• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Teori Evaluasi

1. Pengertian Evaluasi

Kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris yakni to evaluate yang diberi awalan e- dan akhiran –tion yang berarti sebuah penialaian/memberi nilai (judgment) atau pengukuran18. Ernest J. McCormick (1985:231) mengemukakan bahwa “As Goldstein and

Buxton (1982) print out, the evaluation of training centers around two interacting corners: 1) the estabilishment of measures of success

(criteria); and 2) the experiments designs used in the evaluation”.

Goldstein dan Buxten berpendapat bahwa evaluasi pelatihan dapat didasarkan pada kriteria (pedoman dari ukuran kesuksesan) dan rancangan percobaan.19

Evaluasi sebagai fungsi manajemen adalah aktivitas untuk meneliti dan mengetahui pelaksanaan yang telah dilakukan di dalam proses keseluruhan organisasi mencapai hasil sesuai dengan rencana atau program yang telah ditetapkan dalam rangka pencapaian tujuan

18

Soekidjo Notoatmodjo, Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) Cet.5, h. 311

19

A.A Anwar Prabu Mangkunegara, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000) Cet.II, h.59

serta menjadikannya sebagai indikator kesuksesan atau kegagalan sebuah program sehingga dapat dijadikan bahan kajian berikutnya.20

Evaluasi adalah bagian integral dari proses manajemen, evaluasi dilakukan karena ingin mengetahui apa yang telah dilakukan telah berjalan sesuai rencana, apakah semua masukan kegiatan yang dilakukan memberi hasil dan dampak yang seperti yang diharapkan.

Gambar 1. Siklus Manajemen21

Dalam lingkup organisasi dan administrasi, evaluasi atau penilaian dapat diartikan sebagai sebuah proses pengukuran dan pembandingan hasil pekerjaan yang telah dicapai dengan hasil-hasil pekerjaan yang seharusnya dicapai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hakekat dari penilaian adalah :

a. Penilaian ditujukan kepada satu fase tertentu dalam satu proses setelah fase itu seluruhnya selesai dikerjakan. Berbeda dengan pengawasan yang ditujukan kepada fase yang masih dalam proses pelaksanaan.

20

M. Anton Athoillah, Dasar-Dasar Manajemen, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) Cet. I, h.115

21

Soekidjo Notoatmodjo, Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) Cet.5, h. 311

Perencanaan

Evaluasi

b. Penilaian bersifat korektif terhadap fase yang telah selesai dikerjakan. Korektifitas yang menjadi sifat penilaian itu sangat berguna bukan untuk fase yang telah selesai, akan tetapi untuk fase berikutnya. Artinya melalui penilaian harus ditemukan kelemahan-kelemahan sistem yang digunakan dalam fase yang baru saja selesai, juga harus ditemukan penyimpangan-penyimpangan dan/atau penyelewengan-penyelewengan yang telah terjadi, tetapi lebih penting lagi harus ditemukan sebab-sebab mengapa kelemahan-kelemahan itu timbul dan mengapa sebab-sebab mengapa penyimpangan-penyimpangan itu terjadi.22

2. Proses Evaluasi

Dalam melakukan kegiatan evaluasi, secara umum meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menentukan apa yang akan di evaluasi

Pimpinan lembaga dan pelaksana mennentukan secara spesifik proses penerapan dan hasil yang akan di monitor dan di evaluasi,proses dan hasil pengukuran harus bersifat objektif. b. Mengembangkan standar kerangka dan batasan;

Standar yang dikembangkan harus bersifat strategis dan objektif,serta mengandung sebuah jarak batasan yang logis yang menerima segala bentuk kekurangan dan kesalahan. Standar tersebut bukan hanya digunakan untuk mengukur hasil

22

Ahmad Fadli HS, Organisasi & Administrasi, (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2008) Cet. IV, h. 32-33

akhir,tetapi juga untuk saat pelaksanaan monitoring berlangsung.23

c. Merancang desain (metode);

d. Menyusun instrumen dan rencana pelaksanaan; e. Melakukan pengamatan, pengukuran dan analisis; f. Membuat kesimpulan dan pelaporan.

