• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

V. STRATEGI ADAPTASI MASYARAKAT PULAU WANGI-WANG

5.2. Sistem Teknologi 1 Tata Guna Lahan

5.2.2. Sistem Pertanian Lokal

Dalam sistem pertanian lokal, kebun dan hutan merupakan indentitas kultural yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat (Nugraha dan Murtijo 2005; Suharjito et al. 2000; Awang 2004) termasuk hutan (Kaindea) dan kebun (Koranga) pada masyarakat Wangi-Wangi. Kebun merupakan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan status sosial, sementara hutan (Kaindea) adalah sumber kesuburan dan ketersediaan air (Pamonini’a u’togo). Hutan dan kebun juga merupakan aktivitas ekonomi dan penegasan sistem sosial dalam masyarakat. Sebagai sumber pemenuhan kebutuhan ekonomi, masyarakat menanam berbagai jenis tanaman pangan seperti ubi kayu, jagung dan juga tanaman sayur- sayuran seperti kacang tanah, kacang panjang. Juga ada tanaman selingan seperti kopi dan kelapa. Sebagai status sosial, kebun dianggap sebagai aktivitas orang yang rajin dimana orang tidak berkebun walaupun mempunyai aktivitas lainnya masih dianggap sebagai orang malas. Setiap pagi, laki-laki (kepala keluarga) sehabis shalat subuh sudah berangkat ke kebun untuk mencabut rumput, menggali ubi jalar atau memanen ubi kayu dan menjelang siang sudah pulang ke rumah. Setelah makan siang suami akan istirahat, selanjutnya isteri akan mengerjakan hasil panen kemudian dipilah-pilah yang dimakan dan kalau ada lebihnya akan dijual oleh anaknya. Cara menjualnya dengan berkeliling kampung sambil meneriakkan “Bhumalu te …...” (siapa yang mau beli……..).

Pada awalnya masyarakat sudah mengenal bercocok tanam secara tradisional dan berpindah. Kebun masyarakat masih berbentuk ladang

67

Orang yang kena getah Ngonga akan gatal dan membengkak dalam waktu 3-6 hari. Setelah

(Ontoala)68 yaitu membuka kembali lahan bekas ladang yang lama ditinggalkan. Kayu yang telah tumbuh menjadi pohon tidak diganggu, sementara yang berbentuk tiang akan dipangkas daunnya sehingga tanah terkena sinar mata hari. Setelah kering selama satu minggu, maka akan dilakukan pembakaran. Menjelang musim hujanOntoala akan ditanami umbi- umbian yang dalam bahasa lokal disebut “Uwi” (Discorea spp). Juga ada jagung, kacang tanah, ketimun dan sebagainya. Pinggir pagar kebun/ladang biasanya ditanami kacang panjang atau tanaman merambat. Saat masyarakat Mandati turun dari Koba69 sampai sekarang sistem pertanian ladang (Ontoala) masih ditetap dilakukan pada lahan-lahan yang kurang subur dengan kondisi tanah berbatu.

Peralihan awal abad ke-20 pengelolaan Kaindea sebagian dilimpahkan ke keluarga. Pengalihan tersebut kemungkinan berkaitan dengan kondisi masyarakat banyak dilanda kelaparan karena hasil ladang tidak memenuhi kebutuhan pangan sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Hasil ladang kurang produktif karena umumnya dilakukan di lahan tanah berbatu yang dikelola dengan sistem bero di sekitar hutan Motika. Seiring dengan pengalihan kepemilikan Kaindea dan diizinkannya berkebun di sekitar

Kaindea, tanaman utama umbi-umbian mulai digeser dengan ubi kayu yang diambil dari Jawa.70 Karena cara penanaman kurang bagus dan varietasnya juga tidak cocok, sehingga masalah pangan masih menghantui masyarakat sampai tahun 1960an. Setelah hubungan dengan Jawa berjalan, masyarakat mulai intensif memanfaatkan lahan kebun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Saat itu istilah kebun (Koranga) mulai dikenal dimana masyarakat membuka lahan di sekitarKaindea yang sebelumnya di sekitarMotika. Kebun ditanami ubi kayu tanpa pengolahan tanah (Welli’a) berubah dengan pengolahan tanah (Rawu’a).

68

Ontoala atau ladang adalah cara bercocok tanam yang dilakukan dengan membuka lahan yang mempunyai kayu-kayuan yang telah lama diberokan, kemudian dibakar dan ditanami. Kondisi

lahan diOntoala umumnya solum tanah dangkal, dan berbatu.

