• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaindea Adaptasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di Pulau Wangi Wangi Kabupaten Wakatobi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kaindea Adaptasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di Pulau Wangi Wangi Kabupaten Wakatobi"

Copied!
201
0
0

Teks penuh

(1)

KAINDEA

: ADAPTASI MASYARAKAT DALAM

PENGELOLAAN HUTAN DI PULAU WANGI-WANGI

KABUPATEN WAKATOBI

NUR ARAFAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kaindea: Adaptasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2009

(3)

ABSTRACT

NUR ARAFAH. Kaindea : Community Adaptation in Forest Management at Wangi-Wangi Island, Wakatobi Regency. Under supervision of DUDUNG DARUSMAN, DIDIK SUHARJITO, and LETI SUNDAWATI.

Indonesia as the archipelago country has diverse ecological and natural resources. Similarly, the type of forest management and its conditions also vary widely, so that it requires an appropriate management system that adapted to the local conditions. This research is important to find out form of community based forest management on both local variations in ecological, social, cultural and economic. The objective of this study is to explain how local community in small islands can manage forest under population pressure, economical change and political dynamics. This study is expected to answer how community adaptated with environmental change in forest management in Wangi-Wangi Islands. Method used in this research is case study through ethic and emic perspective. Data was collected using several methods, i.e. orientation, interview, observation, focused group discussion (FGD) and assessment. Data is then analyzed by the historical, causality, performance and sustainability.

The result of the study showed that community in Wangi-Wangi Island has a unique forest management system based on community. It’s called Kaindea. Management of Kaindea done by Sara (custom) and family and it’s used custom order. Environmental change which are population pressure, economical change and political dynamics have influenced Kaindea management. Those changes are responded by the community through reinforcement of social organization, adjustment of local agriculture technology, household labor arrangement, and diversification of livelihood. The conclusions of the study are that it has been environmental changes on Wangi-Wangi Island. The role of social organization (institution and social capital) has been very important on forest management and sustainability, as it has been shown in Mandati community with its more consistent social organizations. BetterKaindea condition in Mandati , has been indicated by its performance and sustainability. However, it needs further research to study how far the role of institutions and social capital in such a plural society when institutions transformation goes into policy options.

(4)

RINGKASAN

NUR ARAFAH. Kaindea: Adaptasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi. Dibawah bimbingan DUDUNG DARUSMAN, DIDIK SUHARJITO dan LETI SUNDAWATI.

Kajian kelestarian pengelolaan hutan dan eksistensi masyarakat lokal dalam arus perubahan lingkungan (demografi, ekonomi dan politik) menjadi isu yang menarik, antara lain masyarakat lokal mempunyai kearifan dalam pengelolaan hutan, kemiskinan yang tinggi di sekitar hutan, tuntutan partisipatif, ketahanan pangan, perubahan iklim dan sebagainya. Namun belum ada kajian mengenai sistem pengelolaan hutan masyarakat di pulau-pulau kecil, termasuk respon dan kemampuan masyarakat terhadap perubahan lingkungan dan implikasinya pada kelestarian hutan.

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan perubahan lingkungan di pulau-pulau kecil; menjelaskan strategi adaptasi sebagai respon masyarakat terhadap perubahan; serta menjelaskan wujud adaptasi pengelolaanKaindea dan implikasinya terhadap kinerja dan kelestarianKaindea.

Teori “cultural ecology” Steward (1955) menjadi rujukan dalam menjelaskan respon masyarakat terhadap perubahan lingkungan dalam pengelolaan hutan Kaindea. Adaptasi Cultural ecology secara operasional dijabarkan melalui konsep tekanan penduduk, perubahan ekonomi, dinamika politik, dan adaptasi masyarakat. Metode penelitian adalah studi kasus melalui perspektif emik dan etik. Konsep penelitian yang dipakai adalah konsep-konsep perubahan lingkungan, yaitu tekanan penduduk, perubahan ekonomi dan dinamika politik; adaptasi pengaturan sumberdaya, yaitu organisasi sosial, teknologi, pengaturan tenaga kerja keluarga, dan ragam mata pencaharian. Pengumpulan data dilakukan melalui orientasi, wawancara, observasi, FGD dan pengukuran. Analisis data dilakukan dengan analisis sejarah, hubungan sebab-akibat, analisis kinerja dan kelestarian.

Schoorl (2003:5) menggambarkan bahwa awal abad ke-20, Kadie Mandati dan Wanci merupakan daerah yang padat penduduknya di Pulau Wangi-Wangi. Loncatan penduduk Wangi-Wangi terjadi sekitar tahun 1961 (23.073 jiwa) dengan rata-rata pertumbuhan 2,86 persen setiap tahun. Mengacu pada rasio jumlah jiwa terhadap luas lahan (152,9 km2), maka tahun 1961 kepadatan penduduk Wangi-Wangi mencapai 415 jiwa/km2 dan tekanan penduduk mencapai 1840 jiwa/km2. Angka ini sudah sangat padat dan jauh melebihi hasil penelitian Beukering untuk daerah perladangan di Indonesia (Fox (1996:33). Jika dikaitkan dengan sistem perladangan masyarakat yang sudah melakukan intensifikasi di sekitar kawasan hutan, maka sebelum tahun 1961 tekanan penduduk telah terjadi di Pulau Wangi-Wangi. Pada masa itu, masyarakat menyebut sebagai “zaman susah” memenuhi kebutuhan pangan.

(5)

tradisional dengan lahan yang relatif terbatas. Kesempatan kerja di pertanian ladang tidak seimbang dengan jumlah penduduk mendorong masyarakat mencari alternatif pekerjaan lain di luar daerah dengan migrasi. Perkembangan sektor perekonomian migrasi memberikan keuntungan ekonomi yang lebih baik dibanding sektor pertanian (subsisten). Mekarnya pemukiman penduduk dengan rumah permanen, banyaknya kendaraan bermotor, alat elektronik (video, tape, kamera, televisi, AC) adalah indikator perkembangan ekonomi. Tanaman tradisional banyak berubah ke komoditi pasar. Walaupun masyarakat telah mengenal dunia luar sejak abad ke-18, namun perubahan ekonomi mulai terjadi sejak tahun 1980-an karena disamping perubahan orientasi dan produk ekonomi juga disertai perubahan perilaku merambah hutan.

Dinamika politik berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya hutan. Masalah pengelolaan hutan di Pulau Wangi-Wangi khususnya di Kadie adalah dinamika politik sejak zaman kesultanan dan intervensi VOC, Orde Lama, Orde Baru dan reformasi. Intervensi VOC terhadap Buton ketika menjalankan politik dagang dan penebangan pohon rempah-rempah termasuk di Kepulauan Tukang Besi. Tahun 1960an pemerintahan adat beralih ke sistem distrik dan desa. Peran pemerintahan adat (kesultanan) dihapuskan menyebabkan perhatian pemerintah terhadap hutan masyarakat mengalami kemunduran. Pembukaan Hutan Lebho tahun 1968 di Longa Wanci menjadi bukti peranan adat tidak diakomodasi negara. Peran lembaga adat (Sara) mulai bergeser dengan penunjukkan kepala desa yang menggantikan Meantu’u sebagai kepala di Kadie (kampung/desa). Kepala desa di Mandati tetap ditunjuk dari turunan Meantu’u. Tahun 1997-an, masyarakat melihat bahwa peranan pemerintah desa sebagai pengayomSara, ternyata tidak bisa diharapkan sebagai kontrol sosial dan sumberdaya. Hal ini mengundang reaksi masyarakat menggagas lembaga adat. Pada perkembangannya lembaga adat ini tidak berjalan sesuai dengan tujuan pembentukkannya. Berbagai kasus tanah dan perambahan hutan tidak mampu diselesaikan dan sebagian pengurus lembaga adat menjadi aktivis partai politik.

Dalam sistem sosial dan kekerabatan terdapat variasi penting antara Mandati dan Wanci. Masyarakat Mandati lebih menyukai berdagang dan bertani, sebaliknya masyarakat Wanci umumnya nelayan dan bertani. Di Mandati, perkawinan antara sepupu satu kali (Tolida) diperkenankan terutama pada keluarga bangsawan. Di Wanci perkawinan Tolida dihindari dan lebih disukai perkawinan sepupu dua kali (Topendua) atau tiga kali (Topentalu). Di Mandati perkawinan memperhatikan asal-usul dan kekerabatan, sementara di Wanci tidak, yang penting mempunyai “masa depan”. Untuk mempertahankan hubungan sosial (Santuha), Mandati sangat konservatif. Untuk mengontrol perilaku sosial, dikenalSikola tandai.

(6)

untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Maka saat itu istilah kebun (Koranga) mulai dikenal, sejalan dengan diizinkannya lahan sekitar Motika untuk dibuka masyarakat untuk berkebun. Setelah tahun 1960-an, hubungan dengan Jawa mulai intensif, sistem pertanian mengalami kemajuan dengan sentuhan teknologi “cangkul”. Sistem pertanian Welli’a beralih ke sistem Rawu’a.

