• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

V. STRATEGI ADAPTASI MASYARAKAT PULAU WANGI-WANG

5.1. Organisasi Sosial

5.1.3. Hubungan Sosial dan Pola Pemukiman

Masyarakat Wangi-Wangi adalah masyarakat yang elegan dan beragama Islam. Pergaulan dibangun sejak zaman Kesultanan Buton membuktikan ciri khasnya yang suka bergaul, rajin, kerja keras, dan toleran, namun sangat hati-hati. Masyarakat saat ini terdiri atas berbagai suku bangsa.56 Bagaimana toleransi dan hubungan sosial dibangun ketika melihat bibit konflik dalam masyarakat, sangat tergantung pada sistem sosial.

Secara umum, hubungan sosial mengacu pada sistem sosial di Kesultanan Buton.57 Namun masyarakat Mandati melakukan penyederhanaan agar sistem sosial terpelihara tanpa ada perbedaan sosial yang tajam dalam masyarakat, sehingga hak-hak masyarakat dalam akses sumberdaya (Kaindea) adalah sama. La Ode Sinapu sebagai Meantu’u

Mandati pertama memulai sistem pemerintahan dengan mengedepankan persamaan hak masyarakat terutama masyarakat lokal. Setelah Meantu’u

Mandati ke-3 dipegang Waopu Dengko, identitas masyarakat mulai diangkat. Wewenang dan kekuasaan tidak tunduk secara mutlak di Kesultanan Buton tetapi “merasa” sejajar sesuai dengan derajat La Ode Sinapu sebagai turunan bangsawan Buton yang pernah berjasa kepada kesultanan. Pelapisan sosial dalam masyarakat Mandati hanya terbagi tiga lapisan, yaitu: bangsawan

56

Wawancara dari berbagai sumber bahwa penerimaan “orang luar” sampai ke perkawinan asal mempunyai keyakinan (agama) Islam. Hal ini lain ada hubungan dengan berbagai suku terdapat pada variasi genetika manusia (warna kulit, bentuk rambut) dan logat bahasa. Suku bangsa

yang sudah ada di Wangi-Wangi saat ini misalnya dari Maluku, Cia-Cia (Suai), Wolio, Moronene,

Muna, Flores, Jawa, Bugis dan sebagainya. 57

Schoorl (2003:9) bahwa dalam sistem sosial masyarakat Buton terdapat empat tingkatan lapisan

sosial dalam masyarakat, yakni Kaomu (bangsawan elit),Walaka (bangsawan biasa),Papara

(rakyat merdeka) dan Batua (budak). Setelah tahun 1906 budak menjadi orang merdeka.

Namun secara informal pelapisan masih ada berkenaan dengan perkawinan. Sejak awal, dalam masyarakat Mandati tidak dikenal budak.

(Moori), pertengahan (Tonga-tonga) dan rakyat biasa (Maradika). Bangsawan terdiri atas dua golongan, yaitupertama, turunan La Ode Sinapu dari Mandati yang berhak atas urusan pemerintahan adat, dan kedua, turunan La Ode Sinapu dari Wolio yang berhak atas urusan agama. Golongan pertengahan (Tonga-tonga) adalah masyarakat kebanyakan namun mempunyai jasa atau sudah mempunyai kekuasaan sebelumnya. Golongan ini diakomodasi dalam sistem kabinet Meantu’u Mandati dan secara turun temurun akan tetap berhak berada dalam golongannya. Rakyat biasa (Maradika) adalah golongan masyarakat yang bukan berasal dari mereka yang mempunyai kekuasaan atau jasa sebelumnya. Namun mereka tetap dapat diberikan jabatan dengan pangkat yang rendah seperti petugas keamanan (Dhaga). Pelapisan sosial ini diturunkan disamping melalui hubungan darah (anak) juga melalui hubungan sosial (Santuha). Secara vertikal juga terlihat pada hubungan Kadie Mandati dengan Kesultanan Buton yang bersifat “semi- otonom khusus” karena tidak membayar pajak.58 Dalam sidang Dewan Kesultanan Sarano Wolio, Kadie Mandati tidak ada kursi khusus karena jarangnya menghadiri sidang. Namun demikian ketika menghadiri sidang,

Meantu’u Mandati dapat duduk diposisi mana saja karena berkaitan dengan keistimewaanKadieMandati.