69

Proses perpindahan masyarakat Mandati disebabkan karena kondisi lahan ditempat mereka berdiam tidak mendukung lagi mereka bercocok tanam. Dibandingkan dulu, tempat berkebun

masyarakat sekarang di sekitarKaindeayang sangat subur.

70

Perubahan dan adopsi teknologi pertanian banyak dipengaruhi oleh sistem pertanian dari Jawa (dan kemungkinan juga dari Maluku) seperti jenis tanaman (ubi kayu), cara mengolah lahan dan alat yang digunakan (cangkul). Hal tersebut juga tampak dari nama jenis ubi kayu yang dalam

nama lokal yang kemungkinan merupakan bahasa asal varietas tersebut seperti Bogoro,

Tanaman ubi kayu (Kau djawa) ditanam sepanjang tahun menjadi tanaman utama. Ubi kayu saat itu cukup lama baru panen (sekitar satu sampai dua tahun). Produktivitas kebun yang demikian membuat kehidupan masyarakat semakin terasa sulit seiring dengan kondisi politik Orde Lama yang tidak menentu. La Ode Moane menyebutnya “Te dhamani u’susa’a” (zaman kesusahan). Aktivitas masyarakat hanya memikirkan untuk makan sehari-hari. Setelah dari kebun, waktu senggang digunakan untuk memelihara ternak seperti ayam. Pagi-pagi mereka akan berangkat mencari ubi di kebun. Kalau masih ada waktu mereka akan singgah di hutan untuk mencari tanaman umbi hutan. Sore hari baru pulang ke rumah dan langsung mengupas ubi. Umbi hutan direndam sampai dua malam hari untuk menghilangkan racunnya.

DariWelli’a keRawu’a

Perubahan sistem pertanian ladang tanpa pengolahan tanah dan tanpa jarak tanam (Welli’a) ke sistem ladang dengan pengolahan tanah dan jarak tanam teratur (Rawu’a) dikenal setelah masuknya teknologi cangkul dan adopasi cara pertanian dari daerah lain (rantau). Setelah intensif hubungan dengan Jawa-Maluku tahun 1960-an, sistem pertanian lokal mengalami kemajuan dengan sentuhan teknologi “cangkul”.71 Masyarakat meniru cara- cara Orang Jawa dan Maluku, mengolah tanah dan mengatur jarak tanam. Tanah dicangkul dan dibuatkan gundukan dan stek ubi ditancapkan dengan jarak teratur. Jenis tanaman ubi diganti dengan varietas dengan umur panen lebih singkat (sekitar enam bulan). Hasil wawancara dengan La Haibu (68 tahun) mengatakan bahwa cara bertani masyarakat Mandati banyak “mengikuti” cara masyarakat lain tempat mereka berlayar seperti mengolah tanah dan jenis tanaman yang meniru kebiasaan orang di Jawa. Bahkan banyak tanaman budidaya mereka introduksi dari Jawa atau Maluku. Setelah terbukti mempunyai produktivitas yang tinggi banyak kebun yang ditanami ubi kayu dengan pengolahan tanah dan pengaturan jarak tanam (sistem

Rawu’a). Penyesuaian teknologi pertanian merupakan respon kekurangan pangan akibat tekanan penduduk.

71

Cangkul berasal dari Jawa kemudian digunakan masyarakat untuk memacul dan mengolah tanah pertanian.

Untuk menjelaskan lebih jauh tentang perubahan teknologi pertanian tahun 1960-an dari sistem Welli’a ke Rawu’a tahapannya adalah pemilihan lahan, pembersihan lahan, persiapan tanam, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan (Harviyadin 2005). Perubahan sistem teknolologi pertanian tersebut merupakan akibat pertambahan tekanan penduduk yang membutuhkan pangan. Menurut Boserup (1965) dalam Iskandar (1992:17) bahwa perkembangan atau perubahan teknologi pertanian terjadi karena tekanan penduduk yang meningkat, sehingga kebutuhan pangan akan meningkat. Peningkatan kebutuhan pangan menyebabkan penduduk mengembangkan sistem pertanian yang lebih intensif dan akan mengubah metoda penggarapan sistem pertanian, serta mencari perkakas pertanian yang sesuai. Dengan demikian bahwa perkembangan teknologi pertanian masyarakat Wangi-Wangi merupakan upaya adaptasi untuk meningkatkan produktivitas lahan dan untuk mengatasi keseimbangan ekologi seperti membatasi konversi hutan menjadi lahan pertanian.