Awalnya wanita di rumah mengurus keperluan keluarga. Setelah intensifikasi kebun, isteri membantu suami untuk mencari kayu bakar, membawa hasil kebun ke pasar disamping tugas pokok sebagai ibu rumah tangga. Pada masa migrasi, peran isteri menggantikan kedudukan ayah dalam keluarga ketika suami merantau dengan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Anak-anak bekerja membantu ibu. Ketika dewasa, anak laki-laki akan merantau dan anak perempuan segera dinikahkan. Setelah ekonomi pasar mulai berkembang, wanita banyak beralih menjadi penjual dan pedagang. Pengembangan ragam mata pencaharian lainnya dilakukan melalui migrasi untuk berlayar dan mencari kerja. Pada awal tahun 1960-an masyarakat sangat merasakan rendahnya daya dukung ekologi (lahan). Akibat tidak seimbangnya antara kesempatan kerja yang tersedia dan jumlah tenaga kerja akibat pertambahan penduduk yang tinggi mengakibatkan pengangguran dan menguatnya ketergantungan pada sektor pertanian. Pada saat yang sama, sektor pertanian tidak dapat memberikan jaminan hidup yang memadai. Pada periode ini masyarakat Wangi-Wangi berlayar ke Jawa, luar negeri dan sebagian ke Maluku. Intensif dan jangkauan mobilitas ekonomi menunjukkan bahwa perubahan ekonomi telah mempengaruhi masyarakat Wangi-Wangi.

Dari pembahasan diatas disimpulkan bahwa perubahan lingkungan di Pulau Wangi-Wangi telah terjadi yaitu tekanan penduduk, perubahan ekonomi dan dinamika politik. Perubahan lingkungan direspon dengan penguatan organisasi sosial, penyesuaian teknologi pertanian, pengaturan tenaga kerja keluarga dan pengembangan ragam mata pencaharian. Kinerja Kaindea berbeda-beda dan respon masyarakat yang berpengaruh terhadap kinerja Kaindea adalah organisasi sosial. Ini dibuktikan pada masyarakat Adat Mandati yang mempunyai organisasi sosial (institusi dan modal sosial) lebih konsisten. Indikator ini dapat dilihat pada aspek kinerja dan kelestarian hutan Kaindea yang masuk kategori baik, dan di Wanci sebaliknya. Namun perlu dikaji lebih lanjut sejauhmana transformasi kelembagaan sebagai pilihan kebijakan dengan mengadaptasi nilai-nilai dan sistem pengelolaan lokalKaindea sebagai hutan masyarakat di pulau-pulau kecil.

(7)

@Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;

b. Mengutip tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

KAINDEA

: ADAPTASI MASYARAKAT DALAM

PENGELOLAAN HUTAN DI PULAU WANGI-WANGI

KABUPATEN WAKATOBI

NUR ARAFAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi Sidang Tertutup (4 Agustus 2009) : 1. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS (Staf Pengajar FEMA IPB) 2. Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, MS (Staf Pengajar Fahutan IPB)

(10)

Judul Disertasi :Kaindea: Adaptasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi

Nama :Nur Arafah

NIM :E061050031

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. Ketua

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. Anggota

Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof.Dr.Ir. Imam Wahyudi, MS Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah

SWT, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan pada waktunya. Penelitian dalam disertasi ini berangkat dari ketertarikan tentangKaindea sebagai hutan yang sengaja dibangun dan dipelihara secara turun-temurun di Pulau Wangi-Wangi sebagai pulau-pulau kecil. Dalam perkembangannya, Kaindea merupakan bagian dari sejarah dan kebudayaan masyarakat. Sehingga dengan mengikuti pendidikan di IPB yang bermotto “Menerima dan Memberi yang Terbaik”, ketertarikan ini dapat terealisasi. Pada kesempatan ini, izinkan

kami dan keluarga menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian studi dan disertasi ini.

Ucapan terima kasih kami dan keluarga yang tulus kepada komisi pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA., selaku Ketua Komisi dan Bapak Dr. Ir. Didik Suharjito, MS., dan Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc., selaku Anggota Komisi yang telah membuka cakrawala berpikir, membina moralitas dan keterampilan akademik. Juga meluangkan waktu mengarahkan dan memberikan kesempatan mengembangkan diri dalam berbagai forum. Kepada Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta seluruh staf yang telah memfasilitasi proses pendidikan sehingga berjalan sebagaimana mestinya. Kepada pengelola BPPS-DIKTI yang telah memberikan beasiswa dan Hibah Program Doktor sehingga sangat menunjang proses akademik di IPB.

Ucapan terima kasih kepada para narasumber Bapak Musni La Ruku, Ir Abdul Manan, MSc, Fasiun, SH., Dr. Ir. La Ode Safuan, MP., dan La Ode Alimuddin, SP. MSi. Juga kepada Sunarwan, MSi., Hamiruddin, SPd. MHum., Harviyadin, SP., Masudin, AMd., LM Saniwu, SPt serta Pemda Wakatobi dan tokoh masyarakat yang telah membantu selama proses penelitian di lapangan.

(12)

banyak membantu. Kepada istri Sitti Nurhayati, S.Sos., dan ketiga anak kami: Choifa Rahmadina A, Abdullah Alhayad A, dan Abdurrahman A, atas kesabaran mendampingi dalam keadaan suka dan duka. Dan kepada semua pihak yang telah membantu yang mana pada kesempatan ini tidak dapat disebutkan, saya mengucapkan terima kasih. Dengan keikhlasannya Insya Allah membuat hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.

Semoga disertasi ini dapat memenuhi fungsi dan tujuannya. Kritik dan masukan yang membangun sangat penulis harapkan dan akan diterima dengan lapang dada demi penyempurnaan di kemudian hari. Segala kekeliruan dan kekhilafan sekiranya terdapat dalam proses penulisan ini, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Atas bantuan dan perkenaan semua pihak di ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT membalasnya dengan balasan yang lebih baik, amin.

Bogor, September 2009 Penulis,

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mandati, Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 18 Oktober 1970. Penulis merupakan putra ke empat dari lima bersaudara dari pasangan dari Haeruma dan Wamaria. Pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) diselesaikan di Wangi-Wangi. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari, lulus tahun 1995. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) atas bantuan beasiswa pendidikan BPPS-Dikti, Depdiknas, dan lulus tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB diperoleh tahun 2005, melalui beasiswa BPPS-Dikti, Depdiknas.

Sejak tahun 1998-2008 penulis bekerja menjadi staf pengajar Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian. Dan sekarang dialihkan menjadi staf pengajar Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo di Kendari.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……….………. iii

DAFTAR GAMBAR……….……… v

DAFTAR LAMPIRAN………..………... vi

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……….….……….. 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 5

1.3. Tujuan ……….…………... 6

1.4. Kegunaan ………...…….. 6

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perubahan Lingkungan ..………...…… 7

2.2. Konsep Adaptasi ………...….. 11

2.3. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ..………...…. 15

2.4. Pengelolaan Adaptif dan Kelestarian Sumberdaya ………..… 18

III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Teori ……….………... 22

3.2. Pendekatan Penelitian .……….…….…… 25

3.3. Waktu dan Lokasi Penelitian ………. 25

3.4. Pengumpulan Data ………...….. 27

3.4.1. Orientasi……….……… 27

3.4.2. Wawancara ……….….. 28

3.4.3. Observasi Partisipatif……… 28

3.4.4.Focused Group Discussion (FGD) ...………. 29

3.4.5. Pengukuran Lapangan ...……….…… 29

3.5. Fokus Penelitian ……….. 29

3.6. Metode Analisis ………...……… 30

3.6.1. Analisis Sejarah …..……….……… 30

3.6.2. Analisis Hubungan Sebab-Akibat ………....…… 31

3.6.3. Analisis Kinerja ……….…….. 32

3.6.4. Analisis Kelestarian ...……….. 34

IV GAMBARAN UMUM DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN PULAU WANGI-WANGI 4.1. Keadaan Geografis dan Demografi... 37

4.1.1. Iklim ... 38

4.1.2. Topografi ... 38

4.1.3. Hidrologi dan Geologi ... 39

4.1.4. Tata Guna Lahan ... 40

4.1.5. Kependudukan ... 41

4.1.6. Struktur Umur, Rasio Jenis Kelamin dan Suku Bangsa 43 4.2. Perekonomian Lokal ... 45

4.2.1. Perdagangan ... 45

(15)

4.3. Sejarah Pulau Wangi-Wangi ... 47

4.4. Tekanan Penduduk, Perubahan ekonomi dan Dinamika Politik 50 4.4.1. Tekanan Penduduk ... 50

4.4.2. Perubahan ekonomi ... 56

4.4.3. Dinamika Politik ... 63

V STRATEGI ADAPTASI MASYARAKAT PULAU WANGI-WANGI 5.1. Organisasi Sosial... 70

5.1.1. Orientasi Hidup dan Sistem Nilai... 70

5.1.2. Kelembagaan Adat dan Stratifikasi Sosial... 72

5.1.3. Hubungan Sosial dan Pola Pemukiman ... 81

5.2. Sistem Teknologi ... 89

5.2.1. Tata Guna Lahan ... 89

5.2.2. Sistem Pertanian Lokal ... 91

5.3. Pengaturan Tenaga Kerja Keluarga ... 101

5.4. Pengembangan Ragam Mata Pencaharian ... 104

VI IMPLIKASI ADAPTASI TERHADAP KINERJA DAN KELESTARIAN KAINDEA 6.1. Sistem Pengelolaan Hutan di Pulau Wangi-Wangi ... 108

