• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

V. STRATEGI ADAPTASI MASYARAKAT PULAU WANGI-WANG

5.3. Pengaturan Tenaga Kerja Keluarga

Awalnya wanita hanya ada dirumah mengurus keperluan keluarga,75 sedangkan keperluan ekonomi diurus oleh laki-laki termasuk pertanian. Pada saat itu, sistem pertanian masih subsisten. Hasil pertanian ladang ada yang dimakan dan sebagian dijual ke pasar tradisional. Ibu-ibu akan membantu suami mereka di ladang. Namun karena perkembangan jumlah keluarga dan terbatasnya kemampuan lahan untuk menyediakan kebutuhan serta timbulnya berbagai kebutuhan lainnya, maka masyarakat mulai melakukan perantuan dan pelayaran serta berdagang antar pulau baik di dalam negeri maupun keluar negeri seperti Singapura dan Malaysia.

Perpindahan anggota keluarga terutama ayah sebagai akibat dari sistem kekerabatan patrikal yang dianut masyarakat telah menempatkan pihak laki-laki sebagai penanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga membawa konsekuensi pada pengaturan tenaga kerja keluarga. Isteri akan menggantikan kedudukan ayah dalam keluarga ketika suami merantau,

75

Schoorl (2003:221) menjelaskan masa kesultanan sampai awal abad-20, wanita Buton tidak diperkenankan keluar rumah. Wanita yang ditinggalkan suami merantau tidak bisa menerima tamu secara langsung karena dianggap akan mencelakakan suaminya. Keadaan sekarang sudah jauh berubah. Perempuan Buton sangat dihormati dan lebih banyak mengatur pekerjaan rumah tangga ketika suami berangkat/berlayar. Kalau suami di rumah, maka pekerjaan rumah akan dibantu oleh suami sementara isteri akan mengurus rumah tangga dan anak-anak.

sehingga dituntut untuk menyediakan kebutuhan rumah tangga dengan berusaha memenuhi kebutuhan keluarga termasuk mengawasi kebun dan mencari kayu bakar. Anak-anak bekerja membantu sehingga pekerja anak di bawah usia menjadi gejala yang sering terjadi ketika ayah belum pulang dari perantauan.

Migrasi dan pelayaran yang dilakukan masyarakat disamping sebagai akibat dari tekanan penduduk juga karena perubahan ekonomi yang membawa dampak pada pengaturan kerja keluarga rumah tangga, sehingga memunculkan perubahan peran dan aktivitas anggota keluarga termasuk wanita dalam perekonomian keluarga. Hal itu dapat dilihat di Pasar Sentral dan beberapa pasar tradisional di Wangi-Wangi yang menjadi penjual didominasi wanita. Meskipun tanggungjawab di pihak laki-laki, tetapi setelah perubahan ekonomi terjadi maka wanita turut mencari nafkah keluarga. Peran wanita tersebut dilakukan tanpa meninggalkan tugas pokoknya sebagai ibu rumah tangga.

Awalnya wanita melakukan kegiatan dengan menenun dan membuat tembikar dari tanah liat di dalam (kolong) rumah. Setelah ekonomi pasar mulai berkembang pada tahun 1980-an, banyak wanita mulai beralih menjadi penjual ikan, pedagang barang-barang kelontong, barang-barang bekas dan penjual bahan makanan kecil (jajanan). Seperti yang dialami oleh Wa Lifa (35 tahun) seorang ibu rumah tangga beranak dua orang (satu SMU dan satunya kuliah di Kendari). Sejak semula orang tuanya adalah petani dan mempunyai kebun sendiri. Sebagai anak bungsu, seharusnya Dia dapat menggarap kebun milik orang tuanya. Namun karena suaminya seorang pedagang dan kontraktor, maka perannya berubah mengikuti pola kerja suaminya yaitu menjadi pedagang barang-barang kelontong di Pasar Sentral Mandati. Setelah shalat Subuh, Wa Lifa bangun untuk mempersiapkan sarapan pagi bagi suami dan anak. Setelah anak berangkat ke sekolah, jam delapan pagi akan diantar suaminya ke pasar dan jam tiga sore sudah dijemput atau pulang sendiri kembali ke rumah untuk melakukan aktivitas sebagai ibu rumah tangga yaitu menyiapkan makan malam dan beristirahat sehabis shalat Isya. Ketika ditanya kenapa tidak berkebun mengikuti orang tua atau menggarap kebun warisan dari suaminya. Wa Lifa mengatakan :

…….ara ako teimanga kira-kira aneho ta kumapoi ara ta mekoranga. Toka te waralu sikola u’anantomai o koruo. Dhari teyaku taba ane ku maraaso i dhaoa” (kalau hanya kebutuhan makan kira-kira masih cukup dengan berkebun. Tetapi kebutuhan anak-anak untuk sekolah sangat besar. Jadi saya harus berjualan di pasar).

