• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pentingnya menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung

Dalam bab sebelumnya telah disampaikan bagaimana masyarakat kampung dilibatkan dalam mengidentifikasi aset-aset yang mereka miliki, menyusun visi bersama, dan membuat tata guna lahan kampung. Langkah selanjutnya adalah membuat perencanaan untuk mewujudkan visi tersebut. Perencanaan ini perlu dilakukan secara partisipatif yang melibatkan seluruh warga kampung, yang biasa disebut dengan perencanaan partisipatif pembangunan kampung. Tujuan perencanaan pembangunan ini adalah untuk merincikan kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan untuk mewujudkan visi kampung, dan juga untuk mengetahui ketersediaan sumberdaya yang dimiliki untuk mencapai visi kampung. Melalui kegiatan perencanaan tersebut, pemerintah kampung dapat mengetahui langkah-langkah kegiatan yang harus mereka lakukan, kemudian melakukan kegiatan penggalangan dukungan jika ternyata sumberdaya pendanaan yang mereka miliki terbatas.

Dalam konteks ini, kampung tidak mengusulkan perencanaan ke kabupaten/kota melalui musrenbang, tetapi secara inklusif, partisipatif dan kolektif mengambil keputusan dan menghasilkan perencanaan kampung secara mandiri (village self-planning).

Untuk penyusunan perencanaan pembangunan kampung, Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan pedoman penyusunannya. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 66/2007,

tentang perencanaan pembangunan kampung, menyebutkan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung (RPJMK) memuat arah kebijakan keuangan kampung, strategi pembangunan, dan program kerja kampung dalam jangka waktu lima tahun. RPJMK ini kemudian dijabarkan kedalam dokumen Rencana Kerja Pembangunan Kampung (RKPK) yang merupakan dokumen perencanaan pembangunan kampung tahunan. RKPK ini memuat kerangka ekonomi kampung, prioritas pembangunan kampung, rencana kerja, dan pendanaan, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah kampung maupun ditempuh dengan

mendorong partisipasi masyarakat dengan mengacu pada rencana kerja pemerintah daerah. Bila kampung tidak dapat membiayai kegiatan-kegiatan tertentu, mereka dapat mendorong swadaya warga masyarakat dan menggalang dukungan dari pihak lain. Yang dimaksudkan pihak lain di sini antara lain pemerintah kabupaten, pemerintah propinsi, pemerintah pusat, swasta atau pihak lainnya. Dukungan tersebut tidak selalu dalam bentuk pendanaan yang langsung diberikan kepada kampung. Dukungan tersebut dapat dalam bentuk dukungan kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain selama termuat dalam dokumen perencanaan yang telah dibuat. Abdur Rozaki et al, dalam buku manifesto Rappoa (2012) menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan kampung sangat penting karena dapat memberikan manfaat secara sosial, politik dan ekonomi kepada kampung. Secara sosial, proses perencanaan kampung yang bersifat partisipatif-kolektif menjadi arena untuk memperkuat kohesi sosial dan menyemai rasa saling percaya antara pemerintah kampung, lembaga-lembaga kampung, organisasi masyarakat dan warga.

Secara politik, perencanaan kampung memberikan paling tidak empat manfaat. Pertama, sebagai instrumen untuk membangun kepemimpinan lokal yang demokratis dan visioner. Kedua, menjadi arena pelibatan demokratis, membuka akses bagi kaum marginal dan perempuan untuk terlibat sehingga mampu menembus struktur politik yang aristokratis, patriarkhis dan otokratis. Ketiga, menjadi arena pembuatan keputusan kampung secara kolektif dan mandiri. Keempat, sebagai instrumen politik representasi dan negosiasi kampung di hadapan pihak luar dan pemerintah supra-kampung. Dalam hal ini, RPJMK juga dapat menjadi instrumen penggalangan dukungan terhadap rencana pembangunan kampung dari pemerintah kabupaten, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten, perusahaan sekitar kampung, dan pihak ketiga lainnya.

Secara ekonomi, perencanaan kampung menjadi arena dan instrumen untuk mengidentifikasi aset-aset ekonomi lokal yang dapat dikembangkan. Setelah diputuskan dalam musrenbang, keputusan pengembangan ekonomi ini akan dijalankan secara kolektif oleh pemerintah kampung dan warga masyarakat.

