• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.1. Latar Belakang

Kajian pengelolaan hutan dan eksistensi masyarakat lokal dalam perubahan sosial budaya, ekonomi, dan demografi terhadap kelestarian sumberdaya hutan tetap menjadi isu yang menarik di tingkat lokal, nasional dan global. Secara gobal isu-isu kehutanan lebih dikaitkan dengan perdagangan karbon, pelestarian keanekaragaman hayati dan perubahan iklim dan di tingkat nasional lebih menyoroti potensi ekonomi dan kemiskinan masyarakat sekitar hutan (Chomitz et al. 2007; Mackinnon 1993). Pada tingkat lokal, antara isu konservasi dengan pemanfaatan lokal sumberdaya hutan lebih mendapat perhatian serius. Hal ini terkait dengan banyaknya konflik-konflik pengelolaan sehingga melahirkan perubahan paradigma pembangunan kehutanan yang mengutamakan masyarakat lokal. Paradigma negara ke berbasis masyarakat; sentralistik ke desentralisasi; dari gagasan modern, state based dan ilmiah ke gagasan tradisional, community based, dan dianggap magis; berbasis kayu ke pengelolaan seluruh ekosistem (Lynch dan Talbott 2001; Suharjitoet al. 2000). Dari pembangunan berbasis ekonomi ke pembangunan integrasi ekonomi, ekologi dan sosial budaya yang berbasis kesejahteraan dan kelestarian ekosistem (Darusman 2002; Awang 2004).

Saat ini masih ditemukan berbagai pengelolaan sumberdaya hutan yang berbasis masyarakat dan terbukti masih dapat menyelamatkan hutan dari ancaman kepunahan. Hal ini karena pola hubungan antara masyarakat dengan hutan masih dilakukan menurut kaidah lingkungan yang lebih mengutamakan keselarasan keseimbangan alami dibandingkan kepentingan ekonomi semata (Devall 1985; Keraf 2005). Hubungan tersebut tercermin dalam pengaturan sumberdaya pada praktek-praktek lokal berbasis masyarakat diberbagai daerah. Seperti praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat yang dikenal istilah hutan rakyat; hutan desa; hutan kebun; wanatani; atau menggunakan istilah daerah seperti istilah Mamar di Nusa Tenggara Timur; Lembo di Kalimantan Timur; Tembawang di Kalimantan Barat; Repong di Lampung, dan Tombak di Tapanuli Utara (Suharjito et al, 2000:2). Sasi dalam pemanfaatan laut secara bijaksana di Maluku

(Mardiyanto 1999); Kaindea1 sebagai sistem pengelolaan sumberdaya hutan masyarakat di Pulau Wangi-Wangi (Manan dan Arafah 1999). Pengaturan sumberdaya dengan kelembagaan lokal warga Kasepuhan di Jawa Barat dalam pengelolaan lingkungan secara tradisional mampu melestarikan kawasan hutan untuk konservasi (Adimihardja 1992). Pemanfaatan tradisional sumberdaya lokal pohon lontar secara optimal meningkatkan daya tahan masyarakat Savu terhadap ekologi yang terbatas (Sundawati 2001; Fox 1996).

Berbagai literatur menunjukkan bahwa masyarakat lokal merupakan benteng yang tangguh dalam membendung dampak negatif kerusakan hutan (Mackinnon 1993; Edmuns dan Wollenberg 2003; Claridge dan O’Callaghan 1995). Masyarakat lokal memiliki akuntabilitas dan komitmen mengelola sumberdaya dengan pemanfaatan adaptif melalui kearifan lokal (Korten 1986; Brookfoeld 1998). Pengetahuan tradisional Dayak di Desa Anak Benuaq dapat melestarikan sumberdaya hutan selama 300 tahun tanpa penggundulan permanen dan tidak diketemukan adanya jenis-jenis lokal yang punah (Gonner 2001:70). Masyarakat Baduy mempunyai kearifan menggunakan dan menjaga ekosistem sebagai tumpuan penyedia kebutuhan yang berkesinambungan (Handoyo 2003). Pengelolaan kehutanan lokal mampu mewujudkan keseimbangan sosial, daya tahan ekonomi dan keberlanjutan fungsi lingkungan dan konservasi hutan (Darusman 2001; Anshariet al. 2005; Golar 2007).