6.1.1. Pembagian Hutan ... 108

6.1.2. Pemanfaatan Hasil Hutan ... 112

6.2. Gambaran UmumKaindea... 114

6.2.1. PersebarannyaKaindea ... 114

6.2.2. Struktur dan Komposisi VegetasiKaindea... 115

6.2.3. KarakteristikKaindea... 120

6.3. Kinerja PengelolaanKaindea ... 121

6.3.1. Kinerja Emik ... 121

6.3.2. Kinerja Etik ... 123

6.3.3. Komparasi Kinerja ... 128

6.4. TipologiKaindea Sara di Mandati …... 130

6.5. KelestarianKaindeaNto’oge ... 133

6.5.1. Kelestarian Fungsi Sosial ... 133

6.5.2. Kelestarian Fungsi Produksi ... 142

6.5.3. Kelestarian Fungsi Ekologi ... 146

6.6. Penilaian Tingkat KelestarianKaindea Nto’oge ... 150

VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 7.1. Kesimpulan ... 154

7.2. Implikasi ... 156

7.2.1. Implikasi Kebijakan ... 156

7.2.2. Implikasi Teori-Metodologi ... 158

DAFTAR PUSTAKA... 163

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Matriks hubungan hipotetik sistem pengelolaan hutan dengan

kinerjanya ... 33 2 Pengukuran struktur vegetasi hutan melalui indeks nilai penting ... 33 3 Kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi sosial ... 34 4 Kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi produksi ... 35 5 Kriteria dan indikator LEI untuk kelestarian fungsi ekologi ... 35 6 Kategori dan ukuran penilaian tingkat kelestarian pengelolaan

hutan ………. 36

7 Data curah hujan selama sepuluh tahun pengamatan (1995-2004)

di Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi ……… 38 8 Jumlah penduduk, laju pertumbuhan, luas dan kepadatan

berdasarkan wilayah adat, kecamatan dan kelurahan/desa tahun

2006 ………... 42

9 Penduduk Kelurahan Mandati I dan Wanci menurut kelompok

umur dan jenis kelamin tahun 2006 ………. 44

10 Jumlah penduduk Wakatobi menurut pulau berdasarkan sensus

tahun 1941, 1951, 1961, 1971, 1986 dan 2006 …….……… 52 11 Susunan dan kedudukan Lembaga Adat Mandati ……… 73

12 Susunan dan kedudukan Lembaga Adat Wanci ……… 74

13 Keragaman spesies tumbuhan dalam kategori pohon di kawasan

KaindeaNto’oge di Mandati Kecamatan Wangi-Wangi Selatan …. 115 14 Keragaman spesies tumbuhan dalam kategori tiang di kawasan

KaindeaNto’oge Mandati Kecamatan Wangi-Wang Selatan …….. 117 15 Vegetasi utama Kaindea Teo Wanci Kecamatan Wangi-Wangi

yang telah disulap menjadi perladangan ..……….. 118 16 KarakteristikKaindea di Pulau Wangi-Wangi …..……….... 120 17 Kaindea, letak persebaran, luas, kepemilikan dan kinerja emik …. 122 18 Indikator kinerjaKaindea di Wilayah Adat Mandati dan Wanci ….. 128 19 Kinerja sistem pengelolaanKaindea u’saradi Mandati ……… 129 20 Kinerja sistem pengelolaanKaindea u’saradi Wanci …..………… 129 21 Skor kriteria kejelasan hak penguasaan lahan atau areal hutan … 134 22 Skor kriteria keterjaminan terhadap pengembangan dan

(17)

24 Skor kriteria terbangunnya pola hubungan sosial yang setara

dalam proses produksi ………... 138

25 Skor kriteria keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas .... 140 26 Skor kriteria kelestarian sumberdaya ……….. 142 27 Skor kriteria kelestarian hasil ..……….. 144

28 Skor kriteria kelestarian usaha ………. 145

29 Skor kriteria stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara dan

gangguan terhadapnya dapat diminimalisir dan dikelola ……..….. 147 30 Skor kriteria sintasan spesies endemik dilindungi dan

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur kriteria dan indikator kelestarian hutan ... 21 2 Kerangka pemikiran teoritis ... 24 3 Peta lokasi penelitian ... 26 4 Bagan alir tahapan penilaian kinerja pengelolaan hutanKaindea.. 32

5 Peta ekologi Pulau Wangi-Wangi ……… 39

6 Tata guna lahan berdasarkan wilayah adat ….……….. 40 7 Serapan tenaga kerja menurut lapangan usaha ... 46 8 Aktivitas masyarakat sebagai dampak tekanan penduduk dan

perubahan ekonomi yang mengancam eksistensi hutan dan

produktivitas lahan ………. 63

9 Perubahan struktur kelembagaan pengelolaan sumberdaya

pasca transisi dari adat ke desa ... 75 10 Perubahan bentuk rumah masyarakat di Pulau Wangi-Wangi ... 86 11 Pola pemukiman masyarakat di Larutogo Mandati ... 87 12 Denah kawasan Kaindea dengan kebun masyarakat di

sekelilingnya ……… 110

13 Peta persebaran hutan Kaindea dan Motika di Pulau

Wangi-Wangi berdasarkan wilayah adat ………. 114

14 Perbandingan kondisiKaindea pada dua wilayah adat ……… 119 15 Tarian tradisional menumbuhkan kekerabatan dan penguatan

organisasi sosial ………. 135

16 Bagan alir proses perizinan pemanfaatan hasil hutan di Mandati .. 140 17 Peristiwa kebakaran padang savana (Padangkuku) di Desa

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Metode pengumpulan data ... 171 2 Kriteria dan indikator penilaian kelestarian hutan berdasarkan

fungsi sosial ……….. 174

3 Kriteria dan indikator penilaian kelestarian hutan berdasarkan fungsi produksi ... 177 4 Kriteria dan indikator penilaian kelestarian hutan berdasarkan

fungsi ekologis ... 179

(20)
(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kajian pengelolaan hutan dan eksistensi masyarakat lokal dalam perubahan sosial budaya, ekonomi, dan demografi terhadap kelestarian sumberdaya hutan tetap menjadi isu yang menarik di tingkat lokal, nasional dan global. Secara gobal isu-isu kehutanan lebih dikaitkan dengan perdagangan karbon, pelestarian keanekaragaman hayati dan perubahan iklim dan di tingkat nasional lebih menyoroti potensi ekonomi dan kemiskinan masyarakat sekitar hutan (Chomitz et al. 2007; Mackinnon 1993). Pada tingkat lokal, antara isu konservasi dengan pemanfaatan lokal sumberdaya hutan lebih mendapat perhatian serius. Hal ini terkait dengan banyaknya konflik-konflik pengelolaan sehingga melahirkan perubahan paradigma pembangunan kehutanan yang mengutamakan masyarakat lokal. Paradigma negara ke berbasis masyarakat; sentralistik ke desentralisasi; dari gagasan modern, state based dan ilmiah ke gagasan tradisional, community based, dan dianggap magis; berbasis kayu ke pengelolaan seluruh ekosistem (Lynch dan Talbott 2001; Suharjitoet al. 2000). Dari pembangunan berbasis ekonomi ke pembangunan integrasi ekonomi, ekologi dan sosial budaya yang berbasis kesejahteraan dan kelestarian ekosistem (Darusman 2002; Awang 2004).

(22)

(Mardiyanto 1999); Kaindea1 sebagai sistem pengelolaan sumberdaya hutan masyarakat di Pulau Wangi-Wangi (Manan dan Arafah 1999). Pengaturan sumberdaya dengan kelembagaan lokal warga Kasepuhan di Jawa Barat dalam pengelolaan lingkungan secara tradisional mampu melestarikan kawasan hutan untuk konservasi (Adimihardja 1992). Pemanfaatan tradisional sumberdaya lokal pohon lontar secara optimal meningkatkan daya tahan masyarakat Savu terhadap ekologi yang terbatas (Sundawati 2001; Fox 1996).

Berbagai literatur menunjukkan bahwa masyarakat lokal merupakan benteng yang tangguh dalam membendung dampak negatif kerusakan hutan (Mackinnon 1993; Edmuns dan Wollenberg 2003; Claridge dan O’Callaghan 1995). Masyarakat lokal memiliki akuntabilitas dan komitmen mengelola sumberdaya dengan pemanfaatan adaptif melalui kearifan lokal (Korten 1986; Brookfoeld 1998). Pengetahuan tradisional Dayak di Desa Anak Benuaq dapat melestarikan sumberdaya hutan selama 300 tahun tanpa penggundulan permanen dan tidak diketemukan adanya jenis-jenis lokal yang punah (Gonner 2001:70). Masyarakat Baduy mempunyai kearifan menggunakan dan menjaga ekosistem sebagai tumpuan penyedia kebutuhan yang berkesinambungan (Handoyo 2003). Pengelolaan kehutanan lokal mampu mewujudkan keseimbangan sosial, daya tahan ekonomi dan keberlanjutan fungsi lingkungan dan konservasi hutan (Darusman 2001; Anshariet al. 2005; Golar 2007).