Dalam hubungan kekerabatan, masyarakat di Wangi-Wangi tidak banyak berbeda. Tidak dibedakan antara hubungan kekerabatan garis bapak atau ibu juga tidak berbeda karena jenis kelamin. Kedua daerah ini terdapat tingkatan kekeluargaan sepupu yaitu sepupu pertama (Tolida), kedua (Topendua), ketiga (Topentalu) dan keempat (Topotuha) atau Topenaba59

(Schoorl 2003). Tetapi dalam perkawinan arti hubungan kekerabatan antara dua daerah ini berbeda. Sampai sekarang perkawinan di Mandati antara

Tolida diperkenankan terutama untuk keluarga bangsawan. Kalau di Wanci perkawinan Tolida dihindari dan lebih disukai perkawinan Topendua atau

Topentalu. Perkawinan yang memperhatikan asal–usul dan hubungan kekerabatan dimaksudkan agar harta dan pusaka orang tua dan leluhur tidak

58

“Semi-otonom khusus” disini adalah dalam urusan sumberdaya diatur sendiri, tetapi urusan pemerintahan tetap dalam sistem kesultanan. Juga ada hak istimewa untuk tidak membayar

pajak. Ini terjadi jikaMeantu’u Kadie adalah keluarga keraton yang di utus kesultanan,namun

mempunyai kewajiban membela kesultanan dari ancaman luar (Schoorl 2003). 59

Topenabahanya dikenal di Keraton Buton (Ba’adia), pusat Kesultanan Buton,Topenaba adalah sepupu tingkat empat.

berpindah. Termasuk ilmu dan sifat kebangsawanan tidak luntur. Laki-laki di Mandati sejak kecil sudah diupayakan adanya pertunangan semu (Potandai) dengan perempuan keluarga dekatnya. Setelah remaja, dimulai pertunangan yang sebenarnya (Heporae)60 sampai si gadis dan pemuda sudah siap kawin lahir-batin. Sejak saat itu tanggungjawab keselamatan gadis dan kebutuhan peribadinya sudah sebagian menjadi tanggungjawab pihak laki-laki tunangannya. Di Wanci tidak terlalu mempermasalahkan turunan dan pusaka termasuk dalam pertunangan semu. Bagi orang Wanci lebih mengutamakan kapasitas laki-laki atau perempuan. Orang Wanci lebih fleksibel dalam hubungan perkawinan tanpa membedakan asal-usul. Walaupun juga tetap disukai perkawinan antara keluarga terutama dalam status sosial yang sama.

Untuk mempertahankan hubungan sosial kekerabatan (Potuha), masyarakat Mandati sangat konservatif dan selektif terhadap pengaruh luar namun ke dalam sangat akrab. Dalam kehidupan sosial, tolong-menolong (Hopo hamba) masih sangat kuat jika ada keluarga atau tetangga yang melakukan hajatan. Besarnya Hopo hamba dilakukan sesuai dengan kemampuan. Kemeriahan hajatan orang miskin dan orang kaya relative sama. Ukurannya adalah sejuhmana yang bersangkutan selalu menghadiri dan berpartisipasi dalam hajatan orang lain. Hajatan terasa meriah karena orang-orang datang sambil membawa berbagai keperluan.61 Orang Mandati dan Wanci selalu saling menghadiri kalau ada acara, karena kedua masyarakat ini masih mempunyai hubungan keluarga. Namun hajatan di Mandati “relatif” lebih meriah dibandingkan dengan hajatan di tempat lain. Bahkan keluarga dari luar daerahpun akan menyempatkan diri datang sebagai balasan atas bantuan atau kehadiran sebelumnya. Balasan terhadap bantuan yang diberikan tergantung pada kemampuan, yaitu dapat berupa barang atau uang atau jasa (waktu kerja). Tapi yang lebih ditekankan adalah kehadiran (Ombo). Jika tidak sempat hadir maka bantuan dapat dititip atau berusaha datang pada kesempatan lainnya. Untuk mengontrol perilaku sosial, dikenal dengan nama “Sikola tandai”, yaitu sistem kontrol terhadap

60

Untuk mendapatkan legitimasi sosial yang lebih luas, pertunangan diacarakan setiap tahun oleh

masyarakat adat/desa melalui kesenian Kabuenga. Kabuenga berfungsi: ajang silaturahmi;

pertunjukan keberhasilan dalam usaha (laki-laki); legitimasi hubungan kekerabatan dan pertunangan; pertemuan muda-mudi.