Keenam langkah evaluasi di atas dapat dipadatkan menjadi 2 langkah terpenting, yaitu Menetapkan fokus hal yang akan di evaluasi dan merancang metode pelaksanaannya

3. Desain Evaluasi

Banyak rancangan desain yang dapat dipakai dalam melakukan evaluasi. Michael Ibrahim membuat urutan desain menjadi:

a. Non-riset, termasuk lelucon (anecdote), cerita hikayat

(story), dan pendapat-pendapat ahli maupun orang awam.

b. Riset non-eksperimental, termasuk survei sederhana, studi kasus-kelola (case control study) dan studi kohor (cohort

study).

c. Riset eksperimental, termasuk mulai dari desain eksperimen lapangan sampai dengan laboratorium

Stephen Isaac dan William B. Michael (1981) mengemukakan 9 bentuk desain evaluasi, yaitu:

a. Historikal

23

Hunger and Wheelen, Essesntial of Strategic Management, (Tampa, Florida, Addison Wesley Longman Inc., 1997), h. 161

b. Deskriptif

c. Studi perkembangan d. Studi kasus lapangan e. Studi korelasional f. Studi sebab akibat g. Eksperimen murni h. Eksperimen semu i. Riset aksi24

B. Penyelenggaraan / Pelaksanaan (Actuating) 1. Pengertian dan Dasar Hukum



































Artinya : “Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan

Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa

yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah : 105).

Ayat tersebut diatas menjelaskan tentang salah satu fungsi manajemen yang dikemukakan oleh George R. Terry yakni fungsi pelaksanaan (actuating). Dimana fungsi ini adalah fungsi lanjutan atau tindak lanjut dari dua fungsi sebelumnya, perencanaan dan pengorganisasian.

24

Soekidjo Notoatmodjo, Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) Cet.5, h. 313-316

Penyelenggaraan atau biasa disebut dengan pelaksanaan, dalam bahasa Inggris disebut dengan actuating merupakan salah satu dari empat fungsi manajemen yang kita kenal dengan istilah POAC

(planning, organizing, actuating dan controlling). Pelaksanaan

(actuating) merupakan tindak lanjut yang dilakukan oleh organisasi

yang telah memiliki perencanaan dan melakukan pengorganisasian yang terstruktur sesuai kebutuhan satuan kerja25.

2. Elemen Pelaksanaan

Dalam fungsi pelaksanaan,ada 4 (empat) elemen atau sub-fungsi yang perlu diperhatikan dalam proses manajerial,adalah sebagai beikut:

a. Leadership (Kepemimpinan)

Kepemimpinan adalah bagaimana seseorang bisa memberikan pengaruh kuat kepada mereka yang disebut sebagai pengikut. Sedangkan pemimpin adalah seseorang yang mempunyai pengaruh tentang itu. Ada beberapa karakteristik dalam kepemimpinan:

1) Kepemimpinan menunjukan tentang keberadaan pengikut 2) Kepemimpinan melibatkan kepentingan kedua belah

pihak,pemimpin dan pengikutnya.

3) Kepemimpinan melibatkan sebuah otoritas yang tidak sama antara pemimpin dan anggota kelompoknya.