Perhatian terhadap pengelolaan sumberdaya hutan telah dikemukakan dalam berbagai laporan penelitian. Statistik Kabupaten Wakatobi (2007) mengindikasikan bahwa luas kawasan hutan di Pulau Wangi-Wangi semakin menurun dari waktu-waktu dengan status kawasan yang belum ditetapkan pemerintah daerah. Pengamatan lapangan (2007) menunjukkan bahwa kerusakan vegetasi termasuk hutan di Pulau Wangi-Wangi diduga menjadi penyebab intrusi air laut. Penelitian Bank Dunia (World Bank) menyebutkan

1

(23)

tekanan penduduk berdampak pada konversi hutan dan menurunnya daya dukung (Chomitz et al. 2007). Laporan ini memasukan Pulau Wangi-Wangi dalam peta daerah miskin dengan kondisi hutan yang jarang. Tekanan penduduk dan rendahnya pengetahuan masyarakat menyebabkan praktek tidak ramah lingkungan (Nath et al. 2005). Rendahnya kapasitas masyarakat lokal menyebabkan daya tahan ekologis terbatas (Lebel et al. 2006; Abel et al. 2006). Perubahan orientasi ekonomi dengan sistem uang dan pasar

menjadi salah satu penyebab illegal logging yang mengancam kelembagaan lokal (Gonner 2001). Rendahnya moral manusia dan rusaknya sumber ekonomi produktif menjadi salah satu faktor timbulnya ancaman terhadap kelestarian hutan (Darusman 2002; Rositah 2005). Modernisasi dan teknologi membawa perubahan masyarakat desa hutan yang mengancam eksistensi sumberdaya hutan dan melemahnya solidaritas sosial (Downs 2000). Tekanan ekonomi, lemahnya sistem sosial menyebabkan praktek yang merusak lingkungan (Mardiyanto 1999; Amilda dan Laksono 2004). Sumberdaya manusia lokal yang tidak mempunyai pemahaman hukum dan politik rentan dengan eksploitasi (Sembiring 1999; Wiratnoet al. 2004).

(24)

Kelestarian sumberdaya hutan bukan hanya berdimensi internal masyarakat dan eksternal pemerintah, akan tetapi bagaimana kedua belah pihak memaknai permasalahan bersama. Keberhasilan pengelolaan oleh masyarakat bergantung pada regulasi, insentif dan organisasi (Chomitzet al. 2007; Fraser 2002). Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan politik pemerintah untuk memberikan akses yang luas kepada masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan memberikan kepastian pengelolaan secara lestari dan berkelanjutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Edmuns dan Wollenberg 2003; Fraser 2002;

Lynch dan Talbott 2001; Golar 2007).

Walaupun praktek-praktek lokal menyiratkan optimisme dan memberikan justifikasi terhadap kelestarian sumberdaya, namun kajian perubahan lingkungan dan kemampuan adaptasi perlu mendapat perhatian utama. Hal ini untuk mengetahui sejauhmana kemampuan masyarakat mengelola hutan akibat perubahan lingkungan karena akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan stabilisasi ekosistem dimasa depan. Dalam konteks ini kajian terhadap kemampuan masyarakat lokal mengelola sumberdaya hutan dalam merespon perubahan dan tekanan lingkungan pada suatu geografi yang khas seperti di pulau-pulau kecil menjadi sangat relevan. Sampai saat ini belum banyak dikaji mengenai sistem pengelolaan hutan di pulau-pulau kecil. Termasuk kajian yang berkaitan dengan respon dan kemampuan masyarakat terhadap perubahan lingkungan yang berimplikasi pada kinerja dan kelestarian hutan.

(25)

ekologis, sosial-budaya dan ekonomi yang khas2 (DKP 2007; Dahuri et al. 2001). Masyarakat pulau-pulau kecil mempunyai kemampuan beradaptasi dengan memanfaatkan kondisi lingkungan yang terbatas. Kemampuan adaptasi tersebut berkaitan dengan cara hidup yang memanfaatkan dua sumberdaya yaitu perladangan dan perairan laut (Fox 1996). Masyarakat pulau-pulau kecil mempunyai modal sosial dan kearifan lokal (Satria et al. 2002; Manan dan Arafah 1999). Menurut DKP (2007) dan DKP (2004) bahwa umumnya pulau-pulau kecil mempunyai sejumlah permasalahan antara lain sulitnya dijangkau sehingga mempengaruhi percepatan pembangunan, kurangnya infrastruktur, budaya lokal yang kadang bertentangan dengan kegiatan pembangunan, pembangunan yang bersifat sektoral dan sporadis dan belum ada strategi nasional yang menjembatani pengembangan gugus pulau secara harmonis dan terpadu serta kemiskinan. Namun di Pulau Wangi-Wangi, permasalahan tersebut di atas sebagian besar sudah teratasi. Yang dirasakan masyarakat di Pulau Wangi-Wangi saat ini adalah kondisi ekologis yang terbatas seperti keterbatasan sumberdaya lahan, air tawar dan tekanan penduduk yang tinggi yang mengancam eksistensi sumberdaya termasuk hutan.

Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut bagaimana sumberdaya hutan dikelola pada konteks pulau-pulau kecil di Pulau Wangi-Wangi. Fokus kajian adalah bagaimana hubungan antara perubahan lingkungan dan respon masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan Kaindea sebagai strategi adaptasi. Hal ini berkaitan dengan keberadaan

Kaindea yang masih tetap eksis sejalan dengan perkembangan masyarakat

di Pulau Wangi-Wangi.

2

(26)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, penelitian ini menjelaskan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya dan implikasinya. Fokus kajian adalah sumberdaya hutan masyarakat (Kaindea) tentang bagaimana masyarakat mempertahankan atau merubah pengaturan sumberdaya hutan sebagai respon masyarakat terhadap perubahan lingkungan dan menjelaskan implikasinya pada kinerja (performansi) dan kelestarian Kaindea. Perubahan lingkungan dimaksud adalah tekanan penduduk, perubahan ekonomi dan dinamika politik.

Dengan demikian, pertanyaan penelitian ini adalah (a) mengapa Kaindea menjadi pilihan adaptasi masyarakat dalam pengelolaan hutan di Pulau Wangi-Wangi, (b) bagaimana wujud pengaturan pengelolaan Kaindea sebagai strategi adaptasi dalam merespon perubahan lingkungan, dan (c) bagaimana pengaturan pengelolaan berimplikasi terhadap kinerja dan kelestarianKaindea.

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengkaji perubahan lingkungan dan wujud respon masyarakat sebagai strategi adaptasi dalam pengaturan sistem pengelolaanKaindea; dan 2. Mengkaji implikasi pengaturan sistem pengelolaan terhadap kinerja dan

kecenderungan kelestarian hutanKaindea.

1.4. Kegunaan

Kegunaan dari penelitian ini yang diharapkan adalah :

1. Menghasilkan rekomendasi kebijakan bagi pengelolaan Kaindea khususnya dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat secara berkelanjutan di pulau-pulau kecil;

2. Menghasilkan implikasi teori-metodologi yang berkaitan dengan adaptasi ekologi budaya pada pengelolaan sumberdaya hutan di pulau-pulau kecil; dan

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Lingkungan

Studi tentang perubahan lingkungan seperti demografi, ekonomi dan politik bertujuan untuk memahami transformasi sosial dalam kehidupan masyarakat. Transformasi ini oleh Alfian (1986:77) dalam Akhmad (2005:13) disebutkan sebagai transformasi budaya karena menyangkut perubahan nilai yang selanjutnya melahirkan perubahan sikap dan tingkah laku. Selanjutnya dijelaskan bahwa transformasi sosial-budaya di satu pihak mengandung pengertian bahwa proses perubahan merupakan pembaharuan struktur sosial, sedangkan di pihak lain mengandung makna sebagai pembaharuan nilai. Diungkapkan bahwa ada empat tahapan proses transformasi. Pertama, karena masuknya kebudayaan luar yang mengubah tata nilai seperti proses komunikasi global. Kedua, kreaktivitas intelektual internal yang ditandai dengan penemuan baru. Ketiga, tekanan dari luar yang terlihat dari proses migrasi, teknologi baru, dan perdagangan. Keempat, perubahan dari dalam seperti inovasi teknologi yang disamping memberi kemudahan bagi kehidupan juga memaksakan suatu praktek kehidupan baru yang sesuai dengan teknologi yang dihasilkan.

(28)

sesuai dengan perkembangan zaman. Demikian pula dengan orientasi ekonomi yang dahulu melakukan tukar menukar barang (barter) kemudian menggunakan sistem uang. Yang menarik adalah pandangannya terhadap pengaruh teknologi yang begitu cepat mempengaruhi kebudayaan manusia. Dikatakan bahwa teknologi tidak hanya membuat manusia berubah orientasi budayanya, akan tetapi melahirkan kebudayaan yang begitu cepat lompatannya melebihi perkiraan. Ini yang kemudian menimbulkan perubahan nilai budaya termasuk pada masyarakat yang masih tradisional seperti pada Suku Dani di Irian Jaya. Teknologi tidak selamanya dapat membantu manusia untuk menyesuaikan dirinya dari perubahan terutama teknologi baru dari luar. Dyah (1997) mengungkapkan bahwa teknologi baru dapat mengakibatkan perubahan besar yang mencangkup keseluruhan bidang kehidupan (sosial, budaya, ekonomi). Karena teknologi bukan hanya alat melainkan suatu sistem yang terdiri atas berbagai unsur yang berinteraksi, yaitu alat/fisik, keterampilan dan pengetahuan, informasi dan organisasi. Namun demikian perubahan atau teknologi yang tidak sesuai dengan fungsi dan kebutuhan masyarakat dapat menimbulkan konflik, karena hal ini berkaitan dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi perubahan itu. Salah satu contohnya adalah masuknya teknologi pertanian sawah pada Suku Dani di Desa Tulem Irian Jaya yang telah membuat nilai-nilai sosial masyarakat berubah. Akibatnya hilangnya pranata perang dalam kehidupannya sosialnya sebagai fungsi keamanan dan mencegah serangan musuh (Dyah, 1999). Bentuk konflik yang cukup laten sampai sekarang adalah protesnya masyarakat Papua terhadap keberadaan Freeport yang dianggap telah merusak lingkungan masyarakat setempat. Menurut Ngadisah (2002) bahwa bentuk-bentuk protes terhadap pertambangan Freeport muncul dalam bentuk terorganisir, namun lebih dominan dalam bentuk tidak terorganisir namun mudah dipicu. Bentuk protes yang kerap muncul dalam temuannya adalah pengrusakan fasilitas perusahaan dan sekaligus penyanderaan kendaraan perusahaan. Suku yang paling aktif dalam hal adalah Suku Amungme, sementara Suku Komoro relatif perlawanannya diam.