61

Pra hajatan di Mandati sudah dimulai sejak tujuh hari sebelum hari H terutama pada acara perkawinan atau sunatan/pingitan remaja.

perilaku seseorang yang akan terekam secara sosial sampai turunannya. Perilaku yang baik akan mendapatkan simpatik dan nama baik walaupun sudah meninggal dunia dan sebaliknya perilaku yang buruk akan mendapatkan “gelar sosial” sesuai dengan perbuatannya.

Dalam hubungan sosial, Mandati lebih tertutup62 pada orang yang belum dikenal. Orang Mandati hanya terbuka kalau berkaitan dengan hubungan dagang (ekonomi). Sementara Masyarakat Wanci lebih terbuka dengan dunia luar terutama dalam menjalin hubungan sosial seperti perkawinan. Orang Wanci tidak mempermasalahkan dengan siapa mereka kawin yang penting satu agama (Islam), bertanggungjawab dan menafkahi keluarga. Orang Wanci lebih suka anak perempuannya kawin dengan orang yang mempunyai pekerjaan tetap seperti PNS, polisi atau tentara. Sementara di Mandati umumnya lebih suka perkawinan dengan keluarga dekat dan dengan pekerjaan dagang. Alasannya agar harta dan pusaka tidak jatuh ke tempat lain serta hubungan kekeluargaan tetap terjaga. Variasi hubungan sosial antara Mandati dan Wanci sering kali menimbulkan streotipe, namun tidak menimbulkan konflik.

Di pasar telah menjadi media membangun kekerabatan dari proses komunikasi untuk berkenalan. Seperti dituturkan Musni dipertegas oleh La Ode Masihu bahwa kunci membangun kebersamaan dan kekeluargaan adalah Hopo’ema (saling menyapa). Oleh karena itu, dengan sering menyapa, orang merasa bersaudara. Apabila orang tidak saling menyapa, maka dianggap telah membangun “permusuhan”. Dari Hopo’ema dapat berlanjut ke suatu pengakuan sebagai satu keluarga. Hubungan ini sama dengan limaFilsafat Buton63 yang dibangun dalam masyarakat Wangi-Wangi.

Pertama, Poma-maasiaka (saling kasih-mengasihi); kedua, Poangka- angkataka (saling hormat-menghormati); ketiga, Pomae-maeaka (saling takut); keempat, Popia-piara (saling pelihara-memelihara); dan kelima, Pobinci-binci kuli (saling tenggang rasa dan merasa sama senasib). Filsafat

62

Kalau ada kepentingan orang dari luar komunitas (daerah), maka tidak serta merta disetujui. Demikian pula jika ingin bertamu atau bertunangan dengan gadis, maka harus ada pertemuan informal antara keluarga kedua belah pihak sebagai penjajakan dan penyelidikan lebih jauh. 63

Filsafat Buton lahir dari “Martabat Tujuh”, yaitu konstitusi dasar kesultanan yang dikeluarkan

pada masa Sultan Muhammad Idrus (1824-1851). Ideologi ini dikembangkan untuk mendorong

kelompok bangsawan (Kaomu dan Walaka) agar bekerja dengan ikhlas demi kepentingan

Buton menjadi dasar bagi masyarakat diKadie untuk membangun solidaritas dan membela kepentingan negara (kesultanan).

Hubungan sosial juga tercermin dari pola pemukiman. Umumnya posisi rumah selalu menghadap ke jalan umum dan setiap rumah selalu dilengkapi dengan teras sebagai tempat santai atau tempat bermain anak-anak bersama teman-temannya. Dari kondisi itu ternyata telah berperan besar dalam membangun kekerabatan masyarakat setempat. Musni menuturkan bahwa dengan kita bermain di teras rumah, apabila ada orang atau keluarga kita yang lewat di jalan, maka akan mudah melihatnya. Di saat itulah mereka saling sapa (saling tegur). Biasanya orang duduk di depan rumah akan menyapa ” Tawila kua umpa” (mau ke mana)”. Atau orang yang lewat akan menyapa “I hesapairamo” (sedang apa). Biasanya yang menyapa pertama adalah orang melihat lebih dulu atau orang yang lebih muda usianya. Proses perkenalan ini sering dibawa sampai kehubungan perkawinan yang memunculkan hubungan kekerabatan baru. Media lain untuk membangun hubungan kekerabatan adalah pada saat upacara adat, perkawinan, khitanan, kenduri atau pesta kesenian rakyat yang banyak memerlukan bantuan tenaga. Dalam bahasa pergaulan dikenal adanya tingkatan bahasa bergantung pada situasi seperti dalam prosesi adat, antar orang tua-anak, sesama umur, sederajat maupun antara suku. Jika ada yang ditegur, seringkali kali dilakukan dengan cara sindiran bergantung status sosial dan umur yang ditegur. Memanggil yang orang lainpun ada tata caranya tergantung pada status, kedekatan kekerabatan, usia dan sifat perbuatannya dalam masyarakat.64