25

Hadari Nawawi, Manajemen Strategik, Organisasi Non-Profit Bidang Pemerintahan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005) Cet. III, h.95

4) Kepemimpinan menunjukan bahwa seorang pemimpin bisa mempengaruhi para pengikutnya atau bawahannya selain juga bisa memberikan arahan yang sah kepada mereka.

b. Communication (Komunikasi)

Komunikasi adalah proses berjalannya sebuah informasi atau pemahaman dari satu orang selaku pemberi pesan kepada orang lainnya sebagai penerima pesan. Ada dua jenis komunikasi,verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang melibatkan kosa kata melalui pembicaraan secara langsung (two way communication),sedangkan nonverbal adalah komunikasi yang tidak melibatkan kosa kata melalui pembicaraan secara langsung,biasanya menggunakan simbol-simbol atau melalui media seperti surat,TV,radio,surat kabar dan lain sebagainya.

c. Motivation (Motivasi)

Motivasi adalah proses membangkitkan semangat kerja kedalam pikiran para anggota kelompok dengan tujuan memberikan yang terbaik bagi perusahaan atau organisasi26.

d. Coordination (Koordinasi)

Serupa dengan komunikasi, subfungsi koordinasi dimaksudkan untuk mendapatkan sebuah hubungan baik antara pemimpin dan anggota kelompok dengan agar tercapainya tujuan bersama.

26

P. C. Tripathi, P. N. Reddy, Principles of Management, (New Delhi : The McGram-Hill Company, 2008), Edisi ke-4, h. 4

3. Langkah-Langkah Pelaksanaan

Fungsi pelaksanaan mengandung 2 langkah terpenting dalam rangka melaksanakan sebuah kegiatan dalam organisasi, yang pertama adalah penyusunan staf kerja (staffing) yang meliputi sumber daya manusia (SDM) dan tenaga lain dari luar lembaga (relawan). Yang kedua adalah pengarahan kerja (directing) ,yakni mengelompokkan SDM atau anggota kelompok sesuai dengan kemampuan dan bakat, yang tentunya secara tidak langsung akan menghasilkan kinerja yang efektif dan efisien. Tanpa adanya sebuah pengarahan, SDM atau anggota kelompok cenderung bekerja sesuai dengan apa yang mereka lihat tanpa memandang kepentingan utama sebuah lembaga. Pada proses pengarahan, biasanya sebuah perusahaan atau lembaga menggunakan program Total Quality Management (TQM).27

C. Ruang Lingkup Ibadah Haji

1. Pengertian, Macam, Syarat, Rukun, Wajib dan Sunnah Ibadah Haji

Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima yang merupakan salah satu kewajiban umat Islam dunia untuk menjalankannya bagi mereka yang mampu. Secara bahasa, kata haji berasal dari bahasa Arab, hajj yang berarti ziarah. Dalam hal ini adalah ziarah ke tempat-tempat yang diagungkan oleh agama Islam, yakni Baitullah Makkah dan Madinah, tepatnya adalah menziarahi

27

Hunger and Wheelen, Essesntial of Strategic Management, (Tampa, Florida, Addison Wesley Longman Inc., 1997), h. 149

ka’bah dengan syarat dan rukun tertentu.28

. Sesuai dengan yang disebutkan dalam Al-Quran:





























Artinya : “Tiada lain sembahyang mereka di sekitar Baitullah

itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah

azab disebabkan kekafiranmu itu.” (QS. Al-Anfaal : 35).

Secara istilah kata haji bisa diartikan sebagai rukun Islam kelima yang pelaksanaannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu yaitu antara tanggal 8 sampai dengan 13 Dzulhijjah setiap tahun29, dan dilaksanakan dengan syarat dan rukun tertentu serta larangan saat pelaksanaan ibadah haji, seperti yang disebutkan dalam Al-Quran:































































Artinya : “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi

Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan

bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.” (QS Al

-Baqarah : 197).

