• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

PETA SEBARAN HUTAN DI PULAU WANGI-WANGI KAB WAKATOB

6.5. Kelestarian Kaindea Nto’oge 1 Kelestarian Fungsi Sosial

6.5.3. Kelestarian Fungsi Ekologis

Kelestarian fungsi ekologis diterminologikan sebagai kemampuan pengelolaan dalam mendukung dan memelihara keseimbangan integrasi komunitas kehidupan hayati, yang memiliki komposisi jenis, keanekaragaman, dan berbagai fungsi yang seimbang dan terpadu, seperti kondisi habitat alaminya. Kriteria yang digunakan untuk menganalisisnya antara lain: (1) stabilitas ekosistem hutan yang dapat dipelihara serta gangguan terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola; dan (2) sintasan

spesies endemik, langka, atau dilindungi dapat dipertahankan dan gangguan terhadap sintasan tersebut diminimalisir.

Stabilitas Ekosistem Hutan Dipelihara dan Gangguan terhadapnya dapat Diminimalisir dan Dikelola

Pengelolaan setiap sistem penggunaan lahan harus mempertimbangkan karakteristik dan batas wilayah yang dilindungi dengan intensitas penggunaan yang berbeda-beda. Dalam Wilayah Adat Mandati, keseluruhan Kaindea merupakan kawasan yang dilindungi baik lahan maupun isinya. Eksistensi kawasan bergantung sepenuhnya kepada kinerja masyarakat adat. Hasil penilaian terhadap kriteria stabilitas ekosistem hutan disajikan pada Tabel 29.

Tabel 29 Skor kriteria stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara dan gangguan terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola

No Indikator Bobot Nilai Skor

1 Adanya tata batas dan upaya pengelolaan kawasan

yang seharusnya dilindungi dalam areal 1.0 5.0 5.0

2 Tersedianya aturan kelola produksi yang meminimasi

gangguan terhadap integritas lingkungan 1.0 5.0 5.0

3 Ketersediaan informasi dan dokumen dampak

kegiatan

1.0 3.0 3.0

4 Adanya kegiatan kelola lingkungan yang efektif 1.0 3.0 3.0

5 Adanya pemantuan terhadap kondisi kawasan oleh

komunitas

1.0 5.0 5.0

Rerata nilai Skor 4.2

Sumber: Data primer setelah diolah 2008.

Tabel 29 menunjukkan bahwa penilaian terhadap stabilitas ekosistem pada pengelolaan hutan di Mandati masuk dalam kategori baik (4,2). Salah satu komponen penting dalam menjaga kestabilan ekosistem hutan pada kawasan yang dilindungi adalah adanya tata batas yang jelas, sehingga dapat dibedakan dengan kawasan kebun. Meskipun tidak terdapat batas- batas fisik di lapangan, namun masyarakat Mandati pada umumnya mampu untuk mengenali dan membedakan berdasarkan ciri-ciri wilayah yang dilindungi oleh Sara. Ciri-ciri ini diketahui oleh masyarakat, dan mereka secara jelas mendeskripsikannya seperti adanya bambu atau adanya batu besar/kerang laut yang ditanam di dalam tanah. Hal ini mengindikasikan bahwa umumnya masyarakat Mandati terutama yang berkebun di sekitar

Kaindea mengetahui tata batas sehingga masyarakat tidak melampaui batas kawasan.

Sara mempunyai aturan main untuk mengendalikan pemanfaatan sumberdaya hutan yang berlebihan guna memberi peluang bagi pemulihan ekosistem. Pemanfaatan hasil hutan non-kayu seperti bambu, nira dan buah- buahan pada kawasan tersebut hanya diperkenankan dengan jumlah yang terbatas sesuai keperluan sosial keluarga, sehingga tidak menimbulkan dampak kerusakan terhadap ekosistem.

Dalam upaya mencegah terjadinya konversi, secara periodik Sara

menugaskan Wati atau penyadap untuk memantau kondisi Kaindea dan melaporkannya pada lembaga adat. Sara juga mendapatkan laporan dari penyadap atau masyarakat yang berkebun di sekitar hutan. Upaya tersebut dimaksudkan agar lembaga adat dapat memiliki informasi aktual perihal kondisi hutan di wilayah kelolanya. Hal tersebut membuktikan bahwa meskipun pihak Sara atau pemangku adat tidak setiap saat mendatangi lokasi pemanfaatan, namun masyarakat tetap patuh dan tidak melakukan pelanggaran.