(29)

dalam suatu kondisi harmoni pada lingkungan yang selalu berubah tersebut. Ia akan muncul sebagai akibat dari berbagai kekuatan termasuk inovasi teknologi dan pengetahuan. Berkaitan ide dan nilai baru, Prasanthi (1999) mencontohkan terjadinya perubahan dari desa ke kota, pengenalan terhadap ideologi-ideologi dan kepercayaan-kepercayaan yang berasal dari negara lain seperti isu demokrasi yang menekankan kepada kebebasan individu, sementara masyarakat kita masih hidup dalam suasana kekeluargaan dan gotong royong. Namun demikian bahwa dimensi perubahan juga tergantung pada sudut pandang seseorang atau masyarakat, sebab perubahan sesungguhnya merupakan bagian dari kebutuhan manusia untuk memperbaiki eksistensinya terhadap lingkungannya. Sehingga para ahli kadang terdapat perbedaan tentang perubahan itu sendiri terutama pada bagaimana melihat masyarakat tradisional.

Karena perubahan merupakan suatu keniscayaan, maka diperlukan kesiapan dan kemampuan masyarakat untuk menggapai perubahan dan berperan di dalam perubahan tersebut untuk mempertahankan hidup. Perubahan pada suatu masyarakat terjadi karena masyarakat membutuhkan untuk mempertahankan dan untuk kelangsungan kelompoknya. Proses dimana manusia untuk mempertahankan kehidupannya disebut adaptasi. Dalam arti bahwa proses adaptasi melalui perubahan akan mudah jika perubahan tersebut mengakomodasi atau dapat menjamin kehidupan masyarakat (Dyah, 1999).

(30)

Peningkatan kesadaran sebagai bagian dari adaptasi sangat tergantung pada sejauhmana manusia menaklukan alam dengan nilai-nilai yang selaras dengan alam. Karena tindakan yang berlebihan justru dapat menyebabkan bencana ekologis. Untuk itu kecenderungan historis dan belajar bersama alam rupanya dapat dijadikan kontrol tindakan manusia terhadap alam dan ini sudah semakin disadari dan dirasakan oleh masyarakat modern (Sztompka, 2004). Kontrol historis dan belajar bersama alam inilah yang banyak dipraktekkan oleh beberapa kelompok masyarakat secara arif lingkungan di beberapa daerah dan negara. Untuk meningkatkan pemahaman terhadap kontek hubungan manusia dan lingkungannya maka perlu dilakukan suatu perpaduan antara ilmu antropologi dan bio-ekologi dimana pengembangan kedua bidang tersebut bekerja ke arah suatu pengintegrasian sebagai format dari ekologi manusia. Langkah-Langkah penting yang memudahkan pengintegrasian menurut Pavao dan Zuckerman (2000) adalah menjernihkan definisi dari terminologi yang relevan dan pengembangan suatu kerangka yang umum dengan sasaran untuk berperan pada pemahaman tentang ekosistem manusia.

(31)

2.2. Konsep Adaptasi

Konsep hubungan antara lingkungan dan kebudayaan banyak dijelaskan oleh para ahli sebagai bentuk adaptasi manusia dengan lingkungannya (Steward 1955; Geertz 1983; Bennett 1996). Pendekatan ekologi budaya diperkenalkan oleh Steward (1955) dengan teori cultural ecology, yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana manusia sebagai mahluk

hidup menyesuaikan dirinya dengan lingkungan geografi tertentu. Dalam analisisnya pada studi peradaban di Peru dan Meso Amerika ternyata menunjukkan adanya sejumlah persamaan, sehingga perlunya dikaji keterkaitan hubungan antara teknologi suatu kebudayaan dengan lingkungannya; antara lain dengan menganalisis pola hubungan tata kelakuan dalam suatu komunitas dengan teknologi yang dipergunakan. Analisis ini diharapkan akan menjawab bagaimana adaptasi dilakukan oleh sekelompok masyarakat agar mereka mampu bertahan hidup. Menurut Steward ada bagian inti dari sistem budaya yang sangat responsif terhadap adaptasi. Karenanya berbagai proses penyesuaian terhadap tekanan ekologis secara langsung akan dapat mempengaruhi unsur-unsur inti dari suatu struktur sosial. Agar tetap produktif maka suatu perubahan kebudayaan yang diakibatkan oleh faktor ekologis, harus menimbulkan suatu upaya pengaturan kembali yang berpengaruh pada struktur sosial mereka. Dalam konteks ini Steward berpendapat bahwa: pertama, ada hubungan antara teknologi yang dipergunakan dengan keadaan suatu lingkungan tertentu; kedua, pola-pola kelakuan dalam mengeksploitasi suatu daerah, erat

kaitannya dengan bentuk teknologi yang diciptakan; dan ketiga, pola-pola kelakuan tersebut akan berpengaruh terhadap berbagai aspek dari kebudayaan. Dijelaskan pula bahwa lingkungan dimana manusia hidup tidaklah seragam sehingga pola adaptasinya berbeda. Namun tidak berarti bahwa dengan kondisi alam yang sama juga akan menimbulkan adaptasi yang sama karena lingkungan dan kebudayaan lokal akan selalu mengikuti pola-pola yang khas berdasarkan karakteristik dan bercorak setempat (Muchtar 1994).

(32)

teknologi. Adaptasi sosial kultural karena perubahan lingkungan oleh Geertz dilihat pada tiga hal, yaitu: kenaikan jumlah penduduk, pengelolaan pertanian yang tidak ramah lingkungan dan motivasi ekonomi dengan melakukan perluasan lahan dengan membakar kawasan hutan. Geertz melihat bahwa perubahan sejarah masyarakat banyak terkait dengan intervensi politik penjajah yang membentuk perilaku kolektif masyarakat.

Kuntowijoyo (2002) melihat hubungan variabel ekologi dan manusia pada konteks adaptasi ekonomi dimana hubungan antara tanah dan penduduk berpengaruh pada teknologi pertanian yang pada gilirannya mempengaruhi jalannya sejarah. Indikator ekologi antara lain demografi, geografi dan sistem pertanian. Indikator ekonomi menekankan pada potensi dan peranan serta pengaruh pelaku ekonomi terhadap permintaan dan persediaan barang atau jasa. Indikator sosial budaya menekankan pada organisasi sosial dan dinamika politik lokal. Sementara Fox (1996) melihat bahwa keterbatasan ekologi dengan tekanan penduduk menyebabkan perubahan ekologis sistem perladangan menjadi tidak ramah lingkungan. Fox mengamati bahwa adaptasi ekologis dengan memanfaatkan secara optimal sumberdaya (lontar) dapat meningkatkan keterjaminan ekonomi masyarakat di pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara Timur.

(33)

Rappaport (1971) dalam Kartasubrata (2003) mengartikan adaptasi sebagai proses dimana organisme atau kelompok-kelompok organisme, melalui perubahan-perubahan responsif di dalam strukturnya mempertahankan homeostatis di dalam peribadinya dan antar organisme dalam perubahan-perubahan lingkungan jangka pendek dan jangka panjang, dalam kerangka struktur lingkungan-lingkungannya. Daeng (2000) mendefinisikan adaptasi sebagai hubungan penyesuaian antara organisme dengan lingkungan sebagai keseluruhan yang di dalam organisme itu menjadi bagiannya. Adaptasi juga sebagai upaya bersatu dengan lingkungan dimana dalam beradaptasi seseorang membawa serta norma-norma yang mengendalikan tingkah laku dan peran yang dimainkannya. Poerwanto (2005) memahami adaptasi sebagai proses interaksi antara perubahan yang ditimbulkan oleh suatu organisme pada suatu lingkungan dan perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan dari organisme.

Adaptasi manusia sesungguhnya merupakan adaptasi sosial budaya karena kebudayaan merupakan milik sekelompok masyarakat yang melakukan adaptasi karena adaptasi tidak terlepas dari kebudayaan itu sendiri (Suparlan 2005). Kebudayaan dalam konteks ini didefinisikan oleh Suparlan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai manusia sebagai mahluk sosial yang isinya perangkat-perangkat modal pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi untuk mendorong dan menciptakan tindakan yang diperlukan.