28

M. Ardani, Fikih Ibadah Praktis, (Ciputat: Bumbu Dapur Communication – PT. Mitra Cahaya Utama, 2008) h.39

29

Ahmad Nidjam, Alatief Hanan, Manajemen Haji: Studi Kasus dan Telaah Implementasi Knowledge Workers, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2001) Cet.I h.1

Ayat tersebut diatas menjelaskan tentang kapan waktu dibolehkannya melaksanakan ibadah haji, yakni pada bulan yang dimaklumi antara lain bulan Syawal, Dzulkaidah dan Dzulhijjah. Ayat tersebut juga menyebutkan tentang berbagai larangan saat pelaksanaan ibadah haji, antara lain tidak boleh melaksanakan rafats30, tidak boleh berbuat fasik dan berbantah-bantahan selama proses pelaksanaan ibadah haji. Kemudian Allah menyuruh hamba-Nya untuk menyiapkan segala bekal untuk selama di tanah suci agar tetap istiqomah menjalankan ibadah haji tanpa merasa kekurangan harta dan kebutuhan rohani lainnya.

Menurut cara pelaksanaannya, haji itu terbagi menjadi tiga macam, yaitu haji ifrad, haji tamattu dan haji qiran. Haji Ifrad adalah haji yang dilaksanakan dengan mendahulukan umrah daripada ibadah haji, sedangkan haji tamattu adalah ibadah haji yang dikerjakan dengan mendahulukan ihram untuk umrah lalu kemudian baru melaksanakan ihram haji setelah pekerjaan-pekerjaan umrah lainnya telah selesai dikerjakan, sedangkan haji qiran adalah melakukan ihram untuk ibadah haji sekaligus bersamaan dengan niat untuk umrah.

Dalam pelaksanaan ibadah haji,ada beberapa hal penting terkait syarat, rukun, wajib dan sunnah haji yang perlu diperhatikan agar menghasilkan ibadah haji yang mabrur.

30

Yang dimaksud dengan rafats adalah mengeluarkan perkataan yang kotor sehingga bisa menimbulkan birahi atau syahwat dan bisa menjerumuskan pada perbuatan bersetubuh.

a. Syarat Haji

Syarat adalah segala hal yang harus dilakukan sebelum melakukan sebuah ibadah,tidak sah ibadahnya jika tidak memenuhi syarat. Dalam pelaksanaan ibadah haji pun juga ada beberapa syarat yang harus dijalani oleh calon jamaah, tidak hanya semata-mata mampu dalam hal pembiayaan, namun juga ada beberapa syarat utama yang harus dimiliki oleh calon jamaah haji, antara lain:

1) Beragama Islam

2) Telah mencapai usia berakal (baligh) 3) Pengetahuan tentang manasik haji

4) Biaya yang ia miliki cukup untuk keperluan di dalam negeri, perjalanan pulang pergi, biaya hidup di Arab Saudi dan keperluan lainnya

5) Kelengkapan dokumen perjalanan (paspor) dan izin masuk ke negara tujuan (visa).

b. Rukun Haji

Rukun adalah segala sesuatu yang mendasar dan harus dikerjakan selama suatu ibadah berlangsung,tidak sah jika meninggalkan satu rukunnya. Adapun yang termasuk dalam rukun-rukun haji adalah enam hal, antara lain:

1) Ihram, yaitu berniat untuk memulai ibadah haji. 2) Wuquf di Arafah

3) Thawaf di Baitullah

4) Sa’I antara bukit Shafa dan Marwah

5) Tahalul, yaitu mencukur atau memotong sedikit atau seluruh bagia rambut

6) Tertib, yaitu berurutan mengerjakan rukun haji. c. Wajib Haji

Adapun yang termasuk dalam wajib haji adalah antara lain:

1) Melakukan ihram dari miqat 2) Melempar jumrah

3) Bermalam (mabit) di Mina 4) Thawaf al-Wada’

5) Menghindari segala yang diharamkan dalam ihram d. Sunnah Haji

Adapun yang termasuk dalam sunnah haji adalah antara lain:

1) Melakukan haji dengan ifrad

2) Talbiyah, yakni mengucapkan kalimat 3) Thawaf al-Qudum

4) Bermalam di Muzdaliah 5) Shalat thawaf dua rakaat31

31

2. Larangan Saat Ibadah Haji dan Denda (Dam)

Hal-hal yang terlarang dalam ibadah haji ada enam, antara lain: a. Kaum laki-laki dilarang untuk mengenakan pakaian berjahit seperti

kemeja, celana, sepatu, sarung, surban dan sebagainya. Sedangkan untuk wanita dibolehkan memakai pakaian berjahit tetapi dilarang untuk menutup bagian wajahyna dengan sesuatu yang bersentuhan langsung dengannya.

b. Tidak boleh memakai wangi-wangian, kecuali yang dipakai sebelum berihram dan masih melekat aromanya.

c. Tidak boleh memotong kuku atau mencukur rambut saat berihram, namun dibolehkan untuk memakai celak mata, mandi dan berbekam serta menyisir rambut

d. Tidak boleh melakukan jima’ (bersetubuh)

e. Tidak boleh melakukan sesuatu sentuhan yang bisa membatalkan wudhu

f. Tidak boleh membunuh binatang buruan yang hidup di darat.32 Dan apabila jamaah haji mengerjakan apa yang dilarang selama ibadha haji,maka ia wajib membayar denda (dam) sesuai dengan ketentuan syariat yang berlaku. Ada lima macam dam menurut sebab wajibnya, antara lain:

a. Dam karena meninggalkan salah satu perintah ibadah haji, misalnya tidak melakukan ihram dari miqat. Dalam hal ini, ia

32

Abu Hamid Al-Ghazali, Asrar Al-Hajj, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir dengan judul Rahasia Haji dan Umroh (Bandung: Karisma, 2000), h.37-38

wajib menyembelih binatang kambing yang sepertujuh dari unta atau sepertujuh dari lembu. Jika tidak mampu menyembelih binatang, maka ia wajib melakukan puasa sepuluh hari dengan tiga hari pada saat pelaksanaan dan tujuh hari setelah kepulangan ke tanah air.

b. Dam karena bercukur, berhias atau bersenang-senang

(taraffuh), termasuk memotong kuku, memakai

wangi-wangian, dan lain-lainnya. Dan ia harus memilih untuk melaksanakan menyembelih hewan qurban atau puasa tiga hari atau bersedekah dengan member makanan tiga sha’

kepada enam orang miskin masing-masing setengah sha’. Sesuai dengan firman Allah yang berbunyi:















































Artinya : “Dan jangan kamu mencukur kepalamu,

sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu:

berpuasa atau bersedekah atau berkorban.” (QS. Al

-Baqarah : 196

c. Dam ihsar, adalah denda yang dibayar karena seseorang yang terhalang oleh musuh atau mendapatkan sakit saat pelaksanaan tahalul, maka ia wajib membayar dengan menyembelih hewan qurban seperti kambing atau

semisalnya, jika tidak dapat melakukannya maka ia wajib mengganti dengan mengeluarkan makanan senilai harga hewan tersebut

d. Dam karena membunuh binatang buruan, maka ia wajib memilih dendanya antara menyembelih hewan ternak yang sebanding atau menyedekahkan makanan seharga binatang kepada fakir miskin yang tinggal di tanah haram atau berpuasa satu hari tiap-tiap mud makanan tersebut di atas. e. Dam karena jima’

3. Unsur-Unsur Penyelenggaraan Ibadah Haji

Penyelenggaraan ibadah haji adalah sebuah kegiatan yang memiliki mobilitas tinggi dan pergerakan dinamis tapi dibatasi oleh tempat dan waktu dengan melibatkan lima komponen yang harus dipenuhi dalam operasionalnya, yaitu adanya calon haji, pembiayaan, sarana transportasi, hubungan antar-negara dan organisasi pelaksananya.33

Yang pertama adalah adanya calon jamaah haji, dalam hal ini mereka harus memenuhi syarat untuk melaksanakan ibadah haji, yakni antara lain telah mencapai usia berakal (jika belum usia berakal, hajinya sah namun belum termasuk dalam kewajiban mereka), memiki biaya cukup untuk di dalam dan di Arab Saudi, memiliki pengetahuan

33

Ahmad Nidjam, Alatief Hanan, Manajemen Haji: Studi Kasus dan Telaah Implementasi Knowledge Workers, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2001) Cet.I h.10

yang cukup tentang prosesi pelaksanaan ibadah haji, serta memiliki dokumen perjalanan yang sah dan lengkap.