Kebun ubi kayu (singkong) dibudidayakan di kebun sekitar Kaindea

memiliki kesuburan yang tinggi sehingga masyarakat dapat melakukan penanaman sepanjang tahun. Untuk mempertahankan kesuburan tanah maka dibuat Rawu’a dan aplikasi pemulsaan dari daun atau sampah panen dan sampah organik rumah tangga. Petani yang berkebun di sekitar Motika

dan Padangkuku kurang subur sehingga hanya ditanami sekali setahun. Untuk mempertahankan kesuburan tanah, masyarakat membuat modifikasi pemberoan yang diikuti pembakaran, pemulsaan, dan tumpang sari dengan tanaman legum. Indikator pemilihan lahan didukung dengan keberadaan tanah yang melekat pada batu di permukaan tanah. Jumlah tanah yang melekat pada batu tersebut berhubungan positif dengan kesuburan tanah.

Rawu’a berbeda dengan Welli’a.72 Pembersihan lahan Rawu’a

dilakukan dengan memotong atau mencabut vegetasi tanpa pembakaran, sedangkan Welli’a diikuti dengan pembakaran vegetasi. Menurut petani manfaat pembakaran adalah menekan biaya dan tenaga, tanaman terhindar dari penyakit, dan tanah menjadi subur. Meiklejohn (1955) dalam Ewusie

72

Rawu’a adalah kebun yang diolah dan dibuatkan gundukan tanah dengan cangkul dan diatur

jarak tanam.Welli’a adalah lahan bero yang telah dicabut rumput dan dibersihkan dari pohon-

(1990) melaporkan efek pembakaran pada mikroflora tanah yaitu terjadi kemerosotan hanya pada tiga bulan pertama selanjutnya kembali normal. Selanjutnya Ewusie mengungkapkan bahwa kecuali nitrogen dan belerang yang menguap, pembakaran tidak mengakibatkan kehilangan unsur hara lainnya (fosfat, kalium, kalsium, dan magnesium) karena itu pengaruh utama kebakaran ialah pembebasan unsur hara pada suatu ketika pada permukaan tanah dan bukan pembebasan secara berangsur-angsur yang biasa terjadi pada pembusukan jasad pengurai. Ini berarti bahwa lahan Welli’a lebih cepat mengurai unsur hara dibandingkan lahanRawu’a.

Tanah sebagai media tumbuh perlu dipersiapan sedemikian agar memberikan kesempatan bagi tanaman untuk berkembang secara optimal. Untuk itu masyarakat melakukan Sangko’a (mencangkul) ataupun memodifikasi Rawu’a. Kegiatan tersebut merupakan tindakan mekanik memperbaiki kondisi tanah seperti penetrasi akar, infiltrasi air, dan aerasi. Di samping itu bertujuan memberantas gulma. Setelah media tanam siap maka segera dilakukan penanaman yang diawali dengan seleksi turus, penentuan waktu dan pola tanam. Pemotongan turus dilakukan secara terbalik (Pale tuangko) sehingga turus bagian atas tertutup oleh tanah dan bagian bawah turus relatif bersayap. Ketika ditanam dengan posisi mata tunas menghadap ke atas maka transpirasi turus dapat ditekan karena penutupan permukaan turus dengan tanah. Di samping itu, sayap yang terbentuk saat pemotongan dapat menjadi tempat keluarnya akar serta memperluas serapan air dan unsur hara. Praktek ini menghasilkan ubi yang banyak dibandingkan dengan pemotongan turus secara normal (Pale monea).

Curah hujan merupakan panduan petani dalam menyusun pola tanam. Pola tanam masyarakat merupakan hasil aplikasi selama bertahun-tahun yang telah disesuaikan dengan kondisi alam (curah hujan). Untuk meningkatkan stabilitas dan meminimalkan resiko kegagalan panen karena sistem pertaniannya mengandalkan air hujan sebagai satu-satunya sumber air. Di samping itu pola tanam tersebut mencakup sistem perakaran yang menembus tanah rapat, membawa unsur hara ke permukaan dan memungkinkan udara dan air memasuki tanah secara lebih mudah. Perpaduan tanaman legum dan tanaman umbi-umbian juga dapat memanfaatkan penangkapan cahaya secara optimal untuk fotosintesis.

Sementara itu kelembaban tanah terjaga dengan perpaduan tanaman sayur- sayuran yang merambat. Demikian pula kesuburan tanaman ubi kayu yang didukung aplikasi pemulsaan.