Adaptasi merupakan bagian dari perubahan sosial dipandang sebagai proses dimana masyarakat mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi yang dihadapinya untuk mencapai kesimbangan antara unsur lama dan unsur baru. Menurut Barret (1984) dalam Dyah (1997) bahwa adaptasi terjadi karena terdapat tingkat kesesuaian dengan unsur baru dalam suatu masyarakat dengan adat istiadat, sikap dan nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Namun hal tersebut tidaklah kaku, karena didalamnya terdapat dinamika masyarakat dan perubahan merupakan bagian dari suatu sistem sosial (Sztompka 2004).

(34)

serangkaian variabel yang berinteraksi. Jika dikaitkan dengan interaksi manusia dan lingkungan, disonansi dalam suatu sistem diartikan ada ketidakseimbangan antara lingkungan dan manusia, dimana salah satu ketidakseimbangan tersebut adalah tuntutan lingkungan yang melebihi kapasitas manusia untuk mengatasinya. Tidaklah mungkin manusia dapat hidup dengan baik jika lingkungannya rusak demikian pula sebaliknya, sehingga diperlukan suatu keharmonisan antara manusia dan lingkungan.

Adaptasi berkaitan dengan bagaimana hubungan-hubungan sosial dibangun untuk secara bersama-sama mencari solusi terhadap permasalahan lingkungan. Suharjito (2002) mengemukakan strategi adaptasi masyarakat Desa Buniwangi yang mempunyai kemampuan menangani masalah yang dihadapinya dengan pengaturan tenaga kerja keluarga/rumah tangga, pengembangan sumber mata pencahariaan alternatif, alokasi sumberdaya keluarga, dan pengembangan sistem kebun-talun. Olsson et al. (2004); Abel et al. (2006); Lebel et al. (2006) menekankan pada pengembangan pengetahuan (kapasitas) dengan menciptakan umpan balik fungsional, membangun jaringan sosial dan proses kolaboratif yang diaktifkan oleh aktor kunci dalam membangun daya lentur sistem sosial-ekologi untuk menciptakan stabilitas baru dan menyesuaikan dengan perubahan yang tiba-tiba serta menghadapi kondisi ketidakpastian. Kemampuan beradaptasi diperlukan untuk memperkuat dan mendukung daya tahan terhadap perubahan dimasa depan dan peristiwa yang tak dapat diramalkan. Adaptasi karena perubahan iklim menyebabkan daya lentur sosial-ekologi adalah studi kasus lokal yang dilakukan oleh Berkes and Jolly (2001).

(35)

2.3. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Paradigma pembangunan mengalami pergeseran dari sentralisasi ke pembangunan partisipatif termasuk dalam pembangunan sektor kehutanan, dari kehutanan industrial menjadi berbasis masyarakat, dari sentralistik negara ke desantralisasi masyarakat (Lynch dan Talbott 2001; Suharjitoet al. 2000). Demikian pula dengan peristilahan mengalami perkembangan seperti community forestry, social forestry, participatory forestry, farm forestry,

agroforestry dan sebagainya (Suharjitoet al. 2000:10-12). Dijelaskan bahwa

ada tiga strategi umum social forestry, yaitu (a) community or communal forestry, yaitu hutan yang dikelola oleh masyarakat secara kolektif, dapat

dilaksanakan dilahan komunal atau perseorangan atau negara; (b) farm forestry, yaitu hutan yang dikelola oleh individu yang dapat dilaksanakan

pada lahan masyarakat perseorangan atau negara; dan (c) publicly-manage forestry for local community development, yaitu hutan yang dikelola oleh

negara untuk pembangunan masyarakat lokal yang dapat dilaksanakan di lahan komunal, perseorangan atau pada lahan negara.

(36)

Menurut Awang (2004) ada beberapa alasan mengapa hutan berbasis masyarakat relevan dikembangkan di Indonesia, antara lain: Pertama, laju pertambahan penduduk Indonesia di pedesaan akan terus meningkat disatu sisi dan luas lahan tidak bertambah, sehingga perlu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas hutan. Kedua, kemiskinan dan peluang kerja yang sempit justru banyak terjadi di sekitar kawasan hutan karena sebagian sumberdaya hutan merupakan milik negara. Ketiga, tuntutan demokrasi yang semakin membuka peluang masyarakat mengambil bagian aktif dalam pengelolaan hutan. Keempat, model kehutanan yang dikembangkan pemerintah sejak Orde Lama sampai Orde Baru ternyata tidak membuat hutan semakin baik justru semakin hancur. Kelima, munculnya konflik di kawasan hutan negara antara masyarakat dan pemerintah, masyarakat dengan pengusaha, antar masyarakat, akibat kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Alasan lainnya bahwa masyarakat yang bermukim di sekitar hutan mempunyai pengetahuan lokal yang turun-temurun terbukti melestarikan hutan dan secara hukum adat mereka adalah bagian dari ekosistem hutan (Darusman 2002).

Pentingnya pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat juga dikuatkan oleh Korten (1986) dengan tiga alasan, yaitu (1) local variety, bahwa masyarakat lokal mempunyai karateristik lingkungan yang beragam baik dalam aspek biofisik, sosial dan ekonomi yang harus ditanggapi secara tepat dan cepat, (2) local resource, bahwa sumberdaya berada ditengah-tengah masyarakat yang dibutuhkan dan saling ketergantungan dan (3) local accountability, bahwa masyarakat yang mempunyai ketergantungan terhadap

sumberdaya akan memiliki komitmen dan tanggungjawab penuh untuk mengelola sumberdaya tersebut secara bijaksana dengan prinsip kearifan lokal yang dimiliki.

(37)

Kasepuhan Banten Kidul mampu mengelola sumberdaya hutan dengan bijaksana (Suharjito dan Saputro 2008). Aturan tradisional pengelolaan hutan mampu mewujudkan keseimbangan sosial ekonomi dan keberlanjutan fungsi lingkungan. Aturan tersebut dijaga dan dipertahankan oleh masyarakatnya melalui sistem budaya (Anshariet al. 2005).

Namun demikian, pengetahuan masyarakat juga mengalami ancaman. Sunaryo dan Joshi (2003) menjelaskan bahwa pengetahuanindigenousyang sudah beradaptasi dengan baik dan efektif untuk mengamankan kehidupan masyarakat dalam lingkungan tertentu menjadi tidak sesuai lagi dengan kondisi lingkungan yang sudah terdegradasi. Walaupun sistem pengetahuan indigenous mempunyai kelenturan yang cukup baik dalam mengadaptasi perubahan ekologis, tetapi jika perubahan tersebut drastis dan cepat, pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan ekologis tersebut menjadi tidak sesuai lagi. Greiner (1998) menjelaskan terancamnya pengetahuan asli dipengaruhi oleh globalisasi memaksa masyarakat indigenous menjadi bagian dari masyarakat global dengan tatanan baru. Kekuatan ekonomi dan sosial secara perlahan dan pasti seringkali menghancurkan struktur sosial (Sunito et al. 1999). Teknologi menyebabkan terjadinya dehumanisasi dan hilangnya pengetahuan etnik masyarakat yang mengancam kelestarian hutan (Downs 2000).

(38)

2.4. Pengelolaan Adaptif dan Kelestarian Sumberdaya

Pengelolaan adaptif terhadap kelestarian berkaitan dengan persoalan lingkungan yang semakin kompleks untuk memilih pilihan. Barlett (1980) mengemukakan pilihan petani ditentukan dua aspek. Pertama, lingkungan alami (curah hujan produksi kakao di Nigeria Timur), suhu, tipe tanah, irigasi (India Selatan), arah angin, kemiringan; tidak mengadopsi varietas baru. Kedua, lingkungan manusia (sosial, politik dan ekonomi) merupakan faktor

yang mengambat dalam produksi pertanian. Barlett menjelaskan bahwa dalam kaitan dengan aspek lingkungan alam, petani akan menyesuaikan dengan pertanian dengan kondisi lingkungan seperti topografi, curah hujan, arah angin, suhu dan sebagainya, sehingga dipilih beberapa varietas yang cocok. Aspek ekonomi petani menyesuaikan dengan permintaan pasar sehingga menanam tananam yang bernilai tinggi. Kebijakan pemerintah dan politik berhubungan dengan kesiapan produksi kopi (Puerto Rico), cotton (Tanzania), keamanan kepemilikan lahan, respon terhadap teknologi baru. Barlett menjelaskan variabel yang melibatkan strategi pertanian dan interaksi analisis detail dalam tingkat rumah tangga dengan empat isu utama, yaitu: kepadatan penduduk dan intensifikasi pertanian, tingkat akses sumberdaya, pengaruh tenaga kerja rumah tangga, dan siklus sumberdaya dan kebutuhan rumah tangga.

Barlett menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan pada pola pertanian di negara-negara berkembang. Di sini ditemukan dua hal, pertama, terdapat sebuah trend untuk mengikuti pendekatan yang didasarkan pada ekonomi antropologi, ekologi budaya dalam kajian proses produksi. Dan kedua, penelitian mengenai produksi pertanian mempunyai kaitan secara langsung dengan beberapa isu-isu antropologi yang trend saat ini dan menyiapkan data-data yang relevan bagi para praktisi maupun akademisi. Dengan meningkatnya kesadaran terhadap kurangnya kualitas pada distribusi dan sumber-sumber produksi termasuk persediaan makanan di beberapa negara, perhatian orang berpindah dari petani tradisional, berpindah kepada mereka yang mempunyai lahan untuk melayani masyarakat.