RPJMK sebagai instrumen perencanaan harus holistik sehingga dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di kampung dan meningkatkan pendayagunaan aset kampung untuk mensejahterakan masyarakat. RPJMK yang holistik akan memandu perubahan kehidupan kampung ke arah yang lebih baik. Sayangnya, saat ini program dalam dokumen RPJMK cenderung lebih menitikberatkan kepada bidang infrastruktur fisik saja. Kecenderungan penitikberatan kegiatan infrastruktur ini disebabkan oleh penerjemahan yang salah dari pedoman pembangunan kampung di mana program pembangunan fisik senantiasa diterjemahkan dalam bentuk gedung, jalan, dan bangunan fisik lainnya. Selain itu, pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik ini dianggap lebih mudah dikerjakan dan mudah diukur

keberhasilannya. Dalam kenyataannya, seringkali bangunan fisik yang dibuat cepat rusak dan tidak berfungsi dengan baik. RPJMK yang holistik seharusnya meliputi program infrastruktur, peningkatan sumberdaya manusia, pengembangan ekonomi lokal, pelestarian sosial budaya dan pengelolaan sumberdaya alam atau lingkungan yang terdapat di kampung.

Pengaturan tata ruang kampung menjadi sangat penting untuk bahan penyusunan RPJMK. Tanpa penataan ruang atau lahan, kampung akan kesulitan mewujudkan RPJMK dengan baik. Selain itu, tata ruang bisa menjamin keberlanjutan manfaat hasil-hasil pembangunan. Seperti yang dapat dilihat saat ini, kampung dihadapkan pada berbagai masalah, misalnya tidak terkontrolnya kegiatan pengembangan kampung atau tumpang tindihnya pemanfaatan lahan dan sengketa pemanfaatan lahan di antara warga. Lahan hutan, yang semestinya dialokasikan sebagai kawasan berburu, dijadikan lahan perladangan atau perkebunan. Jika hal ini tidak segera diatur maka akan berdampak pada kerusakan kawasan-kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan berhutan.

Ada beberapa persoalan yang diamati terkait penyusunan RPJMK. Pertama, Peraturan Pemerintah No. 72/2005 menyebutkan perencanaan pembangungan kampung sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten atau kota. Namun dalam pelaksanaannya, perencanaan yang diusulkan oleh kampung ini seringkali dianggap oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten hanya sebagai pelengkap dari sistem perencanaan kabupaten. Atau dengan kata lain dokumen perencanaan yang disusun oleh kampung

dikategorikan sebagai usulan dari kampung semata, karena keputusan tetap berada di kabupaten untuk menjalankan atau tidak menjalankan rencana tersebut.

Kedua, partisipasi masyarakat kampung dalam penyusunan RPJMK masih rendah karena mereka melihat proses perencanaan dan pengambilan keputusan masih didominasi elit. Akibatnya, hasil perencanaan belum mengakomodasi harapan masyarakat. Pengamatan di lapangan mengungkapkan bahwa para elit cenderung memaknai pelibatan warga sebagai proses untuk mendengarkan suara warga saja di mana suara tersebut tidak harus diikuti atau ditindaklanjuti.

Ketiga, lemahnya kemampuan pemerintah kampung untuk menyusun dokumen RPJMK yang baik secara mandiri. Di banyak tempat, penyusunan dokumen ini perlu didampingi pihak luar, baik itu instansi pemerintah, fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) atau Lembaga Swadaya Masyarakat. Ketika dokumen RPJMK menjadi salah satu persyaratan penerimaan Alokasi Dana Kampung, beberapa kampung memilih untuk memakai jasa pihak ketiga untuk menyusunnya.

Keempat, inkonsistensi penggunaan dokumen RPJMK sebagai acuan penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Kampung (RKPK) dan pembangunan kampung. Dokumen ini dilihat hanya sebagai formalitas untuk melengkapi administrasi desa semata. Banyaknya program limpahan dari pemerintah kabupaten, pemerintah propinsi, pusat atau dari pihak lain yang tidak sejalan dengan rencana pembangunan kampung juga ikut mendorong terjadinya inkonsistensi ini.