “Lembaga Adat Mandati” yang disingkat “Leama”55 dengan Ketua Daryono Moane.

Setelah berproses selama hampir 10 tahun, pada tahun 2007 lembaga adat terbentuk secara formal. Meskipun lembaga adat mendapatkan akta notaris yang diharapkan menjadi mitra Pemda Wakatobi tetapi dalam urusan adat dan sumberdaya lambat laun tidak mendapatkan pengakuan karena lembaga ini dianggap tidak berjalan sesuai dengan tujuan pembentukannya. Misalnya di Mandati terdapat kasus tanah tidak mampu diselesaikan dan keterlibatan pengurus partai dan terlibat pada kegiatan politik praktis. Sementara pengurus Lembaga Adat Wanci dianggap masyarakat hanya menjadikan lembaga tersebut untuk mendapatkan akses kekuasaan di birokrasi sehingga urusan sosial-kemasyarakatan diabaikan. Haeruma (mantan kepala desa Mandati) dan La Ode Safuan, menyatakan bahwa cara- cara pengurus masyarakat yang mementingkan keuntungan pribadi dan kelompok adalah pantangan yang besar dalam masyarakat. Pantangan tersebut tercermin dalam doktrin moral kepemimpinan “Bhara u pobela-bela akoe na togo”. Artinya jangan (bersekongkol) mengambil untung dalam

55

Leama dalam bahasa lokal berarti bagus atau baik. Leama didirikan melalui akta notaris Nomor 15, tanggal 17 September 2007 pada notaris Inalis Veranica Ritonga. Leama berkedudukan di Kelurahan Mandati I berdasarkan Pancasila. Maksud dan tujuan pembentukannya adalah: mempertahankan dan mengamalkan pancasila serta menegakkan UUD 1945; wadah dalam menyampaikan dan menyalurkan aspirasi dalam masyarakat; memperjuangan/mempertahankan hak-hak adat rakyat, aset, budaya, penegakkan supremasi hukum, moral dan etika; mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka mengembangkan kehidupan demokrasi, menjunjung tinggi dan menghormati kebenaran, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, hukum dan hak asasi; berpartisipasi aktif dalam rangka pengelolaan sumberdaya manusia, pelestarian ekosistem alam dan sumberdaya hayati serta peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat; turut serta memberi kontribusi pemikiran bagi pembangunan daerah; dan mensukseskan rangkaian pelaksanaan agenda pemerintah yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Badan Pendiri/ Badan Pengurus ialah Alioddin (Ketua); La To’ode (Sekretaris); Haji La Dahidu (Bendahara).

urusan dan kepentingan orang banyak. Masyarakat Mandati percaya bahwa siapa yang mengambil keuntungan dalam urusan masyarakat maka “Te omuruno a medumpu” (umurnya akan pendek). Sebaliknya siapa yang sungguh-sungguh menjalankan amanah rakyat, maka “Mau a manga te borona towaha, eyaka tumokuloho” (Biarpun makan boronang mentah, tidak akan tersangkut tulangnya). Artinya bagaimanapun beratnya rintangan dan hambatan akan tetap selamat dalam kehidupannya dan Allah akan menjamin rezekinya di dunia dan keselamatannya di akhirat kelak.