(39)

secara terus menerus berupaya mengakomodasi perubahan dan memperbaiki kebijakan dan praktek pengelolaan melalui pengalaman di lapangan. Ruang lingkupnya meliputi sintesis pengetahuan yang ada, eksplorasi tindakan alternatif dan menyusun secara jelas prediksi hasil yang akan dicapai (output).

Pengelolaan adaptif tidak terlepas dari peranan institusi untuk mengatur aktivitas pengelolaan sumberdaya dikemukakan oleh Roy (1998) bahwa salah satu peran institusi itu tidak hanya dapat dilihat pada pertumbuhan hutan, tetapi perubahan sikap masyarakat dan pengguna hutan terhadap pengelolaan dan kepercayaan masyarakat pada kemampuan masyarakat desa yang tergabung dalam program. Ini memudahkan upaya untuk memonitor perubahan yang terjadi dan menyelesaikan konflik-konflik horisontal baik yang berhubungan dengan pengelolaan hutan maupun tidak serta adanya kontrol masyarakat terhadap hutan.

Pengelolaan adaptif dijelaskan Berkes and Jolly (2001) pada masyarakat lokal Pelabuhan di Kutub Utara, Barat Kanada atas terjadinya perubahan iklim yang mempengaruhi perkerjaan sebagai nelayan sepanjang tahun 1990. Ada dua pola kapasitas yang adaptif dari masyarakat yang berhubungan dengan perubahan iklim. Pertama tanggapan jangka pendek atas perubahan aktivitas di darat adalah masyarakat menggunakan peralatan teknologi video untuk mengamati perubahan iklim sehingga kapan akan melaut. Kedua dihubungkan dengan adaptasi ekologis dan budaya ini menghadirkan strategi yang adaptif jangka panjang. Dalam kaitan ini, institusi co-management dikembangkan untuk membangun sistem komunikasi umpan

balik yang potensial dalam tingkat yang berbeda dari sistem. Olsson et al. (2004) juga menjelaskan bahwa Ecomuseum Kristianstads Vattenrike (EKV) merupakan organisasi fleksibel sebagai jembatan para aktor lokal dengan pemerintah dalam pengelolaan adaptif lahan basah. EKV menopang kondisi sosial politik dan ekonomi untuk meningkatkan daya tahan dari sistem sosial ekologi baru. Perubahan bentuk sosial itu penting untuk peningkatan kapasitas dalam mengatur keberlanjutan ekosistem bagi kesejahteraan manusia.

(40)

penyebab terjadinya praktek yang merusak lingkungan (Mardiyanto 1999; Amilda dan Laksono 2004; Nath et al. 2005). Rendahnya kapasitas menyebabkan daya tahan ekologis menjadi terbatas (Lebelet al. 2006; Abel et al. 2006). Tekanan lingkungan tidak selamanya bersifat mal-adaptif.

Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Sawu dan Roti menyesuaikan perubahan lingkungan dengan memanfaatkan pohon lontar sebagai sumber kehidupan baru akibat perubahan ekologi (Fox 1996; Sundawati 2001). Perubahan perilaku masyarakat Sawu dengan memaksimalkan pohon lontar sebagai sumber ekonomi rumah tangga menyebabkan daya dukung alam dapat ditingkatkan dari 49 jiwa per km2 menjadi 361 jiwa per km2(Sundawati 2001).

Oleh karena itu untuk memastikan pengelolaan dapat berkelanjutan maka kelestarian sumberdaya harus menjadi perhatian utama. Dalam aspek kelestarian sumberdaya, Downs (2000) menyatakan bahwa kesuksesan masyarakat dalam memelihara keberlanjutan sosial dan lingkungan ditunjukkan pada kesiapan, interaksi sosial, teknologi dan nilai etika yang sejalan dengan realitas ekologi. Tekanan penduduk, teknologi dan ekonomi merupakan hal yang tidak dipisahkan dari kehidupan manusia sehingga dalam menyiasatinya diperlukan kebudayaan sebagai cara hidup manusia (Odum 1996). Juga dikemukakan bahwa tujuan pelestarian lingkungan, yaitu (1) memastikan pengawetan kualitas lingkungan yang mengindahkan estetika dan kebutuhan rekreasi maupun hasilnya, dan (2) memastikan kelanjutan hasil yang berguna dengan menciptakan siklus yang seimbang. Sementara dalam konsep LEI (2004) dikatakan bahwa kelestarian dilihat pada prinsip, kriteria dan indikator (sosial, produksi dan ekologi).

(41)
[image:41.613.128.517.143.430.2]

pengelolaan dapat diukur secara relatif terhadap berbagai tujuan dan persyaratan lain yang telah ditetapkan sebagaimana pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur kriteria dan indikator kelestarian hutan (LEI 2004)

Prinsip konteks pengelolaan hutan lestari diperlakukan sebagai kerangka primer bagi terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. Selain itu, prinsip berfungsi untuk memberikan landasan pemikiran pada kriteria, indikator dan pengukur. Kriteria didefenisikan sebagai sejumlah aspek yang dianggap penting untuk menilai kinerja pengelolaan hutan lestari, di mana sebuah kriteria dicirikan atau dilengkapi dengan sekumpulan indikator yang dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif.

(42)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Teori

Penelitian ini memfokuskan kajian pada Kaindea sebagai strategi adaptasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya sebagai respon masyarakat terhadap perubahan lingkungan dan menjelaskan implikasinya pada kinerja dan kelestarian hutan. Pendekatan Teori “Cultural Ecology” Steward (1955) menjadi rujukan dalam menjelaskan hubungan dialektika antara lingkungan dan kebudayaan sebagai strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan dalam pengelolaan Kaindea. Konsep cultural ecology menjelaskan bagaimana manusia sebagai mahluk hidup menyesuaikan dirinya dengan lingkungan geografi tertentu. Untuk menjelaskan bagaimana variabel kebudayaan menyesuaikan dengan lingkungan pada konteks penelitian, Steward merumuskan tiga prosedur dasar, yaitu (1) analisis saling hubungan teknologi produktif atau eksploitatif dan lingkungan; teknologi mencakup suatu bagian yang sangat penting yang disebut “material cultural”; (2) analisis pola-pola perilaku yang terlibat dalam eksploitasi daerah khusus dengan cara-cara teknologi khusus; dan (3) mengetahui sejauhmana pola-pola perilaku dalam eksploitasi lingkungan mempengaruhi aspek lain dari kebudayaan. Untuk mengamati perubahan lingkungan (ekologi), konsep adaptasi cultural ecology secara operasional dijelaskan bahwa variabel ekologi yaitu geografi, penduduk, ekonomi serta politik berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan masyarakat akan berusaha menyesuaikan terhadap perubahan dan kemampuan mencari pola baru (Geertz 1983; Kuntowijoyo 2002; dan Fox 1996) .

(43)

variabel ekologi dan sosial pada konteks ekonomi dimana hubungan antara tanah dan penduduk berpengaruh pada teknologi pertanian yang pada gilirannya mempengaruhi jalannya sejarah. Indikator ekologi antara lain demografi, geografi dan sistem pertanian. Indikator ekonomi menekankan pada potensi dan peranan serta pengaruh pelaku ekonomi terhadap permintaan dan persediaan barang atau jasa. Indikator sosial budaya menekankan pada organisasi sosial dan dinamika politik lokal. Sementara Fox (1996) melihat keterbatasan ekologi dengan tekanan penduduk menyebabkan perubahan ekologis sistem perladangan menjadi tidak ramah lingkungan. Fox mengamati tekanan penduduk, motivasi ekonomi dan hubungan antar suku dalam memenuhi kebutuhan hidup mempengaruhi perilaku masyarakat pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara Timur.

Dalam penelitian ini akan menjelaskan hubungan perubahan lingkungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan Kaindea. Hubungan konsep ini mengacu hasil sintesis yang dikembangkan oleh Steward, Geertz, Kuntowijoyo dan Fox tentang hubungan lingkungan dan kebudayaan. Perubahan lingkungan akan dilihat pada aspek tekanan penduduk, perubahan ekonomi dan politik. Tekanan penduduk diukur dari pertumbuhan, kepadatan dan mobilitas penduduk (Geertz 1983; Fox 1996; Kuntowijoyo 2002); perubahan ekonomi diukur dari peranan pasar terhadap perubahan komoditi, pelaku ekonomi dan sistem produksi (Geertz 1983; Kuntowijoyo 2002; Fox 1996); dan intervensi politik diukur dari kebijakan pemerintah (Geertz 1983; Kuntowijoyo 2002). Respon masyarakat dilihat pada aspek organisasi sosial, teknologi, pengaturan tenaga kerja keluarga dan pengembangan ragam mata pencaharian (Steward 1955; Geertz 1983; Fox 1996; Kuntowijoyo 2002). Pentingnya melihat hubungan lingkungan dan kebudayaan dalam konteks pengaturan sumberdaya didukung Werner (1941) yang dikutip Utomo (1975) menyebutkan tiga lapangan kehidupan suatu masyarakat, yaitusocial organization, the technical system dan the religious system.