Apa yang dialami oleh Wa Lifa juga menjadi kondisi umum bagi ibu rumah tangga lainnya. Kebutuhan pendidikan mendorong masyarakat beralih pekerjaan. Namun demikian pekerjaan di kebun tetap dilakukan dengan mengatur pembagian tenaga dan waktu keluarga. Setiap dua hari biasanya ada anggota keluarga ke kebun memanen ubi kayu atau mencabut rumput.

Kegiatan migrasi yang berimplikasi pada pengaturan tenaga kerja keluarga menunjukkan perubahan ekonomi dan tekanan penduduk sudah terjadi. Respon ini dilakukan melalui pengaturan anggota bekerja di kebun. Setelah banyak laki-laki bermigrasi, maka tenaga kerja yang mengurusi perawatan kebun semakin berkurang dan secara tidak langsung mengurangi tekanan terhadap hutan. Ibu rumah tangga berjualan di pasar dan remaja wanita membantu ibu di rumah. Sementara itu anak remaja usia SMP-SMA bergotong-royong membantu perawatan atau membersihkan kebun dengan sistem Porabha.76 Mereka bersama-sama kerja di kebun salah satu anggotanya dan seterusnya bergantian pada kebun anggota lainnya. La Ode Safuan (43 tahun) menceritakan kegiatanPorabha dengan teman seusianya, yaitu La Hawi dan La Bolohondo seusai pulang dari sekolah atau pada hari libur. Mereka diperbolehkan bekerja hanya untuk pemeliharaan kebun seperti mencabut rumput atau membersihkan kebun. Momentum seperti ini juga dimanfaatkan untuk bermain sambil memungut buah-buahan yang ada di kebun. Biasanya kerja di kebun hanya setengah hari dan pulangnya singgah di mata air goa untuk mandi sambil melanjutkan permainan. Permainan yang sering dilakukan remaja adalah “Oko-oko”.77

76

Porabha adalah kerjasama di antara 3-5 orang anak remaja laki-laki (umur 12-17 tahun) secara bergantian dalam pemeliharaan kebun/ladang. Jumlah anggotanya tergantung pada usia dan pertemanan. Satuan waktu didasarkan pada luas lahan yang akan dibersihkan atau jumlah

waktu (jam).Porabha dimaksudkan agar di samping membantu orang tua, juga anak-anak sejak

dini telah dikader dan mengenal tata batas kebun masing-masing. Kegiatan ini merupakan salah

satu cara agar anak-anak dapat mengisi waktu luang yang bermanfaat. Umumnya Porabha

hanya dilakukan oleh anak laki-laki.Porabha yang dilakukan wanita biasanya jika mereka sudah

kawin, namun jarang karena padatnya pekerjaan wanita di rumah. 77

Oko-oko (sembunyi-sembunyi), yaitu permainan yang dilakukan dengan sekelompok orang (anak-anak) dengan cara bersembunyi dan satu orang yang mencari.

Respon terhadap tekanan penduduk terlihat pada pengaturan kelahiran jumlah anggota keluarga. Sampai awal abad ke-20 anggota keluarga dari satu ayah-ibu masih banyak bahkan berkisar antara 8-15 orang. Termasuk dalam urusan poligami bagi orang yang mempunyai status sosial terpandang dalam masyarakat. Setelah kurun waktu sekitar tahun 1960-1970an, rata-rata jumlah anggota keluarga sudah berkisar antara 5-6 orang dan poligami sudah jarang dilakukan. Ada pandangan dalam masyarakat bahwa orang yang berpoligami adalah orang malas karena akan membiarkan isterinya mencari nafkah. Sejak tahun 1990an jumlah anak dalam satu keluarga terutama yang berstatus PNS rata-rata anak tiga sampai empat orang.