Konsekuensi dari sistem sosial berpengaruh pada pola pemukiman dalam membentuk hubungan kekerabatan. Kuntowijoyo (2002) menyatakan bahwa pemukiman masyarakat mengikuti cara hidup dan tingkat teknologi yang digunakan. Awalnya Mandati dan Wanci mempunyai asul-usul yang sama, namun dalam perkembangannya membangun pola pemukiman yang berbeda. Keluarga di Mandati mengelompok dan Wanci berpencar. Awalnya

64

PanggilanWaopu…..: bagi orang yang sangat dituakan/tokoh legendaris;I kita: kata ganti untuk

orang yang dihargai/lebih tua (tapi tidak mempunyai hubungan keluarga;Waama/Ija/Waina….:

orang tua yang dihormati oleh rumpun keluarga; Teama/Teina u’…. (bapak/ibunya….): orang

yang sudah punya anak/keluarga; Panggilan dengan namanya: jika orang yang lebih muda. Panggilan dengan nama binatang: untuk orang dimarahi; Panggilan dengan sifat perbuatannya: orang yang melakukan perbuatan tercela.

kedua masyarakat ini bercocok tanam berladang berpindah dan sering berpindah-pindah mengikuti sumber air dan mencari lahan-lahan yang masih luas. Kelompok rumah yang dibangun terpencar-pencar dan lebih menyerupai rumah kebun (Laiga) dengan tiang yang tinggi, atap daun kepala atau alang-alang kering, dinding dari bambu (jelaja).

Pada abad ke-19, masyarakat Mandati sudah mulai menetap permanen di Kampung Larutogo dan Wanci di Kampung Orongi dimana pemukiman mulai ditata secara teratur. Rumah-rumah dibangun 1,5 meter dari atas tanah yang terbuat dari balok-balok yang kokoh dengan beberapa jendela. Atapnya dari sirap, daun enau. Seringkali di depan atau di samping rumah terdapat beranda terbuka untuk istirahat di sore hari atau menerima tamu kalau tamu tidak masuk ke dalam. Semakin kompleks struktur rumah menandakan status dan kedudukan pemiliknya dalam masyarakat. Abad ke-20, bentuk rumah masyarakat semakin kompleks dengan atap bata atau seng berdasarkan bentuk rumah adat Buton . Rumah tersebut disebut dengan “Wunua kau” (rumah kayu). Namun seiring dengan perkembangan ekonomi pasar tahun 1980an, kebanyakan rumah kayu berubah menjadi rumah permanen atau disebut “Wunua watu” (rumah batu (Gambar 10).

Gambar 10 Perubahan bentuk rumah masyarakat di Pulau Wangi-Wangi. Dari rumah kayu (Wunua kau) (foto kiri) menjadi rumah batu (Wunua watu) (foto kanan) setelah ekonomi pasar berkembang (sumber: Nur Arafah 2008)

Berdasarkan polanya, pemukiman penduduk Mandati dan Wanci adalah sama dengan mengelompok kemudian mengikuti alur sepanjang jalan yang terbentuk dari beberapa rumah (Wunua) dengan jumlah yang berkisar antara

25-50 buah rumah. Kampung dan akhirnya menjadi desa yang terbentuk dan dihuni oleh orang yang masih mempunyai ikatan kekerabatan (kekeluargaan), tapi di Wanci tidak seluruhnya65 (Rabani 1997). Terbentuknya kampung biasanya didasarkan pada ada atau tidaknya tanah warisan keluarga sebelumnya di perkampungan itu. Kalau tidak ada, maka akan mencari tempat lain yang ada tanah keluarga (Monea’a). Istilah perbatasan (Posela’a) dalam masyarakat setempat sebagai batas tanah dalam perkampungan menunjukkan tidak adanya hubungan kekerabatan di antara penduduk suatu perkampungan di daerah itu.