Kemudian unsur yang kedua adalah mengenai pembiayaan haji atau bisa disebut sebagai Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) atau dulu disebut dengan Ongkos Naik Haji (ONH). Biaya haji adalah sejumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh calon jamaah kepada pihak penyelenggara dalam hal ini adalah Kementerian Agama melalui sejumlah bank-bank yang telah ditunjuk sebagai bank penerima setoran BPIH

Secara singkat, organisasi pelaksana dalam hal ini adalah tanggung jawab Menteri Agama yang dalam pelaksanaannya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umroh dengan yang terdiri dari 4 jejaring eselon yakni eselon I (Direktur Jenderal PHU), eselon II (Direktur), eselon III (Bagian dan Sub Direktorat) dan eselon IV (Seksi dan Sub Bagian) serta didukung oleh staff pelaksana yang jumlahnya bervariasi untuk masing-masing unit kerja.

Adapun sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing unit, secara garis besar organisasi pelaksana haji dapat dibagi sebagai berikut:

a. Sekretarian Jenderal PHU b. Direktorat Pembinaan Haji c. Direktorat Pelayanan Haji

d. Direktorat Pengelolaan BPIH dan Sistem Informasi Haji e. Dan yang terakhir adalah organsiasi terkecil dalam PIH,

yakni kelompok terbang (kloter) yang dalam setiap kloter didampingi oleh Tim Pemandu Ibadah Haji Indonesia (TPIHI), Tim Pembimbing Ibadah Haji (TPIH) dan Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI).34

34

Muhammad M. Basyuni, Reformasi Manajemen Haji, (Jakarta, FDK Press, 2008) h.132-134

BAB III

GAMBARAN UMUM

DIREKTORAT JENDERAL PENYELENGGARAAN HAJI DAN UMROH KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

A.Sejarah Singkat Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (Ditjen PHU)

1. Penyelenggaraan Haji Pasca-Kemerdekaan

Pada tanggal 21 Januari 1950, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) mendirikan sebuah yayasan yang secara khusus menangani kegiatan penyelenggaraan haji, yaitu Panitia Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia (PPPHI) yang kemudian kedudukannya diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Kementerian Agama Republik Indonesia Serikat (RIS) Nomor 3170 tanggal 6 Pebruari 1950, disusul dengan surat edaran Menteri Agama RIS Nomor A.III/I/648 tanggal 9 Pebruari 1950 yang menunjuk PPPHI sebagai satu-satunya wadah yang sah disamping Pemerintah untuk mengurus dan menyelenggarakan haji Indonesia. Sejak saat itulah penyelenggaraan haji ditangani oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, dibantu oleh instansi lain seperti Pamongpraja.35 Tahun itu merupakan tahun pertama rombongan haji Indonesia yang diikuti dan dipimpin oleh Majelis Pimpinan Haji bersama dengan Rombongan Kesehatan Indonesia (RKI).