Penanaman dilakukan dengan membenamkan turus baik langsung maupun tidak langsung. Setelah dibenamkan, turus ditarik ke atas agar tercipta ruang pada bagian bawah turus sehingga menciptakan kondisi aerasi yang optimal. Agar turus tahan terhadap lingkungan yang eksterim maka ukuran dan posisi turus perlu diatur. Ukuran turus pada musim barat lebih pendek dibandingkan ukuran turus pada musim timur karena pada musim barat, jumlah curah hujan relatif banyak sehingga peluang turus tumbuh lebih besar. Turus yang panjang ditanam pada musim timur karena jumlah curah hujannya relatif kecil. Turus padaRawu’a ditanam lebih tegak agar ubi dapat terbentuk dari setiap mata tunas yang terbenam sehingga menghasilkan ubi yang relatif besar. Pada lahan Welli’a, turus ditanam kurang tegak (agak landai) agar perkembangan ubi menurut permukaan batuan karena kedalaman tanah efektif sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan ubi yang terbentuk relatif panjang dan kurang besar jika dibandingkan ubi yang terbentuk pada Rawu’a. Turus ditanam pada jarak tanam tertentu karena perbedaan biofisik lahan. Jarak tanam pada Rawu’a lebih lebar dibandingkan dengan jarak tanaman pada lahan Welli’a. Hal ini disebabkan karena satu

Rawu’a untuk satu turus. Pada lahan Welli’a penanaman dilakukan pada bagian yang bertanah sehingga jarak tanah tidak teratur.

Pemelihaaan tanaman meliputi kegiatan pemupukan, pengendalian gulma dan pengendalian hama dan penyakit. Pemupukan merupakan tindakan untuk menambah kesuburan tanah. Sekarang ini penggunaan pupuk buatan tidak dijumpai pada tanaman ubi tapi menggunakan mulsa atau bahan organik. Pupuk lain yang digunakan adalah sisa pembakaran (abu) sebagai sumber hara utama dalam sistem usaha tani. Selain pupuk hijau dan pupuk kandang juga dimanfaatkan tanah di bawah kolong rumah sebagai sumber kesuburan. Tanah tersebut subur karena belum mengalami pencucian air hujan sehingga banyak mencadang unsur hara, juga merupakan akumulasi dari sampah-sampah rumah tangga yang mudah terurai dan kotoran ternak (ayam dan kambing). Hasil wawancara dengan petani responden menyatakan bahwa walaupun tidak memakai input luar (pupuk anorganik)

namun produksinya mampu mencukupi kebutuhan pangan keluarga terus- menerus. Untuk menambah kesuburan tanah maka dilakukan pemulsaan. Mulsa tersebut akan terdekomposisi oleh mikro organisme sehingga dapat dimanfaatkan tanaman.

Pengendalian gulma dilakukan selektif namun sekarang sudah ada masyarakat telah menggunakan herbisida dengan alasan praktis. Tapi sebagian besar masih dicabut atau memakai mulsa daun kelapa. Mulsa menimbulkan persaingan positif yang akan merangsang tanaman tumbuh dan mengurangi erosi selama hujan turun karena adanya kemampuan akar tanaman mengikat tanah. Pengendalian hama dan penyakit disesuaikan dengan jenis hama dan penyakit yang menyerang. Tindak agronominya adalah memilih kultivar ubi kayu yang tidak disukai oleh hama dan tahan terhadap penyakit. Kultivar ubi kayu yang tidak disukai hama adalahKalambe

dan Bogoro sedangkan kultivar yang disenangi adalah Basiteli meha. Upaya lain yang dilakukan adalah pemulsaan, pergiliran tanaman, pemberoan, tumpang sari, dan penggunaan musuh alami. Pemulsaan secara tidak langsung mengendalikan hama dan penyakit dengan memberi ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan melalui ketersedian air tanah di sekitar akar tanaman. Pergiliran tanaman dan pemberoan dapat memutuskan rantai makanan yang pada akhirnya memutuskan siklus hidup hama dan penyakit bila diikuti dengan pembakaran. Tumpang sari menyebabkan beragamnya tanaman yang dapat menekan perkembangan hama. Selanjutnya penggunaan semut sebagai musuh alami pada lahan Welli’a

mampu mengendalikan walang sangit. Karena itu, pemilihan pola tanam mampu menciptakan kondisi agar hama dan penyakit tidak berkembang. Petani menyatakan bahwa pola tanam Rawu’a lebih rentan penyakit dibandingkan pada lahan Welli’a. Secara agrosentris menunjukkan bahwa manusia, hama dan penyakit serta sistem pertanian dan hutan merupakan bagian dari suatu keseluruhan yang saling berhubungan satu sama lainnya sehingga diperlukan saling menghargai satu sama lain. Konsepsi ini tampak pada penggunaan mantra-mantra dalam mengendalikan hama dan penyakit.

