• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

IV. GAMBARAN UMUM DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN PULAU WANGI-WANG

4.4. Tekanan Penduduk, Intervensi Pasar dan Dinamika Politik 1 Tekanan Penduduk

4.4.3. Dinamika Politik

Dinamika politik adalah perkembangan peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang mempengaruhi pengelolaan hutan baik langsung maupun tidak langsung. Pengelolaan hutan di Indonesia termasuk hutan masyarakat telah mengalami perkembangan dan perubahan karena dinamika politik (Awang 2004). Menurut Salim (2006:18) bahwa sejarah perkembangan perundang-undangan di bidang kehutanan di Indonesia tidak lepas dari masa lampau. Sejarah tersebut bermula sejak zaman Pemerintah Hindia Belanda, zaman Jepang dan zaman kemerdekaan.

Dinamika politik pengelolaan hutan di Pulau Wangi-Wangi khususnya di

Kadie tidak terlepas dari dinamika politik sejak zaman kesultanan dan VOC, Orde Lama, Orde Baru dan zaman reformasi. Pada zaman Kesultanan Buton perhatian terhadap sumberdaya hutan merupakan hal utama karena terkait dengan manfaat hutan secara ekonomi dan ekologi dalam mendukung kesuburan lahan. Namun perhatian tersebut juga diiringi dengan intervensi politik kesultanan. Menurut Schoorl (2003:95) bahwa berbagai cara agar

Kadie tidak bersatu melawan pusat kekuasaan adalah memberikan tugas dan fungsi yang saling berbeda, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam, sistem ekonomi dan orientasi politik. Tujuannya agar kelak Kadie tidak bersatu melawan kesultanan. Puncak intervensi politik Buton terhadap Kadie

ketika VOC menjalankan politik dagang dengan menekan Kesultanan Buton. Intervensi politik dagang Belanda menurut Stapel (1922:124) dalam Schoorl (2003:61-63) bahwa persetujuan VOC dengan Buton tanggal 31 januari 1667 yang sangat mendikte Buton dan menimbulkan kemarahan36 Kadie. Perjanjian tersebut antara lain bahwa pohon-pohon rempah-rempah (cengkeh dan pala) di Kepulauan Tukang Besi harus dibinasakan.

Sejak tahun 1960 adalah masa peralihan pemerintahan adat ke sistem distrik dan desa dimana peranan kesultanan dihapuskan sehingga perhatian pemerintah terhadap hutan mengalami kemunduran dan aturan adat mulai diabaikan. Pembukaan Motika Lebho tahun 1968 di Longa Wanci menjadi bukti wewenang adat tidak diakomodasi negara.37 Kelembagaan pemerintah desa yang seharusnya melanjutkan fungsi Sara mulai terabaikan. Paling nyata dari kebijakan pemerintah ini adalah peralihan kewenangan pemerintahan adat (Meantu’u) ke negara (kepala desa).

Permasalahan Kaindea juga berkaitan dengan dinamika politik lokal pada zaman Orde Lama dimana pemerintahan adat banyak terlibat dalam konflik politik pada pemilu pertama tahun 1955. Konflik politik nasional berimbas ke lokal dengan terjadinya pemberontakan DI/TII, dimana banyak

36

Hasil wawancara dengan Heruma (2007); dan La Ode Moane (2008) bahwa akibat dari

perjanjian tersebut, Meantu’u Mandati tidak setuju. Implikasinya: keinginan yang kuat agar

status Kadie Mandati dipegang turunan asli Mandati; tidak mau tunduk pada kebijakan

kesultanan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam Mandati; sejumlah tatanan

Buton seperti gelar bangsawan diperhalus; tidak menghadiri sedang tahunan Dewan Kadie di

Wolio. Hal demikian berlangsung sampai Meantu’u terakhir (La Ruku). Sikap ini menjadikan

masyarakat Mandati yang selalu kritis dan mandiri, namun sangat menjunjung tinggi kejujuran dan kesepakatan sebagai simbol kehormatan. Kemarahan masyarakat Binongko juga terjadi akibat perintah penghancuran cengkeh dan pala di Kepulauan Tukang Besi. Perlawanan rakyat Binongko di pimpin Kapitan Waloindi (1673-1680) terhadap VOC merupakan bukti adanya penentangan kebijakan tersebut (Fitriyah 2005).

37

Pada tahun 1968 terjadi pembukaan hutanMotika sombu waliullah (Motika Lebho) di Longa

untuk lahan kebun olehKaryantiga (persatuan veteran) tanpa konfirmasi ke Kepala Kampung.

