• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelestarian Fungsi Produksi Kelestarian Sumberdaya

DAFTAR LAMPIRAN

PETA SEBARAN HUTAN DI PULAU WANGI-WANGI KAB WAKATOB

6.5. Kelestarian Kaindea Nto’oge 1 Kelestarian Fungsi Sosial

6.5.2. Kelestarian Fungsi Produksi Kelestarian Sumberdaya

Dalam mengukur kriteria kelestarian sumberdaya hutan digunakan beberapa indikator diantaranya: kejelasan status dan batas lahan; perubahan luas lahan yang diakibatkan gangguan alam maupun manusia; dan manajemen pemeliharaan hutan yang dilakukan. Skor kriteria kelestarian sumberdaya disajikan pada Tabel 26.

Tabel 26 Skor kriteria kelestarian sumberdaya

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Status dan batas lahan jelas 1.0 3.0 3.0

2. Perubahan luas lahan yang ditumbuhi tanaman,

terutama yang diakibatkan gangguan alam maupun manusia

1.0 3.0 3.0

3. Manajemen pemeliharaan hutan 1.0 5.0 5.0

Rerata nilai Skor 3.67

Sumber: Data primer setelah diolah 2008.

Tabel 26 menunjukkan bahwa penilaian terhadap kriteria kelestarian sumberdaya termasuk dalam kategori cukup (3,67). Pada uraian terdahulu dijelaskan bahwa sebelum terjadi perubahan pemerintahan adat ke desa, status dan batas kawasan telah terdefinisikan secara jelas. Walaupun tidak terdokumentasi secara resmi, namun status kawasan mendapatkan pengakuan dari semua pihak yaitu lembaga adat, pemiliki lahan di sekitarnya dan pemerintah setempat. Saat ini, Pemda Kabupaten Wakatobi telah memasukan kawasanKaindea sebagai hutan negara yang dilindungi.

Saat ini, ancaman terhadap kawasan Kaindea bukan hanya dari manusia tetapi juga dari peristiwa alam seperti kebakaran. Kebakaran hutan di Wangi-Wangi banyak diakibatkan oleh masyarakat yang membakar lahan kemudian merembet ke kawasan Kaindea. Metode pembakaran lahan sebagai dalil tersembunyi untuk mencaplok kawasan menjadi lahan pertanian. Atau kebakaran padang savana (Padangkuku) yang hebat dapat merembet ke kawasan hutan, sehingga banyak vegetasi hutan terutama tingkat rendah yang ikut musnah terbakar api (Gambar 17). Namun di Mandati hal tersebut sangat dijaga karena pelakunya akan mendapatkan

sanksi sosial. Pembukaan lahan di sekitar kawasan hutan Mandati jarang dilakukan dengan melakukan pembakaran tetapi mengolah lahan dengan cangkul setelah alang-alang ditebas. Dengan demikian peristiwa kebakaran kawasan hutan Mandati jarang terjadi.

Gambar 17 Peristiwa kebakaran padang savana (Padangkuku) di Desa Longa, Wanci yang dapat mengancam kawasan hutan di sekitarnya (sumber: Nur Arafah 2008)

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa mekanisme perizinan telah berjalan di Mandati. Aturan yang diberlakukan tersebut mampu meredam konversi lahan dan aktivitas pemanfaatan sumberdaya hutan diluar kendali. Menurut masyarakat, hal ini terjadi karena aturan adat yang ketat dimana tanaman yang ditanam di wilayah larangan akan dicabut oleh masyarakat secara beramai-ramai yang dipimpin pemangku adat.

Prosedur pemeliharaan hutan yang diterapkan di Mandati memiliki perbedaan dengan prosedur pemeliharaan hutan yang diterapkan pada pengelolaan hutan yang berskala komersil (sesuai dengan arahan kriteria LEI). Mekanisme pemeliharaan terhadap sumberdaya hutan di Mandati terintegrasi dengan sistem pemanfaatan tradisional yaitu kebun. Artinya, dalam setiap aktivitas pemanfaatan yang dilakukan masyarakat, baik itu pemanfaatan lahan maupun hasil hutan diwajibkan melakukan pemeliharaan. Komitmen tersebut disepakati sejak proses awal pengajuan izin pemanfaatan lahan dan hasil hutan. Dalam konteks ini, peranan organisasi sosial dalam masyarakat dapat dipandang sebagai suatu instrument dan alternatif untuk memecahkan kebuntuan lembaga pemerintah dalam rangka mempertahankan kelestarian hutan.

Kelestarian Hasil

Tingkat kelestarian hasil dari suatu unit pengelolaan hutan biasanya dicirikan oleh dilakukannya penataan areal, adanya kepastian potensi hutan yang akan dimanfaatkan; dilakukan pengaturan terhadap hasil hutan; serta ada upaya efisiensi dalam pemanfaatannya. Secara lebih rinci kriteria dan indikator LEI menambahkan beberapa komponen yang perlu diukur terkait dengan penilaian terhadap kelestarian hasil, di antaranya: penataan areal pengelolaan hutan; pengaturan hasil; efisiensi pemanfaatan; dan pengaturan manfaat hasil hutan. Hasil skor terhadap kriteria kelestarian hasil disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27 Skor kriteria kelestarian hasil

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Penataan areal pengelolaan hutan 1.0 3.0 3.0

2 Pengaturan hasil 1.0 5.0 5.0

3. 4

Efisiensi pemanfaatan hutan Pengaturan manfaat hasil

1.0 1.0 3.0 5.0 3.0 5.0

Rerata nilai Skor 4.0

Sumber: Data primer setelah diolah 2008.