Karena pola pemukiman mengikuti bentuk jalan, maka bentuk pemukiman umumya persegi. Makin jauh dari jalan menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan semakin jauh. Pola pemukiman ini masih dapat kita saksikan di Kampung Larutogo Kelurahan Mandati I Wangi-Wangi Selatan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11 Pola pemukiman masyarakat di Larutogo Mandati

Gambar 11 menggambarkan pola pemukiman masyarakat Mandati setelah pranata sosial budaya dan ekonomi diatur. La Maliki66 melukiskan bahwa dahulu di Kampung Larutogo terdapat batas-batas sosial. Laru Kota (A) merupakan kawasan inti dari keluarga bangsawan termasuk kuburan leluhur Mandati (La Ode Sinapu). Dulu kawasan ini dibentengi (pagar) batu-

65

Di Wilayah Adat Wanci banyak desa/kampung di pesisir yang masyarakatnya tidak mempunyai hubungan darah maupun kekerabatan.

66

La Maliki adalah Lurah Mandati I dan masih keluarga pemangku adat Mandati. Beliau lahir dan

tinggal bersama orangnya tuanya di Laru Kota Kampung Larutogo (Larutogo = dalam kampung).

C

B A

Keterangan :

A = Laru Kota (benteng/pagar batu) B = Larutogo (dalam kampung) C = Pemukiman Umum

batu alam dengan ketinggian 75-100 cm dengan luas sekitar 40 x 40 m2. Daerah A tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang, kecuali keluarga A dari areal B atau dari luar kalau ada urusan penting. Dalam pagar batu terdapat rumah tempat tinggal dan di sampingnya terdapat kuburan tua para leluhur yang keluarganya yang mendiaminya turun-temurun. Kampung Laru Togo (dalam kampung) (B) merupakan kawasan penyangga yang dihuni oleh keluarga turunan pertama dari A. Areal ini mempunyai luas sekitar 80 x 80 meter dan di sekitarnya terdapat kuburan tua leluhur mereka yang berdampingan dengan rumah keluarga. Kawasan C merupakan pemukiman penduduk masyarakat umum yang masih mempunyai hubungan kekerabatan namun tidak sedekat dengan keluarga di areal A. Pada kawasan C ada juga keluarga bangsawan yang kawin-mawin dengan orang lain atau tidak tertampung di B. Areal C merupakan pemukiman seluruh warga termasuk masyarakat. Daerah A dan B merupakan dataran berbatu dengan tanah warna hitam yang mempunyai elevasi 3-4 meter dari permukaan laut. Daerah C merupakan wilayah luar pemukiman bangsawan dengan elevasi 0,5-1 meter dari permukaan laut pasang tertinggi. Pola pemukiman di Mandati mirip dengan pola Kaindea-Koranga (hutan-kebun) dimana Kaindea sebagai inti dan kebun masyarakat di sekitarnya sebagai plasma.

Posisi rumah tidak bergantung pada salah satu arah tertentu, akan tetapi bergantung pada posisi jalan karena rumah menghadap kearah jalan. Pada umumnya setiap rumah menghadap ke jalan umum yang kebanyakan rumah dilengkapi dengan ruang terbuka di depannya sebagai tempat peristirahatan awal sebelum masuk ke dalam rumah. Ruang ini dimanfaatkan untuk ruang tunggu “penerimaan tamu” atau tempat bermainnya anak-anak. Sekarang ruang seperti itu dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah teras rumah. Di samping itu, rumah dibuat dua pintu yakni pintu depan dan belakang. Pintu depan digunakan untuk tempat keluar masuk setiap saat terutama untuk tamu. Sedangkan pintu belakang sebagai pintu alternatif ketika pintu depan tidak dapat dilalui. Sebagai contoh, bila anak-anak ingin keluar-masuk rumah tetapi ada tamu di ruang depan, maka alternatifnya melalui pintu belakang. Pemukiman secara umum tidak banyak berbeda, yakni memilih lokasi yang dekat dengan sumber air dan lahan kebun.

5.2. Sistem Teknologi