Pembukaan lahan ini banyak diikuti oleh Warga Longa dan Patuno dengan mengatasnamakan

Karyantiga. Dulu, Wilayah Longa Wanci memiliki lima titik hutan, namun semenjak tahun 1943

sudah mengalami pengalihan fungsi menjadi kebun (ladang berpindah). Hutan Motika Lebho

merupakan titik hutan yang masih tersisa, yang dalam kenyataannya mengalami tekanan

(eksploitasi) dari penduduk setempat yang diawali oleh kebijakan Saradi Desa Longa untuk

memberikan hak kepemilikan lahan di pinggiran hutanMotikaLebho kepada para anggotaSara.

Maksud kebijakan ini dilakukan untuk menutup akses warga Patuno yang melakukan konversi menjadi lahan perkebunan peribadi. Dalam perkembangannya, kebijakan ini menjadi penyebab

rakyat dan petinggi Buton dianggap memihak pemberontakan. Akibat pengejaran tentara, banyak tokoh masyarakat Mandati lari ke hutan-hutan sebagai tempat persembunyian. Sebaliknya Meantu’u Wanse minta perlindungan di Keraton Wolio sehingga terjadi kekosongan kekuasaan. Akibatnya kontrol sumberdaya tidak berjalan. Contohnya adalah perambahan hutan oleh masyarakat tidak mendapat teguran dariSaraWanci.

Peralihan sistem dari distrik ke desa di Mandati tidak menimbulkan masalah karena kepala desa masih turunan dari Meantu’uMandati sehingga kontrol sumberdaya tetap berjalan. Sampai saat ini pengangkatan kepala desa atau lurah di Mandati sebagai pusat pengendalian adat masih mempertimbangkan keturunan sehingga ketaatan masyarakat pada aturan adat dalam mengelola sumberdaya hutan tetap terjaga. Sebaliknya di Wanci, peralihan dan transisi kekuasaan sudah tidak mempertimbangkan turunan sehingga kontrol sosial dan sumberdaya tidak berjalan. Lebih parah lagi kerusakan Kaindea di Wanci justru dilakukan oleh keluarga Sara yang diikuti masyarakat.38 LahanKaindea di konversi menjadi kebun dan kayunya diambil untuk perkakas rumah. Padahal sesuai dengan aturan adat, pemanfaatan

Kaindea tidak boleh diambil kayu ataupun dikonversi lahannya.

Sebelum berlakunya UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, terdapat interaksi antara Sara tradisional,39 masyarakat dan alam. Seperangkat nilai-nilai anutan (norma) yang ada dalam komunitas ditegakkan oleh lembagaSara yang kharismatik dan disegani. Namun dengan introduksi UU tersebut berimplikasi pada terbentuknya organisasiSara Modern dengan nilai-nilai anutan yang sebagian sudah membias. Sara Modern hadir memporak-porandakan pondasi nilai-nilai yang dipegang teguh oleh komunitas. Kegagalan ini terlihat pada beberapa wilayah adat dimana Sara

Modern tidak “dipercaya” dalam peran kemasyarakatan. Menurut masyarakat bahwa kegagalan Sara ini diawali dengan munculnya inkonsistensi dan komitmen yang lemah dalam menegakkan aturan adat yang selama ini

38

Wawancara dengan La Ode Baniru (Juni 2008) dan La Ode Masihu (September 2008) bahwa

modus perambahan dilakukan dengan pembakaran kebun sekitar Kaindea, sehingga batas

Kaindea berdasarkan jenis tanaman akan menjadi hilang. Semua responden dari Wanci membenarkan hal tersebut.

39

Sara tradisional merupakan istilah dariSara yang diangkat dan mengikuti sistem pemerintahan

adat. SedangkanSara modern adalahSara yang diangkat oleh kepala desa dan lebih banyak

dipahami dan dihormati. Sebaliknya di Mandati walaupun peran Sara sudah dilemahkan namun kepala desa bersama Sara Mesjid dan keluarga tetap mengendalikan urusan adat, agama dan pemerintahan dengan memelihara modal sosial dalam masyarakat. Modal sosial membuktikan bahwa masyarakat dapat memelihara sumberdaya hutan seperti masyarakat Kasepuhan, Banten Kidul (Suharjito dan Saputro 2009).

Dinamika politik eksternal dengan penghapusan lembaga adat bukan satu-satunya yang menyebabkan rusak dan terancamnya hutan di Pulau Wangi-Wangi, tetapi juga masalah kebijakan pemerintah daerah setelah menjadi daerah otonom (Kabupaten Wakatobi). Sejak Wakatobi mekar dari Kabupaten Buton tahun 2003, tekanan terhadap sumberdaya hutan semakin besar. Kebutuhan lahan untuk perkantoran, dan berbagai fasilitas umum lainnya serta dan perumahan menjadikan konversi lahan semakin tinggi. Beberapa masyarakat menjual tanahnya sehingga menjadi ancaman untuk mengkonversi hutan secara diam-diam atau memperebutkan tanah warisan keluarga. Akibatnya memicu konflik antar keluarga.40

