• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. TINJAUAN UMUM DIREKTORAT PENYELENGGARAAN

A. Sejarah Singkat Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan

1. Penyelenggaraan Haji Pasca-Kemerdekaan

Pada tanggal 21 Januari 1950, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) mendirikan sebuah yayasan yang secara khusus menangani kegiatan penyelenggaraan haji, yaitu Panitia Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia (PPPHI) yang kemudian kedudukannya diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Kementerian Agama Republik Indonesia Serikat (RIS) Nomor 3170 tanggal 6 Pebruari 1950, disusul dengan surat edaran Menteri Agama RIS Nomor A.III/I/648 tanggal 9 Pebruari 1950 yang menunjuk PPPHI sebagai satu-satunya wadah yang sah disamping Pemerintah untuk mengurus dan menyelenggarakan haji Indonesia. Sejak saat itulah penyelenggaraan haji ditangani oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, dibantu oleh instansi lain seperti Pamongpraja.35 Tahun itu merupakan tahun pertama rombongan haji Indonesia yang diikuti dan dipimpin oleh Majelis Pimpinan Haji bersama dengan Rombongan Kesehatan Indonesia (RKI).

35

Zakaria Anshar, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umroh, 2008), h.5

Dengan dibentuknya Kementerian Agama sebagai salah satu unsur kabinet Pemerintah setelah masa kemerdekaan, maka seluruh beban PIH ditanggung pemerintah dan segala kebijakan tentang pelaksanaan ibadah haji semakin terkendali Dengan semakin membaiknya tatanan kenegaraan Indonesia, pada tahun 1964 pemerintah mengambil alih kewenangan dalam PIH dengan membubarkan PPPHI yang kemudian diserahkan kepada Dirjen Urusan Haji (DUHA) ibawah koordinasi Menteri Urusan Haji.36

2. Penyelenggaraan Haji Masa Orde Baru

Tugas awal penguasa Orde Baru sebagai pucuk pimpinan negara pada tahun 1966 adalah membenahi sistem kenegaraan. Pembenahan sistem pemerintahan tersebut berpengaruh pula terhadap PIH dengan dibentuknya Departemen Agama yang merubah struktur dan tata kerja organisasi Menteri Urusan Haji dan mengalihkan tugas PIH dibawha wewenang Dirjen Urusan Haji, termasuk penetapan biaya, sistem manajemen dan bentuk organisasi yang kemudian ditetapkan dalam Keputusan Dirjen Urusan Haji Nomor 105 tahun 1966. Pada tahun 1967 melalui keputusan Menteri Agama Nomor 92 tahun 1967, penetapan besarnya biaya haji ditentukan oleh Menteri Agama.37

Pada tahun 1968, keputusan tentang besarnya biaya haji kembali ditetapkan oleh Dirjen Urusan Haji dengan keputusan Nomor 111 tahun 1968. Dalam perjalanan selanjutnya, pemerintah bertanggung jawab secara penuh dalam PIH mulai dari penentuan biaya haji, pelaksanaan ibadah haji

36

Zakaria Anshar, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umroh, 2008), h.5

37 Idem.

serta hubungan antara dua negara yang mulai dilaksanakan pada tahun 1970. Pada tahun tersebut biaya perjalanan haji ditetapkan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 1970. Dalam tahun-tahun berikutnya PIH tidak banyak mengalami perubahan-perubahan kebijakan dan keputusan tentang biaya perjalanan haji ditetapkan melalui Keputusan Presiden.38

Pada tahun 1976, ditandai dengan adanya perubahan tata kerja dan struktur organisasi PIH yang dilakukan oleh Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji (BIUH). Sebagai panitia pusat, Dirjen BIUH melaksanakan koordinasi ke tiap-tiap daerah tingkat I dan II di seluruh Indonesia. Dalam hal ini sistem koordinasi dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh Dirjen BIUH. Beberapa panitia penyelenggara didaerah juga menjalin koordinasi dengan Badan Koordinator Urusan Haji (BAKUH) ABRI, hal ini dikarenakan BAKUH ABRI memiliki lembaga tersendiri untuk pelaksaan operasional PIH.39

Setelah tahun 1976, seluruh pelaksanaan operasional perjalanan ibadah haji dilaksanakan oleh Dirjen BIUH. Pada tahun 1985, pemerintah kembali mengikutsertakan pihak swasta dalam PIH, dimana pihak-pihak swasta tersebut mempunyai kewajiban langsung kepada pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya, lingkungan bisnis modern mengubah orientasi pihak-pihak swasta tersebut dengan menyeimbangkan antara orientasi pelayanan dan orientasi keuntungan yang selanjutnya dikenal dengan istilah

38

Zakaria Anshar, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umroh, 2008), h.5

39 Idem.

PIH Plus. Pada tahun 1987 pemerintah mengeluarkan keputusan tentang PIH dan Umroh Nomor 22 tahun 1987 yang selanjutnya disempurnakan dengan mengeluarkan peraturan PIH dan Umroh Nomor 245 tahun 1991 yang lebih mennekankan pad apemberian sanksi yang jelas kepada pihak swasta yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana ketentuan yang berlaku.40

Pembatasan jamaah haji yang lebih dikenal dengan pembagian kuota haji diterapkan pada tahun 1996 dengan dukungan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) untuk mencegah terjadinya over quota seperti yang terjadi pada tahun 1995 dan sempat menimbulkan keresahan dan kegelisahan di masyarakat., khususnya calon jamaah haji yang telah terdaftar pada tahun tersebut namun tidak dapat berangkat. Mulai tahun 2005 penetapan porsi provinsi dilakukan sesuai dengan ketentuan Organisasi Konferensi Islam (OKI) yaitu 1 orang per mil dari jumlah penduduk yang beragama Islam dari masing-masing provinsi, kecuali untuk jamaah haji khusus diberikan porsi tersendiri.41

3. Penyelenggaraan Haji Pasca-Orde Baru

Melalui Keputusan Presiden Nomor 119 tahun 1998, pemerintah menghapus monopoli angkutan haji dengan mngizinkan kepada perusahaan penerbangan lain selain PT. Garuda Indonesia untuk melaksanakan angkutan haji. Dibukanya kesempatan tersebut disambut hangat oleh sebuah perusahaan asing, Saudi Arabian Airlines untuk ikut serta dalam

40

Zakaria Anshar, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umroh, 2008), h.6

41 Idem.

angkutan haji dengan mengajukan penawaran kepada pemerintah dan mendapapat respon yang positif. Sejak era reformasi, setiap bentuk kebijakan harus memenuhi aspek keterbukaan dan transaparansi, jika tidak akan menuai kritik dari masyarakat. Pemerintah dituntut untuk terus menyempurnakan sistem penyelenggaraan haji dengan lebih menekankan pada pelayanan, pembinaan dan perlindungan secara opitmal. 42

Penyelenggaraan Haji menjadi tanggung jawab Menteri Agama yang dalam pelaksanaan sehari-hari, secara struktural dan teknis fungsional dilaksanakan oleh Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji (BIPH) yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 165 tahun 2000. Dalam perkembangan terakhir berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 63 tahun 2005, Ditjen BIPH direstrukturasi menjadi dua unit kerja eselon I, yaitu Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) dan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU). Dengan demikian mulai operasional haji tahun 2007 pelaksana teknisP PIH dan pembinaan umroh berada dibawah Ditjen PHU.43

42

Zakaria Anshar, Profile Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, (Jakarta: Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umroh, 2008), h.6

43 Idem.

B.Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi Direktorat Jenderal

Dokumen terkait