Perhatian terhadap pengelolaan sumberdaya hutan telah dikemukakan dalam berbagai laporan penelitian. Statistik Kabupaten Wakatobi (2007) mengindikasikan bahwa luas kawasan hutan di Pulau Wangi-Wangi semakin menurun dari waktu-waktu dengan status kawasan yang belum ditetapkan pemerintah daerah. Pengamatan lapangan (2007) menunjukkan bahwa kerusakan vegetasi termasuk hutan di Pulau Wangi-Wangi diduga menjadi penyebab intrusi air laut. Penelitian Bank Dunia (World Bank) menyebutkan

1

Kaindea adalah sistem pengelolaan hutan masyarakat yang dimiliki secara komunal (adat atau keluarga). Dalam pemanfaatan tidak dapat dikonversi atau diambil kayunya, kecuali hasil hutan

non-kayu dengan izin selektif pemiliknya. Awalnya, Kaindea adalah kebun yang dihutankan.

Dalam bahasa lokal tidak ditemukan artiKaindea, kecuali hanya merujuk pada hutan yang subur

yang dikelilingi kebun. Istilah Kaindea ditemukan pada hutan di Pulau Muna Kabupaten Muna

tekanan penduduk berdampak pada konversi hutan dan menurunnya daya dukung (Chomitz et al. 2007). Laporan ini memasukan Pulau Wangi-Wangi dalam peta daerah miskin dengan kondisi hutan yang jarang. Tekanan penduduk dan rendahnya pengetahuan masyarakat menyebabkan praktek tidak ramah lingkungan (Nath et al. 2005). Rendahnya kapasitas masyarakat lokal menyebabkan daya tahan ekologis terbatas (Lebel et al. 2006; Abel et al. 2006). Perubahan orientasi ekonomi dengan sistem uang dan pasar menjadi salah satu penyebab illegal logging yang mengancam kelembagaan lokal (Gonner 2001). Rendahnya moral manusia dan rusaknya sumber ekonomi produktif menjadi salah satu faktor timbulnya ancaman terhadap kelestarian hutan (Darusman 2002; Rositah 2005). Modernisasi dan teknologi membawa perubahan masyarakat desa hutan yang mengancam eksistensi sumberdaya hutan dan melemahnya solidaritas sosial (Downs 2000). Tekanan ekonomi, lemahnya sistem sosial menyebabkan praktek yang merusak lingkungan (Mardiyanto 1999; Amilda dan Laksono 2004). Sumberdaya manusia lokal yang tidak mempunyai pemahaman hukum dan politik rentan dengan eksploitasi (Sembiring 1999; Wiratnoet al. 2004).

Disamping persoalan masyarakat juga adanya intervensi pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kebijakan otonomi daerah memberi peluang maraknya illegal logging serta termarginalnya masyarakat adat di berbagai daerah (Raden dan Nababa 2003; Awang 2004; Rositah 2005). Lynch dan Talbott (2001) melaporkan bahwa insentif pemerintah untuk mengelola sumberdaya hutan masih kurang mendapat tanggapan dan optimisme dalam membawa hasil yang nyata. Fraser (2002) mengemukakan kebijakan pemerintah Indonesia dalam pengelolaan kehutanan belum berjalan secara efektif dan memuaskan karena kurangnya kemauan politik, lemahnya koordinasi dan rendahnya kemampuan sumberdaya manusia serta teknologi. Terjadinya konflik agraria karena hak sumberdaya rakyat diambil alih pemerintah untuk kepentingan lain berimbas pada perambahan hutan oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Lore Lindu (Sitorus 2003:20). Intervensi politik penyebab kerusakan hutan di Nepal (Gautam 2004). Ketidakstabilan politik telah menimbulkan kerusakan pada kawasan yang dilindungi di Uganda (Mackinnon 1993:10).

Kelestarian sumberdaya hutan bukan hanya berdimensi internal masyarakat dan eksternal pemerintah, akan tetapi bagaimana kedua belah pihak memaknai permasalahan bersama. Keberhasilan pengelolaan oleh masyarakat bergantung pada regulasi, insentif dan organisasi (Chomitzet al. 2007; Fraser 2002). Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan politik pemerintah untuk memberikan akses yang luas kepada masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan memberikan kepastian pengelolaan secara lestari dan berkelanjutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Edmuns dan Wollenberg 2003; Fraser 2002;

Lynch dan Talbott 2001; Golar 2007).