Program penghijauan yang pernah dilakukan pemerintah tidak berhasil.41 Kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) Wakatobi lainnya dalam kurun waktu tiga tahun (2005-2008) yang melahirkan 96 Perda. Tetapi dari jumlah tersebut, tidak satupun Perda yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan. Perda yang dihasilkan banyak berkaitan dengan retribusi/pajak, pemekaran desa/kecamatan dan susunan organisasi dan anggaran. Saat ini kebijakan Pemda diarahkan pada sektor pariwisata, perikanan dan kelautan. Tujuannya di samping memanfaatkan potensi lingkungan dan sumberdaya juga mengurangi ketergantungan masyarakat

40

Sejak 10 tahun yang lalu banyak peristiwa pembunuhan karena motif konflik tanah antara keluarga. Pada hari minggu di bulan pebruari 2009, peneliti sendiri menyaksikan dua kelompok masyarakat (para wanita tani) di Kelurahan Waetuno Kecamatan Wangi-Wangi bertengkar hebat sambil mengancungkan senjata tajam dan saling mengancam. Saling dorong dan menggertak sudah dilakukan sekitar satu jam. Penulis bersama teman seperjalanan berusaha memisahkan untuk diselesaikan oleh pejabat kepala desa setempat. Menurut salah seorang pelaku pertengkaran “sebenarnya kepala desa sudah mengetahui masalah tanah tersebut, tapi penyelesaian dirasa tidak adil akhirnya berlarut-larut”. Ternyata kedua kelompok tersebut masih bertetangga dan ada hubungan saudara.

41

Pada tahun 1977 telah dilaksanakan program penghijauan tanaman jambu mete di Kecamatan Wangi-Wangi seluas 50 ha. Namun seringnya kebakaran lahan, kesuburan tanah yang rendah, lahan kritis dan solum tanah yang dangkal sehingga banyak tanaman yang mati. Proyek Gerhan tanaman jati tahun 2005 juga tidak berhasil. Hal itu karena kebijakan proyek seperti penentuan jenis pohon dilakukan oleh pusat, sehingga tidak sesuai dengan egroekologis, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat.

pada sektor pertanian lahan kering. Namun demikian, upaya-upaya untuk mengatasi kepadatan penduduk dan ketergantungan pada sumberdaya lahan secara langsung belum terlihat dalam Perda maupun dalam alokasi anggaran yang memadai. Alokasi anggaran dalam APBD Wakatobi difokuskan pada pembangunan infrastruktur seperti bandar udara, jalan, pelabuhan, jembatan dan promosi wisata (Bappeda 2007). Kontribusi kebijakan Pemda Wakatobi terhadap kerusakan hutan juga terlihat dengan tidak dilibatkannya masyarakat adat dalam mengelola kawasan hutan. Peran adat mulai melemah dan sanksi yang dahulu ditaati dan mengikat mulai kendor dengan penerapan hukum negara. Pemerintah desa sejak dini seharusnya sudah mempersiapkan perangkat hukum seperti Peraturan Desa (Perdes) tetapi tidak dilakukan sehingga pengambilan kayu, penambangan tanah timbunan jalan diPadangkuku menjadi marak. Penggunaan kayu untuk bangunan dan melebarnya kebun-kebun warga ke kawasan hutan merupakan sesuatu yang sangat menghawatirkan. Perangkat desa seakan tidak punya kekuatan dalam mengatur masyarakat dalam mengakses sumberdaya. Ketidakpatuhan masyarakat bermula dari ketidaktegasan pemerintah desa dan kecamatan untuk menindak masyarakat yang merambah hutan atau lahan milik adat. Kasus tanah Bandara Wakatobi seluas 110 ha pada tahun 2007 sebagai contoh. Status tanah tersebut adalah Padangkuku yang sebagian dimanfaatkan sebagai ladang kecil (Onto-ontoala). La Udu menceritakan bahwa leluhur mereka telah berpesan agar kawasan hutan jangan dirambah dan padang rumput (Padangkuku) merupakan lumbung tanah bagi para pendatang atau masyarakat lokal yang tidak mempunyai tanah. Sara sudah memberikan hak untuk itu dibagi secara adil dan merata berdasarkan status dan peranan individu dalam masyarakat. Awalnya proses pembebasan tanah tidak menemui hambatan karena Sara Mandati dan Sara Wanci dan pengurus lembaga adat telah setuju,42 tetapi kemudian bermasalah.

42

Prinsip persetujuan:pertama, tanah adalah milikSara, karenaSara sudah menjadi pemerintah

maka milik Sara adalah miliki pemerintah juga.Kedua, tanah ini tidak ada yang punya dan

dahulu Sara tidak pernah menyerahkan hak pengelolaan kepada siapapun. Sepengetahuan

mereka selama ini tidak ada pendatang yang datang meminta tanah tersebut untuk diolah atau

Sara dengan sengaja memberikan tanah tersebut sebagai tempat berkebun atau bermukim.