Panen merupakan jaminan hidup petani karena merupakan akumulasi akhir dari proses usaha tani. Penanaman beragam verietas ubi kayu dengan mempertimbangkan umur panen dan prioritas konsumsi dalam satu petak

kebun adalah bentuk penjagaan bahan pangan. Di samping itu, untuk mencadang pangan petani mengolah lahan lebih dari satu tempat sehingga hasil panen ubi kayu dan daun sama pentingnya bagi keluarga. Hasil wawancara menunjukkan bahwa hasil panen (produktivitas) Rawu’a lebih tinggi dari pada lahanWelli’a.73 Hal ini disebabkan karena pada lahanRawu’a

dilakukan pengolahan tanah sehingga umbi dapat berkembang dengan baik sementara pada lahan Welli’a dilakukan pengolahan tanah minimum bahkan tanpa pengolahan. Selain itu rendahnya produktivitas ubi pada lahan Welli’a

disebabkan lahan yang ada sekarang merupakan lahan yang masa beronya semakin singkat. Saat ini intensifikasi lahan pertanian semakin tinggi dengan melakukan berbagai macam pengembangan teknologi seperti menanam sayuran. Untuk memacu dan mempertahankan stabilitas hasil dan meningkatkan status sosial, masyarakat menyelenggarakan Sampe’a dan ritual adat Bhangka mbule-mbule74 agar terjaga hubungan dengan sesama, sumberdaya alam dan Yang Maha Kuasa.

Kelestarian Teknologi Lokal

Dalam hal teknologi lokal, masyarakat Mandati dan Wanci tidak terlalu berbeda. Dalam hal ini akan diketengahkan kelestarian pengetahuan lokal yang masih dianut dalam masyarakat kedua daerah ini. Kelestarian ekologi berarti bahwa kualitas sumber daya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan (Gips 1986dalam Reijntjeset al.1999). Untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan ekosistemnya, peranan pengetahuan lokal masyarakat dalam sistem pertanian berkelanjutan dibahas pada aspek konservasi. Konservasi adalah kelestarian sumberdaya yang dikelola tanpa batas waktu penggunaan atau berkelanjutan. Lahan dimanfaatkan seperlunya agar unsur hara dapat digunakan pada musim tanam berikutnya. Kegiatan petani selalu berdasarkan pada fenomena alam untuk mempertahankan keberlanjutan sumberdaya lahan seperti pemilihan

73

Didukung penelitian Harvyadin 2004. 74

Sampe’a adalah lomba kualitas dan kuantitas hasil kebun. Sampe’a banyak dilakukan oleh

masyarakat Wanci.Bhangka mbule-mbule adalah semacam perahu kecil yang dimuati dengan

hasil-hasil kebun kemudian lepas di laut. Acara Bhangka mbule-mbule sering dilakukan

masyarakat Mandati, merupakan ritual adat sebagai kesyukuran terhadap hasil yang diberikan Yang Maha Kuasa. Bahan-bahannya diambilkan dari hasil hutan dan hasil panen.

lahan, penentuan waktu tanam sampai panen pada lahan Welli’a. Fungsi utama Welli’a adalah menyediakan panjatan tanaman kacang merah dan umbi-umbian (Uwi), mempercepat suksesi, sebagai cadangan pakan ternak, kayu bakar, dan sumber obat-obatan, dan pengelolaan iklim mikro.

Percepatan suksesi terjadi karena vegetasi tidak ditebang habis, sehingga tunas baru dapat tumbuh. Vegetasi dalam Welli’a dapat dipangkas untuk pakan ternak atau sumber mulsa. Welli’a juga digunakan sebagai tanaman panjatan atau cadangan kayu bakar. Lahan Welli’a memiliki pohon- pohon besar sebagai bahan bangunan rumah dan tempat bertenggernya berbagai jenis burung (Toropanga’a) sehingga di sekitarnya terdapat kotoran burung dan sisa makanan (biji-bijian). Kotoran dan sisa makanan burung dapat menyuplai hara dan sumber benih. Benih tersebut dapat meningkatkan diversitas tumbuhan. Menurut petani, Toroponga’a dalam Welli’a dapat mengurangi populasi ular dan tikus. Iklim mikro dikelola dengan keberadaan

Toroponga’a pada pohon dengan mengurangi suhu, kecepatan angin, mencegah penguapan tanah, dan menyimpan air hujan. Di samping itu pengelolaan iklim yang baik dapat mereduksi serangan jamur.