Tabel 27 di atas menunjukkan bahwa penilaian terhadap kelestarian hasil dari pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Mandati masuk dalam kategori baik (4,0). Penilaian tersebut didasari atas fakta bahwa penataan areal pengelolaan hutan betul-betul diatur secara spesifik. Adanya rencana pengelolaan untuk tipologi hutan dan lahan merupakan salah satu buktinya. Namun didasari adanya fakta bahwa hingga saat ini “tidak tersedia data riil” menyangkut potensi kayu dan non-kayu di hutan. Karena persebaran jenis kayu terjadi secara acak, sehingga lembaga adat dan pemerintah desa tidak menetapkan rencana pengelolaan hutan secara spesifik.

Untuk memastikan bahwa kondisi hutan terutama hasilnya, maka pihak lembaga adat melakukan sejumlah tindakan preventif, yang intinya membatasi sedini mungkin pemanfaatan sumberdaya hutan yang melampaui batas. Upaya yang dilakukan antara lain: (a) setiap orang yang mengajukan izin pemanfaatan harus tidak boleh melebihi jumlah tertentu; (b) jenis

pemanfaatan yang diperbolehkan hanya penyadapan enau sedangkan bambu/rebug dilakukan dengan memperhatikan tumbuhnya tunas baru; (c) pemanfaatan memperhatikan tata letak pohon (dekat mata air tidak boleh ditebang), dan (d) pemanfaatan dilarang menebangan atau merusak pohon. Meskipun demikian masih ditemukan pemanfaatan bambu yang tidak mengindahkan larangan seperti tidak membersihkan limbah tebangan.

Agar dalam pemanfaatan hasil hutan non-kayu tidak menimbulkan konflik diantara masyarakat yang diberi izin, telah diatur pemanfaatan hasil di lokasi masing-masing berdasarkan penjuru mata angin atau sesuai dengan akses jalan masuk ke Kaindea. Namun jika tetap terjadi masalah, para penyadap bermusyawarah di lokasi. Kalau tidak ada titik temu, masalah akan dibawa ke pemangku adat. Sejauh ini, belum ada masalah di lokasi dibawa ke Sara, tetapi cukup diselesaikan di lapangan. Dengan demikian,Sara tidak menemui kesulitan dalam pengaturan pengelolaan hasil hutan di Mandati.

Kelestarian Usaha

Dalam konsep pengelolaan sumberdaya hutan khususnya yang berkaitan dengan fungsi lindung, maka orientasi ekonomi tidak terlalu diutamakan. Secara ekonomi Kaindea pada awalnya dimaksudkan sebagai fungsi lindung (Te pamonini’a u’togo) dan sebagai tempat Sara memenuhi kebutuhan khusus seperti nira, bambu dan umbi-umbian (Te sowo’a u’sara). Namun sejalan dengan perubahan kebijakan kesultanan yang memberi akses kepada masyarakat untuk memiliki lahan, makaKaindea hanya dimanfaatkan untuk hasil hutan non-kayu. Untuk kebutuhan pangan mulai mengintensifkan usaha pengelolaan kebun di sekitar Kaindea. Hasil skor terhadap kriteria kelestarian usaha disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28 Skor kriteria kelestarian usaha

No Indikator Bobot Nilai Skor

1. Kemampuan akses pasar 1.0 1.0 1.0

2 Investasi dan re-investasi pengelolaan hutan

1.0 1.0 1.0

3 Kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan

ekonomi setempat

1.0 3.0 3.0

Rerata nilai Skor 1.33

Tabel 28 menunjukkan bahwa penilaian terhadap kelestarian usaha dari pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Mandati dalam kategori jelek (1,33). Pemanfaatan hasil hutan non-kayu saat ini seperti nira (Suka) dan bambu (Wemba) hanya diperuntukkan bagi masyarakat lokal Mandati sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan komunitas dan kebutuhan uang bagi pengelola. Kuantitasnya dibatasi sesuai dengan kemampuan regenerasi pohon dan ketersediaan enau. Peruntukkannya lebih banyak dipesan pada acara adat untuk minuman segar bagi masyarakat yang berpesta. Bambu digunakan untuk kebutuhan adat atau ekonomi rumah tangga seperti lantai rumah, memasak nasi bambu (Luluta), pagar, dinding, alat tangkap ikan tradisional.

Sementara itu, terkait dengan upaya investasi dan re-investasi pengelolaan sumberdaya hutan, yang dicirikan adanya alokasi dana khusus bagi perbaikan kinerja pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan belum tersedia. Salah satu contohnya adalah belum tersedianya alokasi dana khusus kepada tenaga operasional lembaga adat yang tetap. Hutan dibiarkan begitu saja secara alamiah, sementara untuk pengamanannya diserahkan kepada pengelola sebagai balasan atas insentif mereka memungut hasil hutan. Selama ini dana operasional untuk Sara hanya diperuntukkan untuk memakmurkan mesjid, walaupun secara tidak langsung merupakan upaya mempertahankan fungsi Sara sebagai pemangku adat. Hasil Kaindea tidak mungkin diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat apalagi untuk kepentingan perbaikan kinerja pengelolaan. Dengan demikian, Kaindea

sebagai kawasan hutan yang diperuntukkan sebagai kawasan lindung adat, dalam aspek kelestarian usaha tidak mungkin diharapkan untuk memenuhi fungsi memenuhi kebutuhan masyarakat.