Pemberian kompensasi ganti rugi bagi masyarakat yang memiliki tanaman di Padangkuku

menjadi bermasalah karena oknum di Desa Matahora diduga memberi ganti rugi kepada yang tidak berhak. Konflik horizontal kian memanas antara masyarakat yang pernah mengolah lahan dan pemerintah daerah. Puncaknya ditandai dengan maraknya unjuk rasa di DPRD sepanjang

Untuk membantu pemanfaatan sumberdaya, pemerintah berupaya agar dibentuk lembaga adat di Mandati dan di Wanci. Awalnya lembaga ini dibuat untuk membangkitkan semangat masyarakat untuk menghargai adat dan sumberdaya termasuk mengontrol kawasan hutan. Lembaga adat yang tidak dibentuk Sara dan tanpa persetujuan kepala desa, justru menjadi alat legitimasi pemerintah daerah dalam mengkonversi kawasan hutan (Motika) seluas 14 ha untuk konversi lahan dan produksi kayu. Banyak vegetasi pohon yang tumbuh di kawasan Motika menjadi punah termasuk kayu pengarah tapal batas.Motika sebagai hutan yang berfungsi produksi dibebaskan tanpa kompensasi yang jelas untuk pembangunan kawasan sekolah dan perkantoran. Hasil pengamatan di lapangan tampak bahwa Motika yang dikonversi ke sarana dan prasarana pemerintahan telah menjadi sumber kayu dan sebagian lahannya menjadi milik peribadi. Hal lainnya, lembaga adat mewakili masyarakat mengizinkan pengusaha lokal dalam menambang pasir dan batu di kawasanPadangkuku guna kebutuhan timbunan. Kegiatan tersebut telah menimbulkan dampak lingkungan seperti banyak kubangan seperti danau yang dijadikan tempat pembuangan sampah. Cara-cara diatas memicu ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga adat baru dan pemerintah setempat. Oleh masyarakat cara pemerintah dengan lembaga adat disebut sebagai “Posikongkolo” (bersekongkol). Pemerintah pun disebut “Pamarenta gole-gole/bage-bage” (pemerintah yang pura-pura/bohong- bohongan).

Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan lembaga adat adalah pemberian insentif perangkat mesjid (Sara Agama). Insentif ini hanya diberikan bagi mereka yang memiliki akses sosial. Peran mereka sebagai pengelola dan pengawas hutan lambat laun terabaikan. Di katakan oleh Bapak Musni sebagai tokoh adat dan kepala kampung bahwa ada kecenderungan sikap apatis dari tokoh masyarakat karena perbedaan perlakuan yang diberikan pemerintah kepada mereka, sebagaimana digambarkan:

tahun 2008 dan terjadi pemukulan Kepala Desa Matahora oleh masyarakat. Berbeda dengan

Padangkuku di Wilayah Adat Mandati seluas 50 ha melalui program penghijauan yang

diserahkan Sara dan Desa bersama Departemen Kehutanan RI. Masyarakat yang menanam

jambu mete diberi hak memiliki dan mengolah lahan yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Bupati Buton H Zainal Arifin Sugianto. Pangawas pusat waktu itu adalah Ir Mashuri dari Departemen Kehutanan RI.

“I molengo, te mia u’kampo ke Sara mai, tunggala o po’olimo na hembula’a, owila noita te posela’a. Meana’e o’bhahulimo na wumila, mbulano te tugasino yakomo no tinda” (dahulu, para tetua kampung dan perangkat masjid setiap akhir musim tanam selalu melakukan pengecekkan kondisi tapal batas adat. Sekarang ini sebagian mereka (Sara) mulai apatis karena pembagian peran yang tidak jelas).

Kebijakan lain yang membuat ancaman terhadap hutan adalah pembatasan masuknya kayu dari luar Wakatobi tahun 2006-2008. Pembangunan infrastruktur membuat langka persediaan kayu dan harganya menjadi tinggi. Awalnya masyarakat tidak kesulitan untuk mengakses kayu, tetapi karena tidak ada regulasi sehingga pembatasan tersebut menyebabkan masyarakat mengidentifikasi pohon di kebun atau di hutan secara sembunyi- sembunyi. Sampai saat ini juga Pemda belum membuat peta dan tata batas kawasan hutan yang jelas. LSM lokal yang diharapkan dapat menjadi lokomotif perlindungan hutan belum terlalu menarik untuk advokasi.43

43

LSM lokal lebih banyak tertarik pada isu-isu pemberdayaan dan advokasi korupsi. Kecuali LSM KOMINGKU telah kerjasama dengan TNC/WWF sudah mulai tertarik pada isu lingkungan tapi masih fokus pada isu sumberdaya kelautan.