(44)
[image:44.613.175.468.336.667.2]

fungsi ekonomi dan sosial-budaya. Sehingga secara hipotetik dalam penelitian ini ingin menegaskan bahwa perubahan lingkungan seperti tekanan penduduk, perubahan ekonomi dan dinamika politik akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Pulau Wangi-Wangi dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya Kaindea. Dengan kebudayaan yang dimilikinya, masyarakat akan merespon perubahan lingkungan tersebut dengan melakukan penyesuaian unsur-unsur kebudayaan seperti penyesuaian organisasi sosial, teknologi, pengaturan tenaga kerja, dan pengembangan mata pencaharian. Dengan kata lain, setiap perubahan eksternal (lingkungan) yang mempengaruhi kehidupan, maka akan diikuti dengan pengaturan internal (kebudayaan) dan sebaliknya. Hubungan dialektika antara perubahan lingkungan dan pengaturan pengelolaan sumberdaya Kaindea dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Kerangka pemikiran teoritis

Menjelaskan Dijelaskan

-

Organisasi sosial I

-

Teknologi I

-

Pengaturan tenaga

kerja I

-

Ragam mata

-

Organisasi sosial II

-

Teknologi II

-

Pengaturan tenaga

kerja II

-

Ragam mata

--

TTeekkaannaann p

peenndduudduukkII

--

PPeerruubbaahhaann e

ekkoonnoommii II

--

DDiinnaammiikkaappoolliittiikk

-

Tekanan penduduk II

-

Perubahan ekonomi II

-

Dinamika politik

II

-Mengapa pengaturanKaindea menjadi pilihan masyarakat.

-Bagaimana implikasi pengaturan pengelolaan terhadap kinerja dan kelestarian

Kaindea

Perubahan Lingkungan

(45)

3.2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif3 dengan metode studi kasus. Mulyana (2001) menjelaskan bahwa studi kasus menyediakan peluang untuk menerapkan prinsip umum terhadap situasi spesifik atau contoh-contoh, yang disebut kasus-kasus. Studi kasus adalah penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek individu, kelompok, organisasi (komunitas), program atau situasi sosial yang bersifat kontemporer dengan pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” (Yin 1997). Keistimewaan studi kasus antara lain merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni menyajikan pandangan subyek yang diteliti. Suharjito (2002) menjelaskan bahwa penjelasan emik dimaksudkan untuk dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan, diketahui, dilakukan, diharapkan oleh informan sesuai dengan apa yang disampaikan informan sendiri. Di samping itu akan dipadukan dengan penjelasan etik yaitu penjelasan tentang gejala atau fenomena yang diberikan oleh peneliti berdasarkan pengalaman atau pemahamannya. Menurut Aditjondro dalam Akhmad (2005) bahwa penelitian emik akan lebih baik dipadukan dengan etik terutama pada penelitian yang dilakukan dalam komunitas sendiri agar peneliti tidak terjebak dalam hirarki sosial yang di teliti.

3.3. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini secara formal telah berlangsung sejak Nopember 2007 sampai Desember 2008. Verifikasi data dilakukan dari Januari-April 2009. Selama kurun waktu tersebut, peneliti tidak seluruhnya di lokasi, tapi dalam setiap bulan mempunyai waktu satu atau dua minggu untuk pengambilan data. Data diambil setiap bulannya kemudian dikumpulkan, dipilah dan dianalisis sesuai tujuan yang dicapai. Pada bulan berikutnya penulis turun kembali ke lapangan untuk mendapatkan data lainnya termasuk jika masih ada data yang kurang. Klarifikasi data biasanya dilakukan melalui telepon.

Lokasi penelitian dilakukan di Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan peta lokasi sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3.

(46)
[image:46.613.137.504.77.677.2]
(47)

Obyek penelitian adalah Kaindea. Lokasi penelitian dilakukan pada tingkat desa/kelurahan yang mewakili masyarakat adat pemilikKaindea, yaitu di Kelurahan Mandati I Kecamatan Wangi-Wangi Selatan dan Kelurahan Wanci Kecamatan Wangi-Wangi. Kelurahan Mandati I merupakan bekas pusat wilayah adat (Kadie) Mandati yang mengelola hutan Kaindea Nto’oge yang akan dinilai kelestariannya karena masih memenuhi syarat penilaian kelestarian. Kelurahan Wanci merupakan bekas pusat wilayah adat (Kadie) Wanci yang mengelola Kaindea Teo yang sudah rusak sehingga tidak memenuhi syarat penilaian kelestarian. Kedua wilayah penelitian diperbandingkan respon pengelolaan dan implikasinya pada kinerja dan kelestarian hutan.

3.4. Pengumpulan Data

Data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung diambil dari lapangan. Data tersebut diperoleh pada saat orientasi, wawancara, observasi partisipatif, focused group discussion(FGD) atau diskusi mendalam dan pengukuran lapangan. Metode wawancara dan partisipasi dalam penelitian kebudayaan memungkinkan untuk menggali informasi lebih baik (Spradley 1997). Data sekunder adalah data yang diambil dari instansi pemerintah dan dokumen tertulis hasil-hasil penelitian sebelumnya serta buku-buku sejarah. Metode pengumpulan data penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.4.1. Orientasi

(48)

3.4.2. Wawancara

Metode wawancara digunakan untuk memahami gagasan dan pandangan masyarakat yang dilakukan secara mendalam, yaitu mengumpulkan data-data menyangkut perubahan lingkungan yang terjadi dan tanggapan masyarakat terhadap perubahan tersebut. Selain itu, wawancara digunakan untuk menelusuri sejarah masyarakat, sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan Kaindea dan perubahannya yang tidak dapat diamati secara langsung. Untuk mendapatkan sumber yang lebih akurat, dilakukan penelusuran informasi dengan tehnik snowball dari informan kunci. Sumber informasi tidak dibatasi dalam jumlah tertentu, tetapi diprioritaskan pada ketepatan informasi.

Pengumpulan data wawancara dilakukan dengan mencari informasi awal sebagai arah atau pedoman dalam pengumpulan data yang berasal dari masyarakat setempat dengan memperhatikan status, peranan dan pekerjaan. Informan kunci yang diambil berdasarkan status dan peranan dalam masyarakat serta keterlibatannya dalam permasalahan yang diteliti (Soehartono 1999; Sitorus 1998). Untuk mendukung validitas data, selain menggunakan metode wawancara juga dilakukan studi pustaka, yaitu mengumpulkan hasil-hasil penelitian terdahulu serta dokumen-dokumen terkait lainnya. Cara ini dilakukan untuk melengkapi data wawancara khususnya yang berkaitan dengan aspek sejarah.

3.4.3. Observasi Partisipatif

(49)

3.4.4.Focused Group Discussion (FGD)

Ketepatan data lapangan diklarifikasi melalui studi konfirmasi dengan focused group discussion (FGD) atau diskusi mendalam dengan masyarakat. Tujuannya adalah mengetahui sejauhmana data lapangan yang diukur peneliti (etik) juga singkron dengan pandangan masyarakat (emik). Penggunaan FGD menurut Bugin (2003) di antaranya: (a) penetapan tujuan, dimana tujuan tersebut harus diketahui oleh peserta melalui pemberitahuan sebelumnya seperti topik-topik yang akan diangkat, tujuan umum, serta peserta yang akan dilibatkan; (b) adanya interview pribadi (individual interview) dengan teknik-teknik penting yang digunakan untuk mengungkapkan persoalan sebenarnya; dan (c) hasil FGD akan lebih bermakna apabila penggunaannya dikombinasikan dengan metode observasi partisipasi.

3.4.5. Pengukuran Lapangan

Pengukur

Gambar

Gambar 1  Struktur kriteria dan indikator kelestarian hutan (LEI 2004)
Gambar 2 Kerangka pemikiran teoritis
Gambar 3 Peta lokasi penelitian
Gambar 4.Peneliti
+7

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud dengan isi wimba adalah objek yang digambar, cara wimba adalah bagaimana objek tersebut digambarkan (tampak samping atau tampak depan, besar atau kecil dan

Tingginya konsentrasi jamur yang digunakan menyebabkan tubuh sista Nematoda Sista Kuning tidak mampu bertahan dari serangan patogen yang menginfeksi tubuhnya sehingga semakin

Giriş bölümünde, “Tarih İçinde Yunanlılar” konusu işle­ necektir. Yunanca’nm gelişimi ve tarihi, çağdaş Yunanlılık’ın bir öğesini oluşturan Ortodoksluk ve

OD untuk system plts yang digunakan untuk lighting (lampu penerangan), biasanya ditetapkan 3 hari, tetapi pada system plts untuk  telekomunikasi paling tidak 7

Oleh karena peran dan fungsinya sama, maka dalam hal pengangkatan seorang camat sebagai Pejabat Pembuat Akta (PPAT) Sementara harus pula memperhatikan persyaratan

Bagian yang diamati adalah gaya yang digunakan, kekasaran permukaan pada proses gerinda, pengaruh air cooling, pada proses hard turning, micro milling , micro

Secara ekonomi, masyarakat dikawasan Hutan Lindung dan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) banyak dirugikan paska penetapan wilayah tersebut sebagai kawasan hutan

Variabel Kinerja Karyawan (Y) dengan item karyawan mampu bekerja sesuai dengan ketentuan atau target penjualan yang ditetapkan oleh perusahaan, karyawan tidak merasa