35

Zakaria Anshar, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umroh, 2008), h.5

Dengan dibentuknya Kementerian Agama sebagai salah satu unsur kabinet Pemerintah setelah masa kemerdekaan, maka seluruh beban PIH ditanggung pemerintah dan segala kebijakan tentang pelaksanaan ibadah haji semakin terkendali Dengan semakin membaiknya tatanan kenegaraan Indonesia, pada tahun 1964 pemerintah mengambil alih kewenangan dalam PIH dengan membubarkan PPPHI yang kemudian diserahkan kepada Dirjen Urusan Haji (DUHA) ibawah koordinasi Menteri Urusan Haji.36

2. Penyelenggaraan Haji Masa Orde Baru

Tugas awal penguasa Orde Baru sebagai pucuk pimpinan negara pada tahun 1966 adalah membenahi sistem kenegaraan. Pembenahan sistem pemerintahan tersebut berpengaruh pula terhadap PIH dengan dibentuknya Departemen Agama yang merubah struktur dan tata kerja organisasi Menteri Urusan Haji dan mengalihkan tugas PIH dibawha wewenang Dirjen Urusan Haji, termasuk penetapan biaya, sistem manajemen dan bentuk organisasi yang kemudian ditetapkan dalam Keputusan Dirjen Urusan Haji Nomor 105 tahun 1966. Pada tahun 1967 melalui keputusan Menteri Agama Nomor 92 tahun 1967, penetapan besarnya biaya haji ditentukan oleh Menteri Agama.37

Pada tahun 1968, keputusan tentang besarnya biaya haji kembali ditetapkan oleh Dirjen Urusan Haji dengan keputusan Nomor 111 tahun 1968. Dalam perjalanan selanjutnya, pemerintah bertanggung jawab secara penuh dalam PIH mulai dari penentuan biaya haji, pelaksanaan ibadah haji

36

Zakaria Anshar, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umroh, 2008), h.5

37 Idem.

serta hubungan antara dua negara yang mulai dilaksanakan pada tahun 1970. Pada tahun tersebut biaya perjalanan haji ditetapkan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 1970. Dalam tahun-tahun berikutnya PIH tidak banyak mengalami perubahan-perubahan kebijakan dan keputusan tentang biaya perjalanan haji ditetapkan melalui Keputusan Presiden.38

Pada tahun 1976, ditandai dengan adanya perubahan tata kerja dan struktur organisasi PIH yang dilakukan oleh Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji (BIUH). Sebagai panitia pusat, Dirjen BIUH melaksanakan koordinasi ke tiap-tiap daerah tingkat I dan II di seluruh Indonesia. Dalam hal ini sistem koordinasi dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh Dirjen BIUH. Beberapa panitia penyelenggara didaerah juga menjalin koordinasi dengan Badan Koordinator Urusan Haji (BAKUH) ABRI, hal ini dikarenakan BAKUH ABRI memiliki lembaga tersendiri untuk pelaksaan operasional PIH.39

Setelah tahun 1976, seluruh pelaksanaan operasional perjalanan ibadah haji dilaksanakan oleh Dirjen BIUH. Pada tahun 1985, pemerintah kembali mengikutsertakan pihak swasta dalam PIH, dimana pihak-pihak swasta tersebut mempunyai kewajiban langsung kepada pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya, lingkungan bisnis modern mengubah orientasi pihak-pihak swasta tersebut dengan menyeimbangkan antara orientasi pelayanan dan orientasi keuntungan yang selanjutnya dikenal dengan istilah

38

Zakaria Anshar, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umroh, 2008), h.5

39 Idem.

PIH Plus. Pada tahun 1987 pemerintah mengeluarkan keputusan tentang PIH dan Umroh Nomor 22 tahun 1987 yang selanjutnya disempurnakan dengan mengeluarkan peraturan PIH dan Umroh Nomor 245 tahun 1991 yang lebih mennekankan pad apemberian sanksi yang jelas kepada pihak swasta yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana ketentuan yang berlaku.40

Pembatasan jamaah haji yang lebih dikenal dengan pembagian kuota haji diterapkan pada tahun 1996 dengan dukungan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) untuk mencegah terjadinya over quota seperti yang terjadi pada tahun 1995 dan sempat menimbulkan keresahan dan kegelisahan di masyarakat., khususnya calon jamaah haji yang telah

Dokumen terkait