Walaupun praktek-praktek lokal menyiratkan optimisme dan memberikan justifikasi terhadap kelestarian sumberdaya, namun kajian perubahan lingkungan dan kemampuan adaptasi perlu mendapat perhatian utama. Hal ini untuk mengetahui sejauhmana kemampuan masyarakat mengelola hutan akibat perubahan lingkungan karena akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan stabilisasi ekosistem dimasa depan. Dalam konteks ini kajian terhadap kemampuan masyarakat lokal mengelola sumberdaya hutan dalam merespon perubahan dan tekanan lingkungan pada suatu geografi yang khas seperti di pulau-pulau kecil menjadi sangat relevan. Sampai saat ini belum banyak dikaji mengenai sistem pengelolaan hutan di pulau-pulau kecil. Termasuk kajian yang berkaitan dengan respon dan kemampuan masyarakat terhadap perubahan lingkungan yang berimplikasi pada kinerja dan kelestarian hutan.

Kajian mengenai pengelolaan hutan asli (indigenous) banyak dilakukan hanya pada daratan besar, padahal diyakini bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat banyak tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara (Suharjitoet al. 2000). Perhatian pada pulau-pulau kecil selama ini lebih difokuskan pada pengelolaan pesisir dan laut (Dahuriet al. 2001; Satriaet al. 2002), tapi kajian pada pengelolaan hutan belum banyak ditemukan. Dalam penelitian ini akan mengisi kekosongan kajian tentang pengelolaan hutan di pulau-pulau kecil yang berkaitan dengan respon masyarakat terhadap perubahan lingkungan. Perhatian terhadap pulau-pulau kecil berkaitan dengan karakteristik fisik,

ekologis, sosial-budaya dan ekonomi yang khas2 (DKP 2007; Dahuri et al.

2001). Masyarakat pulau-pulau kecil mempunyai kemampuan beradaptasi dengan memanfaatkan kondisi lingkungan yang terbatas. Kemampuan adaptasi tersebut berkaitan dengan cara hidup yang memanfaatkan dua sumberdaya yaitu perladangan dan perairan laut (Fox 1996). Masyarakat pulau-pulau kecil mempunyai modal sosial dan kearifan lokal (Satria et al. 2002; Manan dan Arafah 1999). Menurut DKP (2007) dan DKP (2004) bahwa umumnya pulau-pulau kecil mempunyai sejumlah permasalahan antara lain sulitnya dijangkau sehingga mempengaruhi percepatan pembangunan, kurangnya infrastruktur, budaya lokal yang kadang bertentangan dengan kegiatan pembangunan, pembangunan yang bersifat sektoral dan sporadis dan belum ada strategi nasional yang menjembatani pengembangan gugus pulau secara harmonis dan terpadu serta kemiskinan. Namun di Pulau Wangi-Wangi, permasalahan tersebut di atas sebagian besar sudah teratasi. Yang dirasakan masyarakat di Pulau Wangi-Wangi saat ini adalah kondisi ekologis yang terbatas seperti keterbatasan sumberdaya lahan, air tawar dan tekanan penduduk yang tinggi yang mengancam eksistensi sumberdaya termasuk hutan.

Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut bagaimana sumberdaya hutan dikelola pada konteks pulau-pulau kecil di Pulau Wangi- Wangi. Fokus kajian adalah bagaimana hubungan antara perubahan lingkungan dan respon masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan

Kaindea sebagai strategi adaptasi. Hal ini berkaitan dengan keberadaan

Kaindea yang masih tetap eksis sejalan dengan perkembangan masyarakat di Pulau Wangi-Wangi.

2

Menurut DKP (2007:9-10) bahwa pulau-pulau kecil mempunyai karateristik yang khas secara fisik, ekologis, dan sosial-budaya dan ekonomi. Secara fisik: terpisah dari pulau besar; membentuk satu gugus pulau; lebih banyak dipengaruhi hidro-klimat laut; rentan terhadap perubahan alam/manusia; substrat pulau tergantung pada kondisi dan proses geologi dan morfologi; kedalaman laut rata-rata antar pulau ditentukan kondisi georafis dan jarak pulau; dan dinamika oceanografi yang unik. Secara ekologis: memiliki spesis flora dan fauna yang spesifik; resiko perubahan lingkungan yang tinggi; daya dukung pulau yang spesifik; dan biasanya memiliki biodiversitas ekosistem laut yang cukup melimpah. Secara sosial-budaya dan ekonomi: ada pulau yang berpenghuni dan tidak; budaya, adat dan kebiasaan yang unik; kondisi sosial ekonomi yang khas; ketergantungan ekonomi pada luar pulau (pulau induk); kualitas SDM yang terbatas; dan aksesibilitas yang rendah. Dalam konteks Pulau Wangi-Wangi, definisi di atas hanya relevan pada aspek ekologi, tetapi tidak seluruhnya pada aspek sosial-ekonomi dan budaya.