Keberlanjutan ekonomi dapat diukur bukan hanya dalam produk usaha tani langsung namun juga dalam hal fungsi seperti melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan resiko (Gips 1986 dalam Reijntjes et al. 1999). Kelestarian ekonomi berarti petani mendapatkan penghasilan yang cukup untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan dalam sistem usaha tani. Karena itu sistem pertanian semestinya memberikan jaminan hidup sehingga petani mampu merancang masa depan keluarga. Bagi petani lahan sempit, keamanan pendapatan adalah penting mengingat keberlanjutan hidup bergantung padanya (Reijntjes et al. 1999). Pendapatan rumah tangga dari usaha tani dirasakan cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Belum terjadi ketergantungan pada pupuk anorganik, obat-obatan pelindung tanaman, dan mekanisasi sehingga biaya produksi rendah. Peralatan mekanisasi yang digunakan adalah cangkul, sumber bibit berasal dari lahan mereka, serangan penyakit dicegah dengan pengasapan.

LahanWelli’a memungkinkan panen lebih dari satu kali dalam setahun. Lahan ini juga ditanami tanaman merambat. Praktek ini secara ekonomi menguntungkan dan meminimalkan resiko kegagalan panen karena

beragamnya tanaman. Untuk memperkuat ekonomi, keluarga petani juga mengolah lahan Rawu’a yang dapat dipanen terus-menerus sehingga cadangan pangan tetap tersedia sepanjang tahun. Nilai jual produksi (hasil panen) digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan dan dana sosial (Hopobhoka) pada acara keluarga. Jaminan ekonomi diperkuat dengan meramu hasil hutan, memungut hasil laut dan memelihara ternak.

Pemungutan hasil laut seperti kerang-kerangan (Kiwolu), bulu babi (Lei), dan ikan (Ika) dengan menggunakan alat tradisional. Alat tangkap ikan yang digunakan adalah jaring (Dhari), pancing (Kabua), bubu (Polo), dan racun ikan botani seperti Towole dan Pandita. Pemungutan hasil laut tetap memperhatikan fenomena dan gejala alam untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya. Saat ini, sebagian masyarakat menilai kegiatan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga dijadikan alasan memunggut hasil laut dengan membom. Hasil ternak dijual menjelang hari-hari besar seperti ayam dan kambing. Ternak tersebut di budidayakan secara tradisional. Ayam dilepas di sekitar rumah dan kambing ditambat di bawah kolong rumah atau dibuatkan kandang berbentuk rumah kecil (Laiga) di ladang.

Kelestarian sosial budaya merupakan bentuk integritas way of live

dalam sistem pertanian sebagai kebudayan bertani yang menjamin interaksi sosial. Karena itu peran pengetahuan lokal masyarakat dalam sistem teknologi pertanian berkelanjutan ditinjau dari sistem sosial budaya dalam interaksi masyarakat dan Sara pada penguasaan lahan pertanian dan jaminan produksi. Peran Sara menyangkut dua aspek yaitu aspek spiritual dan aspek sosial. Kedua aspek tersebut membuat harmonis hubungan Sara

dan masyarakat dalam sistem pertanian. Hubungan tersebut ditandai dengan citra dan mitos Sara sebagai wakil dari kekuatan supranatural yang menguasai tanah sehingga keputusan Sara bersifat mutlak dan mengikat. Bagi masyarakat yang tidak patuh adalah keluar dari wilayah hukum adat. Hal ini menyebabkan kharismatikSara tetap lestari.

Keberhasilan Sara dalam mempertahankan eksistensinya sebagai pusat kekuasaan bergantung pada surplus produksi yang dihasilkan menurut kemauan dan kemampuan petani. Hal ini karena anggota Sara, disamping

sebagai pengatur sumberdaya alam, juga sebagai dukun tanaman (Parika) sehingga harus mempunyai “keampuhan ilmu”. Itulah sebab mengapa anggota Sara harus diangkat dalam garis keturunannya. Karena jika hasil panen berkurang, gagal atau adanya wabah hama dan penyakit maka pejabatSara/kepala desa yang bertanggungjawab. Jika panen berhasil maka hasil panen terbaik akan diberikan kepada Sara. Namun bila panen gagal