Dalam hal pemantauan, peranan masyarakat yang berkebun dan penyadap enau sangat penting. Mereka hampir setiap hari berada di lokasi, sehingga kondisi kawasan secara langsung berada dalam pemantauan. Hal inilah yang membuat eksistensi kawasan Kaindea dapat diminimalisasi dari gangguan.

Sintasan Spesies Endemik Dilindungi, Dipertahankan, dan Gangguannya dapat Diminimumkan

Tersedianya informasi mengenai spesies endemik atau spesies dilindungi beserta habitatnya, utamanya dalam kawasan yang dikelola, merupakan salah satu faktor penunjang kinerja pengelolaan. Informasi tentang spesies satwa terutama burung cukup lengkap, namun yang berkaitan dengan spesies endemik tidak diketahui karena tidak ada informasi dari pihak berwenang. Selama ini lembaga adat hanya mengandalkan informasi dari Wati atau dari masyarakat. Hasil penilaian sintasan spesies endemik dilindungi dan dipertahankan, serta gangguannya dapat diminimumkan disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30 Skor kriteria sintasan spesies endemik dilindungi dan dipertahankan, serta gangguannya dapat diminimumkan

No Indikator Bobot Nilai Skor

1 Tersedianya informasi mengenai spesies endemik/

langka/ dilindungi dan agihan habitatnya yang

penting dalam kawasan 1.0 1.0 1.0

2 Adanya upaya meminimumkan dampak kelola

produksi terhadap spesies 1.0 3.0 3.0

Rerata nilai Skor 2.0

Sumber: Data primer setelah diolah 2008.

Tabel 30 menunjukkan bahwa penilaian terhadap kriteria tersebut termasuk dalam kategori jelek (2,0). Sampai saat ini belum ada kajian tentang kondisi spesies di Pulau Wangi-Wangi seperti di kawasan Kaindea. Berdasarkan informasi masyarakat dan wawancara dengan Maliki (55 tahun), sejak dulu Kaindea lebih banyak dihuni oleh berbagai macam burung seperti maleo (Koso), nuri, kakatua raja (Kea), burung kenari (Ma’a), Wokira, Hune, Kao-kao, elang (Kangka). Sedangkan jenis mamalia adalah musang dan jenis reptil adalah ular. Pada saat pengamatan lapangan, hanya suara burung kenari yang terdengar dan beberapa burung yang terbang di sekitar kebun sepertiWokira, Kalirihu. Pengelola mengakui bahwa maleo dan kakatua raja jarang sekali terlihat, namun masih ada.

Pada tahun 1980-1987 merupakan kurun waktu ancaman paling serius bagi keberadaan burung. Burung ditangkap lalu dijual ke Singapura atau Malaysia. Meskipun tidak semua burung berasal dari Wangi-Wangi tetapi lebih banyak berasal dari Maluku. Kondisi tersebut menyebabkan banyak spesis burung mulai jarang terlihat di sekitar Kaindea. Meskipun demikian terdapat aturan adat yang melarang penangkapan burung di kawasan hutan tetapi di luar kawasan sama sekali tidak ada pelarangan untuk menangkap burung. Bila mengacu pada kondisi ini, maka keberadaan spesies endemik terutama burung sulit untuk dipertahankan terutama yang berkaitan dengan perilaku masyarakat.

Terkait dengan potensi flora di Kaindea, lembaga adat memiliki informasi tentang jenis-jenis tanaman namun belum terdokumentasi. Sara

belum memiliki informasi menyangkut struktur dan komposisi. Hasil pengamatan tidak ditemukan adanya spesies endemik di kawasan Kaindea.

Saat ini Pemda Wakatobi mulai memprogramkan rehabilitas dan penghijauan kawasan hutan terutamaKaindea. Namun program tersebut masih dilakukan pada kawasan yang sudah rusak seperti pada kawasan Kaindea Teo di Wilayah Adat Wanci.